• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODE PENELITIAN

C. Blok Kemiskinan

6 HASIL ESTIMASI MODEL

Estimasi model ekonometrika merupakan bagian dari prosedur yang harus ditempuh untuk melakukan simulasi. Hasil estimasi model ekonometrika dapat di manfaatkan untuk tujuan prediksi atau mendapatkan koefisien parameter yang nantinya dapat digunakan pada tahap simulasi model jika dipandang telah memenuhi berbagai macam persyaratan teoritis dan praktis berkenaan dengan teori ekonomi dan ekonometrika. Aspek yang menjadi perhatian utama dalam penelitian model ekonometrika adalah kesesuaian tanda pada setiap koefisien variabel eksogen dengan sifat hubungan antar variabel yang dikehendaki teori ekonomi (Yannizar, 2012). Validitas sebuah model dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2) dan uji baku signifikansi pengaruh variabel-variabel pengamatan baik secara parsial maupun uji secara bersama-sama menggunakan kriteria T- hitung dan F-statistik serta kemampuan memenuhi asumsi-asumsi klasik.

Tabel 14 Keragaan umum model transfer fiskal, perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan daerah tahun 2009-2013

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) dari tiap-tiap persamaan cukup besar. Sekitar sembilan persamaan struktural (65%) memiliki nilai koefisien determinasi lebih dari 0.70, dan hanya tiga persamaan struktural (21%) yang memiliki nilai koefisien determinasi kurang dari 0.50. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan dengan baik variabel endogen (endogenous variable), artinya telah memenuhi syarat kecocokan model (goodness of fit). Nilai R2 yang kecil terdapat pada persamaan upah sektor pertanian dan dua persamaan pada blok ketimpangan dan kemiskinan kecuali persamaan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Nilai R2 yang kecil pada yang terjadi pada indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga (2006) di Indonesia; Fan, et al. (2006) di Mesir; Daniels (2011) di Uganda; dan Lisna (2014) di Indonesia.

No. R2 F Value Pr > F

1. DJLN DAK Bidang Infrastruktur Jalan 0.70 33.2 <.0001

2. DIRGS DAK Bidang Infrastruktur Irigasi 0.68 38.09 <.0001

3. DINFLL DAK Bidang infrastruktur lain-lain 0.65 32.76 <.0001

4. MDL Belanja Modal 0.92 126.85 <.0001

5. PDRBA PDRB Sektor Pertanian 0.94 178.32 <.0001

6. PDRBNA PDRB Sektor Non Pertanian 0.96 425.05 <.0001

7. TKA Tenaga Kerja Sektor Pertanian 0.98 741.29 <.0001

8. TKNA Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian 0.99 1449.06 <.0001

9. UPHA Upah sektor Pertanian 0.13 2.65 0.0402

10. UPHNA Upah Non Pertanian 0.87 118.80 <.0001

11. PAD Pendapatan Asli Daerah 0.91 244.28 <.0001

12 GINI Indeks Gini 0.23 7.35 0.0002

13. POVD Jumlah kemiskinan di Pedesaan 0.97 398.80 <.0001

Tabel 15 Hasil uji multikolinieritas

Persamaan Predeterminan VIF Persamaan Predeterminan VIF

DAK jalan Kapasitas Fiskal 1.216 Tenaga Kerja

Pertanian Upah pertanian 1.000

Total penduduk

miskin 1.983

Lag PDRB

pertanian 9.161

Luas wilayah 2.248 Dummy 1.256

Dummy

1.3626

Lag tenaga kerja

pertanian 9.829

Lag DAK jalan

2.433

Upah Sektor Pertanian

Lag PDRB

pertanian 1.943

DAK Irigasi Kapasitas Fiskal 4.146 Total Jalan 1.453

Total penduduk

miskin 5.760 Dummy 1.187

Dummy

1.4030 Lag upah sektor

pertanian 1.321

Lag DAK irigasi 1.902 Upah Sektor

Non Pertanian

Produktivitas non

pertanian 1.687

DAK

infras.lainnya Kapasitas Fiskal 1.198 Total jalan 1.117

Total penduduk

miskin 2.818 Dummy 1.060

Dummy

1.3137

Lag upah sektor

non pertanian 1.650

Lag DAK infras.

lain-lain 2.301

Pendapatan asli

daerah Total PDRB 6.045

Belanja Modal Pendapatan asli

daearah 2.741 Pengeluaran daerah 6.313

DAK infrastruktur 2.359 Dummy 1.303

Dana alokasi

khusus 1.314

Indeks Gini Share PDRB

pertanian 3.128

Dana bagi hasil 1.972 Share PDRB non

pertanian 1.301 Dummy 1.3574 Dummy 2.682 Lag belanja modal 5.157 Kemiskinan Pedesaan Upah sektor pertanian 1.006 PDRB pertanian Tenaga kerja pertanian 9.587 Lag pengeluaran penduduk pedesaan 1.219

Belanja modal 1.076 Pertumbuhan

indeks gini 1.014

DAK Pertanian 1.259 Dummy 1.307

Luas lahan sawah

irigasi 8.279

Lag kemiskinan

pedesaan 1.543

Total jalan 1.429 Kemiskinan

Perkotaan Upah noon pertanian 1.033 Dummy 1.3787 Lag pengeluaran perkotaan 1.032 PDRB non pertanian

Tenaga kerja non

pertanian 2.503

Perubahan indeks

gini 1.035

Belanja modal 1.857 Dummy 1.072

Namun demikian, seluruh hasil uji F dalam penelitian ini menunjukkan signifikan secara statistik pada taraf α = 0.0001 kecuali upah sektor pertanian signifikan pada taraf α = 0.04. Selain itu nilai statistik F cukup besar berkisar antara 2.65 sampai 1449.06, berarti variasi variabel-variabel penjelas dalam setiap persamaan secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel endogennya, pada taraf α = 0.0001 dan upah sektor pertanian pada taraf α = 0.04.

Evaluasi kriteria ekonometrika di lihat dari kemampuan model dalam memenuhi uji asumsi klasik, dalam hal ini salah satu uji asumsi klasik yang di gunakan adalah uji multikolinieritas. Uji multikolinieritas merupakan uji untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang linier antar variabel bebas dalam persamaan. Kriteria yang digunakan yaitu nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas. Jika niali VIF kurang dari angka 10 maka tidak terdapat indikasi multikoliniritas sehingga taksiran parameter baik. Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa variabel pada masing-masing persamaan dalam model mempunyai nilai VIF kurang dari angka 10, artinya tidak ada indikasi penyimpangan asumsi klasik terkait dengan hubungan antar variabel bebas dalam satu persamaan.

Blok Kinerja Fiskal Daerah

Kinerja fiskal dalam hal ini di sajikan dalam persamaan penerimaan dan belanja daerah. Total penerimaan pemerintah disajikan dalam persamaan identitas, yang mana merupakan penjumlahan dari pendapatan asli daerah (PAD), dan Dana Perimbangan dari pemerintah pusat (DAPER), dan lain-lain pendapatan PAD yang sah (PADL). Sedangkan Pengeluaran (belanja) daerah juga disajkan dalam persamaan identitas yaitu penjumlahan dari belanja langsung (BL) dan tidak langsung (BTL).

Penerimaan Daerah Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur

Hasil Estimasi menunjukkan bahwa kapasitas fiskal (KAPFIS) yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah berpengaruh terhadap besarnya alokasi dana transfer dari pusat ke daerah. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah maka mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar, dan begitu sebaliknya. Hasil estimasi pada Tabel 16 sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu kapasitas fiskal berpengaruh negatif terhadap besarnya DAK jalan. Kapasitas fiskal dalam hal ini merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil (DBH). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Sumedi (2013). Hal yang sama juga terjadi pada persamaan DAK irigasi dan DAK infrastrukrur lainnya dimana kapasitas fiskal juga mempunyai pengaruh negatif pada kedua persamaan tersebut. Koefisien parameter kapasitas fiskal yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat kecil, begitu juga dengan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjangnya, pada persamaan DAK infrastruktur lainnya masing-masing sebesar - 0.02 dan -0.06, sedangkan pada infrastruktur jalan dan irigais hasilnya tidak signifikan. Artinya besarnya DAK infrastruktur lainnya akan berkurang 2.0 persen jika kapasitas fiskal suatu daerah naik sebesar 100 persen. Hal ini menunjukkan rendahnya responsibilitas DAK infrastruktur lainnya terhadap

perubahan kapasitas fiskal. Begitu juga pada DAK infrastruktur jalan dan irigasi. Sehingga besar kecilnya kapasitas fiskal pada suatu daerah tidak terlalu berpengaruh dalam peningkatan besarnya DAK infrastruktur. Dengan demikina berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal tidak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besarnya DAK infrastruktur yang diberikan kepada daerah, baik itu infrastruktur jalan, irigasi dan infrastruktur lain-lain. Hal ini dikarenakan dalam penentuan DAK terdapat kriteria lainnya, yaitu kriteria khusus dan teknis yang tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. Tabel 16 Hasil estimasi dan elastisitas variabel dana dak bidang infrastruktur

jalan, irigasi dan lain-lain DAK Jalan

Variable Parameter Pr > |t| Elastisitas

Estimate J.Pendek J. Panjang

Intercept 10093.38 0.4789 DKAPFIS -0.00058 0.9216 TPOV 0.006916 0.1238 0.077461 0.188181 LW 377.7009 0.0002 0.222651 0.540896 D 2509.63 0.8382 LDJLN 0.588367 <.0001 R-Square 0.70344 DAK Infrastruktur Irigasi (IRGS) Variabel Parameter Estimate Pr > |t| Elastisitas J.Pendek J. Panjang Intercept 7580.396 0.0916 LKAPFIS -0.00039 0.6524 LTPOV 0.006975 0.0018 0.234013 0.4636 D 6557.807 0.0857 LDIRGS 0.495227 <.0001 R-Square 0.68213 DAK Infrastruktur lain-lain Variabel Parameter Estimasi Pr > |t| Elastisitas J. Pendek J. Panjang Intercept 9384.437 0.0094 DKAPFIS -0.00201 0.1785 -0.02822 -0.06725 TPOV 0.002991 0.0306 0.13065 0.311306 D -1814.81 0.5561 LDINFLL 0.580293 <.0001 R-Square 0.64857

Faktor lainnya adalah jumlah penduduk miskin (TPOV) yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi DAK bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan infrastruktur lainnya sebagaimana hipotesis yang di harapkan, hal ini dikarenakan salah satu peruntukan DAK adalah percepatan pengentasan

kemiskinan. Daerah dengan jumlah penduduk miskin besar maka mendapatkan DAK infrastruktur yang besar pula. Koefisien parameter variabel jumlah penduduk miskin dari ketiga persamaan tersebut sangat kecil, dimana koefisien parameter DAK jalan dan irigasi mempunyai nilai yang besarnya hampir sama, sedangkan DAK lainnya nilainya paling kecil yaitu 0.0029. Artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1000 jiwa maka besarnya DAK lain-lain meningkat sebesar 2.9 juta. Koefisien elastisitas yang juga kecil menunjukkan rendahnya responsibilitas DAK infrastruktur terhadap perubahan jumlah penduduk miskin di suatu daerah, terutama pada besarnya DAK infrastruktur jalan, koefisien elastisitasnya hanya sebesar 0.077. Artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen, maka besarnya DAK infrastruktur jalan naik sebesar 0.7 persen.

Selain itu, pada persamaan DAK jalan terdapat juga variabel luas wilayah yang berpengaruh positif dan signifikan. Artinya semakin besar luas wilayah di suatu daerah menyebabkan kebutuhan terhadap infrastruktur jalan semakin besar, sehingga mendapatkan DAK jalan yang juga besar. Variabel dummy menunjukkan tanda yang positif pada DAK jalan dan irigasi, hal ini menunjukkan ada perbedaan besarnya DAK jalan dan irigasi antara provinsi pertanian tinggi dengan provinsi pertanian rendah. Sedangkan pada DAK infrastruktur lainnya tidak ada perbedaan yang nyata antar keduanya. Sedangkan variabel lag endogen pada ketiga persamaan DAK bidang infrastruktur, semuanya berpengaruh positif dan signifikan. Artinya besarnya DAK infrastruktur tahun berjalan di pengaruhi oleh informasi dan data DAK infrastruktur pada tahun sebelumnya.

Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperoleh dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam konteks desentralirasi pemerintah daerah di tuntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki untuk membiayai kegiatan daerah. Besarnya PAD akan menggambarkan kemandirian suatu daerah.

Tabel 17. Hasil estimasi dan elastisitas variabel pendapatan asli daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah

Variable Parameter Pr > |t| Elastisitas

Estimate J.Pendek Intercept 39618.84 0.9054 TPDRB 0.021447 <.0001 0.649123 PLD 0.0709 0.0041 0.389705 D -77988.4 0.785 R-Square 0.91054

Hasil estimais pada Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah memberikan respon positif dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen terhadap variabel total PDRB dengan koefisien elastisitasnya sebesar 0.64. Artinya jika peningkatan total PDRB sebesar 10 persen maka mampu meningkatkan PAD

sebesar 6.4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa total PDRB masih perlu di tingkatkan untuk menambah pendapatan asli daerah.

Selain itu, PAD juga dipengaruhi oleh variabel pengeluaran daerah (PLD), dimana penerimaan merupakan fungsi dari pengeluaran. PLD berpengaruh positif sebagaimana hipotesis yang di harapkan dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen. Jika pengeluaran daerah naik maka besarnya PAD juga meningkat. Niali elastisitas sebesar 0.38 menunjukkan bahwa perubahan PAD kurang responsif terhadap perubahan variabel pengeluaran daerah. Dimana jika PLD naik 10 persen maka PAD merespon hanya sebesar 3.8 persen. Sedangkan variabel dummy bernilai negatif dan tidak signifikan, hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata besarnya PAD anatara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah. Belanja Modal

Besarnya pengeluaran terutama pengeluaran modal tergantung pada penerimaan. Oleh karena itu belanja modal daerah dalam penelitian ini di duga dipengaruhi oleh unsur-unsur penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah (PAD), DAK infrastruktur, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Tabel 18. Hasil estimasi dan elastisitas variabel belanja modal Belanja Modal

Variable Parameter Pr > |t| Elastisitas

Estimate J.Pendek J. Panjang

Intercep -37038.6 0.8641 PAD 0.120538 0.001 0.110937 0.405129 INFR 2.387266 0.0309 0.155795 0.568943 DDAU 0.071231 0.3644 DBH 0.149938 0.058 0.072386 0.264343 D -25893.3 0.8804 LMDL 0.726168 <.0001 R-Square 0.91688

Peran stimulus fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akan lebih efektif jika tersedianya alokasi belanja modal yang cukup. Hasil estimasi menunjukkan bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan berpengaruh positif terhadap belanja modal sebagaimana hipotesis yang di harapkan, sedangkan dari signifikansi variabel hanya DAU yang pengaruhnya tidak signifikan terhadap belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya DAU yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap belanja modal. Kondisi ini dapat dijelaskan dari temuan Lisna (2014) bahwa pemerintah daerah mempergunakan setengah dari DAU untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil (PNS). Temuan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian World Bank (2007) yang juga menyatkan bahwa lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakast justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa DAU lebih diutamakan untuk kebutuhan

administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembnagunan daerah.

Sementara DAK infrastruktur mempunyai pengaruh paling besar terhadap belanja modal, dan nilai elastisitas jangka panjangnya cukup besar yaitu 0.57. Hal ini dapat diartikan dalam jangka panjang apabila DAK infrastruktur dinaikkan 10 persen maka akan menambah belanja modal sebesar 5.7 persen. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan Situngkir (2009) yang menyatakn bahwa DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sementara lembaga penelitian SMERU (Syaikhu dkk, 2008) juga menyatakan bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa DAK infrastruktur memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap belanja modal adalah pendapatan asli daerah, PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hal ini dikarenakan PAD merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah dalam menciptakan barang modal, termasuk infrastruktur daerah. Semakin baik PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya (Ardhani 2011). Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya (Wandira, 2013).

Dana bagi hasil (DBH) yang merupakan unsur dana perimbangan berpengaruh positif dan juga signifikan terhadap belanja modal. Dana bagi hasil bersama PAD dapat menggambarkan besarnya kapasitas fiskal daerah. Sehingga jika DBH suatu daerah besar maka berdasarkan temuan ini sudah bisa dipastikan belanja modal akan meningkat, namun respon peningkatannya kecil karena DBH mempunyai nilai koefisien parameter dan koefesien elastisitas yang kecil. Jika DBH ditingkatkan 10 persen maka belanja modal hanya meingkat 0.7 persen. Belanja modal pada tahun sebelumnya juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap belanja modal tahun berjalan. Artinya, pemerintah menggunakan data- data atau pengalaman tahun sebelumnya dalam menggunakan belanja modalnya. Sedangkan dummy variabel bertanda negatif dan tidak signifikan artinya tidak ada perbedaan yang nyata kaitannya dengan belanja modal antara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah.

Blok Kinerja Perekonomian (Output, Tenaga Kerja dan Upah Sektoral) Analisis dampak alokasi DAK infrastruktur terhadap perekonomian di dekati salah satunya dengan kinerja output atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dalam hal ini dikalsifikaikan ke dalam sektor pertanian dan non pertanian. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan alokasi DAK infrastruktur dengan kinerja perekonomian sektoral. Dalam hal ini output sektor pertanian merupakan agregasi dari nilai produksi sub sektor-sub sektor di

bawahnya. Sedangkan output sektor non pertanian adalah penjumlahan dari PDRB sektor-sektor perekonomian selain sektor pertanian.

Hasil estimasi parameter variabel yang berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian dan non pertanian dapat dilihat pada Tabel 18, komponen PDRB sektor pertanian terdiri dari variabel tenaga kerja sektor pertanian (TKA), DAK bidang pertanian (DAKPER), belanja modal (MDL), luas lahan sawah irigasi (LLSI), dan total jalan (TJLN). Secara keseluruhan hasil estimasi parameter memberikan pengaruh positif dan signifikan, hanya variabel total jalan yang tidak memberikan pengaruh secara signifikan. Persamaan PDRB sektor non pertanian di dekati dengan variabel tenaga kerja non pertanian (TKNA), belanja modal (MDL) dan total panjang jalan (TJLN), semuanya berpengaruh positif dan signifikan sesuai hipotesis dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut di antaranya dipilih berdasarkan dari teori Solow yang menyatakan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang merupakan hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi (Dornbusch, et al., 2008).

Tabel 19. Hasil estimasi dan elastisitas variabel PDRB sektor pertanian dan non pertanian

PDRB sektor pertanian

Variable Parameter Pr > |t| Elastisitas

Estimate J.Pendek Intercept -3139857 0.0803 TKA 5.063561 <.0001 0.611665 DAKPER 2584221 0.0748 0.163716 DMDL 2.136819 0.0022 0.031537 LLSI 19.72399 0.0002 0.299051 TJLN 36.42456 0.2434 D 2075896 0.0478b R-Square 0.93942 PDRB sektor non Pertanian Variabel Parameter Pr > |t| Estimate Elastisitas J. Pendek Intercept -2.32E+07 0.0006 TKNA 19.18972 <.0001 0.851943 LMDL 6.627932 0.0003 0.273195 LTJLN 850.3962 0.0072 0.213212 D 1850907 0.7515 R-Square 0.95991

Hasil estimasi menunjukkan koefisien parameter tenaga kerja sektor pertanian (TKA) bertanda positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, dan variabel tenaga kerja sektor pertanian mempunyai elastisitas terbesar dari variabel-variabel lainnnya di dalam persamaan, yaitu 0.6 persen. Artinya jika TK pertanian naik sebesar 10 persen berpotensi meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 6.0 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tambahan penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian masih dapat meningkatkan PDRB sektor pertanian. Hasil

ini sejalan dengan dengan hasil penelitian Lisna (2014) dan Budiyanto (2014). Dengan demikian tambahan tenaga kerja di sektor pertanian hendaknya dialokasikan pada daerah-daerah yang mempunyai lahan pertanian yang masih luas. Hal ini diharapkan dengan tambahan tenaga kerja pada daerah yang lahan pertaniannya luas tersebut akan menjadikan pengusahaan pertanian menjadi lebih intensif sehingga produksi dan produktivitasnya meningkat.

Selanjutnya pengaruh dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap PDRB sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan pada taraf 10 persen. Berdasarkan nilai koefisien parameter menunjukkan bahwa DAK bidang pertanian memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap PDRB sektor pertanian. Namun, koefisien elastisitas yang kecil menunjukkan rendahnya responsibilitas PDRB sektor pertanian terhadap besarnya perubahan DAK bidang pertanian. Artinya, DAK bidang pertanian yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan PDRB sektor pertanian, begitu juga DAK bidang pertanian yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan PDRB sektor pertanian. Sedangkan luas lahan sawah irigasi (LLSI) berpengaruh positif dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen dengan koefisien elastisitas sebesar 0.29 persen, sedikit lebih responsif di bandingkan nilai elastisitasnya DAK bidang pertanian. Luas lahan irigasi menjadi proksi dari input produksi sebagaimana di dalam teori produksi, semakin meningkat input produksi maka jumlah output akan meningkat.

Sedangkan pada persamaan PDRB sektor non pertanian koefisien parameter tenaga kerja non pertanian (TKNA) mempunyai hubungan positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, dan koefisien elastisitasnya juga mempunyai nilai terbesar di bandingkan dengan variabel lainnya yaitu sebesar 0.85 persen. Artinya jika tenaga kerja ditingkatkan sebesar 1.0 orang maka PDRB sektor non pertanian naik sebesar 19.19 juta rupiah, peningkatannya hampir 5 kali lipat lebih besar di bandingkan peningkatan PDRB sektor pertanian. Jika dilihat tingkat elastisitasnya maka peningkatan 10 persen TK non pertanian berpotensi meningkatkan PDRB sektor non pertanian sebesar 8.5 persen. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sumedi (2014), dimana PDRB sektor non pertanian dalam penelitian tersebut dilihat dari pejumlahan nilai PDRB sektor industri dan sektor jasa, kedua sektor tersebut mempunyai nilai elastisitas tenaga kerja terbesar di bandingkan dengan variabel lainnya, masing-masing yaitu 0.87 persen dan 0.925 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor non pertanian masih butuh penambahan tenaga kerja untuk meningkatakn PDRB nya. Dari hasil estimasi kedua persamaan ini menunjukkan bahwa baik sektor pertanian maupun non pertanian sama-sama bersifat padat karya (labour intensive).

Adapun variabel belanja modal dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik, sehingga dapat mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Oleh karenanya belanja modal di harapkan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja serta pengurangan kemiskinan. Dalam penelitian ini pengaruh variabel belanja modal terhadap PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, namun mempunyai koefisien parameter estimasi dan elastisitas yang kecil. Padahal besarnya belanja modal sangat menentukan besarnya output ekonomi termasuk PDRB sektor

pertanian. Respon PDRB sektor pertanian terhadap peningkatan belanja modal sebesar 10 persen hanya meningkat sebesar 0.3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya belanja modal belum cukup mampu mendorong PDRB sektor pertanian. Berbeda halnya dengan PDRB sektor non pertanian, dimana koefisien parameter dan tingkat elastisitasnya lebih besar daripada sektor pertanian, serta mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen. Berdasarkan hasil estimasi, jika belanja modal dinaikkan 10 persen maka PDRB sektor non pertanian memberikan respon peningkatan sebesar 2.7 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa belanja modal daerah lebih condong pada pembiayaan tehadap sektor non pertanian.

Selanjutnya variabel total panjang jalan mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB sektor pertanian maupun PDRB sektor non pertanian, namun terhadap PDRB sektor pertanian tidak signifikan. Hal ini diduga bahwa keberadaan panjang jalan belum dimanfaatkan secara maksimal oleh kegiatan di sektor pertanian. Dalam penelitian ini total panjang jalan merupakan penjumlahan dari panjang jalan nasional, panjang jalan provinsi dan panjang jalan kabupaten. Variabel dummy menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian berbeda signifikan antara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah, sementara PDRB sektor non pertaniannya bebeda tidak signifikan antara daerah pertanian tinggi dan daerah pertanian rendah.

Tenaga Kerja Sektoral

Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Pada analisis dampak DAK infrastruktur terhadap perekonomian, yaitu pada penyerapan tenaga kerja juga dilakukan pemilihan berdasarkan dua

Dokumen terkait