• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencit merupakan hewan mamalia kecil yang memiliki siklus reproduksi cukup pendek yaitu empat hingga lima hari per siklus. Ada empat fase siklus reproduksi mencit yaitu fase estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus. Salah satu alasan mencit digunakan sebagai hewan model untuk penelitian adalah memiliki siklus reproduksi dan masa kebuntingan yang cukup pendek. Selain itu pada reproduksi normal sekali melahirkan induk mencit dapat menghasilkan enam hingga delapan anakan, sehingga mencit dapat dengan mudah dikembangbiakan (Nagy et al. 2003).

Secara alami, mencit betina dapat mengovulasikan oosit sebanyak delapan hingga dua belas oosit tergantung pada jenis mencit (Nagy et al. 2003). Jumlah tersebut relatif sedikit apabila penelitian membutuhkan oosit dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik superovulasi untuk meningkatkan produksi oosit mencit. Superovulasi dilakukan dengan menyuntikan hormon PMSG dan diikuti dengan hormon hCG setelah 46 jam kemudian. Pada penelitian ini diperoleh dosis optimal untuk superovulasi adalah 7,5 IU. Menurut Martin-Coello et al. (2008), perlakuan superovulasi tidak meningkatkan kadar gonadotropin endogenus. Variasi respon ovarium terhadap hormon eksogenus tergantung pada perbedaan genetik di antara strain. Respon perlakuan superovulation dapat dipengaruhi oleh umur, berat badan, status nutrisi, kesehatan, dan kondisi perawatan hewan. Keberhasilan meningkatkan jumlah oosit dapat menurunkan jumlah hewan yang diperlukan dalam penelitian.

Aplikasi TISS untuk menghasilkan embrio kloning, meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi. Enukleasi pada prinsipnya adalah mengeluarkan seluruh materi genetik (inti) sel oosit. Pada penelitian ini sel oosit mencit yang digunakan memiliki sitoplasma yang warnanya cenderung keruh, sehingga sulit untuk menentukan dimana letak inti sel. Posisi Polar Body I juga tidak sepeuhnya dapat digunakan sebagai rujukan untuk mengetahui letak inti sel. Dari total populasi sel oosit hanya sekitar 31% yang letaknya ada di dekat Polar Body I (Liu et al. 2002).

Keberhasilan tahap enukleasi sangat ditentukan oleh ketepatan menentukan lokasi inti sel oosit yang akan dikeluarkan. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi teknik enukleasi yaitu dengan menambahkan sukrosa 3% pada medium praenukleasi. Penambahan sukrosa 3% dapat menyebabkan munculnya spot transparan pada oosit hingga 59,77% dari total sel oosit yang diteliti. Spot transparan yang terbentuk adalah akibat dari larutan hipertonik sukrosa mempengaruhi konsentrasi protein sitoplasma yang dapat merubah sifat membran dan mempengaruhi dinamika sitoskeleton (Wang et al., 2001). Modifikasi ini berhasil meningkatkan keberhasilan enukleasi lebih dari dua kali lipat dibandingkan tanpa penambahan sukrosa 3%.

Tahap aktivasi juga memegang peranan yang cukup penting dalam keberhasilan aplikasi TISS. Aktivasi buatan secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan kombinasi Strontium Chloride, medium CZB, dan Cytochalasin B. Pada penelitian ini dilakukan optimasi tiga metode aktivasi dan hasilnya

menunjukkan bahwa aktivasi dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium

baru) selama 6 jam adalah metode yang paling optimal bila dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa Strontium Chloride yang sudah dibuat medium stok akan menurunkan kemampuannya sebagai aktivator. Hal ini diduga karena sifatnya yang sangat reaktif sehingga setelah bercampur dengan medium akan bereaksi dengan komponen-komponen penyusun medium tersebut (Guido and Gigli, 1976). Peranan Strontium Chloride sebagai aktivator adalah melalui jalur kalsium dengan cara menginduksi peningkatan Ca2+ intraseluler, menggantikan ikatan Ca2+ di dalam oosit, dan secara berulang-ulang menginduksi peningkatan osilasi Ca2+ (Alberio et al., 2001).

Sel oosit yang diaktivasi dengan protokol tersebut dapat berkembang menjadi embrio partenogenetik. Perkembangan embrio partnogenetik dapat digunakan sebagai pembanding pada proses aktivasi dan kultur in vitro embrio kloning. Pada penelitian ini juga membandingkan perkembangan praimplantasi embrio kloning, embrio partenogenetik dan embrio hasil fertilisasi in vivo

sebagai kontrol. Perkembangan embrio fertilisasi memiliki efisiensi pembelahan yang paling baik, kemudian diikuti oleh embrio partenogenetik dan embrio kloning. Baik embrio partenogenetik maupun embrio kloning, keduanya merupakan embrio hasil manipulasi yang dilakukan secara in vitro. Embrio partenogenetik memiliki inti yang berasal dari maternal saja, sementara itu embrio kloning memiliki inti sel somatis. Karakteristik materi genetik tersebut yang diduga menjadi penyebab rendahnya efisiensi pembelahan sel pada embrio partenogenetik dan embrio kloning.

Walaupun tanpa materi genetik dari paternal, embrio partenogenetik mampu tumbuh dan berkembang hingga mencapai tahap blastosis. Demikian juga, keberhasilan embrio kloning berkembang hingga mencapai tahap blastosis merupakan bukti bahwa inti sel somatis telah berhasil mengalami proses “nuclear reprogramming”. Inti sel somatis yang berasal dari sel kumulus merupakan sel yang sudah mengalami diferensiasi, namun dengan aplikasi TISS inti sel tersebut dapat diprogram kembali menjadi ke tahap awal pembelahan embrionik. Rendahnya efisiensi perkembangan embrio kloning terkait dengan indikasi bahwa proses nuclear reprogramming belum berlangsung secara sempurna, sehingga inti sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Kendala utama dalam proses

nuclear reprogramming adalah genomic imprinting dan X-chromosome inactivation yang secara dominan mempengaruhi modifikasi epigenetik dan pola ekspresi genetik pada sel embrio kloning (Latham 2005).

Sel kumulus yang digunakan pada aplikasi TISS setelah dilakukan analisa flowcytometri menunjukkan pada fase G0/G1. Hal ini penting karena

menurut Campbell et al. (1996) inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-

masing jumlah kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam sel oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami

kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid.

Menurut Yang et al. (2007) salah satu faktor penyebab rendahnya keberhasilan kloning adalah hipermetilasi DNA dan perubahan pola asetilasi histon. Penelitian ini menggunakan penambahan senyawa HDACi (histones deacetylases inhibitor) yaitu TSA dan Scriptaid yang berfungsi untuk menurunkan hipermetilisasi DNA dan deasetilasi histon pada embrio kloning. Penambahan HDACi dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Mekasnisme kerja TSA dan Scriptaid adalah menghambat enzim histones deacetylase, sehingga gugus acetyl tetap menempel pada histon dan membuat kromatin tetap renggang. Kinerja enzim

histones deacetylase yang dihambat akan membuat asetilasi histon meningkat terutama dalam histone H4 pada lysine 8 (AcH4K8), sehingga mendekati dengan kondisi asetilasi histon pada embrio fertilisasi (Zhao et al. 2010). Dengan demikian, penambahan TSA dan scriptaid merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning mencit.

Dokumen terkait