• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 1 Emisi Gas Rumah Kaca

2.5 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan sumber pencemar lingkungan yang serius jika langsung dibuang di sungai, hal ini disebabkan oleh nilai COD dan BOD yang sangat tinggi (Chan et al., 2012). Oleh karena itu, LCPKS harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan umum. Di sisi lain LCPKS dengan nilai COD yang tinggi memiliki potensi sebagai sumber energi. Saat ini, banyak penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk menangani sekaligus memanfaatkan LCPKS sebagai sumber energi (gas metana).

Penelitian dengan tujuan untuk mempercepat proses penurunan nilai COD LCPKS dan mendapatkan energi dari degradasi COD LCPKS telah dilakukan oleh Mohammadi et al. (2011). Perlakuan penelitian tersebut adalah cara aktivasi mikroorganisme pada sludge LCPKS, yaitu perlakuan bahan kimia (kloroform 0,1%), perlakuan asam (HCl 6 N), perlakuan heat-shock (100oC selama 1 jam), perlakuan pembekuan dan pencairan, dan perlakuan basa (NaOH 2 N). Sludge yang telah diaktivasi selanjutnya digunakan sebagai sumber mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi pembuatan biogas dari LCPKS. Jumlah sludge yang digunakan adalah 10 % dari total LCPKS. Fermentasi dilakukan pada suhu 35oC, kecepatan agitasi 120 rpm, pH awal diatur 5,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan heat-shock merupakan perlakuan yang paling sederhana dan bermanfaat. Hal ini karena mampu menghasilkan rendemen H2 0.41 mmol H2/g COD dan

Penyisihan COD 86% (Mohammadi et al., 2011).

Abdurahman et al. (2011), menyatakan bahwa sistem membran anaerobik (MAS = membrane anaerobic system) untuk menangani LCPKS merupakan alternatif yang murah dan efektif. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD meningkat dari 96,6% menjadi 98,4% dengan waktu retensi hidrolik (HRT) dari 600,4 menjadi 6,8 hari. Pada kondisi steady states pertama tercapai pada COD umpan 60.000 mg/L; COD permeate 997 mg/L; produksi gas 250,5 L/hari; rendemen gas total 0,25 L/g Penyisihan COD/hari dengan persentase gas metana 72 %; produktivitas gas CH4 0,25 L/g COD/hari. Pada kondisi

steady states keenam tercapai pada COD umpan 87.000 mg/L; COD permeate 1.400 mg/L; produksi gas 420 L/hari; rendemen gas total 0,85 L/g Penyisihan COD/hari dengan persentase gas metana 67,7 %; produktivitas gas CH4 0,57 L/g COD/hari.

Menurut Khemkhao et al. (2011), peningkatan kinerja bioreaktor jenis upflow anaerobic sludge bed (UASB) untuk penanganan POME dapat dilakukan dengan penambahan kitosan. Penambahan citosan dengan konsentasi 2 mg/g padatan dilakukan pada awal fermentasi POME pada suhu 37oC. Suhu selama proses

fermentasi ditingkatkan secara bertahap dari 27oC sampai 57oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan citosan tersebut mampu meningkatkan produksi biogas secara nyata, terutama pada suhu 57oC. Peningkatan kinerja bioreaktor UASB terjadi karena kitosan dapat membantu proses granulasi lumpur pada POME (Khemkhao et al., 2011).

Penanganan POME menggunakan bioreaktor jenis integrated anaerobic– aerobic bioreactor (IAAB) telah dilakukan untuk memperbaiki proses konvensional yang selama ini ada (Chan et al., 2012). IAAB adalah konfigurasi bioreaktor baru yang mengintegrasikan proses anaerobik dan aerobik dalam satu reaktor. Pada penelitian penanganan POME dengan bioreaktor IAAB tersebut suhu bioreaktor sekitar 28oC dengan kapasitas bioreaktor 24 L. Secara keseluruhan efisiensi pengurangan chemical oxygen demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), dan total padatan tersuspensi (TSS) dalam kondisi tunak mencapai lebih dari 99% pada tingkat pembebanan organik (OLR) dari 10,5 g COD/L hari. Pada kondisi tersebut produktivitas metana sebesar 0,24 L metana/g Penyisihan COD dan konsentrasi metana dalam biogas rata-rata 64% (Chan et al., 2012).

Choi et al. (2013) mengembangkan sistem gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi (combined high-rate anaerobic reactors) untuk menangani POME. Sistem ini terdiri atas anaerobic hibrid reaktor (AHR) + anaerobic baffled filter (ABF) dan AHR + anaerobic downflow filter (ADF). Sistem dioperasikan pada kondisi mesofilik (36 ± 1oC), pH dalam AHR diatur pada 7 ± 0,5 menggunakan NaHCO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD secara

keseluruhan mencapai 93,5%; produksi biogas mencapai 110 L/hari pada OLR 18,9 kg COD/m3/hari; produkstivitas metana mencapai 0,171-0,269 L metana/g Penyisihan COD; dan konsentrasi gas metana berkisar antara 59,5-78,2 %. Keuntungan lainnya dengan gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi adalah pengaturan pH hanya dilakukan pada awal operasi saja.

Mahajoeno et al. (2008) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap total produksi biogas pada fermentasi LCPKS dalam sistem curah skala laboratorium. Perlakuan dalam penelitian tersebut adalah jenis dan jumlah starter, bahan abiotik yang digunakan, yaitu NaOH dan Ca(OH)2, pH, agitasi, dan suhu substrat.

Pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap total produksi biogas sama dengan faktor yang mempengaruhi laju produksi biogas, yaitu jenis dan konsentrasi inokulum. Dalam hal ini kondisi terbaik dihasilkan dari kolam anaerobik dengan konsentrasi inokulum 20%. Faktor abiotik Ca(OH)2 dapat meningkatkan total

produksi biogas, demikian pula pH netral (7), dan peningkatan suhu. Hal ini terjadi karena proses pembentukan biogas dari perombakan LCPKS dilakukan oleh mikrobia, sehingga jenis dan konsentrasi inokulum sangat perpengaruh terhadap produksi biogas. Substrat dengan pH netral dapat mempercepat pembusukan, sehingga bakteri metanogenik mudah melakukan perombakan substrat membentuk biogas, sehingga produksi biogas meningkat. Agitasi dapat meningkatkan total produksi biogas,karena dengan agitasi kondisi substrat menjadi homogen dan kontak inokulum dengan substrat lebih intensif, sehingga inokulum bekerja lebih optimal. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikrobia bekerja dengan optimal (Mahajoeno et al., 2008).

Suhu dapat mempercepat proses perombakan, sehingga dapat meningkatkan produksi biogas. Pada suhu substrat 40oC dihasilkan biogas relatif lebih tinggi dibandingkan suhu 30°C. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu substrat berpengaruh

meningkatkan produksi biogas. Hal ini dimungkinkan karena suhu dapat meningkatan reaksi kimia, sehingga memacu peningkatan perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, yang dapat dimanfaatkan lebih cepat dan memudahkan aktivitas bakteri metanogenik membentuk biogas (Mahajoeno et al., 2008). Beberapa hasil penelitian tentang kinerja berbagai metode penanganan LCPKS secara anaerobik dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kinerja Berbagai Metode Penanganan LCPKS Secara Anaerobik Jenis Bioreaktor OLR (kg COD/m3 hari) HRT (hari) Konsentrasi Metana (%) Penyisih an COD (%) Pustaka

Filtrasi Anaerobik 4,50 15 63 94 Borja dan Banks

(1994a)

UASB 10,63 4 54,2 98,4 Borja dan Banks

(1994b)

Fluidized bed 40,00 0,25 DTT 78 Borja dan Banks

(1995) Digester Anaerobik 2,16 20 36 80,7 Yacob et al.

(2005) Kolam Anaerobik 1,40 40 54,4 97,8 Yacob et al.

(2006)

UASFF 11,58 3 71,9 97 Najafpour et al.

(2006)

CSTR 3,33 18 62,5 80 Tong dan Jaafar

(2006)

IAAB 10,50 13 64 99 Chan et al. (2012)

Sistem gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi (AHR + ABF) dan (AHR + ADF)

18,90 DTT 59,5- 78,2

93,5 Choi et al. (2013)

DTT: data tidak tersedia

Dokumen terkait