• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan Penentuan Siklus Sel Donor Int

Pada teknik transfer inti, salah satu faktor yang harus diperhatikan dari sel donor inti adalah jumlah kromosom (Kato & Tsunoda 1993). Sel somatis pada tahap G0/G1 mempunyai kromosom diploid (2n), tahap G2 mempunyai

kromosom tetraploid (4n) karena telah mengalami replikasi DNA pada tahap S, dan tahap S mempunyai jumlah kromosom yang bervariasi antara diploid- tetraploid (2n-4n) karena bergantung pada posisi awal (sebelum replikasi) atau akhir (setelah replikasi).

Pada penelitian ini oosit diisolasi pada tahap MII oleh karena itu agar jumlah ploidi sel embrio kloning normal (2n) maka diperlukan inti sel somatis yang memiliki kandungan inti (2n). Pada gambar 7 terlihat bahwa mayoritas populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1, sedangkan sisanya

berada pada tahap siklus sel S dan G2/M. Hasil analisa perangkat lunak Cell

Quest dapat menunjukkan hasil yang lebih detil yaitu prosentase populasi tiap tahapan siklus sel (tabel 5). Sebanyak 70,84% dari populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1. Berdasarkan pengamatan morfologi sel kumulus

setelah diisolasi dari COC sebagian besar berukuran kecil yaitu antara 5-7 µm. Pemilihan sel kumulus sebagai donor inti dapat dilakukan berdasarkan ukuran morfologinya (gambar 8).

Gambar 7. Grafik hasil analisa flowcytometri sel kumulus setelah isolasi

Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-masing jumlah

kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation

(2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al. 1996). 0 200 400 600 800 1000 FSC-H 100 101 102 103 104 SSC-H cumulus080909.001 0 40 80 120 160 200 Counts 100 101 102 103 104 FL2-H cumulus080909.001 G0/G1 S G2/M

Tabel 5. Siklus sel kumulus sebagai donor inti setelah isolasi

Siklus Sel Prosentase (%)

G0/ G1 70,84

S 11,76

G2+M 15,70

Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation). Menurut Campbell et al. (1993) semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang konsentrasi MPFnya tinggi. Namun bagaimana efek PCC terhadap proses

nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini.

Gambar 8. A. Sel-sel kumulus yang masih mengelilingi oosit. B. Populasi sel kumulus yang sudah disolasi. Bar = 100 µm.

Perbedaan kandungan protein yang terekspresi pada tiap tahap siklus sel, menjadi faktor penentu untuk memprogram kembali inti sel donor (Dinnyes & Szmolenszky 2005). Oosit yang telah mengalami ovulasi biasanya berada pada metafase II tahap M (MII). Pada tahap tersebut konsentrasi MPF/ Maturation Promoting Factor (cyclin B-Cdk1) mencapai tingkatan maksimal. Selain itu CSF (Cytostatic Factor) juga memegang kendali regulasi siklus sel dengan mempertahankan kondisi stabil pada MII dan menghambat masuk ke tahap anafase (Schimidt et al. 2006). Konsentrasi MPF sitoplasma oosit pada tahap MII juga dapat dipengaruhi oleh aktivasi (Campbell et al. 1993).

Enukleasi dan Transfer Inti

Enukleasi dan transfer inti merupakan tahapan dalam aplikasi TISS sebelum dilakukan aktivasi. Pada tahap enukleasi, materi genetik oosit dikeluarkan dari sitoplasma. Sedangkan pada tahap transfer inti, materi genetik sel kumulus dimasukkan ke dalam sitoplasma oosit yang telah dienukleasi.

Rata- rata oosit yang berhasil dienukleasi adalah 49%, sedangkan rata-rata oosit yang berhasil dilakukan transfer inti adalah 40,8% (tabel 6). Dengan tingkat efisiensi enukleasi dan transfer inti yang masih rendah maka untuk aplikasi TISS diperlukan jumlah oosit yang relatif banyak sebagai sel resipien. Tabel 6. Hasil enukleasi dan transfer inti pada produksi embrio kloning mencit

Ulangan # oosit Enukleasi Transfer Inti

1 112 51 (45,54%) 44 (39,29%)

2 126 63 (50%) 52 (41,27%)

3 129 67 (51,94%) 54 (41,86%)

Rata-rata 60,33 (49%) 50,0 (40,8%)

Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom # oosit.

Penambahan Scriptaid pada Aplikasi TISS

Aplikasi TISS yang meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi akan menghasilkan embrio kloning yang kemudian dikultur secara in vitro untuk melihat perkembangan tahapan praimplantasi. Dalam penelitian ini menggunakan perlakuan penambahan senyawa HDACi (histones deacetylases inhibitor) yaitu TSA dan Scriptaid yang berfungsi untuk menurunkan hipermetilisasi DNA dan deasetilasi histon pada embrio kloning. Salah satu faktor penyebab rendahnya keberhasilan kloning adalah perubahan pola metilasi DNA dan asetilasi histon (Yang et al. 2007).

Pada tabel 7 terlihat bahwa tingkat keberhasilan perkembangan embrio kloning untuk mencapai tahapan blastosis masih cukup rendah yaitu berkisar antara 7-10%, sedangkan pada kontrol hanya mampu mencapai efisiensi 3,2% (tabel 4). Secara umum embrio kloning yang dihasilkan dengan penambahan Scriptaid dan TSA menunjukkan perkembangan yang lebih baik daripada embrio kloning kontrol (gambar 8).

Tabel 7. Perkembangan embrio kloning mencit secara in vitro

Perlakuan

Aktivasi Embrio Kloning

Tahap Pembelahan Embrio Kloning (%)

dua sel empat sel delapan sel morula blastosis

TSA 50 38a 26 a (68,4) 9a (23,7) 5a (13,2) 3a (7,9) Scriptaid 51 37a 24 a (64,9) 11a (29,7) 7a (18,9) 4a (10,8) Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom dua sel. Angka di dalam tanda kurung merupakan angka prosentase.

Berdasarkan hasil penelitian ini diduga TSA dan Scriptaid berperan dalam proses ‘nuclear reprogramming’ dengan cara mengurangi level metilasi DNA dan deasetilasi histon. Urutan DNA yang mengalami metilasi, yaitu adanya gugus metil (CH3) yang berikatan dengan atom C nomor lima pada

cytosine sedangkan pada histon justru kebalikannya yaitu apabila kehilangan gugus acetyl maka struktur kromatin akan mengalami kompaksi. Kromatin yang mengalami kompaksi dapat membuat gen-gen yang terkandung di dalamnya tidak dapat diekspresikan dengan normal. Hal ini sama seperti pada urutan DNA yang mengalami metilasi, maka gen-gen tidak dapat diekspresikan. Pada perkembangan embrionik, banyak gen-gen yang terlibat dalam sintesa protein yang diperlukan pada setiap tahapan pembelahan sel. Apabila protein yang diperlukan tidak tersedia maka pembelahan/ perkembangan embrio dapat berhenti (Yang et al. 2007).

Gambar 9. Tahapan perkembangan kultur in vitro embrio kloning. A. Anak panah menunjukkan Pseudopronucleus yang diploid, B: Embrio kloning tahap dua sel, C: Embrio kloning tahap empat sel, D: Embrio kloning tahap delapan sel, E: Embrio kloning tahap morula, F: Embrio kloning tahap blastosis. Bar = 100 µm.

Simpulan

Sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berdiameter 5-7 µm dan populasinya sebesar

70,84%. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Penambahan HDACi (Scriptaid dan

TSA) dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol.

Dokumen terkait