• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam satu siklus sel secara normal, materi genetik (DNA) harus mengalami satu kali replikasi dan hanya terjadi sekali tahap mitosis. Hingga saat ini belum diketahui secara jelas mekanisme yang menyebabkan hal tersebut (Campbell et al. 1996). Namun beberapa hasil penelitian,

menunjukkan bahwa diduga membran inti mempunyai andil dalam terjadinya replikasi DNA (Campbell et al. 1993). Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami Nuclear Envelope Breakdwon (NEBD) dan Premature Chromosome Condensation (PCC) (Wakayama & Yanagimachi 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang konsentrasi MPFnya tinggi (Campbell et al. 1993). Namun bagaimana efek PCC terhadap proses nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini (Sung et al. 2006).

Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-masing jumlah

kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation

(2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al. 1996).

Inti donor pada tahap G2 yang jumlah kromosomnya tetraploid (4n)

bila ditransfer ke dalam sel oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid ganda, lalu mengalami Nuclear Reformation (4n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 8n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom tetraploid (4n). Hal ini menunjukkan bahwa inti donor tahap G2 tidak sinkron apabila ditransfer pada tahap MII oosit resipien

(Campbell et al. 1996).

Pada transfer inti ke dalam sel oosit dengan MPF rendah (menurun drastis setelah diaktivasi), menunjukkan bahwa inti donor sel tahap G0, G1, dan

S akan mengalami replikasi DNA, sehingga sel anakan mempunyai kromosom diploid (2n). Sedangkan inti donor tahap G2 tidak melakukan replikasi DNA,

sehingga pada kromosom sel anakannya menjadi 2n. Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa faktor yang mempengaruhi replikasi DNA bukan sekedar karena membran inti yang pecah dan terjadi kondensasi prematur (PCC), tapi diduga juga disebabkan oleh kandungan DNA (kromosom) pada inti donor (Campbell

et al. 1996).

Ada beberapa cara untuk memperoleh kultur sel pada tahap-tahap tertentu dalam siklus sel. Untuk memperoleh sel pada tahap G0/G1, dapat

dilakukan dengan cara mengkultur sel dengan medium tanpa/rendah serum (Wakayama & Yanagimachi 2001). Sinkronisasi tahap G2 dapat dilakukan

dengan cara menambahkan cycloheximide pada medium kultur (Campbell et al.

1993). Tahap metafase dapat diperoleh dengan menambahkan demecolcine (Li

et al. 2005) atau nocodazole (senyawa penghambat polimerisasi mikrotubuli) pada medium kultur (Ono et al. 2001).

Tahapan penting pada aplikasi TISS adalah pada saat terjadi nuclear reprogramming. Inti sel somatis yang telah ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit akan mengalami perubahan baik secara morfologi maupun molekuler (Choi et al. 2004). Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perlakuan aktivasi pada oosit pasca transfer inti merupakan awal dari proses nuclear reprogramming (Loi et al. 2003).

Oosit pada tahap metafase II (MII) digunakan sebagai resipen setelah dikeluarkan intinya. Pada tahap MII, oosit akan tetap berada dalam kondisi stabil dan bertahan pada kondisi tersebut karena adanya pengaruh dari CSF (cytostatic factor) (Schimidt et al. 2006). CSF juga menghambat aktivitas APC (Anaphase-Promoting Complex) yang berperan memicu masuk ke tahap anafase (Heuvel 2005). MPF (Maturation Promoting Factor) mencapai konsentrasi tertinggi pada tahap MII (Piotrowska et al. 2000).

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semua inti donor sel somatis yang ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit pada saat konsentrasi MPF tinggi akan mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation) (Campbell et al. 1993). Pecahnya membran inti sel donor akan menyebabkan materi genetik yang terkandung di dalamnya kontak langsung dengan sitoplasma oosit (Chung et al. 2002). MPF aktif yang merupakan kompleks cyclin B-Cdk1 yang terfosforilasi dan dapat menginduksi sel masuk ke tahap pembelahan mitosis atau meiosis, menyebabkan NEBD, kondensasi kromosom dan perubahan pada sitoskeleton dan morfologi sel (Campbell et al. 1996).

Aktivasi pada oosit tahap MII merupakan modifikasi dari proses fertilisasi secara alami. Osilasi ion Ca2+ intraseluler mutlak diperlukan untuk menginduksi proses aktivasi (Vincent et al. 1992). Pada fertilisasi, masuknya sperma ke dalam oosit akan menginduksi sinyal Ca2+ (Schimidt et al. 2006). Pada aplikasi TISS, aktivasi oosit tahap MII dapat dilakukan secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun

secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pasca aktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga CSF akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/proteosome. CSF yang inaktif akan menyebabkan APC aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (Elzen & Pines 2001).

Setelah aktivasi, inti sel somatis akan berinteraksi dengan faktor-faktor di sitoplasma dan terjadi proses reformasi inti. Selanjutnya akan terbentuk

Pseudopronucleus (pPN). Penambahan Cytochalasin B merupakan upaya untuk mencegah terbentuknya polar body II (PBII) (Wakayama & Yanagimachi 2001). Hal ini perlu dilakukan untuk mempertahankan jumlah kromosom tetap diploid (2n). Keberhasilan nuclear reprogramming sangat menentukan pola ekspresi genetik selama proses perkembangan dan pertumbuhan embrio kloning (Piedrahita et al. 2004).

Modifikasi Epigenetik pada Embrio Kloning

Materi genetik (genom) dan urutan DNA pada sel somatik yang menyusun satu individu pada dasarnya sama. Dinamika perubahan gen yang aktif dan non aktif merupakan penyebab terjadinya modifikasi epigenetik. Teknik kloning dapat memfasilitasi modifikasi epigenetik yaitu memprogram kembali sel yang telah berdiferensiasi (sel somatik) menjadi ke tahapan awal embrionik yang bersifat totipoten (Wang et al. 2007).

Salah satu pengembangan teknik TISS yang telah dilakukan adalah dengan perlakuan penambahan senyawa penghambat enzim HDAC pada saat

proses nuclear reprogramming inti sel donor. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan Trichostatin A (TSA) berhasil meningkatkan keberhasilan perkembangan embrio kloning mencapai tahap blastosis (Enright

et al. 2003; Kishigami et al. 2006; Li et al. 2008). Scriptaid merupakan senyawa penghambat deasetilasi histon yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan TSA, yaitu toksisitas yang lebih rendah dan dapat memfasilitasi aktivasi transkripsional (Monneret 2005).

Perkembangan Embrionik Praimplantasi Pada Mencit

Siklus sel yang pertama setelah terjadi baik secara fertilisasi (alami) maupun aktivasi (pada aplikasi TISS) akan menghasilkan tahap pembelahan 2 sel dengan terbentuk 2 blastomer (Ng et al. 2004). Tahap ini sangat penting untuk perkembangan embrionik pada mencit karena terjadi transisi dari genom maternal menjadi genom embrionik (Hogan et al. 1986). Proses yang terjadi meliputi berkurangnya mRNA maternal, genom embrionik mulai aktif melakukan transkripsi, dan terjadi perubahan pola sintesis protein. Khusus pada mencit, peristiwa gagalnya proses perkembangan pada tahap 2 sel sering disebut dengan two cell block (Heindryckx et al. 2001).

Setelah melewati pembelahan tahap 8 sel, embrio mamalia umumnya akan mulai mengalami kompaksi (morula). Perkembangan embrio mencit akan mencapai tahap morula pada interval waktu 2-3 hari setelah fertilisasi (Hogan

et al. 1986). Embrio akan terus membelah dan diikuti terbentuknya rongga yang berisi cairan yang disebut blastosol. Tahapan sel tersebut adalah blastosis. Secara morfologi embrio pada tahap blastosis dibedakan menjadi dua jenis sel yaitu inner cell mass (ICM) di bagian dalam dan trofoblas di bagian luar. Pada perkembangan pasca implantasi, sel-sel trofoblas akan membentuk plasenta, sedangkan ICM akan berkembang menjadi seluruh jaringan tubuh (Kalthoff 2001).

OPTIMASI SUPEROVULASI, METODE AKTIVASI, DAN

ENUKLEASI PADA PENGEMBANGAN TEKNIK

TRANSFER INTI SEL SOMATIS

Abstract

Embryonic stem cells can be obtained from an embryo generated through fertilization, recently it has been reported that an embryo can also be generated asexually through Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). This procedure will overcome the ethical issue regarding the usage of embryo that was initially generated for reproductive purposes. The aim of this study was to obtain an optimized oocyte superovulation, activation method, and enucleation using mice oocytes as a model. Mouse oocytes were produced by superovulation method with 5-7.5 IU Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) and 5-7.5 IU human Chorionic Gonadotropin (hCG) intraperitoneal (i.p.) injection. Treatment combination for oocytes activation methods were (A) activation in CZB & SrCl2 (prepared in stock) for two hours and in CZB &

CB for four hours; (B) activation in CZB & SrCl2 (fresh medium) for two

hours and in CZB & CB for four hours; (C) activation in CZB & CB & SrCl2

(fresh medium) for six hours. The optimation of enucleation was conducted with sucrose addition in the enucleation medium. Results showed that using doses of 7.5 IU PMSG and hCG hormones can increase the oocyte cell production optimization through superovulation treatment. The most optimal method of activation is medium CZB & CB & SrCl2 (fresh medium) for six

hours (method C) to activate oocyte cells until it reaches the level of activation of 97.21%. The addition of 3% sucrose able to increase the enucleation rate. Keywords: superovulation, activation, enucleation, oocyte

Abstrak

Sel punca embrionik pada umumnya diperoleh dari embrio hasil fertilisasi, namun sekarang dilaporkan bahwa embrio juga dapat diperoleh dari hasil Transfer Inti Sel Somatis (TISS). Prosedur ini diharapkan dapat mengatasi masalah etik dalam penggunaan embrio yang sebelumnya dihasilkan untuk tujuan reproduksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan optimasi perlakuan superovulasi, metode aktivasi, dan enukleasi pada mencit sebagai hewan model. Oosit mencit diproduksi menggunakan teknik superovulasi dengan penyuntikan Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) 5 - 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotropin (hCG) 5 - 7.5 IU secara intraperitoneal (i.p.). Kombinasi perlakuan untuk metode aktivasi oosit adalah (A) aktivasi di medium CZB & SrCl2 (medium stok) selama dua jam

dan di medium CZB & CB selama empat jam; (B) aktivasi di medium CZB & SrCl2 (medium segar) selama dua jam dan di medium CZB & CB selama

empat jam; (C) aktivasi di medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama

enam jam. Optimasi teknik enukleasi dilakukan dengan penambahan sukrosa ke dalam medium. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis PMSG dan hCG 7,5 IU dapat meningkatkan jumlah oosit pada aplikasi superovulasi. Perlakuan dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama enam

jam (perlakuan C) merupakan metode aktivasi yang paling optimal dan dapat mencapai tingkat aktivasi 97,21%. Penambahan sukrosa 3% dapat meningkatkan keberhasilan enukleasi.

Kata kunci: superovulasi, aktivasi, enukleasi, oosit

Pendahuluan

Tahapan penting pada aplikasi SCNT adalah pada saat terjadi nuclear reprogramming. Inti sel somatis yang telah ditransfer ke dalam sitoplasma oosit akan mengalami perubahan baik secara morfologi maupun molekuler (Choi et al. 2004). Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perlakuan aktivasi pada oosit pasca transfer inti merupakan awal dari proses nuclear reprogramming (Loi et al. 2003).

Oosit pada tahap metafase II (MII) digunakan sebagai resipien setelah dikeluarkan intinya. Pada tahap MII, oosit akan tetap berada dalam kondisi stabil dan bertahan pada kondisi tersebut karena adanya pengaruh dari

cytostatic factor (CSF) (Schimidt et al. 2006). CSF juga menghambat aktivitas

Anaphase Promoting Complex (APC) yang berperan memicu masuk ke tahap anafase (van den Heuvel 2005). Maturation Promoting Factor (MPF) mencapai konsentrasi tertinggi pada tahap MII (Piotrowska et al. 2000).

Menurut Campbell et al. (1993) Nuclear Envelope Breakdown (NEBD) dan Premature Chromosome Condensation (PCC) akan dialami oleh semua inti donor sel yang ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit pada saat konsentrasi MPF tinggi. Mekanisme tersebut dapat menyebabkan membran inti sel donor pecah dan materi genetik yang terkandung didalamnya berinteraksi dengan sitoplasma sel oosit (Chung et al. 2002). MPF aktif yang merupakan kompleks cyclin B-Cdk1 yang mengalami fosforilasi. Konsentrasi Cdk1 cenderung stabil, namun konsentrasi cyclin B yang bervariasi (Campbell et al.

1996).

Aktivasi pada oosit tahap MII merupakan modifikasi dari proses fertilisasi secara alami. Osilasi ion Ca2+ intraseluler mutlak diperlukan untuk menginduksi proses aktivasi (Vincent et al. 1992). Pada fertilisasi, masuknya sperma ke dalam oosit akan menginduksi sinyal Ca2+ (Schimidt et al. 2006). Pada aplikasi SCNT, aktivasi oosit tahap MII dapat dilakukan secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun

secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pasca aktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga CSF akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/ proteosome. CSF yang inaktif akan

menyebabkan APC aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (den Elzen and Pines 2001).

Setelah aktivasi, inti sel somatis akan berinteraksi dengan faktor-faktor di sitoplasma dan terjadi proses reformasi inti. Selanjutnya akan terbentuk

Pseudopronucleus (pPN). Penambahan Cytochalasin B merupakan upaya untuk mencegah terbentuknya polar body II (PBII) (Wakayama and

Yanagimachi, 2001). Hal ini perlu dilakukan untuk mempertahankan jumlah kromosom tetap diploid (2n). Keberhasilan nuclear reprogramming sangat menentukan pola ekspresi genetik selama proses perkembangan dan pertumbuhan sel embrio kloning (Piedrahita et al., 2004).

Metode Penelitian

Penyiapan Sel Oosit

Superovulasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Oosit diisolasi dari mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu. Mencit betina distimulasi untuk mengalami superovulasi dengan menyuntikan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin/PMSG (Intervet International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotrophin/ hCG (Intervet International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml dengan interval waktu 46-48 jam. Enam belas jam setelah penyuntikan hCG, COC (Cumulus Oocyte Complexes) diisolasi dari oviduct dengan menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Setelah diisolasi dari sel kumulus maka oosit dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa yang mengandung BSA (Sigma, A3311, St. Louis, MO, USA) 1mg/ml, ditutup dengan mineral oil

(Sigma, M8410, St. Lois, MO, USA) dan disimpan dalam suhu 37°C dan kadar CO2 5% di dalam inkubator (Sanyo, MCO-95, Japan).

Manipulasi Embrio Mencit

Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding

Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa filamen (Sutter Instrument, B100-75-10). Pipet mikromanipulasi injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument, P-87) dan

micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Ujung pipet mikromanipulasi injeksi berdiameter bagian luar ~ 15!m untuk enukleasi dan 5-6!m untuk transfer inti.

Mercury (Madespa MA, 0561, Spain) dimasukkan ke dalam pipet mikromanipulasi injeksi melalui bagian belakang menggunakan syringe

(Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml. Ujung pipet mikromanipulasi

holding berdiameter bagian luar 80-100 !m dan berdiameter dalam 20-30 !m (Kishigami et al. 2006) .

Enukleasi Kromosom MII dari Sel Oosit

Enukleasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Kumpulan oosit (biasanya berjumlah 20) dipindahkan ke dalam drop medium M2 (± 10 !l) yang mengandung cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !l/ml. Tutup cawan petri 35mm (Nunc, 153066, Roskilde, Denmark) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk mikromanipulasi. Mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan) dengan Thermoplate (Tokai Hit, MATS-U55R30, Japan) dan satu perangkat micromanipulator (Narishige, Japan) digunakan untuk melakukan manipulasi oosit. Oosit diposisikan tidak bergerak dengan ditahan menggunakan pipet holding. Zona pelusida oosit lalu ditembus dengan menggunakan Piezo (Prime Tech, PMAS-CT150, Japan) yang menggetarkan ujung pipet mikromanipulasi injeksi yang digunakan untuk enukleasi (dengan diameter bagian dalam ± 15 !m). Komplek benang spindel kromosom MII, dapat ditandai sebagai spot yang dapat ditembus cahaya di dalam ooplasma dengan perbesaran 20x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Kromosom MII dihisap dengan mikropipet injeksi dan hanya sedikit cairan ooplasma yang terhisap. Setelah itu, pipet ditarik dengan halus dan perlahan hingga melewati zona pelusida. Konfirmasi keberadaan inti/kromosom MII dilakukan dengan cara mewarnai oosit pasca enukleasi dengan Hoechst 33342 (Invitrogen, H1399, Eugene, USA) 10 !g/ml dalam PBS (Gibco, 21600-010, Grand Island, NY, USA) tanpa serum selama 10 menit, lalu oosit diletakkan ke dalam sumur-sumur di dalam cawan Terazaki dan diamati di mikroskop fluorescent (Nikon, E600, Japan) dengan panjang gelombang 380nm. Oosit yang masih berinti akan terlihat lebih berpendar karena Hoechst 33342 akan berikatan dengan DNA inti. Setelah dipilih yang enukleasinya berhasil, maka oosit dipindahkan ke dalam CZB tanpa cytochalasin B dan disimpan selama lebih dari 2 jam pada 37°C dan kadar CO2 5%.

Rancangan Percobaan

Pada tahap ini, variabel respon yang diukur dalam optimasi produksi oosit adalah jumlah oosit yang dihasilkan dari perlakuan superovulasi dengan dosis PMSG & HCG masing-masing sebesar 5 IU dan 7.5 IU per mencit. Optimasi enukleasi dilakukan dengan perlakuan penambahan sukrosa 3% dengan variabel respon yang diamati adalah terbentuknya spot transparan dan tingkat keberhasilan enukleasi. Sedangkan variabel respon yang diukur dalam optimasi perlakuan aktivasi oosit adalah tingkat aktivasi oosit hingga mengalami pembelahan tahap dua sel berdasarkan perbedaan perlakuan aktivasi yaitu: (1) oosit dikultur dalam kombinasi campuran medium CZB dan SrCl2 (dibuat stok/ bukan medium segar) selama 2 jam, lalu dikultur dalam

campuran medium CZB dan Cytochalasin B selama 4 jam; (2) oosit dikultur dalam kombinasi campuran medium CZB dan SrCl2 (dibuat sebelum dipakai/

medium segar) selama 2 jam, lalu dikultur dalam campuran medium CZB dan Cytochalasin B selama 4 jam; (3) oosit dikultur selama 6 jam dalam kombinasi

campuran medium CZB dan Cytochalasin B (dibuat stok/ bukan medium segar) dan ditambahkan SrCl2 sebelum digunakan.

Analisa Data

Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Data kuantitatif yang diperoleh lalu diuji secara statistik dengan uji ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan apabila ada beda nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test). Data kualitatif disajikan dalam bentuk foto atau gambar.

Hasil dan Pembahasan

Aplikasi TISS (Transfer Inti Sel Somatik) membutuhkan oosit dalam jumlah yang relatif cukup banyak sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan produksi oosit. Perlakuan yang banyak diterapkan adalah superovulasi, yaitu dengan menggunakan hormon PMSG untuk menginduksi terjadinya folikulogenesis dan hormon hCG untuk menginduksi terjadinya pematangan dan pelepasan oosit dari ovarium ke oviduk.

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa perlakuan superovulasi dengan menggunakan hormon PMSG dan hCG dosis 7.5 IU menunjukkan produksi oosit berkualitas baik lebih tinggi daripada dengan dosis 5 IU. Rata-rata oosit berkualitas baik yang diperoleh dengan dosis 7.5 IU adalah 20.61/ mencit sedangkan dengan dosis 5 IU adalah 11.61/ mencit. Namun penambahan dosis juga mempunyai efek samping yaitu jumlah oosit berkualitas buruk menjadi meningkat secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari prosentasenya yang naik secara signifikan yaitu 9.22% pada dosis 5 IU menjadi 14.27% pada dosis 7.5 IU. Penambahan hormon yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal yang ada di dalam sistem reproduksi mencit sehingga diperlukan optimasi agar dapat diperoleh hasil superovulasi yang optimal yaitu jumlah oosit yang berkualitas baik meningkat secara signifikan.

Tabel 1. Perlakuan superovulasi untuk menghasilkan oosit

Dosis PMSG & hCG Jumlah Mencit Total Jumlah Oosit Rata – rata (oosit / mencit) Kualitas oosit berdasarkan pengamatan morfologi (%) Baik (oosit / mencit) Buruk (oosit / mencit) 5 IU 28 358 12.79a 11.61 (90.78)a 1.18 (9.22)a 7.5 IU 28 673 24.03b 20.61 (85.74)b 3.43 (14.27)b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama

Menurut Martin-Coello et al. (2008), pada mencit normal jumlah oosit yang diovulasikan berkisar antara delapan hingga dua belas tergantung pada jenis strain. Jumlah tersebut dapat ditingkatkan dengan menggunakan tambahan hormon dari luar (eksogenus). Keberhasilan meningkatkan jumlah oosit dapat menurunkan jumlah hewan yang diperlukan dalam penelitian. perlakuan superovulasi tidak meningkatkan kadar gonadotropin endogenus. Variasi respon ovarium terhadap hormon eksogenus tergantung pada perbedaan genetik di antara strain. Respon perlakuan superovulation dapat dipengaruhi oleh umur, berat badan, status nutrisi, kesehatan, dan kondisi perawatan hewan.

Menurut Lim et al. (1985), PMSG tidak meningkatkan jumlah folikel yang berukuran besar, namun PMSG merubah keseimbangan antara folikel yang berkembang dan folikel atresia dengan cara mencegah atau memperlambat proses atresia. Reseptor hormon PMSG (FSH) paling banyak terdapat pada sel-sel granulosa yang ada pada folikel sekunder. Oleh karena itu penambahan FSH akan meningkatkan proliferasi dari sel granulosa sehingga produksi estrogen akan semakin meningkat dan sel oosit akan semakin matang. Perlakuan superovulasi pada mencit mempunyai dampak negatif yaitu dapat menyebabkan perlambatan perkembangan embrionik baik secara in vitro

maupun in vivo, dan meningkatkan abnormalitas pembentukan blastosis (Van der Auwera and D'Hooghe 2001).

Dalam penelitian aplikasi TISS ini menggunakan sel donor inti yaitu sel kumulus. Pada saat oosit diisolasi dari oviduk, oosit masih dikelilingi oleh sel kumulus (gambar 1), sehingga untuk memisahkan oosit dengan sel kumulus harus menggunakan cara enzimatik yaitu dengan enzim hyaluronidase.

Pewarnaan vital Hoechst-PI juga dilakukan untuk menguji apakah oosit yang diisolasi masih hidup dan dapat berfungsi dengan normal. Oosit yang berwarna merah adalah oosit yang sudah mati sehingga pewarna PI mampu menembus membran sel dan mewarnai sitoplasma. Sedangkan oosit yang berwarna biru karena terwarnai oleh Hoechst adalah oosit yang masih hidup dan normal. Oosit juga dipilah berdasarkan morfologinya untuk menentukan kualitasnya (gambar 1C dan 1D). Oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari ukurannya yang normal yaitu sekitar 80 µm, sitoplasma tampak homogen, dan tampak ada Polar Body I.

Gambar 1. Oosit mencit hasil superovulasi. A. Kompleks oosit dengan sel kumulus; B. Pewarnaan vital (Hoechst-PI); C. Oosit yang berkualitas baik; D. Oosit yang berkualitas buruk. Bar = 100µm.

Perlakuan aktivasi dalam aplikasi TISS memegang peranan yang sangat vital dalam proses perkembangan embrio kloning sehingga optimasi metode aktivasi perlu dilakukan. Ada tiga metode aktivasi yang diuji pada penelitian ini, yaitu:

(A) Aktivasi dengan medium CZB & SrCl2 (telah dipersiapkan dalam stok)

selama 2 jam dan dalam medium CZB & CB selama 4 jam

(B) Aktivasi dengan medium CZB & SrCl2 (medium baru) selama 2 jam dan

dalam medium CZB & CB selama 4 jam

(C) Aktivasi dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium baru) selama 6 jam

Hasil dari perlakuan metode aktivasi dapat dilihat pada tabel 2 diantara ketiga metode diatas, metode aktivasi C yang menunjukkan tingkat aktivasi hingga 97.21% (oosit yang diaktivasi mampu membelah setelah dua puluh empat jam). Kombinasi medium CZB & CB & SrCl2 (medium baru) mampu

menginduksi peningkatan osilasi ion Ca2+ intraseluler sehingga menstimulasi oosit yang sebelumnya berhenti pada tahapan siklus sel metaphase II untuk menyelesaikan tahapan pembelahan sel hingga terbentuk dua sel.

Strontium Chloride (SrCl2) merupakan senyawa kimia yang sangat

reaktif. Hal ini diduga disebabkan oleh polarisasi inti elektron dari atom strontium sehingga mengakibatkan distorsi pada kerapatan inti elektron yang

!

A

!

B

!

C

!

D

berinteraksi dengan ikatan Sr dan Cl (Guido and Gigli, 1976). Pembuatan medium stok akan membuat strontium terpapar dan berinteraksi dengan beberapa senyawa lain yang menjadi komponen medium tersebut. Dengan demikian, hal tersebut akan mengurangi sifat reaktif dari strontium yang diharapkan dapat meningkatkan osilasi ion Ca2+ di dalam sitoplasma oosit sehingga mampu menginduksi sel oosit untuk melanjutkan proses pembelahan yang sebelumnya terhenti pada MII.

Salah satu parameter keberhasilan aktivasi adalah terbentuknya pronukleus sekitar enam jam setelah aktivasi (gambar 2). Cytochalasin B yang

Dokumen terkait