• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Identifikasi Karakteristik Sumur EOR Potensial

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-37)

5.2. Hasil dan Pembahasan Rancangan Proses Penyimpanan CO 2

5.2.5. Hasil Identifikasi Karakteristik Sumur EOR Potensial

Hasil identifikasi terhadap sebaran sumur tidak produktif pada 4 kandidat lapangan EOR, seperti ditunjukkan pada Tabel 14 dan 15, menunjukkan 5 sumur EOR yang sesuai dengan karakteristik geologi, batuan dan fluida reservoir sebagai sumur EOR, yaitu sumur XC-4, XG-1, XG-11, XT-27, dan XJ-140.

Hasil identifikasi terhadap tekanan dan temperatur reservoir dari kelima sumur EOR potensial menunjukkan variasi nilai tekanan 1.408 - 2.580 psi dan temperatur 197 - 298oC. Pengetahuan terhadap nilai tekanan dan temperatur

reservoir sangat penting dalam tahap awal penyaringan dan pemilihan sumur

EOR potensial, disebabkan dengan temperatur reservoir yang rendah memerlukan tekanan injeksi yang rendah pula, sehingga dengan kondisi demikian, maka proses pengembangan volume minyak dapat lebih besar diperoleh dengan injeksi CO2.

Pemilihan tekanan dan temperatur ini sesuai dengan pendapat Holm dan Josendal (1974), bahwa pada suatu tekanan tertentu pengembangan volume minyak cenderung menurun oleh karena naiknya temperatur reservoir. Pendapat serupa ditunjukkan oleh Tissot dan Welte (1984), bahwa nilai temperatur

reservoir pada saat proses injeksi CO2 sebaiknya pada 175 - 280oC, dan nilai tekanan reservoir pada 70 - 140 Mpa. Hal yang sama ditunjukkan oleh Green dan Willhite (1998), yang membatasi temperatur reservoir pada 28 - 120oC, dan tekanan reservoir > TTM dan < tekanan rekah formasi.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sumur XJ-140 memiliki nilai tekanan dan temperatur reservoir paling rendah, diikuti oleh sumur XG-1, sehingga kedua sumur tersebut bisa dikategorikan sebagai sumur EOR paling potensial dalam proses injeksi CO2.

Hasil identifikasi selanjutnya dilakukan terhadap BJ fluida reservoir dari kelima sumur EOR, yang menunjukkan variasi nilai BJ API gravity dari 29,9 hingga 48,85 API. Pengetahuan terhadap nilai BJ sangat penting dalam mengidentifikasi karakteristik fluida di dalam reservoir, disebabkan dengan nilai BJ API yang lebih tinggi dapat menyebabkan BM hidrokarbon di dalam fluida

reservoir menjadi semakin kecil, sehingga tekanan dan temperatur yang

Pemilihan BJ API gravity ini sesuai dengan pendapat Holm dan Josendal (1974), bahwa dengan nilai BJ API gravity yang tinggi maka berat molekul (BM) C5+ menjadi makin kecil, sehingga tekanan tercampur minimum (TTM) antara CO2dan minyak menjadi lebih rendah. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh Green dan Willhite (1998), yang menyatakan bahwa nilai BJ API gravity untuk

immiscible CO2 flooding berada pada batasan 12 - 25 API, dan untuk miscible

CO2 flooding berada pada batasan 25 - 48 API. Menurut Syahrial dan Bioletty

(2007), nilai BJ API berada pada batasan > 35 API.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sumur XG-1 memiliki nilai BJ API gravity fluida yang paling tinggi, diikuti oleh sumur XG-11, dan XG-140. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diketahui bahwa dengan tekanan minimum dalam reservoir dari ketiga sumur tersebut dapat memudahkan dalam proses pencampuran CO2ke dalam fluida minyak reservoir.

Hasil identifikasi selanjutnya dilakukan terhadap nilai viskositas fluida

reservoir dari kelima sumur yang menunjukkan nilai viskositas antara 0,88 - 3,455

cp. Identifikasi terhadap nilai viskositas fluida reservoir penting untuk diketahui, disebabkan dengan nilai viskositas minyak yang lebih kecil, dapat mengakibatkan tekanan dan temperatur yang dibutuhkan dalam proses penyapuan CO2 terhadap fluida reservoir menjadi lebih kecil. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka proses pencampuran antara CO2 dan fluida minyak dapat berlangsung lebih baik di dalam reservoir.

Pemilihan nilai viskositas ini sesuai dengan pendapat Simon dan Graue (1965), yang menyatakan bahwa nilai viskositas minyak yang rendah dapat mengakibatkan efisiensi penyapuan CO2 terhadap minyak di dalam reservoir menjadi lebih baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil identfikasi Green dan Willhite (1998), yang menunjukkan bahwa nilai viskositas minyak agar dapat tercampur dengan CO2sebaiknya berada pada batasan nilai lebih besar dari 10 Cp. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sumur XG-1 memiliki nilai viskositas yang paling rendah, diikuti oleh sumur XJ-140. Berdasakan hal tersebut maka nilai viskositasi dari kedua sumur sangat sesuai dalam proses penyapuan dan pencampuran CO2ke dalam fluida reservoir.

Hasil identifikasi selanjutnya dilakukan terhadap nilai porositas batuan dari kelima sumur yang menunjukkan nilai 0,14 - 0,28. Pengetahuan terhadap nilai porositas batuan penting untuk diketahui, disebabkan nilai porositas yang besar, menandakan kandungan fluida dalam batuan reservoir semakin besar pula.

Pemilihan porositas ini sesuai dengan pendapat Holm (1959), bahwa efisiensi recovery minyak dapat semakin besar pada batuan pasir dengan nilai porositas pada butiran yang seragam. Hal ini diperkuat oleh Tissot dan Welte (1984), bahwa batasan nilai porositas berada pada kisaran antara 5 - 30%, dan pada umumnya yang sering digunakan berada pada batasan nilai 15%. Menurut Green dan Willhite (1998), nilai porositas sebaiknya tidak kritis.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sumur XT-27 memiliki nilai porositas batuan yang paling tinggi, diikuti oleh sumur XG-1. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa kedua sumur tersebut memiliki kandungan fluida yang besar di dalam pori batuan reservoir.

Hasil identifikasi selanjutnya dilakukan terhadap nilai permeabilitas batuan dari kelima sumur yang menunjukkan nilai 3,181 - 41,07. Pengetahuan terhadap nilai permeabilitas batuan reservoir penting untuk diketahui, disebabkan semakin besar nilai permeabilitas, maka CO2 semakin mudah mendesak fluida dalam batuan, sehingga proses injeksi CO2ke dalam reservoir menjadi lebih baik.

Pemilihan permeabilitas ini sesuai dengan pendapat Walker dan Dunlop (1965), bahwa kelarutan CO2 dalam air formasi dapat menyebabkan penurunan derajat keasaman (pH) air formasi dari nilai pH 7 menjadi pH 3,3, sehingga CO2

dapat melarutkan batuan karbonat di dalam reservoir, dan mengakibatkan permeabilitas batuan bertambah. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Tissot dan Welte (1984), yang menyatakan bahwa batasan nilai permeabilitas berada pada nilai lebih besar dari 10 mD, dan lebih diperjelas oleh Green dan Willhite (1998), bahwa nilai permeabilitas batuan diberi batasan nilai lebih besar dari 5mD.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa sumur XJ-140 memiliki nilai permeabilitas yang paling tinggi, diikuti oleh sumur XG-1. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diketahui bahwa kedua sumur tersebut memiliki batuan yang mampu menerima injeksi CO2dengan baik.

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-37)

Dokumen terkait