• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal Dan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia : Analisis Data Provinsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal Dan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia : Analisis Data Provinsi"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA

MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA :

ANALISIS DATA PROVINSI

NOR QOMARIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)

RINGKASAN

NOR QOMARIYAH. Dampak Transfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi. (SUHARNO sebagai Ketua, D.S PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi diindikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya.

Kondisi kemiskinan di Indonesia pada era desentralisasi fiskal mengalami penurunan dari 16.66 persen pada tahun 2004 menjadi 11.47 persen pada tahun 2013. Akan tetapi jumlahnya masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebih-lebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Tidak tercapainya target kemiskinan di Indonesia dikarenakan laju penurunan kemiskinan samakin melambat, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin besar diduga menjadi penyebab melambatnya laju penurunan kemiskinan tersebut. Kemiskinan sekaligus ketimpangan dapat diturunkan melalui pertumbuhan pro poor, yaitu pertumbuhan yang berpihak kepada mayoritas penduduk miskin, dengan pertumbuhan pro poor maka terjadi perbaikan pendapatan masyarakat miskin melalui penggunaan tenaga kerja yang intensif. Pertumbuhan pro poor akan tercipta jika pemerintah memperioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastrkur. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu dana transfer fiskal pada era desentralisasi yang tujuannya untuk mendanai sarana prasaran khusus daerah yang menjadi prioritas nasional termasuk untuk mendanai sektor infrastruktur dan pertanian. Peningkatan DAK akan berdampak langsung terhadap pembanguna ekonomi daerah maupun nasional.

(5)

Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, DAK bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap belanja modal, selanjutnya belanja modal berpengaruh positif terhadap output baik di sektor pertanian maupun non pertanian, output sektoral tersebut berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral, sedangkan kemiskinan dipengaruhi secara positif oleh variabel indeks gini yang mencerminkan ketimpangan dan di pengaruhi secara negatif oleh variabel upah. Hasil simulasi baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah menunjukkan, (1) pada simulasi 1 dan 2 yaitu peningkatan DAK infrastruktur jalan dan irigasi baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah dapat meningkatkan kapasitas fiskal dan belanja modal, menurunkan jumlah penyerapan tenaga kerja pertanian, menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan, ketimpangan menurun di daerah pertanian tinggi namun di daerah pertanian rendah tidak mengalami perubahan, (2) simulasi 3 yaitu peningkatan DAK bidang pertanian menurunkan besarnya dana perimbangan, meningkatkan belanja modal, menurunkan penyerapan tenaga kerja pertanian pada daerah pertanian rendah, namun penyerapan tenaga kerja di daerah pertanian tinggi tidak mengalami perubahan, selain itu juga menurunkan share PDRB sektor pertanian, menurunkan indeks gini (hanya di daerah pertanian tinggi) dan menurunkan jumlah penduduk miskin, (3) sedangkan simulasi 4, yaitu peningkatan belanja modal menurunkan DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan lainnya), berdampak langsung terhadap peningkatkan kinerja perekonomian suatu daerah melalui kenaikan output sektoral dalam hal ini sektor pertanian dan non pertanian. Upah sektor pertanian di daerah pertanian tinggi dan tenaga kerja pertanian di daerah pertanian rendah menurun, share PDRB sektor pertanian pada kedua klasifikasi daerah menurun tetapi secara totalnya mengalami peningkatan. Sedangkan dampaknya terhadap jumlah penduduk miskin secara total baik di daerah pertanian tinggi maupun di daerah pertanian rendah sama-sama mengalami penurunan.

(6)

SUMMARY

NOR QOMARIYAH. The Impact of Transfer Fiscal on Capital Expenditure and Economic Development in Indonesia. Supervised by SUHARNO and D.S PRIYARSONO.

National economic development goal is to improve the welfare of society and to create equitable distribution of income (Todaro and Smith, 2006). In other words, the success of economic development is indicated by the reduction of poverty and income inequality. Poverty is fundamental problem in the economic development of Indonesia and other developing countries in general.

Poverty in Indonesia on fiscal decentralization era has been decline from 16.66 percent in 2004 into 11.47 percent in 2013. But the poverty rate are still high, it can be said that is still far from the targets RPJMN is 8.0 to 10 percent, and MDGs target on 2015 is 7.5 percent. Not achieving the target of poverty in Indonesia because the decline of poverty the slower, its is caused by income inequality grow to larger. The poverty and inequality of income can be reduced through pro-poor growth, ie growth that support the economic of poor community majority, with a pro-poor growth, the improvement of incomes of the poor through the use of labor intensive. Pro-poor growth will be created if the government prioritize the development to the agricultural sector and infrastructure. Special Allocation Fund (DAK) is a transfer of funds in the fiscal decentralization era with aims to fund local development which become special priority of nation including to fund the infrastructure and agriculture sectors. Increased of DAK will directly impact to economy development of regional and national.

The objectives of this study are to : (1) analyze the factors affected fiscal, economic growth, income inequality and poverty in Indonesian provinces both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high or low on the fiscal decentralization era, (2) analyze the impact of transfer fiscal on capital spending and development economic (economic growth, income inequality and poverty). This study used the simultaneous equation models with Two Stage Least Square (2SLS) methode. It used panel data 19 provinces in Indonesia on 2009-2013. The provinces where classified into two groups, based on the contribution of agriculture sector to the respective regional economy, ie provinces in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high and low. Historical simulations conducted to determine the impact of a change of scenario increase DAK infrastructure of road and irrigation respectively 150 percent, increasing DAK of agriculture 75 percent and increasing capital spending 40 percent.

(7)

where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low, (2) the simulation 3 increase of DAK agriculture can decreased equalization funds from central government, increased capital spending, decreased agricultural employment both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, while also can decrease the share of the GDRP of agriculture, decreased the gini index (only in the area the high agricultural sector) and reduce rural and urban poverty both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP was high or low, and (3) the result of simulation 4 increase capital spending, can decrease variables of fiscal that DAK infrastructure (roads, irrigation, and others), can increase outputs sectoral are GRDP of agriculture and non-agriculture, and then can decrease the wage in the high agriculture area and employment of agriculture in the low agriculture area, but can reduce rural and urban poverty in total both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low

(8)

.

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA

MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA :

ANALISIS DATA PROVINSI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaatas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judulpenelitian ini adalah DampakTransfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Ir Suharno, M Adev selaku ketua komisi pembimbing, dan Prof Dr Ir D.S Priyarsono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam perjalanan penyusunan tesis.

2. Dr Ir Wiwiek Rindayanti, Msi selaku penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis. 3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian dan seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB atas perhatian dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang di dapatkan oleh penulis dapat diamalkan dengan baik. Selanjutnya juga kepada Kepala Tata Usaha program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staff atas pelayanan akademik dan kemahasiswaan. 4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

5. Seluruh anggota keluarga penulis, terutama kedua orang tua tercinta Bapak Sudin dan Ibu Arsina, Adik tersayang Mahmud atas doa dan kasih yang tulus yang selalu tercurahkan kepada penulis.

6. Bapak Saefudin dan Bapak Sumedi dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) atas diskusi dan sharing pengalamannya sehingga menjadi pelajaran berharga bagi penulis selama proses penyelsaian tesis.

7. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti perkuliahan hingga terselesaikannya tesis ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2016

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 10 Desentralisasi Fiskal 10

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan 13

Investasi Publik,Pertumbuhan Ekonomi,dan Pengentasan Kemiskinan 14

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan, dan Kemiskinan 15

3 KERANGKA TEORI 18 Desentralisasi Fiskal 18

Pengeluaran Pemerintah 21

Konsep Infrastruktur 22

Pertumbuhan Ekonomi 23

Teori Pertumbuhan Solow 24

Teori Pertumbuhan Endogen 26

Konsep Kemiskina 28

Konsep Ketimpangan Pendapatan 29

Kerangka Pemikiran 31

Hipotesis Penelitian 32

4 METODE PENELITIAN 34 Jenis dan Sumber Data 34

Metode Analisis 35

5 GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL, BELANJA MODAL, DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 45

Profil Kinerja Fiskal 46

Pengeluaran Daerah 53

Kinerja Perekonomian 55

Tenaga Kerja dan Upah Sektoral 56

(15)

6 HASIL ESTIMASI MODEL 61

Blok Kinerja Fiskal Daerah 63

Penerimaan Daerah 63

Blok Kinerja Perekonomian Output Sektoral 67

Blok Indeks Gini dan Kemiskinan 73

7 DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 76 Validasi Model Transfer fiskal, Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi Daerah 76

Simulasi Historis Tahun 2009-2013 78

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 86

Simpulan 86

Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 89 LAMPIRAN 93

(16)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok provinsi dengan proporsi pdrb sektoral pertanian tinggi dan rendah, serta rata-rata proporsi pdrb sektor pertanian tahun 2009-2013 45 2 Rata-rata per tahun pendapatan pemerintah daerah selama 2009-2013 46 3 Rata-rata per tahun kontribusi unsur pendapatan daerah 2009-2013 48 4 Rata-rata per tahun kontribusi dana perimbangan daerah tahun

2009-2013 49

5 Rata-rata per tahun kontribusi dana alokasi khusus 2009-2013 50 6 Rata-rata per tahun kontribusi dak bidang infrastruktur 2009-2013 52 7 Rata-rata per tahun nilai dan kontribusi unsur-unsur pengeluaran

pemerintah daerah selama 2009-2013 53

8 Rata-rata per tahun kontribusi belanja langsung tahun 2009-2013 54 9 Rata-rata per tahun total pdrb dan share pdrb sektor pertanian dan

non pertanian 2009-2013 55

10 Rata-rata per tahun total tenaga kerja dan proporsi sektor pertanian

dan non pertanian 2009-2013 56

11 Rata-rata proporsi upah sektor pertanian dan non pertanian di daerah 57 12 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran

penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 58 13 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran

penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 59 14 Keragaan umum model transfer fiskal, perekonomian, ketimpangan,

dan kemiskinan daerah tahun 2009-2013 61

15 Hasil uji multikolinieritas 62

16 Hasil estimasi dan elastisitas variabel dana dak bidang infrastruktur

jalan, irigasi, dan lain-lain 64

17 Hasil estimasi variabel pendapatan asli daerah (PAD) 65 18 Hasil estimasi dan elastisitas variabel belanja modal 66 19 Hasil estimasi variabel pdrb sektor pertanian dan non pertanian 68 20 Hasil estimasi dan elastisitas variabel penyerapan tenaga kerja

sektoral 71

21 Hasil estimasi dan elastisitas variabel upah sektoral 72 22 Hasil estimasi dan elastisitas variabel indeks gini 73 23 Hasil estimasi dan elastisitas variabel jumlah penduduk miskin di

pedesaan dan perkotaan 75

24 Hasil validasi model perekonomian dan kemiskinan provinsi di indonesia pada daerah pdrb sektor pertanian tinggi tahun 2009-2013 77 25 Hasil validasi model kinerja perekonomian provinsi di indonesia pada

daerah pdrb sektor pertanian rendah tahun 2003-2011 78 26 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur

jalan terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan

dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 79

27 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur irigasi terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan

(17)

28 Peningkatan dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan, dan

kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 82

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat kemiskinan desa-kota tahun 2009-2013 di Indonesia 2 2 Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa provinsi di

Indonesia 3

3 Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan dari

tahun 2004-2014 6

4 Model pertumbuhan solow : output dan investasi 25

5 The poverty-growth-inequality triangle 30

6 Kurva lorenz 31

7 Alur kerangka pemikiran 33

8 Tahapan penyusunan model 36

9 Diagram keterkaitan antar variabel dalam model fiskal, perekonomian,

dan kemiskinan di daerah 44

10 Rata-rata pendapatan pemerintah daerah pdrb sektor pertanian tinggi

dan rendah tahun 2009-2013 47

11 Rata-rata kapasitas fiskal daerah pdrb sktor pertanian tinggi dan

rendah tahun 2009-2013 48

12 Rata-rata DAK bidang infrastruktur per tahun selama tahun

2009-2013 51

13 Rata-rata DAK infrastruktur bidang pertanian per tahun selama tahun

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan pembangunan ekonomi ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi di indikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan bertujuan untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional terutama menyangkut kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas layanan pemerintah terhadap masyarakat. Oleh karena itu evaluausi terkait efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan perlu untuk dilakukan.

Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan, yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya. Data jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 11.47 persen atau sekitar 28.55 juta jiwa (BPS, 2013), walaupun telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun jumlah tersebut masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebih-lebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Namun kedua target tersebut tidak pernah tercapaidi karenakan beberapa hal, di antaranya pada beberapa tahun terakhir ini penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia bergerak dengan lambat, bahkan pada tahun 2012 dan 2013 kurang dari 1.0 point persen yaitu masing-masing hanya turun 0.5 dan 0.6 poin persen. Kedua periode tersebut merupakan penurunan paling kecil selama satu dekade. Melambatnyatingkat penurunan kemiskinan tersebut diduga karena adanya ketimpangan pendapatan yang semakin besar. Hal ini dibuktikan dari angka indeks gini ratio pada tahun 2013 mencapai 0.413, angka ini merupakan angka terbesar dari sebelumnya 0.37 pada tahun 2006 dan 0.35 pada tahun 1996.

(20)

kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan pada pertumbuhan pro-poor akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan penduduk miskin melalui pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.

Menurut Whitfield (2008), pertumbuhan pro-poor adalah pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada mayoritas penduduk miskin yaitu masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian (terlihat pada gambar 1 dan 2). Perbaikan pendapatan pada sektor pertanian dan penggunaan tenaga kerja yang intensif akan berdampak langsung terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Berdasarkan data BPS (2013) dari 28.55 juta orang miskin di Indonesia, 17.92 juta orang (63%) hidup dan tinggal di pedesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan utamanya (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Sementara itu, pengentasan kemiskinan di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian di kawasan pedesaan (Sumedi, 2013 dan Lisna, 2014).Berdasarkan beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa pembangunan sektor pertanian mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002; Yudhoyono, 2004; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014). Menurut Lisna (2014), untuk mencapai pertumbuhan pro-poor hanya di capai melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur sebagaimana yang di rekomendasikan Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009).

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 1. Tingkat kemiskinan desa- kota 2009- 2013 di Indonesia 0

10 20 30 40 50 60 70

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

T

IN

G

KA

T

KE

MIS

KIN

A

N

TAHUN

(21)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 2. Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa Provinsi di Indonesia

Dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sektor paertanian, maka teori ekonomi pada umumnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menekankan pentingnya akumulasi terhadap barang modal. Menurut Solow (1950), pertumbuhan ekonomi tergantung pada penyediaan faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Sedangkan menurut teori Harrod-Domar, investasi terhadap capital stock (barang modal) memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang.

Infrastruktur dapat digolongkan sebagai barang modal atau capital stock.Infrastruktur menjadi faktor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (BAPPENAS, 2003). Hasil penelitian Yanuar (2006) menunjukkan bahwa infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Infrastruktur pertanian seperti jalan dan jembatan akan meningkatkan akses petani dalam pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses menuju tempat kegiatan ekonominya. Sehingga dapat memicu terciptanya efisiensi biaya produksi yang nantinya akan menjadikan harga jual produk yang kompetitif. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Fan (2002) di India, dimana ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur pertanian seperti pengeluaran untuk R & D, irigasi, infrastruktur pedesaan (termasuk jalan dan listrik), pendidikan dan pembangunan pedesaan telah berkontribusi terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian dan sebagian besar juga berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan.

Munnel (1992), menyatakan bahwa untuk mempercepat stimulus ekonomi, investasi publik pada infrastruktur memberikan efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang selanjutnya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penurunan kemiskinan (Siregar dan Wahyuniarti, 2007).Oleh

0 20 40 60 80 100

(22)

karena itu dibutuhkan investasi infrastruktur yang cukup besar untuk mendorong bertujuan untuk efisiensi penyediaan pelayanan sektor publik di daerah terutama infrastrukturagar dicapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa pemerintah daerah memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap kondisi masyarakat dan potensi daerahnya, dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan layanan publik yang lebih baik (Bjornestad, 2009).

(23)

kondisi dimana pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membaiyai sebagian besar belanja daerahnya. Sementara belanja daerah tersebut di alokasikan pada sektor-sektor yang tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan pro-poor. Sedangkan bagidaerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, DAU hanya terpakai untuk membiayai belanja rutin. Menurut hasil temuan World Bank (2007), lebih dari setengah DAU digunakan untuk membiayai belanja pegawai sehingga tidak berdampak terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini mengindikasikan bahwa peran DAU terhadap pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar yang menyebabkan keuangan daerah tergantung pada DAU. Tingginya kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengeluaran daerahnya merupakan penyebab dari adanya fenomena flaypaper effect yang saat ini sudah menjadi sulit untuk diatasi.

Dengan demikian DAK menjadi bagian solusi pendanaan infrastrukturatau belanja modal didaerah melihat pola umum belanja daerah yang menempatkan belanja pegawai dalam porsi yang dominan. DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah. Meskipun dalam jumlah yang terbatas (hanya sekitar 7%) dibandingkan DAU (70%) dan DBH (23%) dari total dana perimbangan, namun DAK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan daerah. Atas dasar inilah maka penulis terdorong untuk mengkaji dampak transfer fiskal yang dikhususukan pada DAK terhadap pembangunan ekonomi daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.

Rumusan Masalah

(24)

Namunsemakin besarnya GDP Indonesia justru membuat kesenjangan pendapatan antara penduduk semakin tinggi. Salah satu indikator yang biasa dipakai untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk suatu negara adalah gini ratio. Pada tahun 2009 gini ratio Indonesia sebesar 0.35 dan melonjak menjadi 0.41 pada tahun 2011 dan bertahan hingga tahun 2014.Menurut Todaro dan Smith (2006) angka tersebut sudah tidak lagi mencerminkan distribusi pendapatan masyarakat yang relatif tidak merata.

Sumber : Badan Pusat statistik

Gambar 3. Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan selama tahun 2004-2014

Selain itu, data fiskal menunjukkan bahwa setelah di terapkan kebijakan desentralisasi fiskal, pengeluaran daerah untuk keperluan belanja rutin cenderung mengalami peningkatan yang sangat besar, sebaliknya share pengeluaran pembangunan di dalam keseluruhan pengeluaran kabupaten/kota cenderung mengecil. Disamping itu dalam penetapan jumlah maupun struktur alokasi pengeluaran belanja pada masing-masing sektor pembangunan, sebagian pemerintah daerah tidak melakukan kajian mendalam tentang dampaknya terhadap perekonomian. Alokasi pengeluaran belanja pada tiap-tiap sektor pembangunan lebih didasarkan pada pemerataan pada masing-masing sektor atau kepentingan politik pejabat-pejabat daerah (Rindayati, 2009 danBudiyanto, 2014).

(25)

keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non pertanian diduga menjadi penyebab lambatnnya penurunan tingkat kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia justru memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan (Nanga, 2006).

Fakta di lapang juga menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur terutama di sektor pertanian mengalami kondisi under investment(BPS dan World Bank, 2006) sekaligus miss investment(Darsono, 2008). Pada era desentralisasi, kondisi infrastruktur pertanian sebagian besar (70%) semakin buruk terutama jalan pedesaan dan jaringan irigasi. Saat ini sebanyak 55 persen (2.7 juta Ha) daerah Irigasi yang menjadi tanggung jawab Provinsi dan Kabupaten/Kota periode 2009-2013 dalam kondisi rusak (kementerian PU, 2014 dan BAPPENAS, 2013). Alokasi belanja modal untuk pembangunan dan perawatan irigasi pada tahun 2011 hanya sekitar Rp 3 trilun, Sehingga sektor pertanian yang perannya sangat penting menjadi terbelakang dan mengalami pertumbuhan yang lambat. Dalam periode 2005-2009 rata-rata produktivitas sektor pertanian mencapai sekitar Rp.6.7 juta per tenaga kerja dan naik menjadi sekitar Rp. 7.9 juta per tenaga kerja dalam kurun waktu 2010-2013. Meskipun mengalami kenaikan produktivitas, namun dibandingkan dengan sektor lain, produktivitas sektor pertanian relatif masih tertinggal (BAPPENAS, 2013)

Di sisi lain, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana alokasi khusus untuk membiayai sarana prasarana di daerah,yang di antaranya berupa DAK bidang infrastruktur dan bidang pertanian yang bertujuan untuk membiayai sarana dan prasaran fisik pada sektor pertanian dan infrastruktur (jalan, irigasi dan sanitasi dan air minum)yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi DAK ini merupakan salah satu upaya pemerintah pusat mendorong daerah dalam memepertahankan kinerja bidang infrastruktur dan bidang pertanian di daerah. Akan tetapi jumlah DAK tersebut dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempunyai porsi yang sangat kecil, pada tahun 2005 proporsi alokasi DAK terhadap total APBN masih di bawah 1.0 persen. Sementara proporsi DAU terhadap total belanja APBN sebesar hampir 22 persen.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang mendasari penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah?

(26)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak alokasi dana infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan sektoral sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah.

2. Menganalisis dampak transfer fiskal berupa DAK bidang infrastruktur dan pertanian terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan)

Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai dampak transfer fiskal (DAK) terhadap pembangunan perekonomian daerah di Indonesia diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut antara lain:

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan terkait pengalokasian transfer fiskal terutama DAK dalam rangka untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan

2. Sebagai referensi pembanding atau studi pustaka bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan dampak transfer fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan dan kemiskinan.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini mencoba menggali lebih detail terkait dengan dampak transfer fiskal yang di khususkan untuk mendanai sarana prasaran fisik di daerah yang dikenal dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap pembangunan ekonomi daerah, yang di rinci pada sektor utama perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan. Walaupun angkanya sangat kecil yaitu hanya mempunyai proporsi tujuh persen dari total dana perimbangan dan dibawah satu persen dari total APBN (pada tahun 2005), namun DAK mempunyia dampak yang sangat signifikan terhadap pembangunan. Hal ini didasarkan bahwa peran transfer fiskal dari pemerintah pusat yang berupa DAK ini mempunyai tujuan salah satunyauntuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum atau ketersediaan infrastruktur dasar di setiap daerah. Selain itu dana yang digunakan untuk membiayai infrastruktur pekerjaan umum di daerah selain berasal dari APBN juga berasal dari DAK. Oleh karena data belanja infrastruktur dari pemerintah pusat yang digunakan untuk memenuhi permodelan dalam penelitian ini adalah data DAK, yaitu berupa alokasi dana dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota yang tujuannya untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai sarana dan prasarana fisik di daearah. Selain menggunakan DAK bidang infrastruktur, penelitian ini juga secara menggunakan DAK bidang pertanian yang secara khusus untuk melihat dampaknya terhadap sektor pertanian.

(27)

pengentasan kemiskinan. Periode data yang digunakan selama 5 tahun mulai tahun 2009 sampai 2013. Digunakannya data tahun 2009 sampai 2013 dikarenkan bahwa kewenangan daerah secara utuh dalam mengelola potensi daerahnya melalui pemungutan kepada masyarakat daerah dimulai setelah adanya undang-undang pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan komponen utama pendapatn asli daerah, yang kemudian dana tersebut digunkan sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan daerah.

Penelitian ini dilakukan pada 19 provinsi yang diklasifikasikan menjadi daerah pertanian tinggi dan daerah pertanian rendah, dimana provinsi-provinsi tersebut mempunyia kapasitas fiskal yang relatif masih rendah. Klasifikasi dilakukan dengan membandingkan share PDRB pertanian di suatu provinsi dengan rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi periode 2009-2013. Jika share PDRB pertanian lebih besar dari rata-ratashare PDRB pertanian seluruh provinsi maka provinsi tersebut diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian tinggi, sebaliknya jika lebih kecil dari rata-rata seluruh provinsi diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian rendah (Budiyanto, 2014). Selain itu dari beberapa studi sebelumnya salah satunya hasil kajian Lisna (2014) terdapat faktabahwa daerah pertanian tinggi rata-rata kapasitas fiskalnya lebih rendah dibandingkan dengan daerah pertanian tinggi. Sedangkan daerah pertanian tinggi selain mempunyai kapasitas fiskal yang rendah juga sarat dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Atas dasar inilah maka alokasi dana infrastruktur yang berasal dari DAK penting untuk dilihat, karena berdasarkan peraturanyang ada, daerah yang mempunyai kapasitas fiskalrendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi mendapatkan dana DAK yang lebih besar, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga klasifikasi ini dilakukan dengan alasan bahwa ada perbedaan yang cukup besar terkait karakteristik fiskal, perekonomian, dan kemiskinan antara provinsi pertanian tinggi dan provinsi pertanian rendah.

(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Desentralisasi Fiskal

Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan negatif dengan dampaknya terhadap pembangunan (Mello & Barenstrein, 2001 dan Sumedi, 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh sumber pendanaanya. Pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan daripada uang yang diterima dari pusat. Faktor ini menyebabkan pemerintah daerah cenderung lebih boros menggunakan anggaran transfer dibandingkan dengan anggaran yang diperoleh dari pendapatan daerah. Sebelumnya Bradford and Oates (1971), memprediksi bahwa transfer pusat ke daerah adalah identik dengan pendapatan daerah, karena fungsi anggaran adalah identik, sehingga pemerintah daerah seharusnya memiliki propensity to spend yang sama untuk kedua jenis sumber anggaran ini. Namun kenyataanya tidak demikian, propensity to spend anggaran transfer pusat lebih besar dibandingkan dengan anggaran dari sumber daerah sendiri

Meskipun hasil analisis empiris, tidak menunjukkan hasil yang konsisten bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap perekonomian, namun banyak pemerintahan meyakini bahwa desentralisasi ini merupakan strategi yang yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, desentralisasi fiskal memiliki potensi berdampak pada pengurangan kemiskinan, namun proses tersebut tidak berjalan secara serta merta. Bila kemiskinan menjadi target pemerintah, sistem desentralisasi fiskal perlu di arahkan pada pengurangan kemiskinan melalui insentif fiskal. Iimi (2005) juga mengatakan bahwa, hasil berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa masih terdapat kontroversi hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataanya, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks dan meliputi berbagai aspek. Penelitian lain yang mendukung konsep desentralisasi fiskal, misalnya yang dilakukan oleh Huther and Shah (1998), yang melalui korelasi sederhana menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan yang mendorong pembangunan ekonomi. Penelitian Akai and Sakata (2002) dan Lin and Liu (2000) juga nununjukkan hasil yang sejalan dengan teori, bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

(29)

desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada 21 negara OECD, pada periode 1990 sampai 2005. Hasil analisis menujukkan adanya hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang dianalisis. Iimi (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari teori. Pertama, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks untuk ditangkap melalui variabel dan data empiris pada tingkat agregat, karena meliputi banyak dimensi, antara lain politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi fiskal juga menyangkut dua sisi, yaitu pengeluaran, terutama dalam rangka penyediaan layanan publik dan pendapatan, yaitu pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah, terutama pajak. Kedua, bahwa pemerintah daerah memiliki permasalahan terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan, utamanya terkait dengan kemampuan dan pengalaman sumberdaya manusia. Ketiga, bahwa secara teori, diasumsikan bahwa penduduk secara bebas berpindah antar daerah, karena perbedaan layanan publik, sehinggamenimbulkan persaingan antara pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik yang baik, merupakan asumsi yang tidak masuk akal, karena mobilitas penduduk relatif mahal, dan terdapat ikatan emosional dengan wilayah asal, sehingga pemerintah daerah dapat berperilaku tidak responsif terhadap preferensi masyarakat setempat.

Sedangkan studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Nanga (2006), Usman (2006) dan Ariyanto (2002).

Sinaga dan Siregar (2003) meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi di Indonesia. Beberapa temuan penting yaitu penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD.

(30)

kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasil-hasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan.

(31)

hasil penelitian Sumedi ini muncul rekomendasi penelitian lanjutan yaitu perlu dilakukan kajian nasional dengan pemilahan DAK menurut sektor atau peruntukannya, untuk dapat melihat lebih detail pengaruh komponen DAK terhadap perekonomian daerah.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional meskipun tingkat kemiskinan penduduk terbanyak terdapat pada sektor ini. Pada tahap awal pembangunan, sektor pertanian merupakan segmen terbesar dan menjadi inti perekonomian. Arti penting sektor pertanian juga terletak pada hubungannya dengan produksi pangan, penyedia pangan untuk seluruh penduduk bangsa, bahkan pakar pembangunan ekonomi meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan pangan, bahan baku industri, penyedia lapangan kerja, kesempatan berusaha, penghasil devisa negara, sumber permintaan bagi produk-produk industri dan jasa dalam negeri (Udoh, 2011). Sektor pertanian jika kinerjanya di optimalkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi seperti pengangguran, inflasi, kemiskinan, pertumbuhan dan pemerataan dan lain-lain.

Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt (2002) yang melakukan penelitian empiris di India menemukan: (1) pertumbuhan ekonomi di pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (2) pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di perkotaan; (3) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (4) pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan (5) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara bervariasi dan sangat tergantung pada urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Sedangkan studi lainnya menemukan bahwa sektor pertanian mempunyei pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002 ; Yudhoyono, 2014; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014).

(32)

statistik dengan membagi sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor).

Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. (2009) di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Sedangkan Yudhoyono (2004) menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Sedangkan di daerah perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan.

Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terutama setelah dikaitkan dengan adanya desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan.

(33)

kegiatan ekonomi masyarakat modern membutuhkan infrastruktur sebagai prasayarat bagi keberlangsungannya. Dengan demikian secara umum dapat ditunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berdampak positif terhadap berbagai ukuran kinerja perekonomian.

Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur manfaat infrastruktur adalah dengan menggunakan model fungsi produksi, yaitu rumusan hubungan teknis antara output maksimum dengan input-input produksi. Dalam hal ini output nasional (atau regional) di andaikan merupakan fungsi dari modal publik dan faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. Infrastruktur memengaruhi pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan. Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina. Variabel yang digunakan adalah totalfactor productivity, upah, tenaga kerja non pertanian, irigasi publik dan swasta, luas lahan, luas jalan, sanititasi dan lain-lain.

Sari (2011), menganalisis pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Berdasarkan hasil estimasi disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur dan penurunan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita serta penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal.

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan dan Kemiskinan

(34)
(35)
(36)

3 KERANGKA TEORI

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah.

Fritzen (2006) mendefinisikan bahwa desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah. Desentralisasi fiskal juga menentukan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah, secara agregat dan detail. Namun hakekat sebenarnya desentralisasi fiskal bukan sekedar realokasi sumberdaya antar pemerintah pusat dan daerah, namun menyangkut juga perubahan konfigurasi institusi pemerintah, hubungan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal juga menyangkut pemberdayaan pemerintah daerah dalam manajemen barang publik untuk mendukung pembangunan.

Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan layanan publik karena melalui peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan semakin sesuainya ketersediaan barang publik dengan preferensi lokal. Demikian halnya terjadi peningkatan akuntabilitas, penyederhanaan birokrasi dan menurunnya biaya layanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan pembangunan dapat dicapai.

(37)

Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2) pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi.

Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar.

Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah (intergovenmental fiscal tranfers). Berdasarkan kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan wilayahnya, pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan pembiayaan bagi pembangunan daerah melalui transfer ke daerah. Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Pada prinsipnya, tujuan utama implementasi transfer adalah mengurangi ketidakseimbangan fiskal. baik secara horizontal maupun secara vertikal. Sungguhpun demikian, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Kuncoro, 2004)

(38)

beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah (Siddik, sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besar

(39)

kecil urusan atau program tertentu. Tujuan mengatasi eksternalitas akibat pelayanan publik disuatu daerah dapat diselesaikan dengan matching grant.

Sedangkan menurut Siddik (2004) jenis transfer antar pemerintahan di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu revenue sharing (Dana Bagi Hasil), general purpose grant (Dana Alokasi Umum), dan specific purpose grant (Dana Alokasi Khusus). Lebih lanjut lagi Siddik mengemukakan bahwa terdapat enam (6) tujuan utama transfer antar pemerintahan di Indonesia, yaitu:

1. Untuk mengatasi kesenjangan fiskal secara vertikal di antar tingkat pemerintahan (DAU, dana bagi hasil).

2. Menyamakan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam memberikan layanan kepada masyarakat (DAU).

3. Mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional (DAK). 4. Mempromosikan pencapaian standar minimum bagi infrastruktur yang ada

(DAK).

5. Sebagai kompensasi untuk biaya yang melampaui batas di daerah-daerah utama (DAK).

6. Merangsang tanggung jawab daerah (DAK).

7. Merangsang mobilisasi pendapatan (Dana Bagi Hasil, DAU, DAK). Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai program-program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

(40)

pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Aset tetap/aset lainnya tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja atau dipergunakan oleh masyarakat/publik (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Anggaran belanja modal tersebut, bersama-sama dengan anggaran belanja barang, akan dialokasikan ke berbagai program pembangunan sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan.

Konsep Infrastruktur

Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang dan kepentingannya. Tidak ada kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktivitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya pembedaan infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi (economic overhead capital) dan infrastruktur sosial (social overhead capital) (Torrissi, 2009). Infrastruktur ekonomi seperti jalan, jaringan irigasi, pelabuhan, lapangan terbang, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi, merupakan jenis infrastruktur yang berperan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan pemerintah, dan sekaligus berfungsi sebagai input dalam proses produksi pada berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur sosial seperti jasa pendidikan dan pelayanan kesehatan, berperan untuk meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan dan produktivitas tenaga kerja.

(41)

memenuhi konsumsi bagi rumahtangga, produsen dan pemerintah serta berperan sebagai input dalam proses produksi. Pembiayaan infrastruktur bersumber dari kebijakan stimulus fiskal yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia tahun 2009.

Pengklasifikasian infrastruktur menjadi infrastruktur publik dan infrastruktur privat berkaitan dengan pengkategorian barang atas barang publik dan barang privat. Klasifikasi infrastruktur tidak berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan oleh semua individu. Bagaimana setiap individu mengkonsumsi jasa infrastruktur dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan investasi infrastruktur. Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan permintaan jasa infrastruktur dan menjadi pokok dalam menggerakkan investasi dalam bidang infrastruktur. Dilihat dari fungsinya infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektor-sektor lainnya dan dapat membantu mengefisienkan alokasi sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan output yang optimal. Dengan fungsi demikian jasa yang dihasilkan oleh infrastruktur harus disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan merata antar sektor maupun lokasi, agar kegiatan di semua sektor dapat berjalan dengan baik.

Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai the promoting sector lebih menonjol daripada perannya sebagai the serving sector. Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangunmendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Pada kondisi awal inilah peranpemerintah dalam penyediaan infrastruktur lebih dominan. Pada tahap selanjutnyaketika ekonomi telah berjalan normal, sehingga membutuhkan jasa infrastrukturyang cukup, maka swasta mulai berperan secara berkesinambungan. Kondisi inididukung oleh tingkat profitabilitas yang dapat diperoleh oleh pihak swasta atas investasinya di bidang infrastruktur tersebut.

Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah: 1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua

investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja.

2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja

(42)

Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007) Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005). Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988).

Teori Pertumbuhan Solow

Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, et al., 2008):

Y = A.F(K, N) ... (3.1) Dimana,

Y : output

(43)

Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium (keseimbangan yang mapan). Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita (Y/N = y) dan modal per kapita (K/N = k) stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah (Δy = 0 dan Δk = 0). Ilustrasi pada Gambar 4 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y* dan k*. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : (1) jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan ouput per kapita (y) meningkat; (2) jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan output per kapita (y) berkurang.

Sumber: Dornbusch, et al. (2008)

Gambar 4. Model pertumbuhan solow: output dan investasi

Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale (CRS) yaitu y = f(k) dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal (MPK) yang berkurang (diminishing positive marginal product of capital). Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu:

Y = AKθN1-θ... (3.2) Fungsi produksi per kapitanya adalah:

(44)

untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = (n+d)k. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan (s) maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka:

sy = sf(k) ... (3.4) Perubahan modal per kapita (Δk) adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu:

Δk = sy – (n+d)k ... (3.5) Selanjutnya, kondisi steady-state (Δk = 0) terjadi pada y* dan k* yang memenuhi: sy* = sf(k*) = (n+d)k* ... (3.6) Solusi steady-state pada Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus (n+d)k adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja (k) agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k*. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k) maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan.

Teori Pertumbuhan Endogen

Teori pertumbuhan endogen pada dasarnya lahir untuk mengkritisi model pertumbuhan Solow. Setelah mengamati ketimpangan pendapatan antar negara. Teori pertumbuhan endogen ini berupaya untuk menjelaskan berbagai faktor yang menentukan besar kecilnya tingkat pertumbuhan GDP. Salah satu tujuan dari teori pertumbuhan adalah menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan. Model pertumbuhan Solow menunjukkan, bahwa pertumbuhan berkelanjutan itu harus berasal dari kemajuan teknologi, tetapi dari mana kemajuan teknologi berasal, masih menjadi tanda tanya. Dalam model Solow, hal tersebut, hanya diasumsikan saja. Model teori pertumbuhan endogen, menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar (eksogen) (Mankiw, 2007). Selain itu, menurut Todaro and Smith (2009), perilaku aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya) juga turut memicu hadirnya teori pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau sering juga disebut teori pertumbuhan baru (new growth theory).

Gambar

Gambar 4. Model pertumbuhan solow: output dan investasi
Gambar 7. Alur  Kerangka pemikiran
Gambar 9.  Diagram keterkaitan antar variabel dalam model transfer fiskal terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi daerah
Tabel 1 Kelompok provinsi dengan proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah, serta rata-rata proporsi PDRB sektor pertanian tahun 2009 – 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan penelitian Falgenti dan Pahlevi (2013) yang menilai persepsi pengguna untuk mengevaluasi kesuksesan sistem ERP dan menggunakan pendekatan berorientasi

SUMBA

BUYER Marketing CV Mugiharjo LIPPO BANK Bagian Produksi Barang Dikirim Dokumen Dikirim.. bagian produksi untuk mempersiapkan barang yang dipesan oleh buyer. Bagian

For this purpose we would determine the optimum biosorption conditions as a function of pH, initial metal concentration ion, particle size, amount of biosorbent

Praktik subordinasi tersebut adalah bentuk dari ketidakadilan gender yang harus diterima oleh para tokoh perempuan di dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Hal penting

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah

Oleh karena itu, menurut Ahmad Kosasih, paling tidak terdapat tiga macam pandangan dari kelompok agama, termasuk umat Islam terhadap HAM yang dideklarasikan tahun