• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur

F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTER

Pengamatan perubahan struktur seluler bakteri dimaksudkan untuk menentukan mekanisme inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang diamati dalam penelitian ini adalah S. aureus yang mewakili bakteri Gram positif dan P. fluorescens mewakili bakteri Gram negatif. Pengamatan morfologi menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan pengamatan ultrastruktur menggunakan transmission electron microscopy (TEM).

1. S. aureus

Perubahan-perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus diamati setelah sel S. aureus dikontakkan dengan ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0, 0.35, 0.5, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC selama 4 jam.

a. Perubahan Morfologi S. aureus

Pada Gambar 15, dapat dilihat perubahan morfologi sel S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis. Beberapa perubahan yang dapat diamati adalah terbentuknya tonjolan kecil pada permukaan sel (blebs), sel mengeluarkan cairan dan terbentuknya sel ghost.

Terbentuk Tonjolan Kecil (blebs)

Menurut Klainer (1974), sel S. aureus berbentuk bulat dengan permukaan licin dan homogen (Gambar 15g), sel ini sama bentuknya dengan yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak etil asetat biji atung (kontrol) yang dapat dilihat pada Gambar 15a. Namun adanya jembatan yang unik sebagai penghubung antar sel seperti Gambar 15g, tidak jelas kelihatan. Pada penambahan ekstrak etil asetat 0,35 MIC menyebabkan sel yang tadinya licin mulai terbentuk tonjolan-tonjolan kecil (blebs) pada permukaan sel, semakin tinggi dosis (0,7 dan 1,0 MIC) tonjolan semakin banyak (Gambar 15c). Pada dosis 1,0 MIC selain ditemukan tonjolan-tonjolan yang semakin banyak sebahagian sel permukaannya menjadi kasar. Hasil studi Ruiz-Barba et al (1990) dan Tassou (1993) yang dikutip oleh Nychas (1995) bahwa sel S. aureus yang dikontakkan

Model Pflug dan Holcomb (1983) adalah

log N

t

=log n

o

- t/D

dimana N

t

adalah jumlah bakteri yang masih hidup setelah kontak selama waktu t

n

o

adalah titik potong garis lurus dengan sumbu y (jumlah awal semu bakteri)

t adalah waktu kontak (jam)

D adalah parameter waktu untuk membunuh 90% bakteri

Hasil analisis regresi liner least-squares dari kurva kematian logaritmik dari

bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli menggunakan model Pflug dan Holcomb

(1983) disajikan pada Tabel 4. Untuk bakteri E. coli fase bahu (fase 1) dimulai dari

jam 0 sampai jam ke 4 diasumsikan satu garis lurus dan fase kematian (fase 2) dari

jam ke 5 sampai akhir pengamatan juga diasumsikan satu garis lurus. Dengan

demikian ada dua persamaan dengan dua nilai D didapat.

Hasil analisis regresi dari Tabel 4, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis

nilai D semakin kecil, berarti laju kematian bakteri semakin cepat. Nilai D pada setiap

dosis yang sama dari S. aureus nilainya lebih kecil dari nilai D P. fluorescens dan

nilai D E. coli paling besar dari ketiga bakteri uji baik untuk fase adaptasi (bahu)

maupun untuk fase kematian (ekor).

Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan untuk menentukan

nilai D bakteri P. aeruginosa oleh Moniharapon (1998) pengaruh ekstrak etil asetat

biji atung. Nilai D P. aeruginosa dari hasil penelitian Moniharapon (1998) lebih

kecil dari nilai DP. fluorescens dari hasil penelitian ini pada dosis dan ekstrak yang

sama menggunakan metode Pflug dan Holcomb (1983). Pada dosis 1,0 MIC nilai D

84

Tabel 4. Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus dan P. fluorescens

penelitian Moniharapon (1998) pada 1 MIC 1,4 jam (83,33 menit). Perbedaan ini

dapat disebabkan penentuan nilai MIC pada jam yang berbeda. Pada penelitian

Moniharapon (1998) nilai MIC pada jam ke 8 mikroba sudah tidak tumbuh lagi

sedangkan dalam penelitian ini nilai MIC di tetapkan pada dosis yang menyebabkan

tidak terjadinya pertumbuhan pada waktu mendekati 24 jam (Gambar 10). Selain itu

perbedaan nilai D dapat juga disebabkan karena perbedaan spesies. Menurut Orth

(1994), organisme yang berbeda mempunyai karakteristik fisiologi dan metabolisme

yang berbeda akibatnya mereka memperlihatkan perbedaan dalam laju kematian bila

dikontakkan pada dosis yang mematikan.

Metode Pflug dan Holcomb (1983) juga telah digunakan oleh Orth (1994)

untuk mengevaluasi dan menguji pengawet dari produk-produk farmasi. Orth (1984)

menentukan nilai D dari bakteri S. aureus oleh metilparaben menggunakan model

Pflug dan Holcomb (1983) menghasilkan nilai D S. aureus oleh metilparaben pada

dosis 0,2 mg/ml adalah 4 jam (Orth, 1994). Nilai D S. aureus oleh metilparaben hasil

penelitian Orth (1984) ini lebih kecil dari nilai D S. aureus pengaruh ekstrak etil

asetat biji atung yaitu 3.14 jam pada dosis 3.20 mg/ml. Menurut Orth (1994)

tergantung dari kriteria yang digunakan, jika bakteri patogen harus dibunuh dalam 24

jam agar populasi bakteri yang berjumlah 10

6

sel /ml agar dapat diinaktifkan secara

sempurna nilai D harus lebih kecil atau sama dengan 4 jam. Dari penelitian ini ketiga

bakteri yang diuji yaitu S. aureus, P. fluorescens dan E. coli mempunyai nilai D yang

86

b. Nilai z

Nilai z pada proses termal merupakan parameter hubungan nilai D pada

berbagai suhu pemanasan. Nilai z menyatakan rentang suhu yang diperlukan untuk

menurunkan satu siklus log D pada kurva resistensi termal (Stumbo, 1973). Kurva

resistensi termal dibuat dengan cara memplot nilai log D pada berbagai suhu. Pada

proses termal hubungan nilai D dengan suhu dinyatakan oleh Stumbo (1973) pada

persamaan (5) yaitu :

Log D

2

– logD

1

= 1/z (T

1

-T

2

)

atau

Log D

1

= Log D

2

– (T

2

-T

1

)/z...(7)

Analog dengan rumus (7) hubungan nilai D dengan berbagai dosis (d) ekstrak biji

atung pada bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli dapat diturunkan menjadi

rumus (8):

Log D

1

= Log D

2

– (d

2

– d

1

)/z...(8)

dengan mengganti (d

2

– d

1

) pada persamaan (8) dengan d diperoleh hubungan :

Log D= Log D

0

– d/z...(9)

dimana

D

0

= titik potong kurva pada dosis = 0

z = rentang dosis untuk melewati satu siklus log D

Dengan menggunakan persamaan 9, nilai z S. aureus, P. fluorescens dan E.

coli oleh ekstrak biji atung dapat ditentukan yaitu dengan cara memplot log D

melawan dosis (dalam satuan MIC dan mg/ml) menggunakan regresi liner least-

squares yang kurvanya disajikan pada Gambar 11. Kurva garis lurus yang diperoleh

Sel berbentuk L ditemui pada penggunaan antibiotik, antiseptik dan fenol (Gilberl,1984). Sel L-form adalah mutan yang stabil yang telah kehilangan kemampuan untuk membentuk membran luar sel, mureuin saculus dan mereka telah terbukti mempunyai sistem ekspressi alternatif (Ripman et al, 1998).

2. Pseudomonas fluorescens

Perubahan morfologi dan ultrastruktur sel bakteri P. fluorescens diamati pada dosis yang sama dengan bakteri S. aureus yaitu 0, 0.35, 0.7, 1.0 dan 1.2 MIC dengan waktu kontak 4 jam.

a. Perubahan Morfologi P. fluorescens

Beberapa perubahan morfologi sel P. fluorescens setelah dikontakkan pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam dapat diamati pada Gambar 19 dan Tabel 9. Gambar 19a adalah gambar sel normal dari bakteri P. fluorescens tanpa perlakuan ekstrak etil asetat biji atung. Sel normal ini berbentuk batang agak bulat dengan panjang sel kira-kira 1,12- 1,42 m (Tabel 9). Setelah ditambah ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,35 MIC sel menjadi lebih panjang menjadi 1,67-2,0 m dan pada beberapa sel yang panjang tersebut terdapat lekukan (Gambar 19b). Panjangnya sel disebabkan terbentuknya lendir yang memanjang pada permukaan sekujur tubuh sel, dan beberapa memper- lihatkan seperti selongsong kosong, diperkirakan selongsong kosong tersebut

Tabel 9. Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung.

Dosis Ekstrak (MIC) Panjang sel ( m) Lebar ( m)

Kontrol (0) 1,12-1,42 0,50 - 0,67

0,35 1,67-2,0 0,47- 0,59

0,7 1,16-2,33 0,33 -0,55

93

Gambar 19. Scanning electron microscope (SEM) dari sel bakteri P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung dengan waktu kontak 4 jam

a. sel P. fluorescens normal ( kontrol), b 0,35 MIC, terdapat lendir membentuk selongsong sel, lekukan sel, c. 0,7 MIC, terdapat lebih banyak lekukan d. 1,0 MIC pada perbesaran 10.000k, sebahagian sel hancur dan lekukan masih ditemukan e. 1,0 MIC pada perbesaran 15.000k.

a b

c

d

adalah lendir. Diketahui bakteri P. fluorescens adalah bakteri penghasil lendir dan lendir digunakan oleh bakteri untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang tidak menguntungkan.

Terdapatnya lekukan pada beberapa sel diperkirakan sel mempunyai septa yang belum membelah. Pada kontrol dengan waktu inkubasi yang sama dengan yang diperlakukan dengan ekstrak yaitu selama 4 jam, tidak ditemukan septa sepertinya proses pembelahan telah selesai terjadi sementara pada perlakuan ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC beberapa masih ditemukan septa yang berarti ekstrak etil asetatbiji atung menghambat proses pembelahan sel. Pada perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,7 MIC lekukan yang ditemukan semakin banyak dengan panjang sel yang lebih beragam berkisar dari 1,16-2,33 m, dan lendir masih ditemukan akan tetapi tidak sebanyak yang dihasilkan pada perlakuan dosis 0,35 MIC. Dengan makin banyaknya lekukan dan makin sedikitnya lendir menunjukkan bahwa pertahanan sel P. fluorescens semakin berkurang. Semakin banyaknya lekukan berarti septa semakin banyak, septa yang semakin banyak mengindikasikan dengan jelas bahwa pertahanan sel menurun oleh peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung. Disini jelas ekstrak etil asetat biji atung menghambat proses pembelahan sel. Perpanjangan sel oleh senyawa antimikroba seperti ini banyak ditemukan dan ditemukan pada perlakuan senyawa antimikroba pada dosis di bawah MIC (Gilber, 1984 dan Gemmel dan Lorian, 1996).

Menurut Gemmel dan Lorian bila panjang sel berbentuk batang melebihi 10 m, disebut filamen. Dari hasil penelitian ini perpanjangan sel P. fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung belum mencapai 10 m dengan demikian belum dapat dikatakan filamen. Menurut Isom et al (1995) panjangnya filamen pada E. coli oleh hidrogen peroksida meningkat dengan meningkatnya waktu. Diperkirakan sel P. flourescens belum cukup waktu kontaknya dengan ekstrak biji atung untuk membentuk filamen. Menurut Gemmel dan Lorian (1996) filamen bakteri adalah hasil pertumbuhan bakteri berbentuk batang yang tidak membelah menjadi individu baru dan bila dipindahkan pada medium bebas stres akan memisah menjadi individu baru. Dan selanjutnya dikatakan filamen dihasilkan pada pemberian antibiotik (Gemmel dan Lorian, 1996), pada pemberian hidrogen

95

peroksida pada konsentrasi rendah (Imlay dan Linn, 1987) dan pada perlakuan suhu di atas suhu optimal pertumbuhan (Rowan, 1999). Menurut Moat dan Foster (1988) pada suhu di atas suhu pertumbuhan kultur terus tumbuh, sintesis RNA, DNA dan protein terus berlanjut tetapi sel membentuk filamen yang menunjukkan pembelahan sel dipengaruhi. Beberapa senyawa antimikroba yang menghasilkan filamen adalah: amoksilin menghasilkan filamen pendek pada E. coli dan sefaleksin, sefoksitin menghasilkan filamen yang panjang pada P. aeruginosa (Gemmel dan Lorian, 1996),

Peningkatan dosis ekstrak etil asetat biji atung menjadi 1,0 MIC, sebahagian sel bakteri P. fluorescens menjadi hancur yang dapat dilihat pada Gambar 19d dan 19e. Pada dosis ini dari sel yang masih utuh tidak terlihat adanya lendir tetapi lekukan masih ditemui. Panjang sel berkisar 1,62-2,25 m, hampir sama dengan perlakuan dosis 0,7 MIC. Artinya mikroba pada dosis ekstrak etil asetat biji atung 1,0 MIC dengan waktu kontak 4 jam, sebahagian sel masih dapat membentuk septa akan tetapi sebahagian sudah lisis. Menurut Gemmel dan Lorian (1996) pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC lisis terjadi pada bagian sel yang memanjang, sitoplasma keluar dan pada konsentrasi di atas MIC filamen berhenti tumbuh dan lisis.

b. Perubahan Ultrastruktur P. fluorescens

Pengaruh ekstrak biji atung pada ultrastruktur bakteri P. fluorescens yang ditumbuhkan pada media cair NA selama 4 jam dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji atung menghasilkan beberapa perubahan yang dapat diamati sebagai berikut: sitoplasma tidak teratur, terbentuk ruang antar sitoplasma dan membran sel, sebahagian sel mengkerut (kolaps), sebahagian sel lisis, terbentuk sel telanjang (sferoplast).

Sel Lisis

Perubahan permeabilitas dinding dapat diamati pada pada Gambar 20b, yaitu pada perlakuan dosis ekstrak etil asetat biji atung 0,35 MIC. Lisis sel dapat disebabkan karena terganggunya enzim-enzim yang mensintesis dinding sel,

Gambar 20. Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens

pengaruh ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam kontak. a. kontrol, b. 0,35 MIC, c. 0,7 MIC, d. 1,0 MIC, e. 1,2 MIC. k= sel mengkerut.

a b

c

d

e

k

97

akibatnya dinding sel melemah dan porositas meningkat. (Gilbert, 1984). Menurut Davidson dan Branen (1980) senyawa fenolik dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel P. aeruginosa menyebabkan sel menjadi lisis. Pengaruh senyawa fenolik pada membran adalah menyebabkan sel lisis karena denaturasi protein (Prindle, 1983).

Gambar 21. Transmission electron microscope (TEM) dari sel P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis 0,7 MIC (a) dan 1,0 MIC (b) dengan waktu kontak 4 jam. S = sferoplast, L= sel bentuk L dan k= sel lisis

Terbentuknya Ruang Antar Sitoplasma dan Membran Sel

Penambahan ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan terbentuknya ruang atau jarak antara membran sitoplasma dengan dinding sel yang gambarnya disajikan pada Gambar 20. Semakin tinggi dosis ekstrak, ruang semakin besar seperti terlihat pada Gambar 20d. Merenggangnya membran sel dari sitoplasma dapat disebabkan porositas membran meningkat akibat melemahnya dinding sel oleh ekstrak etil asetat biji atung. Peningkatan porositas menyebabkan perubahan permeabilitas membran, yang dapat menyebabkan kebocoran sel. Pada Gambar 20b pada perlakuan 0,35 MIC, pada dinding luar sel P. fluorescens terdapat undulasi dengan permukaan tidak semulus kontrol. Diperkirakan adanya undulasi disebabkan karena perubahan permeabilitas dinding sel, akibat merembesnya cairan sitoplasma keluar sehingga terbentuk ruang antara membran sitoplasma dan sitoplasma. Ruang ini semakin besar dengan semakin lemahnya dinding sel, yang ditunjukkan dengan adanya tonjolan pada permukaan luar sel. Pada keadaan membran tidak dapat menahan tekanan dari sitoplasma maka membran bocor dan

S

L

k

terjadi aliran sitoplasma keluar sel, bila sitoplasma belum keluar maka ruang yang teramati semakin besar seperti yang terlihat pada Gambar 20e.

Terbentuknya ruang antara membran dengan sitoplasma ditemui pada Salmonella heidelberg 3432-2 yang dikontakkan pada magainin 2 yaitu suatu antimikroba peptida yang diisolasi dari glandula katak selama 5 jam dalam BHI broth pada suhu 370C pada dosis 3 g/ml (Abler et al, 1995). Ruang antara membran dan sitoplasma juga ditemui pada S. typhimurium di dalam larutan Na2CO3 pH tinggi yang diberi rangsangan listrik selama 5 menit (Slavik, 1995).

Sel Mengkerut

Aktivitas antimikroba mempunyai kisaran yang berbeda di atas dan di bawah MIC. Pada Gambar 20d dan 20e, terlihat sel mulai mengkerut ( kolaps) pada perlakuan ekstrak biji atung 1,0 MIC dan jumlah sel mengkerut makin banyak pada perlakuan dosis 1,2 MIC. Sel yang mengkerut dapat disebabkan kehilangan sitoplasma yang banyak yang berasal dari kebocoran membran.

Terlepasnya Dinding Sel

Bakteri Gram positif yang dinding selnya terlepas semuanya dengan membran sel yang masih utuh (sel telanjang) disebut dengan protoplas. Pada bakteri Gram negatif dengan perlakuan yang sama sebahagian dari membran luar yaitu protein-lipopolisakarida masih tersisa sedangkan peptidoglikannya habis terlepas, sel seperti ini disebut dengan sferoplast (Volk dan Wheeler, 1988; Joklik et al, 1988). Dari hasil penelitian ini, sferoplast ditemukan pada perlakuan dosis ekstrak 0,7 MIC yang dapat dilihat pada Gambar 21a. Bentuk sferoplast seperti ini juga ditemukan pada sel E. coli yang diperlakukan dengan penisilin selama 90 menit (Joklik et al, 1988).

Sel Berbentuk L (L-form)

Menurut Fass dan Prior (1974) sel berbentuk L adalah sel yang mempunyai bentuk seperti huruf L dengan dinding yang rusak. Salah satu bentuk sel berbentuk L dari hasil penelitian ini adalah sel pada Gambar 21p, pada perlakuan 0,7 MIC. Sel bentuk L mampu bereplikasi dan dapat tumbuh dalam

99

keadaan dindingnya rusak, secara biologi mampu hidup dan memperbanyak diri tanpa dinding sel dengan tidak kehilangan sifat patogenitasnya. Menurut Ripman et al, (1998) sel bentuk L ini mempunyai sistem ekspressi alternatif yang dapat menyebabkan mikroba ini menjadi tidak dikenali.

G. PENGAMATAN KEBOCORAN SEL BAKTERI S. aureus DAN

P. fluorescens OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG

Tujuan dari pengukuran kebocoran sel adalah untuk mengukur derajat kerusakan dinding dan membran sel terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Bakteri yang digunakan dalam pengukuran kebocoran sel adalah S. aureus dan P. fluorescens. Menurut Gilbert (1984) pengamatan kebocoran sel dapat diamati pada dosis yang tidak mematikan yaitu dosis yang menyebabkan mikroba menjadi sakit. Dosis ekstrak ekstrak etil asetat yang diperlakukan dalam penelitian ini agar sel S. aureus dan P. fluorescens menjadi sakit adalah 0, 0.3, 0.5, 0.7 dan 0.9 MIC. Sel S. aureus dan P. fluorescens yang berumur 8 jam yaitu berada dalam fase logaritmik dikontakkan dengan ekstrak biji atung selama 4 jam, hasilnya disajikan pada Gambar 22 dan 23.

1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV pada OD 260 dan 280 nm.

Sel yang mengalami kerusakan tetapi tidak mati seringkali mengalami kebocoran sehingga komponen-komponen sel akan keluar ke medium sekelilingnya (Gilbert, 1984). Pelepasan senyawa intraseluler dapat ditentukan dengan pengujian cairan supernatan sel pada OD 260 dan 280 nm. Pada Gambar 22. terdapat peningkatan absorbansi dari supernatan sel S. aureus dan P. fluorescens yang dikontakkan pada beberapa tingkat dosis ekstrak etil asetat biji atung selama 4 jam. pada panjang gelombang 260 maupun 280 nm. Peningkatan absorbansi menandakan terjadi peningkatan bahan-bahan yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 dan 280nm yang dikeluarkan oleh sel bakteri S. aureus dan P. fluorescens.

Gambar 22. Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap oleh sinar UV pada OD 260 nm dan 280 nm pada sel (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens

.

Peningkatan jumlah absorbansi menandakan meningkatnya jumlah senyawa yang dikeluarkan oleh sel yang dapat diserap pada spektrofotometer UV pada 260 dan 280 nm. Senyawa-senyawa yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm telah diidentifikasikan sebagai sebagai RNA dan turunan RNA yaitu nukleotida dan pada panjang gelombang 280 nm diindentifikasi sebagai protein ( Gilbert, 1984). Menurut Skoog (1985) yang dikutip oleh Park et al (2003) spektrofotometer pada 260 nm dapat mendeteksi purin, pirimidin dan ribonukleotida dan pada 280 nm dapat mendeteksi tirosin dan tiptofan. Meningkatnya jumlah kandungan sel yang ditemukan pada permukaan luar sel menandakan terjadi kerusakan membran sel atau perubahan permeabilititas membran sel. Kerusakan membran dapat dinyatakan dengan keluarnya bahan- bahan yang yang dapat diserap pada 260 nm ke medium lingkungan (McCoy dan Ordal, 1979).

Keluarnya cairan dari sel menandakan sel mengalami kebocoran, yang juga ditemukan pada perlakuan lain pada dosis rendah. BHA dapat menyebabkan kebocoran senyawa-senyawa intraseluler yang dapat diserap dengan sinar UV pada 260 dan 280 nm dari sel P. fluorescens (Davidson dan Branen, 1980) dan dari S. aureus (Degree dan Silvester, 1983). Kebocoran nukleotida intraselluler

260 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 0.3 0.6 0.9 dosis (MIC) Absorbansi 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 0.3 0.6 0.9 1.2 dosis (MIC) Absor bansi pada 260 dan 280 nm 260 nm 280 nm 280 nm 260 nm a b

101

diamati pada S. aureus pengaruh fosfat (0,5% SAPP, TSPP, STPP dan 0,1% SPG) selama 1 jam inkubasi (Lee et al, 1994b). Menurut Hugo (1991) kebocoran adalah fenomena umum yang disebabkan oleh beberapa senyawa antimikroba.

Pada Gambar 22, pada kedua sel ini (S. aureus, P. fluorescens ) terdapat perbedaan pola peningkatan absorbansi, pada sel S. aureus absorbansi pada OD 260 lebih tinggi dari 280nm artinya asam nukleat yang hilang dari sel lebih banyak dari pada protein. Sementara pada sel P. fluorescens tinggi absorbansi antara 260 dengan 280 nm sama berarti terdapat persamaan jumlah asam nukleat dan protein yang dilepaskan dari sel. Asam nukleat adalah senyawa penyusun DNA. Dengan lebih banyaknya hilang asam nukleat pada bakteri S. aureus memperkuat dugaan bahwa ekstrak etil asetat biji atung menggangu DNA yang diperlihatkan dari penghambatan pembentukan dan pemisahan septa. Diperkira- kan sensitifitas sel S. aureus yang tinggi terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan dari P. fluorescens dapat disebabkan karena ekstrak etil asetat biji atung mengganggu DNA yang berfungsi sebagai material genetik sel.

2. Perubahan Kandungan ion K+ intraselluler

Ion K+ adalah kation utama sitoplasma dari sel yang sedang tumbuh (Ultee, 1999). Ion ini berperan dalam aktivasi enzim sitoplasma, menjaga tekanan turgor dan kemungkinan mengatur pH sitoplasma. Keluarnya ion K+ dari sel mengindikasikan terjadinya kerusakan membran bakteri ( Heipieper et al, 1996, Sikkema, 1994). Dari hasil penelitian pengaruh ekstrak etil asetat biji atung terhadap jumlah ion K+ yang dibebaskan oleh sel S. aureus dan P. fluorescens dapat dilihat pada Gambar 23. Pada kedua sel yang diamati yaitu S. aureus maupun P. fluorescens terjadi peningkatan ion K+ yang dilepaskan dengan perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perlakuan yang diberikan membran sitoplasma sel S. aureus dan P. fluorescens sudah mulai mengalami kerusakan. Menurut Heipieper et al, (1996) P. putida P8 yang dikontakkan pada fenol melepaskan ion K+ secara nyata ke lingkungan luar. Selain itu dari sejumlah studi menunjukkan bahwa terpen mempunyai kemampuan untuk merusak membran. Peningkatan permeabilitas ion K+ diamati

Gambar 23. Peningkatan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dibebaskan oleh sel (a) S. aureus dan (b) P. fluorescens setelah dikontakkan dengan ekstrak etil asetat selama 4 jam.

pada B. cereus yang dikontakkan pada 0,25 dan 1mM carvacrol selama 5 dan 9 menit (Ultee, et al, 1999). Kebocoran K+ intraseluler juga diamati pada E. coli pada fase stasioner dan eksponensial yang kontak dengan minyak atsiri dari tanaman tea (Melaleuca alternifolia ) pada konsentrasi 0,25 dan 0,5% selama 20 menit.

Pada Gambar 23 dapat dilihat, peningkatan ion-ion K+ yang dilepaskan oleh S. aureus lebih cepat dibandingkan ion K+ yang dilepaskan oleh P. fluorescens. Pada S. aureus pada dosis 0,3 MIC sudah terjadi peningkatan ion K+ sementara pada P. fluorescens peningkatan ion K+ baru terjadi pada dosis 0,6 MIC dan peningkatan ini berlangsung lebih lambat dengan peningkatan dosis yang sama dibandingkan dari S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa membran sitoplasma sel S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung dibandingkan membran sitoplasma sel P. fluorescens.

Menurut Russel, (1984), manifestasi kerusakan membran didemonstra- sikan dengan kebocoran kandungan intraseluler sel ke lingkungan luar yang dapat diukur dengan lepasnya bahan-bahan yang dapat menyerap 260nm, pentosa atau asam-asam amino atau ion K+. Beberapa senyawa kimia yang dapat merusak

0 20 40 60 80 0 0.3 0.6 0.9 dosis (MIC) Ca+ + d a n K+ yan g d ilep askan (% to tal ) 0 20 40 60 80 100 0 0.3 0.6 0.9 Dosis (MIC)

Ca++ dan K+ yang dilepaskan (%

total) Ca++ K+ Ca++ K+ a b

103

membran sel adalah polimiksin, fenol, amonium kuartener, paraben dan klorheksidin.

3. Kebocoran Ca++

Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada kandungan ion kalsium sel S. aureus dan P. fluorescens juga disajikan pada Gambar 23. Penambahan ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa tingkat dosis di bawah MIC menyebabkan ion Ca yang dilepaskan oleh kedua sel bakteri yang diuji meningkat. Meningkatnya jumlah ion Ca ++ yang dilepaskan oleh sel menandakan dinding sel mengalami kerusakan. Ion Ca++ dan Mg ++berfungsi menghubungkan lipopolisakarida (LPS) pada dinding sel bakteri gram negatif (Nikaido dan Vaara, 1985). Pada bakteri gram positif kation-kation ini berfungsi menghubungkan asam teikoat sebagai penyusun sel. Meningkatnya jumlah ion Ca yang dikeluarkan oleh sel ke ling-

Dokumen terkait