• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BELUT (

Monoptherus albus

Zuieuw) DALAM

PEMBUATAN BAKSO

LUSI ANINDIA RAHMAWATI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Utilization of Eel (Monoptherus albus Zuieuw) in Fishball Production. Supervised by Sri Anna Marliyati and Dodik Briawan. The objective of this research was to utilize eel in fishball production. The experimental design used in this research was a Complete Randomized Factorial Design. Factors used in this experimental design was A-factor which is type of flour (tapioca and sago flour) and B-factor which is amount of flour (10%, 20%, 30%, 40%). The organoleptic test showed eel fishball selected formula was A1B1 with the addition of tapioca flour 10% of the weight of the eel. Every 100 grams formula contains 84 kcal energy, 7.7 g carbohydrate, 0.9 g fat, 11.5 g protein, 185 mg phosphorus, and 490 mg calcium. Recommendation of fishball consumption per serving size was 80 g to met 15.4% protein, 24.6% phosphorus, and 49.0% calcium of Indonesian’s Daily References Value. Therefore, this formula can be considered as a good source of protein, and rich of phosphorus and calcium.

(3)

RINGKASAN

Lusi Anindia Rahmawati. Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso. (Dibimbing oleh Sri Anna Marliyati dan Dodik Briawan)

Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN 1995). Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Pemanfaatan daging belut dalam pembuatan bakso diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso. Selain itu, tujuan khusus pada penelitian ini adalah: 1) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut, 2) menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut, 3) mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut, 4) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut terpilih, 5) menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut serta analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya. Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan pada penelitian ini adalah daging belut.

Derajat keasaman (pH) belut adalah 6,1, sedangkan persentase air terikat (% mg H2O) belut adalah 63,1%. Kandungan gizi belut terdiri dari kadar air 80,1%, abu 0,9% (bb), lemak 0,6% (bb), protein 15,3% (bb), karbohidrat 3,1% (bb), kadar kalsium 387 mg/100g, kadar besi 109,7 mg/100g, kadar fosfor 217 mg/100g, dan daya cerna protein belut 84,9%.

(4)

hingga mengapung. Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih hingga matang.

Faktor jenis tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Faktor taraf penambahan tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna, aroma belut, tekstur, dan rasa belut, sedangkan interaksi antar kedua faktor hanya memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Selain itu, faktor taraf penambahan tepung yang berbeda juga memberikan pengaruh nyata (p<0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan keseluruhan. Faktor jenis tepung yang berbeda dan interaksi antar kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Berdasarkan hasil uji organoleptik tersebut, formula bakso belut terpilih adalah bakso dengan penambahan tepung tapioka 10% (A1B1).

Nilai rata-rata Aw bakso belut terpilih adalah 0,97. Hsu & chung (1998) menyatakan bahwa tekstur adalah karakteristik terpenting dari bakso dan konsumen lebih menyukai tekstur yang keras. Tingkat kekerasan (tekstur) bakso terpilih adalah 554,8 gf. Tingkat kekenyalan bakso belut terpilih adalah 40,7%. Kandungan gizi bakso belut terpilih terdiri dari kadar air 77,6%, kadar abu 2,4% (bb), kadar lemak 0,9% (bb), kadar protein 11,5% (bb), kadar karbohidrat 7,7% (bb), kadar kalsium 490 mg/100 g,p kadar besi 93,7 mg/100 g, kadar fosfor 185 mg/100 g, dan daya cerna protein belut 83,9 %.

(5)

PEMANFAATAN BELUT (

Monoptherus albus

Zuieuw) DALAM

PEMBUATAN BAKSO

LUSI ANINDIA RAHMAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso

Nama : Lusi Anindia Rahmawati NIM : I14080051

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19660701 199002 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso” ini dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan saran dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan saran dalam perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Muryanto atas bantuan dana penelitiannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

4. Orangtua, Ayahanda Wahyudi, Spd dan Ibunda Sumini, Spd yang selalu bersedia mendengar keluh kesah penulis. Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu.

5. Oki Kurniawan Nur Cahyo yang telah membantu selama proses penelitian dan skripsi.

6. Bapak Mashudi dan seluruh laboran atas bantuannya selama proses penelitian ini berlangsung.

7. Ambar, Winda, Elok, Duti, Anggun, Indah, Dheanni, Ibnu, Agus, Anti, Rohadi, Yusti, Ai, Ade, Fani, Rahayu, Ayu Sekar, Leman. Terima kasih atas semangat dan bantuan yang telah diberikan selama ini .

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2013

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magetan, jawa Timur pada tanggal 27 Oktober 1989 dari Ayahanda Wahyudi dan Ibunda Sumini. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di SDN Magetan 1 pada tahun 1996-2002. Pada tahun 2002-2005, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Magetan dan pada tahun 2005-2008 melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Magetan. Pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) kabinet Pejuang Ekologi sebagai staf divisi Sosial dan Lingkungan (SOSLING). Penulis juga aktif sebagai panitia dalam kegiatan Bazar TPB, SAMISAENA, Fema Care and Share (FRESH), Kemah Riset (KERIS), dll.

(9)

DAFTAR ISI

Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut ... 20

Pembuatan Bakso Belut ... 24

Karakteristik Organoleptik Bakso Belut ... 27

Sifat Fisik Bakso Belut Terpilih ... 35

Kandungan Gizi Bakso Belut Terpilih ... 37

Kontribusi Zat Gizi Bakso Belut terhadap Acuan Label Gizi (ALG) ... 40

Analisis Biaya Pembuatan Bakso Belut Terpilih ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Kesimpulan ... 44

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam dan daging sapi ... 6

2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain ... 7

3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995) ... 8

4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu ... 9

5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es ... 14

6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut ... 15

7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut ... 21

8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso ... 27

9 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso ... 29

10 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso ... 31

11 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik rasa ... 32

12 Hasil uji hedonik bakso secara keseluruhan ... 34

13 Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula ... 35

14 Kandungan zat gizi dan daya cerna protein bakso belut formula terpilih ... 37

15 Kandungan zat gizi bakso belut dan kontribusinya terhadap ALG per takaran saji ... 41

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) ... 5

2 Bakso ikan ... 8

3 Diagram alir pembuatan bakso belut ... 17

4 Pemisahan tulang belut ... 24

5 Daging belut tanpa tulang ... 24

6 Proses pengulitan daging belut ... 25

7 Daging fillet belut ... 25

8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka ... 26

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur analisis fisik ... 51

2 Prosedur analisis kandungan gizi dan daya cerna protein ... 53

3 Formulir organoleptik bakso belut ... 57

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Makanan sehari-hari sebaiknya dipilih dengan baik agar dapat memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang tidak dipilih dengan baik dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi tertentu yang hanya dapat diperoleh dari makanan (Almatsier 2004).

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Status gizi baik akan tercapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum yang baik. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial (Almatsier 2004).

Salah satu zat gizi yang penting namun masih dikonsumsi dalam jumlah yang kurang untuk sebagian besar orang adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan hidup. Selain itu protein juga berfungsi untuk membentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta sumber energi (Almatsier 2004).

Protein dapat diperoleh dari pangan hewani maupun nabati. Protein hewani lebih dianjurkan dibandingkan protein nabati. Hal ini dikarenakan protein hewani mangandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap dan lebih banyak yang sangat dibutuhkan manusia jika dibandingkan dengan protein nabati (Winarno 1997). Menurut Muchtadi (2010), protein hewani pada umumnya memiliki kandungan asam amino yang cukup serta daya cerna yang baik. Selain itu protein hewani mempunyai nilai biologis yang lebih baik dibanding protein nabati. Siagian (2008) menyatakan konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, yaitu 4,7 g/orang/hari. Konsumsi ini jauh dari target 6 g/orang/hari. Padahal konsumsi protein hewani di Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 g/orang/hari.

(14)

kandungan mineral seperti kalsium pada belut lebih tinggi dibandingkan pada beberapa jenis ikan lainnya (Persagi 2009).

Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, reaksi biologik, dan kontraksi otot (Almatsier 2004). Salah satu akibat dari kekurangan kalsium adalah osteoporosis. Hasil studi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 53,6% (wanita) dan 38% (pria) di atas usia 70 tahun, sedangkan untuk usia di bawah 70 tahun sebesar 18-36% (wanita) dan 20-27% (pria) (Rachman & Setiyohadi 2007 diacu dalam Ferazuma et al. 2011)

Sejauh ini pemenuhan kebutuhan kalsium telah dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah konsumsi suplemen tinggi kalsium. Namun, upaya tersebut dianggap kurang efektif karena hanya menitikberatkan pada pemenuhan salah satu zat gizi tanpa berkontribusi pada pemenuhan zat gizi lainnya. Salah satu alternatif yang dianggap efektif adalah penganekaragaman pangan. Usaha penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan pangan yang baru atau pemilihan bahan pangan yang sudah ada dengan kandungan gizi yang baik, kemudian dikembangkan menjadi produk pangan olahan yang beranekaragam. Diantara bahan pangan yang sudah ada, bahan pangan yang memiliki kandungan kalsium dan protein cukup baik adalah belut.

Penelitian tentang pengolahan belut telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian Dewi (2002) menjadi sosis, dan Sulistyarini (2007) menjadi produk keripik. Pembuatan belut menjadi bakso merupakan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menambah keanekaragaman produk dan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsi belut. Menurut Wibowo (2006), bakso merupakan produk yang banyak dikonsumsi orang, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga manula.

(15)

Salah satu bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah bahan pengisi. Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002), bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso mempunyai kadar karbohidrat tinggi, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan tepung sagu. Penggunaan bahan pengisi sangat berperan penting dalam memperbaiki elastisitas produk akhir, kemampuan mengikat air, warna, dan tekstur secara keseluruhan (Sekarwiyati 2000). Oleh karena itu, penggunaan bahan pengisi yang tepat sangat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk bakso dari belut. Bakso belut ini diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut (Monoptherus albus Zuieuw).

2. Menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut.

3. Mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut.

4. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut formula terpilih.

(16)

Kegunaan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Belut (Monoptherus albus Zuieuw)

Sarwono (2003) mengemukakan bahwa klasifikasi perikanan yang berlaku di Indonesia untuk belut (Monoptherus albus Zuieuw) adalah belut termasuk ke dalam kelas pisces, subkelas Teleostomi, ordo Synbranchidae, genus Monopterus, dan spesies albus Zuieuw.

Belut memiliki ciri-ciri antara lain tidak memiliki sirip (sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur pada belut berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari), tubuhnya tidak bersisik (Sarwono 2003). Kulit belut juga licin karena mengeluarkan lendir (Djajadireja et al 1977). Mata belut kecil lengkung, memiliki tiga pasang insang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulutnya. Gigi belut runcing berbentuk kerucut, punggungnya berwarna kehijauan, dan perut kekuning-kuningan. Bagian badannya lebih panjang dari bagian ekornya yang pendek. Tinggi badannya kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya, sedangkan panjang tubuhnya antara 20-50 cm (Djajadireja et al 1977). Gambar 1 menunjukkan bentuk tubuh dan warna dari belut.

Gambar 1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) (Leo 2012)

Belut adalah salah satu jenis ikan yang sudah berhasil dibudidayakan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan ikan darat lainnya (Peranginangin & Yunizal 1992). Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah (Monoptherus albus Zuieuw), belut rawa (Synbranchus bengalensis Mc. Clell), dan belut bermata sangat kecil (Macrotema caligans Cant). Belut sawah merupakan jenis belut yang paling dikenal orang Indonesia karena seringnya belut ini terdapat di sawah-sawah, sedangkan belut rawa jumlahnya terbatas sehingga kurang begitu dikenal (Sarwono 2003).

(18)

Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3%. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir selama tiga kali pemakaian (Rusiana 1988 diacu dalam Dewi 2002). Pengkulitan daging belut menurut Sarwono (2003) dapat dilakukan bagi yang sudah ahli. Namun, menurut Rusiana (1988) diacu dalam Dewi (2002), pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik daging pun ikut tertarik.

Di Indonesia, belut mulai dikenal dan digemari sejak tahun 1979. Hingga saat ini, belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. Belut termasuk ikan yang bercita rasa lezat. Belut umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan dapat bertahan hidup dalam waktu relatif lama asalkan kulitnya tetap lembab. Permintaan konsumen akan keberadaan belut semakin meningkat karena belut merupakan sumber protein hewani yang baik (Gaffar 2007). Komposisi zat gizi belut dibandingkan dengan komposisi telur ayam dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam, dan daging sapi

Zat Gizi Belut Daging Sapi Telur Ayam

(19)

Tabel 2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain

Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso diduga berasal dari daerah Cina, dan telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai makanan jajanan yang dianggap murah (Sunarlim 1992).

Dalam bahasa Cina, nama bakso atau baso berasal dari kata “baki” atau

“ba” yang merupakan singkatan dari kata babi. Namun bakso yang populer di Indonesia dibuat dari daging sapi (Soekarto 1990). Bakso pada mulanya hanya dikenal dibuat dan dijual di daerah pemukiman orang Cina dan dijual di restoran-restoran Cina. Namun setelah tahun 1960-an, bakso mulai populer di masyarakat, selain di kota besar juga di kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Konsumen bakso berasal dari golongan ekonomi atas sampai golongan berpenghasilan rendah sehingga bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling (Sunarlim 1992).

Bakso merupakan produk emulsi daging. Bakso dibuat dari daging yang digiling halus, ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu, dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging yang segar dan belum mengalami rigor mortis, karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis maupun pasca rigor (Buckle et al. 2010). Fase rigor mortis pada ikan berlangsung 1 – 7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3 – 120 jam setelah kematian pada ikan beku (Forrest et al. 1975).

(20)

bahan tambahan pangan yang diizinkan. Gambar 2 menunjukkan bakso ikan yang umum beredar di masyarakat.

Gambar 2 Bakso ikan (Direktorat Pemasaran Dalam Negeri 2012)

Adapun syarat mutu produk bakso ikan berdasarkan SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995)

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 8 Cemaran logam :

10.4 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 5 x 102

(21)

bahan utama dalam penelitian pembuatan bakso ikan ini adalah daging ikan belut.

Bahan Tambahan

Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan utama dalam proses produksi (Wibowo 2006). Adapun bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso meliputi bahan pengisi, garam dapur, es, dan bumbu-bumbu.

Bahan pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan cita rasa, dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich 1971).

Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka atau sagu aren. Bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Pandisurya 1983 diacu dalam Afrianty 2002). Perbedaan kandungan gizi yang terdapat pada tepung tapioka dan tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu

Komponen Tapioka Sagu aren

Bahan pengisi dapat meningkatkan daya ikat air, karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi pati dapat mengabsorpsi air sampai dua kali lipat dari berat semula dan dapat menahannya. Pada proses pemanasan sampai 70°C, adonan daging akan membentuk gel, dan setelah dingin akan membentuk padatan (Ockerman 1983). Tapioka merupakan pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83% amilopektin (Haryanto & Pangloli 1991).

(22)

Garam dapur (NaCl)

Komponen lain yang penting dalam pembuatan bakso adalah garam. Garam sering digunakan sebagai bahan tambahan agar mutu bakso menjadi lebih baik. Penambahan garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk meningkatkan cita rasa bakso, sebagai pelarut protein sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan, serta meningkatkan daya ikat air yang biasa dipadukan dengan sodium tripolifosfat (Lawrie 2003). Es

Komponen berikutnya yang berperan penting adalah es. Es berfungsi untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama proses penggilingan daging serta pembuatan adonan, serta agar produk tidak kering. Air dan es yang ditambahkan akan meningkatkan keempukan dan berperan sebagai fase pendispersi (Forrest et al. 1975). Suhu daging yang lebih tinggi dari 15°C - 20°C dapat menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson et al. 1981).

Bumbu-bumbu

Pembuatan bakso pada umumnya selalu perlu penambahan bumbu-bumbu. Tujuan penambahan bumbu yaitu untuk meningkatkan cita rasa yang disukai dari produk yang dihasilkan. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang putih, dan lada. Bawang putih (Allium sativum) merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera (Hitokoto et al. 1990). SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih (Piper ningrumlin) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa pedas.

Proses Pengolahan

(23)

Pengahancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding), atau mencincang sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al. 1981).

Pembentukan adonan menjadi bakso umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2-7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air bersuhu 60°C - 80°C (Elviera 1988). Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi tidak disarankan, karena dapat mengakibatkan lemak terpisah dari emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matriks protein pecah dan lemak keluar dari campuran (Sugiyono 1991 diacu dalam Putri 2001).

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan. Dalam hal ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data (Soekarto 1985).

Uji Hedonik

Uji hedonik disebut juga uji kesukaan. Dalam uji hedonik panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka, atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik (Setyaningsih et al. 2010).

Uji Mutu Hedonik

(24)
(25)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 1, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 2, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 3, dan Laboratorium Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut dan analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya.

Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi penelitian untuk menentukan persentase es yang paling tepat, sedangkan penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kimia daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan serta analisis fisik dan kimia formula bakso terpilih.

Penelitian Pendahuluan

(26)

digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah 10% (F1), 15% (F2), dan 20% (F3) dari berat daging. Penentuan jumlah es yang ditambahkan didasarkan pada penambahan es pada adonan bakso domba hasil penelitian Nurhayati (2009) dengan mempertimbangkan daya mengikat air pada masing-masing daging yang digunakan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Semakin besar persentase mg H2O, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air (Soeparno 2005). Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati (2009), untuk daging domba dengan persentase mg H2O sebesar 38,66 ± 2,95% dibutuhkan penambahan es sebanyak 30% dari berat daging yang digunakan. Oleh karena itu, untuk daging belut dengan persentase mg H2O sebesar 63,11% atau hampir dua kali lipat daging domba, maka dibutuhkan es sebanyak setengah dari penambahan es pada daging domba atau kurang lebih 15%.

Formula bakso belut dengan persentase penambahan es yang berbeda kemudian diuji secara organoleptik terhadap parameter tekstur. Formula yang menghasilkan bakso dengan tekstur yang paling disukai panelis dinyatakan sebagai komposisi terbaik, kemudian digunakan dalam penelitian selanjutnya. Formulasi awal bakso belut dengan taraf penambahan es yang berbeda disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es Bahan

Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan dan analisis fisik, kandungan gizi, serta daya cerna protein formula bakso terpilih.

Penelitian tahap pertama

(27)

(DMA). Nilai pH suatu makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH dapat dijadikan sebagai indikator kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Menurut Aberle et al. (2001), pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air yang dihasilkan. Daya mengikat air diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan, penggilingan, pemanasan, dan pengolahan (Soeparno 2005). Daya mengikat air pada daging merupakan faktor yang berperan terhadap kualitas bakso yang dibuat (Buckle et al. 1987). Analisis kandungan gizi, meliputi analisis proksimat, analisis kadar kalsium, besi, dan fosfor daging belut. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein dari daging belut. Prosedur analisis fisik dan kandungan gizi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Setelah dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi belut, kemudian dilakukan penentuan formula bakso. Formula bakso tersebut diperoleh secara trial and error, yaitu untuk mencari perbandingan komposisi yang optimal dari adonan. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing formula adalah penambahan jenis tepung yang berbeda dan taraf penambahan tepung. Terdapat dua jenis tepung yang digunakan pada penelitian ini yaitu tepung tapioka dan tepung sagu. Penambahan masing-masing tepung terdiri dari empat taraf, yaitu 10%, 20%, dan 30%, dan 40% dari berat daging belut pada masing-masing formula. Berikut adalah formula bahan dalam pembuatan bakso secara lengkap (Tabel 6).

Tabel 6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut Formula Daging

(28)

dalam air es, serta lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan.

Pembuatan bakso diawali dengan penentuan jenis belut yang akan digunakan. Belut yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut segar dengan ukuran kurang lebih 40-55 cm dengan berat antara 75-125 gram. Pemilihan ukuran belut ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses pengulitan. Belut segar ini kemudian dimatikan dengan cara membungkus belut didalam kantong plastik dan membantingnya kuat-kuat ke lantai.

Belut yang sudah mati kemudian dibersihkan isi perutnya dengan cara memotong belut pada bagian leher. Apabila leher belut sudah setengah terbuka, maka isi perut dikeluarkan dengan membuka tubuh belut mengikuti bentuk tubuh belut dari leher hingga ekornya. Setelah semua isi perut terlihat, isi perut belut kemudian dikeluarkan. Untuk memisahkan daging belut dengan tulangnya, pengirisan dilanjutkan dengan cara mengikuti tulang belakang pada belut. Kepala dan ekor sebaiknya tidak dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan dalam memisahkan daging dan tulang belakang. Apabila tulang belakang belut sudah terpisah dari dagingnya, ekor dan kepala kemudian dipotong bersamaan dengan tulang belakang. Pemisahan daging dan tulang dengan cara menghancurkan tulangnya terlebih dahulu sebaiknya dihindari karena selain menghasilkan rendemen yang lebih sedikit, akan terdapat sisa hancuran tulang belakang yang menempel di daging dan sulit dipisahkan.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, kemudian menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Cara ini akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan apabila menarik kulitnya. Selain itu, daging fillet belut yang dihasilkan dengan cara ini juga lebih utuh dan rapi. Daging fillet belut yang diperoleh kemudian dibersihkan dengan air mengalir dari kotoran yang melekat. Agar bau amis dari belut berkurang, fillet belut kemudian direndam dalam air jeruk nipis selama 15 menit. Perendaman sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama karena dapat menyebabkan rasa daging sedikit asam.

(29)

berbentuk bulatan-bulatan. Bulatan-bulatan bakso tersebut kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga melayang di permukaan air. Bakso yang sudah melayang kemudian diambil dan direndam di dalam air es selama 3 menit. Bakso yang telah mengeras selanjutnya dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit. Setelah masak, bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit selanjutnya siap diuji. Berikut adalah diagram proses pembuatan bakso belut secara lengkap (Gambar 3).

Keterangan : * yang modifikasi

Gambar 3 Diagram alir pembuatan bakso belut (Nurhayati 2009 dengan beberapa modifikasi)

Penelitian tahap kedua

Penelitian tahap kedua diawali dengan uji organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik. Panelis yang

100 g daging belut yang telah difillet dimasukkan ke dalam penggilingan daging *

Digiling halus selama 3 menit*

Digiling kembali selama 5 menit*

Adonan yang terbentuk didiamkan selama 3 menit*

Ditambahkan 20% es, 3,5% NaCl*

Ditambahkan 0,4% lada, 10,20,30, 40% tepung, 1% bawang putih*

Adonan dicetak berbentuk bulatan-bulatan bakso kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung*

Bulatan-bulatan bakso dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit*

Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit

Bakso siap diuji organoleptik serta dianalisa

(30)

digunakan sebanyak 30 orang dengan dua kali ulangan. Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan.

Pada uji hedonik, panelis diminta untuk menyatakan tingkat kesukaannya terhadap bakso yang diberikan. Penilaian uji hedonik menggunakan tujuh skala. Skala yang diberikan untuk parameter yang diuji, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka.

Penilaian uji mutu hedonik menggunakan tujuh skala. Skala untuk kecerahan warna, yaitu (1) sangat gelap, (2) gelap (3) agak gelap, (4) biasa, (5) agak cerah, (6) cerah, (7) sangat cerah. Skala untuk aroma belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) biasa, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah. Skala untuk aroma bumbu, yaitu (1) sangat lemah, (2) lemah, (3) agak lemah, (4) biasa, (5) agak kuat, (6) kuat, (7), sangat kuat. Skala untuk tekstur, yaitu (1) sangat alot, (2) alot, (3) agak alot, (4) biasa, (5) agak kenyal dan renyah, (6) kenyal dan renyah, (7) sangat kenyal dan renyah. Skala untuk rasa belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) sedang, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah.

Setelah diperoleh formula bakso terpilih berdasarkan uji organoleptik, penelitian tahap kedua dilanjutkan dengan melakukan analisis sifat fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein dari formula bakso yang terpilih tersebut. Analisis sifat fisik meliputi tekstur (kekerasan dan kekenyalan), Aw, dan pH. Analisis kandungan gizi meliputi analisis proksimat, kadar kalsium, besi, dan fosfor, serta daya cerna protein bakso belut terpilih.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging belut yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan jenis tepung dan taraf penambahan tepung yang berbeda terhadap sifat organoleptik bakso belut. Model matematika dari rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut:

� k = μ + A + B + AB + ŋ k

Keterangan :

(31)

μ = nilai rata-rata umum

A = pengaruh faktor A (jenis tepung) pada taraf ke-i

B = pengaruh fator B (taraf penambahan tepung) pada taraf ke-j AB = interaksi antara faktor A dan faktor B pada taraf ke-i dan ke-j ŋ k = galat dari setiap perlakuan pada taraf ke-i, ke-j dan ulangan ke-k

Pengolahan dan Analisis Data

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut

Sifat fisik belut yang dianalisis adalah derajat keasaman (pH), dan daya mengikat air (WHC). Kandungan gizi belut yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (metode by difference), kadar kalsium, kadar besi, dan kadar fosfor, serta daya cerna protein.

Sifat Fisik Belut

Derajat keasaman (pH). Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya tahan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme (Silvia 2002). Pada pH rendah, sifat fungsional protein sebagai emulsifier sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar yang bersifat hidrofil dan mengikat lemak pada sisi dalam yang bersifat hidrofob (Soeparno 2005).

Derajat keasaman fillet belut hasil analisis adalah 6,1. Menurut Buckle et al (2010), sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu, seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil.

Daya mengikat air (WHC). Menurut Aberle et al. (2001), beberapa sifat fisik daging seperti warna, tekstur, dan kekerasan daging mentah serta sari minyak (juiceness) dan keempukan daging masak dipengaruhi oleh daya mengikat air. Hampir semua prosedur penyimpanan dan pengolahan daging dipengaruhi oleh daya mengikat air jaringan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Persentase mg H2O fillet belut hasil analisis adalah 63,1%. Menurut Soeparno (2005), semakin besar persentase mg H2O yang terikat, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air.

Kandungan Gizi dan Daya Cerna Protein Belut

(33)

Tabel 7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 77,00 ± 0,08 %. Hasil analisis kadar air belut tidak berbeda jauh dengan literatur dan masih berada dalam rentang yang normal untuk daging ikan. Kadar air belut hasil analisis sedikit lebih tinggi daripada literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001). Kadar air memegang peranan penting pada pertumbuhan bakteri. Kadar air yang rendah dapat memperlambat kerusakan ikan (Stansby 1963 diacu dalam Vishwanath et al. 1998).

Kadar abu. Abu merupakan bahan anorganik yang tidak terbakar pada proses pembakaran. Abu menunjukkan elemen mineral suatu bahan pangan (Winarno 2008). Kadar abu fillet belut adalah sebesar 0,9% (bb) atau 4,7% (bk). Kadar abu belut menurut Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 7,00 ± 0,57 % (bk). Kadar abu belut hasil analisis lebih kecil dibandingkan literatur. Menurut Govindan (1985), kandungan abu pada ikan dapat digunakan untuk mengetahui komponen mineral dalam daging ikan seperti kalsium, sodium, dan potassium. Selain itu, ada komponen yang lebih kecil kandungannya seperti besi, tembaga, dan magnesium.

(34)

lebih kecil dibandingkan literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001).

Kadar protein. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Bahan pangan hewani (seperti telur, daging, susu, dan ikan), leguminose (seperti kacang-kacangan), dan serealia (seperti beras, gandum, dan jagung) umumnya mengandung protein yang tinggi (Andarwulan et al. 2011).

Kadar protein fillet belut hasil analisis sebesar 15,3% (bb) atau 76,7% (bk). Menurut Vishwanath et al. (1998), kadar protein kasar pada belut sebesar 79,00 ± 0,20% (bk). Kadar protein belut hasil analisis tidak berbeda jauh dengan literatur dan cederung lebih kecil. Hampir semua asam amino yang terdapat pada protein hewan juga terdapat pada protein daging ikan dan di antara asam-asam amino tersebut terdapat asam amino esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin, triptofan, dan fenilalanin (Irianto & Giyatmi 2009).

Kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat fillet belut sebesar 3,1% (bb) atau 15,8% (bk). Menurut USDA (2002), belut tidak mengandung karbohidrat. Kadar karbohidrat hasil analisis menunjukkan adanya karbohidrat pada daging belut dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi. Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), ikan mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman. Karena kandungannya yang sangat kecil, maka dapat diabaikan.

Kadar kalsium. Kalsium adalah salah satu mineral makro yang penting bagi tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang (Arisman 2004). Kadar kalsium fillet belut sebesar 387 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar kalsium belut berkisar 15 - 188 mg/100 g. Berdasarkan hasil analisis, kadar kalsium belut jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Namun demikian, kadar kalsium hasil analisis masih dalam rentang normal kadar kalsium ikan menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), yaitu berkisar antara 17 – 1751 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar kalsium yang jauh dapat terjadi disebabkan perbedaan jumlah tulang dan cangkang.

(35)

Kadar besi fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 109,7 mg/100g. Menurut Ruiter (1995), kadar besi pada belut berkisar antara 0,5 – 5,44 mg/ 100 g. Menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), kadar besi ikan berkisar antara 0,6 – 9,2 mg/ 100 g. Kadar besi belut hasil analisis menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar besi yang besar dapat terjadi dikarenakan kontaminasi logam serta perbedaan dalam metode analisis. Selain itu kondisi belut yang hidup di lumpur juga diduga dapat mempengaruhi kadar besinya.

Kadar fosfor. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier 2004). Kadar fosfor fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 217 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar fosfor belut berkisar antara 196 – 501 mg/ 100 g. Kadar fosfor belut hasil analisis menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur. Kalsium dan fosfor adalah mineral yang paling banyak terdapat pada ikan, manusia, dan organisme hidup lainnya. Kurang lebih 99% kalsium dan 80 – 85% fosfor terdapat pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat (Ruiter 1995).

Daya Cerna Protein. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein (Muchtadi 1989). Latar belakang penilaian mutu protein ialah karena tidak semua protein yang dikonsumsi dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh.

(36)

Pembuatan Bakso Belut Pembersihan daging belut

Pembuatan bakso diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan daging belut yang diinginkan. Belut yang digunakan pada penelitian ini merupakan belut segar yang diperoleh dari pasar Anyar. Belut yang sudah dimatikan kemudian dibersihkan dari kotoran yang ada di dalam perutnya. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), ikan disiangi bertujuan agar isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri tidak merusak daging ikan.

Setelah semua isi perut dibersihkan, pengirisan dilanjutkan mengikuti tulang belakang belut hingga tulang belakang terpisah dari dagingnya. Apabila tulang belakang sudah terpisah, kepala dan ekor dipotong sehingga hanya diperoleh daging belut tanpa tulang.

Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, lalu menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,8%. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), rendemen yang diperoleh dari proses fillet dan pelumatan berkisar antara 40 – 60% dari berat ikan, tergantung jenis ikannya.

Daging belut kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan darah yang menempel pada daging. Daging belut yang sudah bersih kemudian direndam di dalam air perasan jeruk nipis selama 15 menit. Setelah perendaman selesai, daging dicuci kembali untuk menghilangkan rasa asam dari air jeruk nipis yang masih menempel pada daging. Selanjutnya daging belut dipotong kecil-kecil untuk mempermudah proses penggilingan. Penghancuran daging ini bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam garam akan mudah keluar. Berikut ini disajikan beberapa gambar proses pembersihan daging belut (Gambar 4-7).

(37)

Gambar 6 Proses pengulitan daging belut Gambar 7 Daging fillet belut Pembuatan Bakso

Tahap pembuatan bakso diawali dengan proses penggilingan daging belut dengan penambahan garam dan es. Penambahan garam dalam pembuatan produk seperti bakso berfungsi untuk merenggangkan protein-protein miofibril serta untuk meningkatkan kemampuan mengemulsi (Lawrie 2003). Persentase garam yang ditambahkan adalah sebesar 3,5% dari berat total daging dan tepung yang digunakan. Persentase ini diperoleh melalui trial and error, sedangkan persentase penambahan es didasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa penambahan es sebanyak 20% dari berat daging menghasilkan tekstur yang terbaik. Oleh karena itu, pada proses pembuatan bakso selanjutnya digunakan persentase penambahan es sebanyak 20% dari berat daging. Menurut Hsu dan Yu (1999), penambahan lebih dari 2,2% garam dan air kurang dari 22% dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima.

(38)

dan lada yang ditambahkan diperoleh melalui trial and eror untuk menghasilkan rasa bakso yang terbaik.

Setelah daging belut halus, penggilingan dilanjutkan kembali dengan menambahkan bahan pengisi dan bumbu. Adonan yang sudah homogen didiamkan selama 3 menit lalu dicetak berbentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung. Pemanasan lebih dari suhu 80°C akan menyebabkan emulsi rusak yang ditandai dengan rusaknya elastisitas produk dan keluarnya lemak dari produk (Tanikawa 1971). Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Air es ini berfungsi untuk menghasilkan tekstur yang lebih kompak dan kenyal. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih. Perebusan kembali ini perlu dilakukan karena menurut Dewi (2002), proses pemanasan yang suhunya kurang dari 100°C tidak dapat membunuh semua bakteri pembusuk, terutama bakteri yang bersifat tahan pada suhu tinggi. Setelah bakso matang, bakso diangkat dan ditiriskan. Berikut adalah gambar bakso yang dihasilkan (Gambar 8 dan 9).

Gambar 8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka

Gambar 9 Bakso dengan bahan pengisi tepung sagu A1B1 A1B2 A1B3 A1B4

A2B4 A2B3

(39)

Karakteristik Organoleptik Bakso Belut

Karakteristik organoleptik belut diamati dengan menggunakan uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik yang dilakukan terhadap bakso belut meliputi beberapa atribut, yaitu kecerahan warna, aroma belut, aroma bumbu, tekstur, dan rasa belut. Uji hedonik yang dilakukan terhadap bakso meliputi tingkat kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa.

Kecerahan Warna. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut warna pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso Formula Mutu kecerahan warna Tingkat kesukaan

A1B1 4,24b 4,33a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk pangan. Konsumen seringkali melalui sifat warnanya telah dapat memberikan penilaian, baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis hidangan (Dewi 2002). Warna bakso belut yang dihasilkan adalah putih keabu-abuan. Hal ini disebabkan warna dasar daging belut yang putih keabu-keabu-abuan.

Hasil uji mutu hedonik terhadap kecerahan warna bakso berkisar antara 3,61 – 5,32. Nilai ini berkisar antara biasa sampai agak cerah. Nilai kecerahan warna yang semakin rendah menunjukkan mutu kecerahan warna bakso belut yang semakin gelap. Bakso belut dengan konsentrasi tepung tapioka 40% memiliki nilai kecerahan warna yang paling tinggi atau mendekati agak cerah, sedangkan bakso belut dengan konsentrasi tepung sagu sebanyak 20% memiliki nilai kecerahan warna yang paling kecil atau mendekati biasa.

(40)

(Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi atau mendekati cerah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p<0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung). Penggunaan jenis tepung yang berbeda pada berbagai taraf penambahan mempengaruhi mutu kecerahan warna bakso.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B2 berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B3, dan A2B4. Begitu juga dengan mutu kecerahan warna formula bakso belut A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A1B1 dan A2B1. Mutu kecerahan warna bakso belut A2B1 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B3. Mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B3 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B4, namun berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna pada formula bakso belut A1B3 dan A1B4.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap warna bakso belut menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso berkisar antara 4,29 – 4,65 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A2B3 dengan nilai 4,65 atau berada pada kisaran agak suka dan terendah formula bakso A2B2. Bakso belut yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak cerah, sedangkan yang paling tidak disukai adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak gelap.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna (Lampiran 4).

(41)

Aroma. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut aroma, baik aroma belut maupun aroma bumbu pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso Formula Mutu aroma

Aroma dari suatu produk dapat dideteksi ketika aromanya menguap dan masuk melalui hidung. Penguapan dari produk dipengaruhi oleh suhu dan komponen alami yang terkandung di dalamnya (Meilgaard et al 1999). Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma belut pada bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma belut pada bakso adalah 3,39 – 3,87 atau berada pada kisaran agak kuat sampai biasa. Nilai aroma belut yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma belut pada bakso yang semakin kuat.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso, sedangkan perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki aroma belut yang semakin lemah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (penambahan tepung pada berbagai taraf) terhadap mutu aroma belut pada bakso. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

(42)

3,92 atau berada pada kisaran agak lemah sampai biasa. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma bumbu pada bakso yang semakin lemah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso. Begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Baik perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda, taraf penambahan tepung, maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak mempengaruhi mutu aroma bumbu pada bakso yang dihasilkan.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap aroma bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap atribut aroma bakso berkisar antara 3,84 – 4,21 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A1B2 (4,21) dan terendah A1B4 (3,84). Bakso yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki aroma belut agak kuat dan aroma bumbu yang biasa.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

(43)

Tabel 10 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso Formula Mutu tekstur Tingkat kesukaan

A1B1 5,17d 4,37a

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut tekstur bakso menunjukkan bahwa tekstur bakso berkisar antara 3,83 – 5,17 atau berada pada rentang biasa hingga agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh bakso A1B1 yang berada pada rentang agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata terendah atau berada pada rentang biasa dimiliki oleh bakso A1B3.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) untuk mutu tekstur bakso menunjukkan perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu tekstur bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu tekstur bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tekstur yang lebih rendah atau alot.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu tekstur bakso. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa mutu tekstur bakso A1B4 tidak berbeda nyata dengan bakso A1B3, A2B4, A2B3, dan A2B2. Mutu tekstur bakso formula A2B2 berbeda nyata dengan bakso A1B1, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan mutu tekstur formula bakso A1B2 dan A2B1. Begitu juga dengan mutu tekstur formula bakso A1B1 berbeda nyata dengan bakso A1B3, A1B4, A2B2, A2B3, dan A2B4, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso A1B2 dan A2B1.

(44)

terendah A1B4 (3,86). Bakso yang paling disukai panelis adalah bakso dengan tekstur agak kenyal dan renyah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa baik perlakuan penambahan jenis tepung maupun taraf penambahan tepung tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut tekstur bakso. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut tekstur bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis untuk atribut tekstur bakso secara keseluruhan tidak berbeda nyata.

Rasa. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut rasa pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik rasa Formula Mutu rasa belut Tingkat kesukaan

A1B1 3,68a 4,96c

Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).

Hasil uji mutu hedonik tehadap atribut rasa belut pada bakso berkisar antara 3,68 – 4,24 atau berada pada rentang agak kuat sampai agak lemah. Nilai rata-rata mutu rasa belut terendah atau pada kisaran agak kuat dimiliki oleh bakso A1B1, sedangkan bakso A2B4 memiliki nilai mutu tertinggi yaitu pada kisaran agak lemah. Nilai rasa belut yang semakin tinggi menunjukkan mutu rasa belut pada bakso yang semakin lemah.

(45)

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu rasa belut pada bakso yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa mutu rasa belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.

Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap rasa bakso belut berkisar antara 3,79 – 4,96 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A1B1 dengan nilai rata-rata 4,96 atau berada pada kisaran agak suka. Nilai tingkat kesukaan terendah diberikan panelis pada bakso A2B4 dengan nilai rata-rata 3,79 atau berada pada kisaran biasa. Rasa bakso yang disukai panelis adalah bakso dengan rasa belut yang agak kuat mendekati sedang, sedangkan rasa bakso yang tidak disukai panelis adalah bakso yang memiliki rasa belut sedang mendekati agak lemah.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut rasa bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung maka tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso semakin menurun.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut rasa bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa bakso A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso A2B2, A2B1, A1B1, A1B4, dan A2B3. Begitu juga dengan tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa bakso A2B4 tidak berbeda nyata dengan bakso A1B3, A1B4, dan A2B3. Akan tetapi tingkat kesukaan panelis untuk aribut rasa pada bakso A2B4 dan bakso A1B3 berbeda nyata dengan bakso A1B2, A2B2, A2B1, dan A1B1.

(46)

Tabel 12 Hasil uji hedonik bakso secara keseluruhan

Hasil uji hedonik tingkat kesukaan terhadap keseluruhan bakso menunjukkan nilai rata-rata 3,95 – 4,57 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan tingkat kesukaan tertinggi untuk atribut keseluruhan terhadap bakso A1B1 dengan nilai rata-rata 4,57 atau berada pada kisaran agak suka. Tingkat kesukaan terendah untuk atribut keseluruhan diberikan panelis terhadap bakso A2B4 dengan nilai rata-rata 3,95 atau berada pada kisaran biasa.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung, maka tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso semakin menurun.

Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso.

(47)

terhadap atribut keseluruhan yang berbeda nyata dengan bakso A2B4 dan A1B4, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso A2B3, A1B3, A2B2,A1B2, dan A1B1. Tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A1B1 tidak berbeda nyata dengan bakso A2B2, A1B2, dan A2B1, namun berbeda nyata dengan tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A2B4, A1B4, A2B3, dan A1B3.

Berdasarkan hasil uji hedonik yang meliputi atribut warna, aroma, tekstur rasa, dan keseluruhan, formula bakso yang paling disukai panelis adalah A1B1 dengan penambahan tepung tapioka sebanyak 10% dari berat daging belut yang digunakan. Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa, tekstur, dan keseluruhan bakso A1B1 lebih tinggi dibandingkan formula bakso yang lainnya. Selain itu, penentuan bakso belut formula terpilih juga didasarkan pada persentase penerimaan yang dihitung berdasarkan banyaknya panelis yang menyatakan dapat menerima masing-masing formula (memberikan skor

penilaian ≥ 4,0). Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula

disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula Formula A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4

Berdasarkan tabel di atas, formula A1B1 memiliki persentase penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan formula lain, yaitu sebesar 71,7%. Oleh karena itu, formula A1B1 ditetapkan sebagai formula terpilih karena memiliki karakteristik yang lebih disukai panelis berdasarkan uji hedonik dan memiliki persentase peneriman yang lebih tinggi dibandingkan formula lain. Bakso A1B1 lebih disukai panelis karena memiliki kecerahan warna agak cerah, aroma belut biasa, aroma bumbu biasa, tekstur yang kenyal dan renyah, serta rasa belut yang sedang. Hasil ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa agar bakso lezat, tekstur bagus, dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10 – 15% dari berat daging.

Sifat Fisik Bakso Belut Terpilih

Water Activity (Aw). Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi

Gambar

Tabel 3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995)
Gambar 3 Diagram alir pembuatan bakso belut (Nurhayati 2009 dengan
Tabel 15 Kandungan zat gizi bakso belut  dan kontribusinya terhadap ALG per
Tabel 16 Perhitungan biaya pembuatan bakso belut formula terpilih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap karakteristik sensoris (warna, aroma, rasa, tekstur dan overall ) stik ikan dengan variasi bahan

Sedangkan daya terima terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan keseluruhan oleh panelis menunjukkan bahwa yang banyak disukai adalah mie basah dengan

Dalam penelitian ini dilakukan analisis kimia bakso ikan tenggiri terhadap bakso ikan tenggiri formula F4 (0,75% alginat) yang merupakan formula bakso yang paling disukai panelis

Hasil uji hedonik keseluruhan yaitu warna, tekstur, aroma, rasa menunjukkan bahwa rata-rata kesukaan konsumen bernilai 4 yang artinya konsu- men beranggapan kesukaan dari

Berdasarkan Gambar 3, penilaian panelis terhadap uji sensori menunjukkan bahwa parameter penampakan , tekstur dan aroma bakso ikan perlakuan A2B2 memiliki nilai rata-rata

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso. Selain itu, tujuan khusus pada penelitian ini

Uji Organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan (uji hedonik) terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur nugget tempe analog dengan jumlah perbandingan yang

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso 327 sama dengan bakso 558 kurang disukai karena komposisi jamur nya sedikit dan