• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG

Ekstrak etil asetat biji atung yang dihasilkan berupa cairan pekat berwarna jingga dengan berat jenis sekitar 1,0682 g/ml dengan rendemen 0,98 % dari berat serbuk biji atung kering. Ekstrak ini mempunyai warna yang sama dengan yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998) akan tetapi lebih pekat dari ekstrak yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) dengan berat jenis 1,0 g/ml dan Adawiyah (1998) dengan berat jenis 0,9876 g/ml. Dari lima kali mengekstrak, rendemen ekstrak yang diperoleh rata-rata 0,98 %, hasil ini sama dengan yang dihasilkan oleh Adawiyah (1998) dengan rendemen 1,0 %.

Untuk menguji apakah pelarut etil asetat dan ekstrak yang diperoleh mempunyai aktivitas antimikroba atau tidak terlebih dahulu dilakukan pengujian aktivitas antimikroba menggunakan uji difusi sumur. Hasil uji aktivitas antibakteri pelarut etil asetat dan ekstrak biji atung dengan jumlah ekstrak 64,1 mg persumur, menggunakan difusi sumur disajikan pada Gambar 6 dan data pengukuran diameter zona hambat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Diameter zona penghambatan (daerah bening) beberapa jenis bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung dengan jumlah ekstrak persumur 64,1 mg.

Jenis bakteri Diameter zona hambat (mm) Keterangan S. aureus B. subtilis P. fluorescens E. coli L. plantarum 34 26 38 23 8

Terbentuk 2 zona : bening dan keruh

Tbtk 2 zona, setelah 24 jam tmbh kembali

Tbtk 2 zona : bening dan keruh Tbtk 2 zona : bening dan keruh

Dari hasil uji difusi sumur pada mikroba P. fluorescens menunjukkan bahwa pelarut etil asetat tidak bersifat menghambat (Gambar 6c) dengan demikian tidak mempengaruhi nilai aktivitas senyawa antimikroba biji atung, hasil ini

48

Gambar 6 : Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai bakteri uji ( jumlah ekstrak per sumur 64,1 mg).

MenurutKirby dan Bauer yangdikutip oleh Hugo dan Russel (1983), pada antibiotik bila diameter zona hambat besar sama dengan 17 mm dikelompokkan pada bakteri yang sensitif terhadap antimikroba yang diuji dan bila diameter zona hambat berkisar antara 14-16 mm tergolong sedang dan bila diameter zona hambat kecil dari 14 mm, mikroba yang diuji tergolong resisten terhadap anti- mikroba yang diuji. Dengan demikian dari Tabel 1, bakteri S. aureus, P. fluorescens, E. coli dan B. subtilis bersifat sensitif dan L. plantarum resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung, terhadap S. aureus dan P. fluorescens yaitu dua bakteri perusak pangan sangat peka.

S. aureus P. fluorescens E. coli B. subtilis Etil asetat L. plantarum

a

b

c

B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN BAKTERI (MIC)

Dalam penelitian ini digunakan 5 jenis bakteri yang mewakili kelom- poknya masing-masing yaitu S. aureus mewakili bakteri patogen penghasil toksin, Gram positif, B. subtilis mewakili bakteri pembentuk spora Gram positif, E. coli mewakili bakteri patogen Gram negatif, P. fluorescens mewakili bakteri pembusuk, Gram negatif, dan L. plantarum mewakili bakteri pembusuk Gram positif. Penentuan MIC dari lima kelompok bakteri ini tujuannya adalah untuk menentukan dan membandingkan nilai MIC dari masing-masing bakteri dan nilai MIC ini akan digunakan sebagai standar untuk penentuan dosis pada penelitian tahap berikutnya.

MIC ditentukan menurut Kubo (1992) yaitu didefinisikan sebagai konsen- trasi terendah dari ektsrak etil asetat biji atung yang menyebabkan tidak tumbuhnya bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam. Bakteri uji ditumbuhkan pada media cair nutrient broth (NB), kecuali L. plantarum ditumbuhkan pada media MRS, diinkubasi pada suhu 370C dan suhu 300C untuk P. fluorescens dengan cara digoyang dengan kecepatan goyangan 150 rpm. Penentuan MIC ditentukan dengan cara menumbuhkannya pada media agar, dinyatakan dengan tumbuh atau tidak tumbuh dan dengan menggunakan metode kekeruhan (turbidity) menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Hasil pengukuran absorbansi dengan metode kekeruhan diamati pada panjang gelombang ( ) 660 nm menggunakan spektrofotometer, sebagai blanko dipakai media nutrient broth ditambah ekstrak susuai dengan perlakuan. Data pertumbuhan untuk penentuan MIC disajikan pada Lampiran 2 s/d 10. Data absorbansi yang diperoleh menunjukkan hasil yang tidak akurat oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk penentuan nilai MIC. Hal ini juga dinyatakan oleh Murhadi (2001). Ketidak akuratan disebabkan karena ekstrak etil asetat tidak larut dalam medium cair NB yang menggunakan air sebagai pelarut. Data pengukuran nilai MIC menggunakan metoda hitungan cawan disajikan pada Tabel 2.

50

Tabel 2. Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ekstrakbiji atung terhadap 5 jenis bakteri uji

Jenis Bakteri MIC ( % v/v ) MIC ( mg/ml)

S. aureus 0,3 3,20

B. subtilis 0,5 5,34

E. coli 0,5 5,34

P. flourescens 0,3 3,20

L. plantarum > 2,5 >26,70

1. S. aureus dan P. fluorescens

Konsentrasi ekstrak yang digunakan untuk penentuan nilai MIC bakteri S. aureus dan P. fluorescens adalah lebih kecil dari 0,7 % yaitu 0, 0.4, 0.45 , 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v), penentuan konsentrasi ini didasarkan dari nilai MIC hasil penelitian terdahulu dari Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998).

Hasil pengujian tumbuh atau tidak tumbuh pada media agar, baik S. aureus (Lampiran 2) maupun P. fluorescens (Lampiran 4) ternyata semua perlakuan tidak menunjukkan pertumbuhan. Kemudian konsentrasi ekstrak diturunkan dari 0,4 % yaitu 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.35 dan 0.4 % untuk S. aureus dan P. fluorescens. Pada Lampiran 3 dan Lampiran 5, diperoleh nilai MIC S. aureus 0,3 % (v/v) dan nilai MIC P. fluorescens juga 0,3 % (v/v) yaitu batas konsentrasi yang terendah yang menyebabkan tidak tumbuhnya S. aureus dan P. fluorescens setelah inkubasi 24 jam dengan ekstrak etil asetat biji atung..

Hasil penelitian Moniharapon (1998) menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat biji atung memiliki nilai MIC 0,75 % (v/v) untuk S. aureus dan 0,7 % (v/v) untuk P. aeruginosa, hasil penelitian Adawiyah (1998) nilai MIC P. aeruginosa 4,5 % (v/v). Nilai MIC hasil penelitian Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998) ini lebih tinggi dari nilai MIC S. aureus dan P. fluorescens dari hasil penelitian ini yaitu 0,3% (v/v). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kepekatan dari ekstrak yang digunakan. Pada penelitian Moniharapon (1998) berat jenis ekstrak yang digunakan adalah 1,0 g/ml, pada penelitian Adawiyah (1998) kepekatan ekstrak 0,9876 g/ ml dalam penelitian ini ekstrak dipekatkan sampai berat ekstrak relatif konstan yaitu 1,0682 g/ml

Pada umumnya senyawa antimikroba yang berasal dari bumbu bersifat lebih sensitif terhadap bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram negatif (Nychas, 1995). Dari hasil penelitian aktifitas penghambatan S. aureus dan P. fluorescens adalah sama, hasil ini tidak jauh berbeda dari yang dihasilkan oleh Moniharapon (1998) terhadap bakteri S. aureus dan P. aeruginosa yang mem- punyai nilai MIC yang hampir sama (0,75 % dan 0,7 % berturut-turut). Menurut Kubo et al (1995) dan Nychas (1995) sangat sedikit senyawa fitokimia yang berpotensi menghambat bakteri Gram negatif. Ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram negatif adalah destilat dari ekstrak heksan daun Ilex paraguayensis (Kubo et al., 1993), komponen flavor dari minyak zaitun/Olea europaea L (Kubo et al., 1995), destilat daun Perilla frustescens (Kang et al, 1992), ekstrak metanol dan fraksi etil asetat dari daun teh hijau Jepang (Sakanaka et al, 1989).

2. E. coli

Keragaman laju penghambatan diantara Gram negatif juga ditemukan oleh Nychas, (1995). E. coli relatif lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan P. fluorescens yang sama-sama bakteri Gram negatif. E. coli. mempunyai nilai MIC 0,5 % (v/v) (Lampiran 10) lebih besar dari nilai MIC P. fluorescens yaitu 0,3 % (v/v). Pada penelitian Murhadi (2002) nilai MIC E. coli 3,35 mg/ml lebih rendah aktivitasnya dari nilai MIC P. fluorescens 3,95 mg/ml, hal ini dapat disebabkan karena Murhadi (2002) menggunakan ekstrak yang berbeda yaitu ekstrak metanol biji atung sehingga bahan yang terlarut di dalam ekstrak berbeda. Ketahanan E. coli dibandingkan dari bakteri lain juga ditemukan pada banyak antibiotik seperti makrolides, novobiosin, rifampisin, lincomisin, clindamisin dan asam fusidat (Nikaido dan Vaara, 1985).

Menurut Nikaido dan Vaara (1985) E. coli tergolong bakteri enterik, Gram negatif, bakteri golongan enterik ini mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam mempertahankan diri dibandingkan dari bakteri Gram negatif lainnya. Ketahanan E. coli menurut Nikaido dan Vaara (1985), disebabkan oleh karena E. coli termasuk bakteri enterik yang permukaan luarnya mempunyai rantai polisakarida dari lipopolisakarida (LPS) yang bersifat hidrofilik, selain itu

52

ketahanannya juga disebabkan oleh polisakarida asam yang terdapat pada kapsul yang ditemukan dalam jumlah nyata. Dan semua protein utama yang terdapat pada membran luar sel dari E. coli adalah protein asam. Polisakarida asam pada bakteri enterik ditemukan dalam bentuk asam colanat (antigen M) yang disusun dari glukosa, galaktosa, frukosa dan asam glukoronat. Asam ini dibuat pada keadaan lingkungan tidak mendukung pertumbuhan terutama jika bakteri keluar dari saluran pencernaan.

Ketahanan bakteri enterik terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang lebih besar dibandingkan dari bakteri Gram negatif lain juga ditemukan oleh Moniharapon (1998) dan Adawiyah (1998). Dari hasil penelitian Moniharapon (1998) Salmonella typhimurium yaitu bakteri enterik Gram negatif lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung (MIC =0,75 mg/ml) dibandingkan P. aeruginosa (MIC=0,70 mg/ml). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Adawiyah (1998) dimana S. typhimurium mempunyai nilai MIC=6,0 mg/ml lebih besar dari nilai MIC P. aeruginosa yaitu 4,5 mg/ml.

3. L. plantarum

Pertumbuhan bakteri L. plantarum di dalam medium yang mengandung ekstrak etil asetat biji atung sampai konsentrasi 2,5 % atau penambahan ekstrak 36,7 mg/ml (Lampiran 6,7,8) masih terjadi pertumbuhan. Hasil ini sejalan dengan hasil uji difusi sumur dimana bakteri menunjukkan diameter zona penghambatan yang sangat kecil (8 mm). Diameter zona hambat yang sangat kecil dan tidak tumbuhnya L. plantarum sampai konsentrasi 2,5 % menunjukkan bahwa L. plantarum resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung, hal ini menguntungkan karena L. plantarum merupakan salah satu bakteri asam laktat yang bermanfaat, baik dalam proses fermentasi maupun sebagai bahan pengawet alami. Bahan aktif senyawa antimikroba ekstrak etil asetat biji atung adalah fenolik (Adawiyah, 1998 ), dan minyak atsiri (Murhadi, 2002). Aktivitas antimikroba sebagian besar minyak atsiri juga merupakan kontribusi senyawa fenolik. Senyawa fenolik yang bersifat bakterisidal terhadap L. plantarum adalah oleuropein aglikon dan asam elenolat dari zaitun (Federici dan Bongi, 1983 di dalam Nychas, 1995).

L. plantarum termasuk bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari bermacam-macam jenis peptidoglikan. Jenis peptidoglikan yang dominan dari genus Lactobacillus adalah jenis Lys-D-Asp (Pot, et al, 1994). Bakteri Gram positif selain mengandung peptidoglikan juga mengandung asam teikoat. Menurut Volk dan Wheeler (1988) semua bakteri Gram positif mengandung asam teikoat tipe gliserol yang terikat pada membran yang disebut dengan asam lipoteikoat, tetapi tidak semua bakteri Gram positif mempunyai asam teikoat yang terikat pada peptidoglikan. Asam lipoteikoat mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang, bersifat polar berikatan pada sejumlah kecil glikolipid bersifat hidrofobik. Pada beberapa organisme, asam lipoteikoat muncul pada permukaan dinding sel. L. plantarum mempunyai asam lipoteikoat yang muncul pada permukaan dinding sel . Diperkirakan ketahanan bakteri L. plantarum terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena sifat polar dari asam lipoteikoat dan asam teikoat yang terdapat pada dinding sel yang tidak dapat ditembus oleh senyawa ekstrak etil asetat yang lebih bersifat semi polar menuju nonpolar.

4. B. subtilis

Pada Lampiran 9, dapat dilihat pertumbuhan bakteri B. subtilis di dalam media NB yang mengandung ektrak etil asetat biji atung pada konsentrasi 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v) selama 24 jam. Sampai konsentrasi 0,6 % mikroba masih tumbuh akan tetapi jumlah mikroba yang tumbuh dari konsentrasi 0,55 dan 0,6 % sudah dikatakan tidak berubah yaitu 101 sel/ml. Dengan demikian nilai MIC B. subtilis adalah 0,5 %. Hal ini disebabkan karena spora yang dihasilkan oleh B. subtilis, yang memperlihatkan resistensi. B. subtilis adalah bakteri pembentuk spora (endospora), endospora adalah bentuk dorman dari sel yang mempunyai korteks yang tebal yang tahan terhadap beberapa perlakuan seperti panas, UV dan bahan kimia (Foster, 1994).

Bila dibandingkan nilai MIC ke 5 jenis bakteri yang diuji dengan metoda difusi sumur hasilnya tidak jauh berbeda, yang agak berbeda adalah P. fluorescens, dimana nilai MIC P. fluorescens sama dengan nilai MIC S. aureus, sementara pada uji difusi sumur P. fluorescens paling sensitif. Dari ke lima jenis

54

bakteri tersebut terhadap ekstrak etil asetat biji atung bakteri S. aureus dan P. fluorescens paling sensitif dengan ketahanan yang sama, diikuti oleh E. coli dan P. fluorescens dan bakteri paling tahan adalah L. plantarum .

C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus DAN P. fluorescens

PADA DOSIS DI BAWAH MIC

Penelitian pola inaktivasi bakteri di bawah dosis MIC dimaksudkan untuk menentukan pola regenerasi serta fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung. Penentuan pola inaktivasi ini dilakukan secara deskriptif menurut Parish dan Davidson (1993) dengan metode kontak di dalam media cair NB. Penghitungan jumlah bakteri yang hidup pada selang waktu tertentu ditentukan dengan metoda hitungan cawan. Menurut Hugo dan Russel (1983) penghitungan jumlah bakteri yang kontak dengan antimikroba setelah waktu tertentu menggunakan metoda kekeruhan tidak disarankan karena dapat menimbulkan kesalahan hasil, karena adakalanya mikroba yang kontak dengan antimikroba dapat membentuk filamen atau tidak dapat membelah. Sel yang tidak dapat membelah atau membentuk filamen ukurannya menjadi sangat besar dan panjangnya dapat meningkat sampai 50 kali dari normal. Peningkatan ukuran sel menyebabkan kultur menjadi lebih keruh, dengan metoda hitungan cawan kesalahan dapat dihindarkan karena satu sel menghasilkan satu koloni.

Dalam penelitian ini diperlakukan berbagai tingkat dosis ekstrak biji atung dari 0 s/d 1,0 MIC selama 40 jam dan diamati pada selang waktu 3 jam. Tidak samanya dosis ekstrak yang diperlakukan dalam penelitian ini adalah semata-mata karena alasan teknis untuk memudahkan pelaksanaan. Pola inaktivasi diperoleh dengan cara memplot log jumlah bakteri terhadap waktu kontak. Hasilnya disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC

56

1. Pola Umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens di bawah Nilai MIC

Pada Gambar 7, penambahan ekstrak etil asetat biji atung mempengaruhi pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens. Pola inaktivasi dipengaruhi oleh dosis dan lamanya waktu kontak dengan ekstrak biji atung. Terdapat tiga bentuk pola inaktivasi pada bakteri S. aureus (Gambar 7a) yaitu pada dosis rendah (0,3 MIC) penambahan ekstrak biji atung menekan atau menghambat pertum- buhan, pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0.35, 0.66, 0.83, 0.9 dan 0.93 MIC pola inaktivasi menurun untuk waktu tertentu kemudian meningkat kembali (regenerasi), dan pada dosis yang mendekati MIC (0,96 dan 1,0 MIC) pola inaktivasi menurun dan tidak terjadi pertumbuhan kembali sampai waktu pengamatan 24 jam. Pola inaktivasi ini mirip dengan pola inaktivasi S. aureus (MRSA) oleh asam anacardic dan totarol (Muroi dan Kubo, 1996) dan mirip dengan pola inaktivasi S. aureus oleh ekstrak metanol dari Azadirachta indica A. Juss (Meliaceae) (Okemo, 2001).

Pola yang sama juga diamati pada bakteri P. fluorescens (Gambar 7b), pada dosis rendah ekstrak biji atung (0,1 dan 0,2 MIC) menekan pertumbuhan dan pada dosis yang lebih tinggi (0,5 MIC) ekstrak biji atung memperlihatkan efek statik. Di atas dosis 0,5 MIC yaitu pada dosis 0.64, 0.71, 0.86 dan 1.0 MIC pola inaktivasi menunjukkan pola penurunan, dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak penurunan semakin curam, pada konsentrasi yang dicobakan ini tidak terjadi pertumbuhan mikroba kembali (regenerasi). Pola pertumbuhan kembali pada bakteri P. fluorescens diamati pada dosis ekstrak biji atung 0.53, 0.56, 0.58, dan 0.61 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 8b. Pola inaktivasi dari P. fluorescens pada dosis di bawah MIC mirip dengan kurva inaktivasi P. aeruginosa oleh tobramisin, ciprofloxacin dan tikarsilin (Craig, 1998) dan E. coli oleh kloramfenikol, tetrasiklin dan sefaloridin.

2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens

Pada Gambar 8, bentuk pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens adalah sama, mula-mula turun dan kemudian mengalami regenerasi (tumbuh kembali). Pola regenerasi S. aureus dihasilkan dari perlakuan ekstrak biji atung pada dosis lebih tinggi dari dosis penghambatan pertumbuhan yaitu 0.66,

0.83, 0.90 dan 0.93 MIC. Pada dosis 0,66 MIC bakteri mengalami penurunan jumlah kira-kira 1 siklus log sampai jam ke 6 pengamatan dan pada jam ke 8 bakteri ini mengalami regenerasi sampai jam ke 24, pada jam ke 24 ini jumlah sel melebihi jumlah awal sel. Pada dosis yang lebih tinggi yaitu 0,83 MIC penurunan jumlah bakteri lebih besar yaitu kira-kira turun 2 siklus log sampai jam ke 12, dan pada jam ke 16 bakteri mulai tumbuh kembali tetapi jumlah bakteri pada akhir pengamatan tidak sampai melebihi jumlah awal (waktu 0). Pada dosis 0,9 MIC pola regenerasi tidak jauh berbeda dari perlakuan 0,83 MIC yaitu menurun sampai jam ke 12 sebesar 2 siklus log kemudian jam ke 16 meningkat kembali dan peningkatannya lebih kecil dari perlakuan 0,83 MIC. Pada dosis 0,93 MIC bakteri S. aureus tidak mengalami regenerasi, sampai jam ke 24 terjadi penurunan.

Pola pertumbuhan kembali juga diamati pada bakteri S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) pengaruh asam anacardic dan totarol. (Muroi dan Kubo, 1996). Pertumbuhan MRSA oleh 0,5 MIC asam anacardic menurun kira-kira 1 siklus log dari jumlah awal sel 106 selama 6 jam inkubasi dan tumbuh kembali yang jumlahnya melebihi jumlah awal sel (107) pada jam ke 24. Pertumbuhan kembali MRSA oleh totarol juga diamati mulai konsentrasi (0,5- 1,0) MIC . Pada 0,5 MIC MRSA turun kira-kira 0,5 siklus log selama 2 jam inkubasi kemudian tumbuh kembali sampai menyamai kontrol pada jam ke 24, sedangkan pada 1,0 MIC MRSA turun sampai batas limit deteksi (102) pada jam ke 6 kemudian tumbuh meningkat menyamai jumlah awal sel pada jam ke 24. Pada bakteri P. fluorescens dosis yang diperlakukan adalah 0.53, 0.58 dan 0.61 MIC diamati setiap 2 jam selama 12 jam. Pola regenerasi agak sedikit berbeda dari pola regenerasi S. aureus, pada bakteri S. aureus tidak terdapat fase adaptasi sedang pada bakteri P. fluorescens terdapat fase adaptasi sampai jam ke 4 yang ditemui pada semua tingkat perlakuan. Pola inaktivasi pada ke tiga tingkat dosis tersebut tidak begitu berbeda yaitu sampai jam ke 4 mikroba dalam keadaan statis setelah itu baru turun kira-kira 2 siklus log sampai jam ke 6 dan bertahan jumlahnya sampai jam ke 8 dan setelah jam ke 8 bakteri ini tumbuh kembali sampai jam ke 10 dan bertahan sampai pengamatan jam ke 12.

Fenomena pertumbuhan kembali sering diamati terjadi pada mikroba yang diperlakukan pada suatu agen antimikroba pada dosis yang tidak mematikan.

58

Pertumbuhan kembali menurut Akers dan Tailor ( 1994 ) dapat terjadi karena bermacam-macam alasan diantaranya pengawet kehilangan stabilitas atau aktifitas selama pengujian, atau terjadinya mutasi pada sel mikroba.

Menurut Fardiaz (1992), penambahan agen antimikroba pada dosis yang tidak cukup mematikan dapat menyebabkan sel bakteri mengalami kerusakan menyebabkan sel menjadi sakit atau stres. Sel yang sakit pertumbuhannya dapat terhambat untuk waktu tertentu dan kemudian tumbuh kembali. Dalam penelitian ini penambahan ekstrak etil asetat pada dosis di bawah MIC menyebabkan pertumbuhan kembali (regenerasi) pada bakteri S. aureus dan P. fluorescens (Gambar 8).

Gambar 8. Pola regenerasi bakteri (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens oleh ekstrak biji atung.

Terjadinya pola regenerasi menandakan bahwa penambahan ekstrak biji atung pada bakteri S. aureus dan P. fluorescens pada dosis di bawah MIC menyebabkan sakit. Mikroba yang sakit tidak dapat dideteksi menggunakan media pertumbuhan yang biasa dan mikroba ini dapat bertahan untuk waktu tertentu sampai kondisi nutrisi dan lingkungan mendukung untuk pertumbuhan (Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Kejadian ini perlu diwaspadai karena tidak terdeteksinya mikroba yang sakit sangat berbahaya, tidak saja karena mikroba patogen yang

4 5 6 7 8 0 10 20 30 Waktu ( Jam ) Log N 0,66 MIC 0,83 MIC 0,9 MIC 0,93 MIC 6 7 8 9 10 11 0 5 10 15 Waktu (Jam) Log N 0 MIC 0,53 MIC 0,58 MIC 0,61 MIC a b

berbahaya bagi kesehatan tetapi juga pada mikroba pembusuk yang dapat merusak produk pangan sewaktu-waktu bila lingkungan mendadak berubah kearah merangsang pertumbuhan.

Mikroba yang sakit oleh kerusakan subletal dapat dideteksi dari ketidak- mampuannya untuk membentuk koloni pada medium padat yang biasa digunakan untuk sel sehat. Sel yang mengalami kerusakan subletal sensititifitasnya hilang terhadap senyawa penghambat (selektif) dan dapat disembuhkan dengan medium yang kaya nutrien, tetapi tidak mengandung senyawa yang bersifat menghambat (nonselektif) ( Silliker, 1980; Jay, 1986 dan Fardiaz, 1992). Berdasarkan prinsip perbedaan kemampuan mikroba tumbuh dalam kedua media ini yaitu media selektif dan media non selektif maka jumlah sel yang sakit dapat dihitung. Mikroba yang tumbuh pada media selektif hanya mikroba yang sehat sementara pada media nonselektif adalah mikroba yang tumbuh adalah mikroba yang sehat dan mikroba yang sakit yang telah mengalami penyembuhan.

3. Penyembuhan S. aureus

Di dalam penelitian ini, penghitungan jumlah mikroba yang sakit hanya dilakukan pada mikroba S. aureus. Media penyembuhan yang digunakan sebagai media nonselektif adalah TSA (Trypticase Soy Agar) ditambah yeast ekstrak 0,5 % (TSYE) dan media TSAS_YE yaitu media TSA yang di tambah ekstrak yeast 0,5 % dan garam NaCl 7,5 % sebagai media selektif. Media ini sudah banyak dilakukan untuk menghitung bakteri S. aureus yang sakit karena kerusakan subletal oleh aw rendah (Soekarto et. al., 1984 ), panas ( Jay, 1987 ). Kosentrasi

ekstrak yang ditambahkan untuk membuat bakteri S. aureus sakit adalah 0,3 MIC dan 0,85 MIC. Plot hasil logaritma jumlah S. aureus yang hidup selama 8 jam di dalam ekstrak etil asetat biji atung 0,3 MIC dan selama 48 jam di dalam ekstrak 0,85 MIC menggunakan medium TSA-YE dan TSAS-YE disajikan pada Gambar 9.

Dari gambar 9, terdapat perbedaan jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE dengan media TSAS-YE pada dosis 0,85 MIC untuk setiap waktu pengamatan. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE lebih besar dari jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSAS-YE sementara pada dosis 0,3

60

MIC perbedaan jumlah yang tumbuh pada media TSA-YE dengan media TSAS- YE sedikit sekali. Pada Gambar 8 penambahan ekstrak biji atung pada dosis 0,3 MIC tidak menyebabkan sel S. aureus mengalami regenerasi, pada dosis ini

Gambar 9. Pertumbuhan bakteri S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSAS- YE yang mengandung ekstrak etil asetat biji atung pada dosis (a) 0,3 MIC, tidak ada sel S. aureus yang stres dan (b) 0,8 MIC, terdapat S. aureus yang stres.

ekstrak hanya menghambat pertumbuhan. Dengan demikian media ini dapat digunakan untuk mendeteksi bakteri S. aureus yang sakit oleh ekstrak etil asetat biji atung. Jumlah S. aureus yang tumbuh pada media TSA-YE adalah S. aureus yang sehat dan sakit yang berhasil disembuhkan pada media TSA-YE. Bakteri yang tumbuh pada media TSAS-YE adalah bakteri yang sehat saja, bakteri yang sakit tidak dapat tumbuh pada di dalam media TSAS-YE karena adanya garam sebagai senyawa penghambat (selektif). S. aureus yang sakit dari penambahan ekstrak etil asetat biji atung 0,8 MIC selama 48 jam adalah 18,15 %. Jumlah sel

Dokumen terkait