• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Yang Diperoleh Dalam Pembebasan Jalan Tol Medan - Binjai

UPAYA PENYELESAIAN PEMBEBASAN LAHAN UNTUK KEPENTINGAN JALAN TOL MEDAN – BINJAI

C. Hasil Yang Diperoleh Dalam Pembebasan Jalan Tol Medan - Binjai

Pembangunan merupakan suatu proses mengubah masyarakat secara terencana, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dengan program-program yang sudah ditentukan melalui suatu kebijakan. Pembangunan itu sendiri meliputi semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Konsep pembangunan meliputi beberapa aspek multi kompleks, pembangunan bukan hanya persoalan ekonomi semata tetapi juga menyangkut aspek sosial budaya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya pembangunan tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial ekonomi dan budaya, hal ini berkaitan dengan sistem sosial dan juga faktor ekonomi maupun non ekonomi dari masyarakat yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan pembangunan jalan tol Medan-Binjai akan membuka kawasan hutan lindung dan produksi. Selain itu proyek

tersebut melewati tanah penduduk (sawah ataupun bangunan fisik seperti rumah dan sejenisnya). Sehubungan dengan hal tersebut maka pemerintah melakukan kebijakan yakni melakukan pembebasan lahan dengan melakukan sistem pemberian uang ganti rugi guna kepentingan pembangunan jalan tol Medan-Binjai.

Dalam pelaksanaan pembebasan lahan juga terdapat permasalahan berupa tidak sesuainya harga ganti rugi yang diberikan. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat dengan pemerintah terkait kesepakatan harga ganti rugi. Menetapkan nilai ganti rugi terhadap kerugian non fisik dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah tidaklah mudah mengukurnya karena sifatnya sangat relatif, tetapi dapat berakibat pemegang hak atas tanah akan meminta harga di atas harga pasaran karena mereka tidak berminat melepaskan bidang tanahnya yang terkena pembebasan lahan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan, penilaian atas tanah di Medan-Binjai telah dilakukan oleh pemenang tender konsultan penilai. Sebagian besar masyarakat yang menolak adalah masyarakat petani yang menopangkan penghidupannya dari hasil tanah yang dimiliki.

Pembangunan jalan tol merupakan salah satu alternatif perluasan lapangan kerja Medan-Binjai, jika dapat dikelola dengan baik. Oleh karenanya, pemerintah kabupaten harus mampu menghilangkan kesan, bahwa pembangunan jalan tol Medan-Binjai hanya untuk kepentingan investor dan kelompok tertentu saja. Dengan demikian, upaya perlawanan masyarakat terhadap pembangunan jalan tol dapat berkurang. Adanya pembangunan jalan tol khususnya jalan tol Medan-Binjai

menyebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian di beberapa Desa/dusun di beberapa di kecematan wilayah Medan dan Binjai. Dengan makin berkurangnya lahan pertanian, maka makin berkurang pula penduduk yang bekerja di bidang pertanian. Rencana pembangunan jalan tol Medan-Binjai disosialisasikan.

Proses pengumpulan berkas–berkas kepemilikan tanah mulai dilakukan. Sepanjang proses tersebut warga berusaha melengkapi segala persyaratan yang diminta oleh panitia pengadaan tanah. Warga berharap agar nantinya ketika segala berkas persyaratan sudah lengkap, dalam proses pembayaran uang ganti rugi tidak menemui kendala lagi. Setelah melengkapi segala berkas-berkas persyaratan yang diminta panitia pengadaan tanah. Dipenuhi oleh warga, proses selanjutnya adalah pemberian uang ganti rugi. Proses pemberian uang ganti rugi dimulai. Pemberian uang ganti rugi diberikan kepada warga yang tanah atau lahannya terkena pembangunan jalan tol Medan-Binjai. Proses pembayaran uang ganti rugi ini dilewatkan melalui rekening tabungan. Sehingga warga yang tanah ataupun lahannya diberi ganti rugi akan mendapatkan rekening tabungan yang didalamnya berisi nominal sesuai dengan luas lahan mereka yang terkena pembebasan. Setelah proses pembayaran uang ganti rugi sebagai upaya pembebasan lahan telah dilaksanakan. Proses pembangunan jalan tol Medan-Binjai dilanjutkan dengan proses eksekusi lahan berupa pengurukan. Dalam proses eksekusi ataupun pengurukan dilakukan pada awal tahun 2013 hanya sebagaian tanah lahan pertanian yang sudah dibebaskan saja, karena pada saat itu masih ada beberapa warga yang belum sepakat mengenai pembebasan atau lahan pertanian miliknya.

Pembebasan lahan di wilayah Medan-Binjai melibatkan lahan milik petani guna pembangunan jalan tol, memunculkan interaksi sosial antara pemerintah, dan rakyat (petani) selaku pemilik lahan. Pemerintah melakukan negosiasi dengan petani selaku pemilik lahan dengan jalan musyawarah, sebagai upaya untuk bekerjasama. Dalam hal ini pemerintah dan petani mencari kesepakatan jenis ganti rugi dan besarnya jumlah ganti rugi yang diinginkan petani. Para petani yang sepakat menerima ganti rugi dihimbau oleh pemerintah untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat oleh pemerintah selaku panitia pengadaan tanah.

Dalam proses pembebasan lahan tidak terlepas dari adanya konflik. Konflik tersebut muncul karena tidak adilnya pemerintah dalam menetapkan besarnya ganti rugi tanah. Munculnya konflik karena perbedaan struktur sosial antara pemerintah dengan petani disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan dalam hubungannya dengan kepemilikan lahan. Pemerintah memerlukan lahan guna pembangunan dan para petani memerlukan lahan pertaniannya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Hak kepemilikan tanah yang sebagaimana digunakan sebagai lahan pertanian milik petani dibebaskan oleh pemerintah melalui kebijakan pemberian uang ganti rugi. Pemerintah membentuk panitia pengadaan tanah demi mendukung kelancaran pembebasan lahan guna pembangunan jalan tol Medan-Binjai. Tidak bisa dipungkiri keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembebasan lahan disebabkan oleh prosedur yang tepat dalam melakukan pendekatan terhadap petani.

Pemerintah melakukan musyawarah untuk mengetahui jenis ganti rugi dan besarnya harga atas kepemilikan tanah yang diinginkan oleh petani. Para petani

menyadari betul bahwasanya upaya pemerintah dalam melakukan pembebasan lahan demi kepentingan umum. Sehingga para petani tidak ingin mempersulit pemerintah dalam upaya pembebasan lahan guna pembangunan jalan tol Medan-Binjai. Selain itu para petani bersedia untuk melepas kepemilikan lahannya karena mereka takut jika nantinya tidak mendapatkan ganti rugi atas tanah yang dimiliki jika menolak menjual tanah yang akan dibangun jalan tol Medan-Binjai.

Para petani yang ada di Kelurahan Tanjung Mulia dan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli dan Desa Tanjung Gusta khususnya para petani dengan kepemilikan lahan yang sempit serta yang berprofesi sebagai buruh tani cenderung untuk beralih atau bergeser profesi ke bidang pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Makin berkurangnya lahan pertanian di Kelurahan Tanjung Mulia dan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli dan Desa Tanjung Gusta akibat pembangunan jalan tol Medan-Binjai, menyebabkan banyaknya penduduk yang awalnya bekerja sebagai petani beralih pekerjaan ke bidang non pertanian, seperti menjadi pedagang, menjadi sopir, dan sebagainya. Fenomena tersebut menyebabkan bergesernya lapangan pekerja di bidang non pertanian, terutama petani miskin atau berlahan sempit. Makin berkurangnya lahan pertanian di Kelurahan Tanjung Mulia dan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli dan Desa Tanjung Gusta akibat pembangunan jalan tol Medan-Binjai, menyebabkan banyaknya penduduk yang awalnya bekerja sebagai petani beralih pekerjaan ke bidang non pertanian, seperti menjadi pedagang, menjadi sopir,dan sebagainya. Fenomena tersebut menyebabkan bergesernya lapangan pekerja di bidang non pertanian, terutama petani miskin atau berlahan sempit. Pemberian uang ganti rugi

lahan dimanfaatkan para petani untuk keperluan sebagai berikut: Pertama, para petani dengan lahan luas menerima uang hasil pembebasan lahan dengan jumlah yang sangat besar, di karenakan dalam pengerjaan pembangunan jalan tol Medan-Binjai menerjang keseluruhan sawah milik petani berlahan luas. Oleh karena jumlah yang sangat besar uang hasil pembebasan lahan tersebut mereka depositkan ke bank. Kedua, setelah mendapat uang ganti rugi, para petani yang umumnya merupakan petani berlahan luas dan sedang. Para petani tersebut membeli tanah di luar desa, luar kecamatan, bahkan luar kabupaten. Jeda waktu antara proses penerimaan uang ganti dengan proses eksekusi lahan, dapat dimanfaatkan untuk menggarap lahan pertaniannya. Dengan membeli sawah di luar desa mereka bisa memiliki lahan lagi. Ketiga, para petani yang sebagian lahan pertaniannya terkena pembebasan lahan dalam artian hanya beberapa dari luas lahannya yang terkena proyek pembangunan jalan tol. Sehingga sebagian lahan pertaniannya masih bisa digunakan untuk bertani. Oleh karenanya pemberian uang ganti rugi sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup para keluarga petani. Keempat, para petani dengan lahan sempit sangat kesulitan dalam upaya mencari lahan pertanian baru dikarenakan modal mereka yang tidak cukup banyak.

Hasil pemberian uang ganti rugi dimanfaatkan untuk penanaman modal. Alokasi penanaman modal digunakan petani sebagai modal investasi (seperti penyewaan sound sistem, tenda), untuk modal berdagang atau untuk modal pembelian sarana tranportasi yang digunakan untuk usaha jasa transportasi. Kelima, petani dengan lahan luas ketika lahan pertaniannya terkena pembebasan lahan pembangunan jalan tol Medan-Binjai, sudah dapat dipastikan bahwa mereka

akan mendapatkan uang ganti rugi yang tidak sedikit. Hal ini sesuai dengan luas lahan yang terkena dampak proyek pembangunan jalan tol.

Permasalahan yang umumnya muncul dari risiko pembebasan lahan adalah: 1. Permasalahan mengenai kepastian biaya pembebasan lahan, permasalahan ini

sangat sering muncul dalam proyek Infrastruktur, biaya awal pembebasan lahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan membengkak pada saat pembebasan lahan dilakukan.

2. Permasalahan mengenai waktu tersedianya lahan, permasalahan ini muncul dikarenakan sulitnya mencapai kesepakatan harga pembebasan lahan. Pemilik tanah umumnya meminta harga di atas harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sehingga menghambat proses pembebasan lahan.

Proses pemberian ganti kerugian berlangsung pada tahap musyawarah, aspek yang perlu diperhatikan pada saat menentukan besaran ganti kerugian adalah bentuk ganti kerugian untuk warga Kelurahan Tanjung Mulia dan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli dan Desa Tanjung Gusta, kesepakatan para pihak, hasil penilaian harga tanah, tenggat waktu, dan penetapan ganti kerugian. Pada pembuatan jalan tol Medan-Binjai ini bentuk ganti kerugian yang diberikan umumnya yaitu dalam bentuk uang, uang merupakan sarana yang mudah dalam melakukan transaksi apapun, sehingga uang merupakan pilihan warga terkait bentuk ganti kerugian pada pembuatan jalan tol Medan-Binjai meskipun sebenarnya bentuk ganti kerugian tidak hanya uang saja. Aspek bentuk ganti kerugian ini sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 13 yang isinya bentuk ganti kerugian terdiri dari uang, tanah

pengganti, pemukiman kembali, kepemilkan saham, dan bentuk lain yang disetujui oleh para pihak. Sesuai dengan keinginan warga, pemberian ganti kerugian jalan tol Medan-Binjai ganti kerugian yang diberikan yaitu dalam bentuk uang. Kesepakatan merupakan unsur penting dalam sebuah musyawarah, karena dengan kesepakatan maka tidak ada pihak yang merasa dirugikan satu sama lain. Pada pembuatan jalan tol Medan-Binjai sebagian masyarakat belum terjadi kesepakatan yang sepenuhnya, karena masih ada beberapa yang belum sepakat dengan ganti kerugian yang diberikan oleh panitia pengadaan tanah. Penilaian harga tanah pada pembuatan jalan tol dilaksanakan oleh tim appraisal yang ditunjuk langsung oleh Panitia Pengadaan Tanah, alurkerjanya yaitu melakukan survey ke lapangan tentang harga pasar tanah dan kemudian disesuaikan dengan NJOP yang ada. Penunjukan tim appraisal oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 28 ayat 1 penilaian harga tanah dilakukan oleh Tim Penilai Harga Tanah, dalam hal tidak terdapat Lembaga Penilai Harga Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). Pada musyawarah penentuan harga tanah pembuatan jalan tol Medan-Binjai, dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama terhadap lokasi pembangunan yang tidak dapat dialihkan, namun pada kenyataannya tenggat waktu dalam 120 hari ini belum bisa menyelesaikan kesepakatan yang diinginkan warga dan pihak Panitia Pengadaan Tanah. Panitia Pengadaan Tanah mengambil kebijakan konsinyasi kepada warga terkena proyek yang belum sepakat dengan besar ganti kerugian, hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2007 Pasal 37 ayat 4 yang isinya Jika pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap menolak, maka berdasarkan Berita Acara sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota memerintahkan agar instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi pelaksanaan pembangunan.

Pada kenyataannya, proses konsinyasiyang akan dilakukan Panitia Pengadaan Tanah bagi warga yang belum sepakat dengan ganti kerugian tidak kunjung dilaksanakan, sehingga hal ini memicu warga berontak dan memandang bahwa Panitia Pengadaan Tanah tidak berani dengan warga. Pada waktu konsinyasi berlangsung, warga yang terkena konsinyasi tidak ada yang berkenan mengiluti konsinyasi yang diadakan oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagai wujud penyelesaian warga yang belum sepakat dengan ganti kerugian. Walaupun semua prosedur yang dilakukan pada proses pengadaan tanah ini sudah berjalan dengan baik, namun pembutan jalan tol masih mengalami hambatan.

Pada pembuatan jalan tol Medan-Binjai tahapan dalam proyek besar ini sudah dilaksanakan dengan baik oleh Panitia Pengadaan Tanah, mulai dari proses pembebasan tanah, proses ganti kerugian namun pada kenyataannya masih ada warga yangtidak sepakat dengan harga ganti kerugian yang diberikan oleh pihak Panitia Pengadaan Tanah. Dalam menjalankan tugasnya dilapangan, Panitia Pengadaan Tanah berpedoman pada Peraturan Ketua Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2007 semua tahapan proses pembuatan jalan tol sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Penyelesaian masalah warga terkena

proyek yang masih belum sepakat dengan besar ganti kerugian yang diberikan sudah melalui beberapa cara, antara lain dengan mengadakan musyawarah lagi dengan warga supaya terjadi titik temu dan mendapatkan solusi, namun tidak ada hasilnya. Pemerintah pada dasarnya mempunyai dua cara memperoleh tanah pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yaitu dengan cara pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau perbuatan hukum lainnya yang disetujui oleh pemilik tanah. Pada pengadaan tanah untuk pembuatan jalan tol Medan-Binjai, semua cara sudah dilakukan untuk mencapai kesepakatan harga, namun tidak mencapai hasil oleh karena itu pemerintah mempunyai kuasa untuk melakukan pencabutan atas tanah guna mendapatkan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Pencabutan hak atas tanah adalah cara terakhir ketika semua prosedur yang dilaksanakan sudah tidak mencapai hasil, namum dalam pelaksanaan pencabutan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan dan benar-benar menunjukan bahwa tujuan pencabutan tanah itu semata-mata untuk kepentingan umum.

Masyarakat sangat mempunyai peranan penting pada proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum,dimana masyarakat merupakan salah satu pihak penting pada pembuatan jalan tol ini, maka dukungan masyarakat sekitar proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangatlah penting. Masyarakat Kelurahan Tanjung Mulia dan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli dan Desa Tanjung Gusta merupakan masyarakat dengan yang kebanyakan bermata pencaharian petani. Mereka menggarap sawah dan ladang untuk menghidupi keluarganya. Ketika ada sosialisasi tentang akan adanya proyek jalan tol yang

melewati desa mereka maka disambut dengan senang. Banyak hal yang membuat mereka senang, desa mereka akan menjdi ramai, tanah mereka juga akan menjadi mahal harganya. Warga Medan-Binjai sangat mendukung dengan adanya proyek jalan tol di desa mereka, sampai-sampai ketika pengukuran lahan ladang mereka di babat mereka rela. Warga mengatakan bahwa pada sosialisasi awal Panitia Pengadaan Tanah menjanjikan akan memberikan ganti untung bukan ganti rugi, ketika penulis melakukan wawancara di lapangan dan mendatangi rumah WTP (Warga Terkena Proyek), mereka semua menyatakan hal yang sama.

Di Negara Indonesia perumusan kebijakan pertanahan diletakkan pada Pasal 2 Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Pengertian “dikuasai” di sini berarti negara memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam untuk kepentingan rakyatnya. Jika masyarakat mendalami arti penting amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria maka mereka seharusnya lebih mengedepankan kepentingan umum. Tanah memiliki fungsi sosial seperti yang dikandung dalam UUPA, jadi ketika sudah disudutkan dengan kepentingan umum harapannya masyarakat rela melepaskan tanahnya demi negaranya. Pembuatan jalan tol Medan-Binjai bukanhanya untuk sekelompok

orang saja, namun untuk kepentingan umum dan semua warga Indonesia boleh menikmatinya.

Namun yang terjadi di lapangan ternyata lain, warga memang mendukung tetapi tidak sepakat dengan besar ganti kerugian yang diberikan. Hal ini berarti masyarakat tidak sepenuhnya mendukung akan adanya jalan tol Medan-Binjai, mereka mempunyai alasan seperti ini karena tanah mereka adalah satu-satunya aset mereka dalam memenuhi kebutuhan mereka, karena mata pencaharian mereka adalah tani. Warga yang belum sepakat dengan ganti kerugian, mereka masih memperjuangkan hak mereka sampai melakukan aksi ke beberapa instansi guna meminta bantuan. Warga yang belum sepakat masih menganggap bahwa harga yang diberikan masih sangat rendah karena tidak sesuai dengan harga pasaran secara umum. Secara umum pandangan masyarakat terhadap proses pembebasan tanah beragam, masyarakat di sekitar Medan-Binjai tersebut ada yang berpendapat proses pembebasan tanah berjalan dengan alot, ini dibuktikan dengan belum adanya titik temu antara warga terkena proyek dengan panitia pengadaantanah dalam menentukan harga. Tanggapan lain dari masyarakat yaitu dengan proses yang alot ini akan merugikan petani yang belum menyerahkan tanah dikarenakan tanah tersebut tidak bisa diolah. Dari berbagai pandangan warga tersebut, tentunya masyarakat sendiri yang akan dirugikan selama proses belum selesai ini akan menjadikan masyarakat akan menjadi resah.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam pembebasan jalan Tol Medan - Binjai saat ini adalah tercapainya kesepakatan antara pemerintahdan pemilik tanah. Adapun cara pengeloalaannya adalah dengan :

1. Rutin melaksanakan sosialisasi rencana pembangunan jalan tol kepada masyarakat disekitar lokasi rencana jalan tol yang akan dibuat dan membuat kesepakatan proses ganti rugi tanah secara wajar dan tidak saling merugikan untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan banyaknya calo tanah/perantara.

2. Pemerintah mempersiapkan dana untuk ganti rugi tanah tepat waktu sehingga proses pembayaran ganti rugi tanah tepat waktu.

3. Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintahan tingkat daerah yang lebih rendah seperti kecamatan, kelurahan, RW/RT disekitar lokasi rencana jalan tol dalamrangka inventarisasi lahan masyarakat untuk mengantisipasi adanya pembebasanlahan yang masih bersengketa atau belum jelas kepemilikan tanahnya.

BAB V

Dokumen terkait