• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Makanan sehari-hari sebaiknya dipilih dengan baik agar dapat memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang tidak dipilih dengan baik dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi tertentu yang hanya dapat diperoleh dari makanan (Almatsier 2004).

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Status gizi baik akan tercapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum yang baik. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial (Almatsier 2004).

Salah satu zat gizi yang penting namun masih dikonsumsi dalam jumlah yang kurang untuk sebagian besar orang adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan hidup. Selain itu protein juga berfungsi untuk membentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta sumber energi (Almatsier 2004).

Protein dapat diperoleh dari pangan hewani maupun nabati. Protein hewani lebih dianjurkan dibandingkan protein nabati. Hal ini dikarenakan protein hewani mangandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap dan lebih banyak yang sangat dibutuhkan manusia jika dibandingkan dengan protein nabati (Winarno 1997). Menurut Muchtadi (2010), protein hewani pada umumnya memiliki kandungan asam amino yang cukup serta daya cerna yang baik. Selain itu protein hewani mempunyai nilai biologis yang lebih baik dibanding protein nabati. Siagian (2008) menyatakan konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, yaitu 4,7 g/orang/hari. Konsumsi ini jauh dari target 6 g/orang/hari. Padahal konsumsi protein hewani di Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 g/orang/hari.

Salah satu bahan pangan sumber protein adalah belut. Belut (Monoptherus albus Zuieuw) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Belut tergolong ikan yang memiliki kandungan protein sangat baik. Selain itu,

kandungan mineral seperti kalsium pada belut lebih tinggi dibandingkan pada beberapa jenis ikan lainnya (Persagi 2009).

Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, reaksi biologik, dan kontraksi otot (Almatsier 2004). Salah satu akibat dari kekurangan kalsium adalah osteoporosis. Hasil studi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 53,6% (wanita) dan 38% (pria) di atas usia 70 tahun, sedangkan untuk usia di bawah 70 tahun sebesar 18-36% (wanita) dan 20-27% (pria) (Rachman & Setiyohadi 2007 diacu dalam Ferazuma et al. 2011)

Sejauh ini pemenuhan kebutuhan kalsium telah dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah konsumsi suplemen tinggi kalsium. Namun, upaya tersebut dianggap kurang efektif karena hanya menitikberatkan pada pemenuhan salah satu zat gizi tanpa berkontribusi pada pemenuhan zat gizi lainnya. Salah satu alternatif yang dianggap efektif adalah penganekaragaman pangan. Usaha penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan pangan yang baru atau pemilihan bahan pangan yang sudah ada dengan kandungan gizi yang baik, kemudian dikembangkan menjadi produk pangan olahan yang beranekaragam. Diantara bahan pangan yang sudah ada, bahan pangan yang memiliki kandungan kalsium dan protein cukup baik adalah belut.

Penelitian tentang pengolahan belut telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian Dewi (2002) menjadi sosis, dan Sulistyarini (2007) menjadi produk keripik. Pembuatan belut menjadi bakso merupakan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menambah keanekaragaman produk dan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsi belut. Menurut Wibowo (2006), bakso merupakan produk yang banyak dikonsumsi orang, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga manula.

Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso yang beredar di pasaran antara lain bakso sapi, bakso udang, dan bakso ayam. Meskipun bakso ikan juga sudah banyak beredar di masyarakat, tapi masih jarang bakso yang memanfaatkan belut sebagai bahan utamanya. Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Selain itu, menurut Wibowo (2006), permintaan masyarakat Indonesia untuk produk bakso sangat tinggi yaitu mencapai 160.000 ton bakso per tahun.

Salah satu bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah bahan pengisi. Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002), bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso mempunyai kadar karbohidrat tinggi, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan tepung sagu. Penggunaan bahan pengisi sangat berperan penting dalam memperbaiki elastisitas produk akhir, kemampuan mengikat air, warna, dan tekstur secara keseluruhan (Sekarwiyati 2000). Oleh karena itu, penggunaan bahan pengisi yang tepat sangat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk bakso dari belut. Bakso belut ini diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut (Monoptherus albus Zuieuw).

2. Menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut.

3. Mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut.

4. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut formula terpilih.

5. Menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima oleh konsumen. Bakso yang dihasilkan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai alternatif pangan hewani yang kaya zat gizi dan mampu meningkatkan nilai ekonomis belut.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait