• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut

Sifat fisik belut yang dianalisis adalah derajat keasaman (pH), dan daya mengikat air (WHC). Kandungan gizi belut yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (metode by difference), kadar kalsium, kadar besi, dan kadar fosfor, serta daya cerna protein.

Sifat Fisik Belut

Derajat keasaman (pH). Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya tahan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme (Silvia 2002). Pada pH rendah, sifat fungsional protein sebagai emulsifier sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar yang bersifat hidrofil dan mengikat lemak pada sisi dalam yang bersifat hidrofob (Soeparno 2005).

Derajat keasaman fillet belut hasil analisis adalah 6,1. Menurut Buckle et al (2010), sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu, seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil.

Daya mengikat air (WHC). Menurut Aberle et al. (2001), beberapa sifat fisik daging seperti warna, tekstur, dan kekerasan daging mentah serta sari minyak (juiceness) dan keempukan daging masak dipengaruhi oleh daya mengikat air. Hampir semua prosedur penyimpanan dan pengolahan daging dipengaruhi oleh daya mengikat air jaringan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Persentase mg H2O fillet belut hasil analisis adalah 63,1%. Menurut Soeparno (2005), semakin besar persentase mg H2O yang terikat, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air.

Kandungan Gizi dan Daya Cerna Protein Belut

Analisis kandungan gizi belut meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), kalsium, besi, dan fosfor. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein belut. Data hasil analisis sifat kimia belut disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut Atribut Belut bb bk Air (%) 80,1 - Abu (%) 0,9 4,7 Lemak (%) 0,6 2,8 Protein (%) 15,3 76,7 Karbohidrat (%) 3,1 15,8 Kalsium (mg/100 gr) 387 - Besi (mg/ 100 gr) 109,7 - Fosfor (mg/ 100 gr) 217 -

Daya cerna protein (%) 84,9 -

Kadar air. Kadar air dalam suatu bahan pangan akan menentukan penerimaan dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Hasil analisis menunjukkan kadar air fillet belut sebesar 80,1% (bb). Kandungan air pada daging ikan berkisar antara 60-84% (Afrianto & Liviawati 1993 diacu dalam Suhartini & Hidayat 2005). Kadar air belut berdasarkan hasil penelitian Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 77,00 ± 0,08 %. Hasil analisis kadar air belut tidak berbeda jauh dengan literatur dan masih berada dalam rentang yang normal untuk daging ikan. Kadar air belut hasil analisis sedikit lebih tinggi daripada literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001). Kadar air memegang peranan penting pada pertumbuhan bakteri. Kadar air yang rendah dapat memperlambat kerusakan ikan (Stansby 1963 diacu dalam Vishwanath et al. 1998).

Kadar abu. Abu merupakan bahan anorganik yang tidak terbakar pada proses pembakaran. Abu menunjukkan elemen mineral suatu bahan pangan (Winarno 2008). Kadar abu fillet belut adalah sebesar 0,9% (bb) atau 4,7% (bk). Kadar abu belut menurut Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 7,00 ± 0,57 % (bk). Kadar abu belut hasil analisis lebih kecil dibandingkan literatur. Menurut Govindan (1985), kandungan abu pada ikan dapat digunakan untuk mengetahui komponen mineral dalam daging ikan seperti kalsium, sodium, dan potassium. Selain itu, ada komponen yang lebih kecil kandungannya seperti besi, tembaga, dan magnesium.

Kadar lemak. Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan (Buckle et al 2010). Kadar lemak fillet belut sebesar 0,6% (bb) atau 2,8% (bk). Menurut Persagi (2009), kadar lemak belut adalah 0,8 g/100 g atau 0,8% (bb). Kadar lemak belut hasil analisis sedikit

lebih kecil dibandingkan literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001).

Kadar protein. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Bahan pangan hewani (seperti telur, daging, susu, dan ikan), leguminose (seperti kacang-kacangan), dan serealia (seperti beras, gandum, dan jagung) umumnya mengandung protein yang tinggi (Andarwulan et al. 2011).

Kadar protein fillet belut hasil analisis sebesar 15,3% (bb) atau 76,7% (bk). Menurut Vishwanath et al. (1998), kadar protein kasar pada belut sebesar 79,00 ± 0,20% (bk). Kadar protein belut hasil analisis tidak berbeda jauh dengan literatur dan cederung lebih kecil. Hampir semua asam amino yang terdapat pada protein hewan juga terdapat pada protein daging ikan dan di antara asam-asam amino tersebut terdapat asam amino esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin, triptofan, dan fenilalanin (Irianto & Giyatmi 2009).

Kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat fillet belut sebesar 3,1% (bb) atau 15,8% (bk). Menurut USDA (2002), belut tidak mengandung karbohidrat. Kadar karbohidrat hasil analisis menunjukkan adanya karbohidrat pada daging belut dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi. Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), ikan mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman. Karena kandungannya yang sangat kecil, maka dapat diabaikan.

Kadar kalsium. Kalsium adalah salah satu mineral makro yang penting bagi tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang (Arisman 2004). Kadar kalsium fillet belut sebesar 387 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar kalsium belut berkisar 15 - 188 mg/100 g. Berdasarkan hasil analisis, kadar kalsium belut jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Namun demikian, kadar kalsium hasil analisis masih dalam rentang normal kadar kalsium ikan menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), yaitu berkisar antara 17 – 1751 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar kalsium yang jauh dapat terjadi disebabkan perbedaan jumlah tulang dan cangkang.

Kadar besi. Besi dalam makanan dapat berada dalam bentuk besi hem dan besi non-heme. Besi hem terutama berasal dari hemoglobin dan mioglobin dan banyak ditemukan pada pangan hewani (Almatsier 2004).

Kadar besi fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 109,7 mg/100g. Menurut Ruiter (1995), kadar besi pada belut berkisar antara 0,5 – 5,44 mg/ 100 g. Menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), kadar besi ikan berkisar antara 0,6 – 9,2 mg/ 100 g. Kadar besi belut hasil analisis menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar besi yang besar dapat terjadi dikarenakan kontaminasi logam serta perbedaan dalam metode analisis. Selain itu kondisi belut yang hidup di lumpur juga diduga dapat mempengaruhi kadar besinya.

Kadar fosfor. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier 2004). Kadar fosfor fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 217 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar fosfor belut berkisar antara 196 – 501 mg/ 100 g. Kadar fosfor belut hasil analisis menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur. Kalsium dan fosfor adalah mineral yang paling banyak terdapat pada ikan, manusia, dan organisme hidup lainnya. Kurang lebih 99% kalsium dan 80 – 85% fosfor terdapat pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat (Ruiter 1995).

Daya Cerna Protein. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein (Muchtadi 1989). Latar belakang penilaian mutu protein ialah karena tidak semua protein yang dikonsumsi dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh.

Berdasarkan hasil analisis, daya cerna protein fillet belut adalah 84,9%. Daya cerna fillet belut lebih rendah apabila dibandingkan dengan daya cerna protein ikan mas. Menurut Layly (2002), daya cerna protein ikan mas berkisar antara 96,9% - 97,8%. Perbedaan daya cerna protein ini dapat terjadi karena jenis bahan pangan yang berbeda. Selain itu, menurut Bender (2002), ada faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dalam mencerna protein, yaitu pH saat inkubasi atau lingkungan, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan adanya inhibitor atau aktivator yang akan mempengaruhi daya cerna protein.

Pembuatan Bakso Belut Pembersihan daging belut

Pembuatan bakso diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan daging belut yang diinginkan. Belut yang digunakan pada penelitian ini merupakan belut segar yang diperoleh dari pasar Anyar. Belut yang sudah dimatikan kemudian dibersihkan dari kotoran yang ada di dalam perutnya. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), ikan disiangi bertujuan agar isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri tidak merusak daging ikan.

Setelah semua isi perut dibersihkan, pengirisan dilanjutkan mengikuti tulang belakang belut hingga tulang belakang terpisah dari dagingnya. Apabila tulang belakang sudah terpisah, kepala dan ekor dipotong sehingga hanya diperoleh daging belut tanpa tulang.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, lalu menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,8%. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), rendemen yang diperoleh dari proses fillet dan pelumatan berkisar antara 40 – 60% dari berat ikan, tergantung jenis ikannya.

Daging belut kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan darah yang menempel pada daging. Daging belut yang sudah bersih kemudian direndam di dalam air perasan jeruk nipis selama 15 menit. Setelah perendaman selesai, daging dicuci kembali untuk menghilangkan rasa asam dari air jeruk nipis yang masih menempel pada daging. Selanjutnya daging belut dipotong kecil-kecil untuk mempermudah proses penggilingan. Penghancuran daging ini bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam garam akan mudah keluar. Berikut ini disajikan beberapa gambar proses pembersihan daging belut (Gambar 4-7).

Gambar 6 Proses pengulitan daging belut Gambar 7 Daging fillet belut Pembuatan Bakso

Tahap pembuatan bakso diawali dengan proses penggilingan daging belut dengan penambahan garam dan es. Penambahan garam dalam pembuatan produk seperti bakso berfungsi untuk merenggangkan protein-protein miofibril serta untuk meningkatkan kemampuan mengemulsi (Lawrie 2003). Persentase garam yang ditambahkan adalah sebesar 3,5% dari berat total daging dan tepung yang digunakan. Persentase ini diperoleh melalui trial and error, sedangkan persentase penambahan es didasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa penambahan es sebanyak 20% dari berat daging menghasilkan tekstur yang terbaik. Oleh karena itu, pada proses pembuatan bakso selanjutnya digunakan persentase penambahan es sebanyak 20% dari berat daging. Menurut Hsu dan Yu (1999), penambahan lebih dari 2,2% garam dan air kurang dari 22% dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima.

Pada tahap pembuatan bakso, selain menggunakan daging juga ditambahkan bahan lain berupa bahan pengisi dan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang putih dan lada. Bahan pengisi adalah fraksi bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso ini adalah tepung tapioka untuk formula pertama dan tepung sagu untuk formula kedua. Masing-masing formula terdiri dari empat taraf penambahan, yaitu 10%, 20%, 30%, dan 40%. Menurut Standar Nasional Indonesia mengenai baso ikan, baso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Kadar daging ikan yang digunakan tidak kurang dari 50% (BSN 1995). Persentase bawang putih

dan lada yang ditambahkan diperoleh melalui trial and eror untuk menghasilkan rasa bakso yang terbaik.

Setelah daging belut halus, penggilingan dilanjutkan kembali dengan menambahkan bahan pengisi dan bumbu. Adonan yang sudah homogen didiamkan selama 3 menit lalu dicetak berbentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung. Pemanasan lebih dari suhu 80°C akan menyebabkan emulsi rusak yang ditandai dengan rusaknya elastisitas produk dan keluarnya lemak dari produk (Tanikawa 1971). Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Air es ini berfungsi untuk menghasilkan tekstur yang lebih kompak dan kenyal. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih. Perebusan kembali ini perlu dilakukan karena menurut Dewi (2002), proses pemanasan yang suhunya kurang dari 100°C tidak dapat membunuh semua bakteri pembusuk, terutama bakteri yang bersifat tahan pada suhu tinggi. Setelah bakso matang, bakso diangkat dan ditiriskan. Berikut adalah gambar bakso yang dihasilkan (Gambar 8 dan 9).

Gambar 8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka

Gambar 9 Bakso dengan bahan pengisi tepung sagu A1B1 A1B2 A1B3 A1B4

A2B4 A2B3

A2B2 A2B1

Karakteristik Organoleptik Bakso Belut

Karakteristik organoleptik belut diamati dengan menggunakan uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik yang dilakukan terhadap bakso belut meliputi beberapa atribut, yaitu kecerahan warna, aroma belut, aroma bumbu, tekstur, dan rasa belut. Uji hedonik yang dilakukan terhadap bakso meliputi tingkat kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa.

Kecerahan Warna. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut warna pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso Formula Mutu kecerahan warna Tingkat kesukaan

A1B1 4,24b 4,33a A1B2 4,15b 4,41a A1B3 5,31e 4,58a A1B4 5,32e 4,49a A2B1 4,44bc 4,34a A2B2 3,61a 4,29a A2B3 4,73cd 4,65a A2B4 4,89de 4,50a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk pangan. Konsumen seringkali melalui sifat warnanya telah dapat memberikan penilaian, baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis hidangan (Dewi 2002). Warna bakso belut yang dihasilkan adalah putih keabu-abuan. Hal ini disebabkan warna dasar daging belut yang putih keabu-keabu-abuan.

Hasil uji mutu hedonik terhadap kecerahan warna bakso berkisar antara 3,61 – 5,32. Nilai ini berkisar antara biasa sampai agak cerah. Nilai kecerahan warna yang semakin rendah menunjukkan mutu kecerahan warna bakso belut yang semakin gelap. Bakso belut dengan konsentrasi tepung tapioka 40% memiliki nilai kecerahan warna yang paling tinggi atau mendekati agak cerah, sedangkan bakso belut dengan konsentrasi tepung sagu sebanyak 20% memiliki nilai kecerahan warna yang paling kecil atau mendekati biasa.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut. Penambahan tepung tapioka menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi dibandingkan penambahan tepung sagu. Selain itu, perlakuan taraf penambahan tepung juga berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut

(Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi atau mendekati cerah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p<0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung). Penggunaan jenis tepung yang berbeda pada berbagai taraf penambahan mempengaruhi mutu kecerahan warna bakso.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B2 berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B3, dan A2B4. Begitu juga dengan mutu kecerahan warna formula bakso belut A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A1B1 dan A2B1. Mutu kecerahan warna bakso belut A2B1 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B3. Mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B3 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B4, namun berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna pada formula bakso belut A1B3 dan A1B4.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap warna bakso belut menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso berkisar antara 4,29 – 4,65 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A2B3 dengan nilai 4,65 atau berada pada kisaran agak suka dan terendah formula bakso A2B2. Bakso belut yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak cerah, sedangkan yang paling tidak disukai adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak gelap.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna (Lampiran 4).

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

Aroma. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut aroma, baik aroma belut maupun aroma bumbu pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso Formula Mutu aroma

belut Mutu aroma bumbu Tingkat kesukaan A1B1 3,52a 3,69a 4,20a A1B2 3,45a 3,82a 4,21a A1B3 3,65a 3,92a 3,99a A1B4 3,86a 3,84a 3,84a A2B1 3,39a 3,86a 3,89a A2B2 3,49a 3,78a 3,98a A2B3 3,87a 3,89a 3,98a A2B4 3,85a 3,59a 3,94a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Aroma dari suatu produk dapat dideteksi ketika aromanya menguap dan masuk melalui hidung. Penguapan dari produk dipengaruhi oleh suhu dan komponen alami yang terkandung di dalamnya (Meilgaard et al 1999). Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma belut pada bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma belut pada bakso adalah 3,39 – 3,87 atau berada pada kisaran agak kuat sampai biasa. Nilai aroma belut yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma belut pada bakso yang semakin kuat.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso, sedangkan perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki aroma belut yang semakin lemah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (penambahan tepung pada berbagai taraf) terhadap mutu aroma belut pada bakso. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

Selain atribut aroma belut, parameter aroma yang diukur adalah aroma bumbu. Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma bumbu pada bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma bumbu pada bakso adalah 3,59 –

3,92 atau berada pada kisaran agak lemah sampai biasa. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma bumbu pada bakso yang semakin lemah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso. Begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Baik perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda, taraf penambahan tepung, maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak mempengaruhi mutu aroma bumbu pada bakso yang dihasilkan.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap aroma bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap atribut aroma bakso berkisar antara 3,84 – 4,21 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A1B2 (4,21) dan terendah A1B4 (3,84). Bakso yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki aroma belut agak kuat dan aroma bumbu yang biasa.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

Tekstur. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut tekstur pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso Formula Mutu tekstur Tingkat kesukaan

A1B1 5,17d 4,37a A1B2 4,71cd 4,26a A1B3 3,83a 4,18a A1B4 4,14ab 3,86a A2B1 5,10cd 4,35a A2B2 4,61bc 4,04a A2B3 3,96a 3,86a A2B4 3,86a 3,99a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut tekstur bakso menunjukkan bahwa tekstur bakso berkisar antara 3,83 – 5,17 atau berada pada rentang biasa hingga agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh bakso A1B1 yang berada pada rentang agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata terendah atau berada pada rentang biasa dimiliki oleh bakso A1B3.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) untuk mutu tekstur bakso menunjukkan perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu tekstur bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu tekstur bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tekstur yang lebih rendah atau alot.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu tekstur bakso.

Dokumen terkait