• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Belut ( Monoptherus albus Zuieuw)

Sarwono (2003) mengemukakan bahwa klasifikasi perikanan yang berlaku di Indonesia untuk belut (Monoptherus albus Zuieuw) adalah belut termasuk ke dalam kelas pisces, subkelas Teleostomi, ordo Synbranchidae, genus Monopterus, dan spesies albus Zuieuw.

Belut memiliki ciri-ciri antara lain tidak memiliki sirip (sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur pada belut berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari), tubuhnya tidak bersisik (Sarwono 2003). Kulit belut juga licin karena mengeluarkan lendir (Djajadireja et al 1977). Mata belut kecil lengkung, memiliki tiga pasang insang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulutnya. Gigi belut runcing berbentuk kerucut, punggungnya berwarna kehijauan, dan perut kekuning-kuningan. Bagian badannya lebih panjang dari bagian ekornya yang pendek. Tinggi badannya kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya, sedangkan panjang tubuhnya antara 20-50 cm (Djajadireja et al 1977). Gambar 1 menunjukkan bentuk tubuh dan warna dari belut.

Gambar 1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) (Leo 2012)

Belut adalah salah satu jenis ikan yang sudah berhasil dibudidayakan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan ikan darat lainnya (Peranginangin & Yunizal 1992). Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah (Monoptherus albus Zuieuw), belut rawa (Synbranchus bengalensis Mc. Clell), dan belut bermata sangat kecil (Macrotema caligans Cant). Belut sawah merupakan jenis belut yang paling dikenal orang Indonesia karena seringnya belut ini terdapat di sawah-sawah, sedangkan belut rawa jumlahnya terbatas sehingga kurang begitu dikenal (Sarwono 2003).

Belut hidupnya di lumpur, sehingga bau lumpur akan mempengaruhi produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut ikan belut harus dikosongkan dengan membiarkan berada dalam air bersih yang mengalir selama satu hari (Peranginangin & Yunizal 1992).

Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3%. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir selama tiga kali pemakaian (Rusiana 1988 diacu dalam Dewi 2002). Pengkulitan daging belut menurut Sarwono (2003) dapat dilakukan bagi yang sudah ahli. Namun, menurut Rusiana (1988) diacu dalam Dewi (2002), pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik daging pun ikut tertarik.

Di Indonesia, belut mulai dikenal dan digemari sejak tahun 1979. Hingga saat ini, belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. Belut termasuk ikan yang bercita rasa lezat. Belut umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan dapat bertahan hidup dalam waktu relatif lama asalkan kulitnya tetap lembab. Permintaan konsumen akan keberadaan belut semakin meningkat karena belut merupakan sumber protein hewani yang baik (Gaffar 2007). Komposisi zat gizi belut dibandingkan dengan komposisi telur ayam dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam, dan daging sapi

Zat Gizi Belut Daging Sapi Telur Ayam

Protein (g) 14,6 18,8 12,4 Lemak (g) 0,8 14,0 10,8 Karbohidrat (g) 1 0 0,7 Energi (kkal) 70 201 154 Kalsium (mg) 49 11 86 Fosfor (mg) 155 170 258 Besi (mg) 1,5 2,8 3 Vitamin A (SI) 0 9 61 Kadar Air (g) 81,5 66,0 74,3 Sumber: Persagi (2009)

Apabila dibandingkan dengan ikan-ikan lain, belut memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan kalsium pada jenis ikan lainnya. Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain

Zat Gizi Belut Bandeng Ikan Mas Kakap Layur

Protein (g) 14,6 20 16 20 18 Lemak (g) 0,8 4,8 2 0,7 1 Karbohidrat (g) 1 0 0 0 0,1 Energi (kkal) 70 123 86 92 82 Kalsium (mg) 49 20 20 20 48 Fosfor (mg) 155 150 150 200 229 Besi (mg) 1,5 0,05 2 1 2,2 Vitamin A (SI) 0 45 45 9,1 4 Kadar Air (g) 81,5 74 80 77 80,1 Sumber: Persagi (2009) Bakso Ikan

Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso diduga berasal dari daerah Cina, dan telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai makanan jajanan yang dianggap murah (Sunarlim 1992).

Dalam bahasa Cina, nama bakso atau baso berasal dari kata “baki” atau

“ba” yang merupakan singkatan dari kata babi. Namun bakso yang populer di Indonesia dibuat dari daging sapi (Soekarto 1990). Bakso pada mulanya hanya dikenal dibuat dan dijual di daerah pemukiman orang Cina dan dijual di restoran-restoran Cina. Namun setelah tahun 1960-an, bakso mulai populer di masyarakat, selain di kota besar juga di kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Konsumen bakso berasal dari golongan ekonomi atas sampai golongan berpenghasilan rendah sehingga bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling (Sunarlim 1992).

Bakso merupakan produk emulsi daging. Bakso dibuat dari daging yang digiling halus, ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu, dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging yang segar dan belum mengalami rigor mortis, karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis maupun pasca rigor (Buckle et al. 2010). Fase rigor mortis pada ikan berlangsung 1 – 7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3 – 120 jam setelah kematian pada ikan beku (Forrest et al. 1975).

Berdasarkan bahan utama yang digunakan, bakso dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu bakso ikan, bakso sapi, dan bakso babi (Tarwotjo et al. 1971). Menurut BSN (1995), bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa pemberian

bahan tambahan pangan yang diizinkan. Gambar 2 menunjukkan bakso ikan yang umum beredar di masyarakat.

Gambar 2 Bakso ikan (Direktorat Pemasaran Dalam Negeri 2012)

Adapun syarat mutu produk bakso ikan berdasarkan SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995)

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas ikan

1.2 Rasa - Gurih 1.3 Warna - Normal 1.4 Tekstur - Kenyal 2 Air % b/b Maks 80,0 3 Abu % b/b Maks 3,0 4 Protein % b/b Min 9,0 5 Lemak % b/b Maks 1,0

6 Boraks - Tidak boleh ada

7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 8 Cemaran logam :

8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0

8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0

8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 100,0

8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0

8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,5

9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0

10 Cemaran mikroba :

10.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1 x 107 10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maks 4 x 102

10.3 Salmonella - Negatif

10.4 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 5 x 102

10.5 Vibrio cholerae - Negatif

Sumber: BSN (1995)

Bahan Pembuatan Bakso Ikan Bahan Utama

Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau campuran daging beberapa jenis ikan (Wibowo 2006). Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang masih dalam keadaan segar tanpa melalui proses penyimpanan atau pengawetan sehingga dapat menghasilkan mutu bakso yang lebih baik (Buckle et al. 2010). Adapun

bahan utama dalam penelitian pembuatan bakso ikan ini adalah daging ikan belut.

Bahan Tambahan

Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan utama dalam proses produksi (Wibowo 2006). Adapun bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso meliputi bahan pengisi, garam dapur, es, dan bumbu-bumbu.

Bahan pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan cita rasa, dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich 1971).

Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka atau sagu aren. Bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Pandisurya 1983 diacu dalam Afrianty 2002). Perbedaan kandungan gizi yang terdapat pada tepung tapioka dan tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu

Komponen Tapioka Sagu aren

Air (%) 13,12 17,82

Protein (%) 0,13 0,11

Lemak (%) 0,04 0,04

Abu (%) 0,16 0,26

Karbohidrat (%) 86,55 81,77

Sumber : Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002)

Bahan pengisi dapat meningkatkan daya ikat air, karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi pati dapat mengabsorpsi air sampai dua kali lipat dari berat semula dan dapat menahannya. Pada proses pemanasan sampai 70°C, adonan daging akan membentuk gel, dan setelah dingin akan membentuk padatan (Ockerman 1983). Tapioka merupakan pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83% amilopektin (Haryanto & Pangloli 1991).

Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket (Wiranatakusumah et al. 1984 diacu dalam Sekarwiyati 2000).

Garam dapur (NaCl)

Komponen lain yang penting dalam pembuatan bakso adalah garam. Garam sering digunakan sebagai bahan tambahan agar mutu bakso menjadi lebih baik. Penambahan garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk meningkatkan cita rasa bakso, sebagai pelarut protein sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan, serta meningkatkan daya ikat air yang biasa dipadukan dengan sodium tripolifosfat (Lawrie 2003). Es

Komponen berikutnya yang berperan penting adalah es. Es berfungsi untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama proses penggilingan daging serta pembuatan adonan, serta agar produk tidak kering. Air dan es yang ditambahkan akan meningkatkan keempukan dan berperan sebagai fase pendispersi (Forrest et al. 1975). Suhu daging yang lebih tinggi dari 15°C - 20°C dapat menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson et al. 1981).

Bumbu-bumbu

Pembuatan bakso pada umumnya selalu perlu penambahan bumbu-bumbu. Tujuan penambahan bumbu yaitu untuk meningkatkan cita rasa yang disukai dari produk yang dihasilkan. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang putih, dan lada. Bawang putih (Allium sativum) merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera (Hitokoto et al. 1990). SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih (Piper ningrumlin) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa pedas.

Proses Pengolahan

Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Nurhayati (2009), pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap. Tahap pertama adalah penghancuran daging dengan menggunakan alat atau tangan. Tahap kedua adalah penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung atau bumbu-bumbu lainnya. Tahap ketiga adalah pencetakan adonan menjadi bulat, dan yang terakhir adalah tahap pemasakan dengan cara merebus di dalam air mendidih.

Pengahancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding), atau mencincang sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al. 1981).

Pembentukan adonan menjadi bakso umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2-7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air bersuhu 60°C - 80°C (Elviera 1988). Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi tidak disarankan, karena dapat mengakibatkan lemak terpisah dari emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matriks protein pecah dan lemak keluar dari campuran (Sugiyono 1991 diacu dalam Putri 2001).

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan. Dalam hal ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data (Soekarto 1985).

Uji Hedonik

Uji hedonik disebut juga uji kesukaan. Dalam uji hedonik panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka, atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik (Setyaningsih et al. 2010).

Uji Mutu Hedonik

Berbeda dengan uji hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka, melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik

daripada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti empuk-keras untuk daging, pulen-keras untuk nasi, serta renyah-lembek untuk mentimun. Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek (Setyaningsih et al. 2010).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 1, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 2, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 3, dan Laboratorium Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut dan analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya.

Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi penelitian untuk menentukan persentase es yang paling tepat, sedangkan penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kimia daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan serta analisis fisik dan kimia formula bakso terpilih.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan persentase es yang akan ditambahkan ke dalam adonan. Persentase penambahan es yang

digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah 10% (F1), 15% (F2), dan 20% (F3) dari berat daging. Penentuan jumlah es yang ditambahkan didasarkan pada penambahan es pada adonan bakso domba hasil penelitian Nurhayati (2009) dengan mempertimbangkan daya mengikat air pada masing-masing daging yang digunakan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Semakin besar persentase mg H2O, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air (Soeparno 2005). Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati (2009), untuk daging domba dengan persentase mg H2O sebesar 38,66 ± 2,95% dibutuhkan penambahan es sebanyak 30% dari berat daging yang digunakan. Oleh karena itu, untuk daging belut dengan persentase mg H2O sebesar 63,11% atau hampir dua kali lipat daging domba, maka dibutuhkan es sebanyak setengah dari penambahan es pada daging domba atau kurang lebih 15%.

Formula bakso belut dengan persentase penambahan es yang berbeda kemudian diuji secara organoleptik terhadap parameter tekstur. Formula yang menghasilkan bakso dengan tekstur yang paling disukai panelis dinyatakan sebagai komposisi terbaik, kemudian digunakan dalam penelitian selanjutnya. Formulasi awal bakso belut dengan taraf penambahan es yang berbeda disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es Bahan Persentase es yang ditambahkan 10% 15% 20% Daging belut 100 100 100 Tepung tapioka 20 20 20 Es batu 10 15 20 Garam dapur 5 5 0,5 Bawang putih 1 1 1 Lada 0,5 0,5 0,5 Penelitian Utama

Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan dan analisis fisik, kandungan gizi, serta daya cerna protein formula bakso terpilih.

Penelitian tahap pertama

Pada penelitian tahap pertama dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein belut. Analisis fisik meliputi pH dan Daya Mengikat Air

(DMA). Nilai pH suatu makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH dapat dijadikan sebagai indikator kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Menurut Aberle et al. (2001), pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air yang dihasilkan. Daya mengikat air diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan, penggilingan, pemanasan, dan pengolahan (Soeparno 2005). Daya mengikat air pada daging merupakan faktor yang berperan terhadap kualitas bakso yang dibuat (Buckle et al. 1987). Analisis kandungan gizi, meliputi analisis proksimat, analisis kadar kalsium, besi, dan fosfor daging belut. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein dari daging belut. Prosedur analisis fisik dan kandungan gizi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Setelah dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi belut, kemudian dilakukan penentuan formula bakso. Formula bakso tersebut diperoleh secara trial and error, yaitu untuk mencari perbandingan komposisi yang optimal dari adonan. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing formula adalah penambahan jenis tepung yang berbeda dan taraf penambahan tepung. Terdapat dua jenis tepung yang digunakan pada penelitian ini yaitu tepung tapioka dan tepung sagu. Penambahan masing-masing tepung terdiri dari empat taraf, yaitu 10%, 20%, dan 30%, dan 40% dari berat daging belut pada masing-masing formula. Berikut adalah formula bahan dalam pembuatan bakso secara lengkap (Tabel 6).

Tabel 6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut Formula Daging belut (g) Tapioka (g) Sagu (g) Es batu (g) Garam (g) Bawang putih (g) Lada (g) A1B1 100 10 - 20 3,85 1,1 0,44 A1B2 100 20 - 20 4,2 1,2 0,48 A1B3 100 30 - 20 4,55 1,3 0,52 A1B4 100 40 - 20 4,9 1,4 0,56 A2B1 100 - 10 20 3,85 1,1 0,44 A2B2 100 - 20 20 4,2 1,2 0,48 A2B3 100 - 30 20 4,55 1,3 0,52 A2B4 100 - 40 20 4,9 1,4 0,56

Setelah diperoleh formula bakso belut yang tepat, kemudian dilakukan pembuatan bakso. Pembuatan bakso ini menggunakan proses pengolahan bakso modifikasi Nurhayati (2009). Modifikasi yang dilakukan adalah mengganti penggunaan daging domba sebagai bahan utama dengan daging belut, komposisi bahan-bahan dan es, tahap perendaman bakso setangah matang di

dalam air es, serta lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan.

Pembuatan bakso diawali dengan penentuan jenis belut yang akan digunakan. Belut yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut segar dengan ukuran kurang lebih 40-55 cm dengan berat antara 75-125 gram. Pemilihan ukuran belut ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses pengulitan. Belut segar ini kemudian dimatikan dengan cara membungkus belut didalam kantong plastik dan membantingnya kuat-kuat ke lantai.

Belut yang sudah mati kemudian dibersihkan isi perutnya dengan cara memotong belut pada bagian leher. Apabila leher belut sudah setengah terbuka, maka isi perut dikeluarkan dengan membuka tubuh belut mengikuti bentuk tubuh belut dari leher hingga ekornya. Setelah semua isi perut terlihat, isi perut belut kemudian dikeluarkan. Untuk memisahkan daging belut dengan tulangnya, pengirisan dilanjutkan dengan cara mengikuti tulang belakang pada belut. Kepala dan ekor sebaiknya tidak dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan dalam memisahkan daging dan tulang belakang. Apabila tulang belakang belut sudah terpisah dari dagingnya, ekor dan kepala kemudian dipotong bersamaan dengan tulang belakang. Pemisahan daging dan tulang dengan cara menghancurkan tulangnya terlebih dahulu sebaiknya dihindari karena selain menghasilkan rendemen yang lebih sedikit, akan terdapat sisa hancuran tulang belakang yang menempel di daging dan sulit dipisahkan.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, kemudian menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Cara ini akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan apabila menarik kulitnya. Selain itu, daging fillet belut yang dihasilkan dengan cara ini juga lebih utuh dan rapi. Daging fillet belut yang diperoleh kemudian dibersihkan dengan air mengalir dari kotoran yang melekat. Agar bau amis dari belut berkurang, fillet belut kemudian direndam dalam air jeruk nipis selama 15 menit. Perendaman sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama karena dapat menyebabkan rasa daging sedikit asam.

Tahap berikutnya yaitu penggilingan belut yang telah difillet dan ditambahkan es serta garam dapur. Penggilingan daging belut dilakukan dengan menggunakan food processor selama 3 menit. Daging yang sudah halus kemudian ditambah tepung dan bumbu-bumbu lainnya dan digiling selama 5 menit. Adonan yang terbentuk kemudian didiamkan selama 3 menit dan dicetak

berbentuk bulatan-bulatan. Bulatan-bulatan bakso tersebut kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga melayang di permukaan air. Bakso yang sudah melayang kemudian diambil dan direndam di dalam air es selama 3 menit. Bakso yang telah mengeras selanjutnya dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit. Setelah masak, bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit selanjutnya siap diuji. Berikut adalah diagram proses pembuatan bakso belut secara lengkap (Gambar 3).

Keterangan : * yang modifikasi

Gambar 3 Diagram alir pembuatan bakso belut (Nurhayati 2009 dengan beberapa modifikasi)

Penelitian tahap kedua

Penelitian tahap kedua diawali dengan uji organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik. Panelis yang

100 g daging belut yang telah difillet dimasukkan ke dalam penggilingan daging * Digiling halus selama 3 menit*

Digiling kembali selama 5 menit*

Adonan yang terbentuk didiamkan selama 3 menit*

Ditambahkan 20% es, 3,5% NaCl*

Ditambahkan 0,4% lada, 10,20,30, 40% tepung, 1% bawang putih*

Adonan dicetak berbentuk bulatan-bulatan bakso kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung*

Dokumen terkait