• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

3 KERANGKA TEOR

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah.

Fritzen (2006) mendefinisikan bahwa desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah. Desentralisasi fiskal juga menentukan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah, secara agregat dan detail. Namun hakekat sebenarnya desentralisasi fiskal bukan sekedar realokasi sumberdaya antar pemerintah pusat dan daerah, namun menyangkut juga perubahan konfigurasi institusi pemerintah, hubungan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal juga menyangkut pemberdayaan pemerintah daerah dalam manajemen barang publik untuk mendukung pembangunan.

Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan layanan publik karena melalui peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan semakin sesuainya ketersediaan barang publik dengan preferensi lokal. Demikian halnya terjadi peningkatan akuntabilitas, penyederhanaan birokrasi dan menurunnya biaya layanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan pembangunan dapat dicapai.

Penerapan desentralisasi fiskal pada negara berkembang bertujuan untuk mendukung pengentasan kemiskian dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, hal ini memerlukan dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan, dalam mencapai efisiensi alokasi sumberdaya dan penyediaan layanan publik yang lebih baik. Desentralisasi, atau distribusi fungsi administrasi dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: (1) desentralisasi politik, yaitu transfer kewenangan politik kepada pemerintah daerah, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan perwakilan rakyat, (2) desentralisasi fiskal, yaitu adanya realokasi sumberdaya yang mendukung pemerintah daerah dapat berperan dengan baik, (3) desentralisasi administrasi, yaitu transfer pengambilan keputusan, sumberdaya, dan juga tanggung jawab dalam penyediaan layanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2) pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi.

Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar.

Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah (intergovenmental fiscal tranfers). Berdasarkan kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan wilayahnya, pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan pembiayaan bagi pembangunan daerah melalui transfer ke daerah. Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Pada prinsipnya, tujuan utama implementasi transfer adalah mengurangi ketidakseimbangan fiskal. baik secara horizontal maupun secara vertikal. Sungguhpun demikian, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Kuncoro, 2004)

Menurut World Bank, intergovernmental fiscal transfer merupakan sumber penerimaan utama bagi pemerintah daerah (subnational government) di negara- negara berkembang. Fungsi utama transfer adalah menjaga efisiensi dan kesetaraan lokal fiskal dan penyediaan layanan kesehatan pemerintah sub- nasional. Berbagai literatur ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan

beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah (Siddik, 2004), yaitu:

1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal.

Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang besar penerimaannya relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat.

2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal.

Kenyataan empirik di berbagai negara menunjukkan bahwa kapasitas atau kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besar tidaknya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di

setiap daerah. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan bantuan (subsidi) agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif (pemerataan) dari sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.

Menurut World Bank (2008) pada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan kedalan dua kategori besar yakni transfer tanpa syarat (unconditional transfer, general purpose grant, block grant) dan transfer dengan syarat (conditional grant, categorical grant, specific purpose grant). Ciri dari unconditional transfer adalah daerah atau lokal memiliki keleluasaan penuh dalam mengelola dan mengalokasi dana yang ditransfer dari pusat. Tujuan dari transfer ini adalah horizontal equalization transfer. Sedangkan ciri dari conditional grant adalah transfer yang syarat dan ketentuannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan seringkali tujuan dari transfer ini dianggap penting oleh pemerintah pusat dan akan tetapi bisa saja dianggap tidak penting oleh pemerintah daerah. Conditional Grant ini dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yakni : (1) Matching Grants, adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan suatu jenis urusan atau program tertentu. Tujuan mengatasi eksternalitas akibat pelayanan publik disuatu daerah dapat diselesaikan dengan matching grant. (2) Non-matching Grants, adalah transfer dari pusat untuk menambah dana penyelenggaraan sustu jenis urusan atau program tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri telah atau akan mengalokasikan sumber dananya dengan jumlah besar atau

kecil urusan atau program tertentu. Tujuan mengatasi eksternalitas akibat pelayanan publik disuatu daerah dapat diselesaikan dengan matching grant.

Sedangkan menurut Siddik (2004) jenis transfer antar pemerintahan di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu revenue sharing (Dana Bagi Hasil), general purpose grant (Dana Alokasi Umum), dan specific purpose grant (Dana Alokasi Khusus). Lebih lanjut lagi Siddik mengemukakan bahwa terdapat enam (6) tujuan utama transfer antar pemerintahan di Indonesia, yaitu:

1. Untuk mengatasi kesenjangan fiskal secara vertikal di antar tingkat pemerintahan (DAU, dana bagi hasil).

2. Menyamakan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam memberikan layanan kepada masyarakat (DAU).

3. Mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional (DAK). 4. Mempromosikan pencapaian standar minimum bagi infrastruktur yang ada

(DAK).

5. Sebagai kompensasi untuk biaya yang melampaui batas di daerah-daerah utama (DAK).

6. Merangsang tanggung jawab daerah (DAK).

7. Merangsang mobilisasi pendapatan (Dana Bagi Hasil, DAU, DAK). Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai program-program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam kaitan dengan pengelolaan APBN secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia maka pencapaian sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut formulasi distribusi dan alokasi dari penentuan besarnya pengeluaran memegang peranan penting dalam pencapaian target kebijaksanaan fiskal. Kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan yang sudah diserahkan kepada daerah melalui otonomi daerah atau desentralisasi (Saragih, 2003). Belanja langsung dalam sistem anggaran pemerintah menunjukkan pengeluaran pembangunan yang digunakan untuk program-program pembangunan yang hasilnya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Komposisi belanja langsung terdiri dari belanja

pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Aset tetap/aset lainnya tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja atau dipergunakan oleh masyarakat/publik (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Anggaran belanja modal tersebut, bersama-sama dengan anggaran belanja barang, akan dialokasikan ke berbagai program pembangunan sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan.

Konsep Infrastruktur

Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang dan kepentingannya. Tidak ada kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktivitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya pembedaan infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi (economic overhead capital) dan infrastruktur sosial (social overhead capital) (Torrissi, 2009). Infrastruktur ekonomi seperti jalan, jaringan irigasi, pelabuhan, lapangan terbang, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi, merupakan jenis infrastruktur yang berperan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan pemerintah, dan sekaligus berfungsi sebagai input dalam proses produksi pada berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur sosial seperti jasa pendidikan dan pelayanan kesehatan, berperan untuk meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan dan produktivitas tenaga kerja.

Menurut ahli keuangan, mendefinisikan infrastruktur berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan penerimaan dan derajat profitabilitas atau tingkat subsidi yang diperlukan suatu jenis infrastruktur. Para politisi dan ahli administrasi publik umumnya mendefinisikan infrastruktur dari perspektif kepemilikan dan pelaku yang bertanggung jawab menyediakannya. Dari sisi ini, infrastruktur dapat dibedakan menjadi public infrastructure dan private infrastructure. Para ahli konstruksi umumnya menfokuskan pada karakteristik fisik dari suatu jaringan atau aset infrastruktur seperti jalan, rel kereta, pelabuhan dan peralatan pemeliharaannya, pembangkit tenaga listrik, jaringan komunikasi dan sebagainya. Penyedia jasa infrastruktur lebih menitikberatkan perhatiannya pada kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan infrastruktur dan tujuan komersial dari proyek infrastruktur yang dikerjakannya. Pengguna jasa infrastruktur seperti rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, tidak terlalu peduli dengan berbagai definisi dan klasifikasi infrastruktur. Mereka lebih memperhatikan kemungkinan terbaik yang dapat diperoleh dari ketersediaan infrastruktur, dengan jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau (Delis, 2008). Investasi di bidang infrastruktur sering dibedakan antara jasa infrastruktur dan fasilitas infrastruktur. Jasa infrastruktur merupakan penawaran komoditas jasa yang dihasilkan dari penyediaan infrastruktur seperti listrik, air bersih, saluran limbah, informasi dan jasa pengangkutan. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada konsep infrastruktur dari sisi ilmu ekonomi yang menempatkan infrastruktur sebagai barang modal fisik. Dengan perspektif ini, infrastruktur berguna dalam

memenuhi konsumsi bagi rumahtangga, produsen dan pemerintah serta berperan sebagai input dalam proses produksi. Pembiayaan infrastruktur bersumber dari kebijakan stimulus fiskal yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia tahun 2009.

Pengklasifikasian infrastruktur menjadi infrastruktur publik dan infrastruktur privat berkaitan dengan pengkategorian barang atas barang publik dan barang privat. Klasifikasi infrastruktur tidak berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan oleh semua individu. Bagaimana setiap individu mengkonsumsi jasa infrastruktur dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan investasi infrastruktur. Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan permintaan jasa infrastruktur dan menjadi pokok dalam menggerakkan investasi dalam bidang infrastruktur. Dilihat dari fungsinya infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektor-sektor lainnya dan dapat membantu mengefisienkan alokasi sumber- sumber ekonomi untuk menghasilkan output yang optimal. Dengan fungsi demikian jasa yang dihasilkan oleh infrastruktur harus disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan merata antar sektor maupun lokasi, agar kegiatan di semua sektor dapat berjalan dengan baik.

Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai the promoting sector lebih menonjol daripada perannya sebagai the serving sector. Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangunmendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Pada kondisi awal inilah peranpemerintah dalam penyediaan infrastruktur lebih dominan. Pada tahap selanjutnyaketika ekonomi telah berjalan normal, sehingga membutuhkan jasa infrastrukturyang cukup, maka swasta mulai berperan secara berkesinambungan. Kondisi inididukung oleh tingkat profitabilitas yang dapat diperoleh oleh pihak swasta atas investasinya di bidang infrastruktur tersebut.

Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah: 1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua

investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja.

2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja

3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007) Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005). Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988).

Teori Pertumbuhan Solow

Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, et al., 2008):

Y = A.F(K, N) ... (3.1) Dimana, Y : output K : akumulasi modal N : tenaga kerja A : teknologi

Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium (keseimbangan yang mapan). Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita (Y/N = y) dan modal per kapita (K/N = k) stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah (Δy = 0 dan Δk = 0). Ilustrasi pada Gambar 4 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y* dan k*. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : (1) jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan ouput per kapita (y) meningkat; (2) jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan output per kapita (y) berkurang.

Sumber: Dornbusch, et al. (2008)

Gambar 4. Model pertumbuhan solow: output dan investasi

Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale (CRS) yaitu y = f(k) dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal (MPK) yang berkurang (diminishing positive marginal product of capital). Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu:

Y = AKθN1-θ... (3.2) Fungsi produksi per kapitanya adalah:

y = Y/N = AKθN1-θ/N = AKθN-θ/N = A(K/N)θ = Akθ ... (3.3) Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita (k) pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n (= ΔN/N) dan tingkat depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan, investasi yang dibutuhkan

untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = (n+d)k. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan (s) maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka:

sy = sf(k) ... (3.4) Perubahan modal per kapita (Δk) adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu:

Δk = sy – (n+d)k ... (3.5) Selanjutnya, kondisi steady-state (Δk = 0) terjadi pada y* dan k* yang memenuhi: sy* = sf(k*) = (n+d)k* ... (3.6) Solusi steady-state pada Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus (n+d)k adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja (k) agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k*. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k) maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan.

Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen pada dasarnya lahir untuk mengkritisi model pertumbuhan Solow. Setelah mengamati ketimpangan pendapatan antar negara. Teori pertumbuhan endogen ini berupaya untuk menjelaskan berbagai faktor yang menentukan besar kecilnya tingkat pertumbuhan GDP. Salah satu tujuan dari teori pertumbuhan adalah menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan. Model pertumbuhan Solow menunjukkan, bahwa pertumbuhan berkelanjutan itu harus berasal dari kemajuan teknologi, tetapi dari mana kemajuan teknologi berasal, masih menjadi tanda tanya. Dalam model Solow, hal

Dokumen terkait