• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Tin (Ficus carica L.)

Dalam bahasa Inggris, tanaman tin (Gambar 1) disebut fig. Kebanyakan orang sering menyebutnya sebagai tanaman ara. Tanaman ini mempunyai nama Latin Ficus carica L. Tanaman yang telah ada sekitar ribuan tahun lalu ini dapat tumbuh subur dan berbuah lebat di tengah terik matahari, bahkan di padang pasir sekalipun. Oleh karena itu, tanaman ini terkadang disebut pohon kehidupan. Tanaman ini juga dapat ditemukan di daerah beriklim kontinental dengan musim panas (Sobir & Mega 2011). Tanaman tin berasal dari Asia Barat, tumbuh di daerah pantai Balkan hingga Afganistan (Nix 2010). Tanaman tin juga dapat tumbuh di Asia Tenggara, toleran terhadap kekeringan dan suhu dingin (-9 ºC), tetapi tetap membutuhkan unsur-unsur hara yang optimum untuk menjaga mutu buahnya. Pertumbuhannya membutuhkan pencahayaan sebagian atau penuh, dan kelembapan rata-rata hingga kering.

2

Gambar 1 Tanaman tin (Ficus carica L.). Kandungan fitokimia tanaman ini terutama buahnya sudah banyak diteliti oleh para peneliti di beberapa negara Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat. Buah tin merupakan sumber penting komponen bioaktif seperti fenol, benzaldehida, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid yang memiliki sifat antioksidan. Sementara daun tin mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol. Menurut Joseph & Raj (2011), tanaman tin diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rosales Famili : Moraceae Genus : Ficus Spesies : Ficus carica

Flavonoid

Flavonoid adalah kelompok penting polifenol. Senyawa ini umumnya terdapat pada tanaman dan merupakan pigmen pada tanaman tingkat tinggi (Singh 2002). Senyawa ini terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar (Sirait 2007). Flavonoid banyak ditemukan di alam karena sekitar 2% karbon yang disintesis tumbuhan diubah menjadi flavonoid (Markham 1988).

Struktur kimia flavonoid didasarkan pada kerangka C15, terdiri atas 2 cincin benzena yang dihubungkan dengan rantai 3 karbon, yaitu C6-C3-C6 (Pengelly 2004). Kerangka ini dapat memiliki 3 macam bentuk struktur, yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Perbedaan struktur ketiganya ialah pada letak gugus fenil rantai propana (C3), yaitu berturut-turut 2-, 3-, dan 4-fenil benzopiran (Marais et.al. 2006).

Gambar 2 Struktur flavonoid (1), isoflavonoid (2), dan neoflavonoid (3) (Marais et al. 2006).

Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Oleh karena itu, pelarut yang mengekstraksi flavonoid juga merupakan senyawa polar seperti etanol, metanol, n-butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan air (Markham 1988).

Flavonoid berperan pada berbagai aktivitas biologis. Menurut para peneliti kanker di UCLA, perokok yang mengonsumsi makanan yang mengandung flavonoid dapat mengurangi risiko penyakit kanker paru-paru (Irwin 2008). Flavonoid tidak hanya dapat menghambat dan membunuh sel-sel kanker, tetapi juga menghambat invasi tumor (Stauth 2007). Menurut Miller (1996), sejumlah tanaman obat yang mengandung flavonoid memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, dan antialergi. Menurut Pietta et al. (2003), flavonoid memiliki aktivitasantiradang.

Tanin

Tanin merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas dalam tumbuhan terutama dalam tumbuhan berpembuluh (Harborne 1987). Senyawa tanin memiliki bobot molekul 500−3000 dan dapat mengendapkan protein dalam larutan. Tanin terbagi dalam 2 kelompok, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis mudah dihidrolisis secara kimiawi dan enzimatis. Tanin jenis ini terdapat di beberapa legum tropika seperti Acasia spp. Tanin terkondensasi paling banyak tersebar di tanaman dan dianggap sebagai tanin tanaman (Cannas 2009). Dalam uji kualitatifnya, tanin dapat membentuk kompleks dengan larutan feri klorida menghasilkan warna biru kehitaman.

Tanin merupakan senyawa polar dan umumnya diekstraksi menggunakan pelarut polar. Cara tradisional untuk mengekstrak tanin ialah menggunakan air dengan pemanasan, penggaraman dengan natrium

3

klorida, ekstraksi kembali dengan aseton, dan penghilangan lipid dari bahan yang larut dalam aseton dan eter. Penambahan natrium klorida sedikit demi sedikit dapat mengendapkan tanin. Etanol dapat digunakan untuk melarutkan tanin yang mengendap (Robinson 1995).

Triterpenoid/Steroid

Triterpenoid merupakan senyawa dengan kerangka karbon berasal dari 6 satuan isoprena dan dibiosintesis dari hidrokarbon C30 asiklik skualena. Triterpenoid berstruktur siklik yang relatif rumit; kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat; tidak berwarna, berbentuk kristal, biasanya bertitik leleh tinggi, optis aktif, dan umumnya sukar dicirikan karena tidak ada keaktifan kimia secara khusus yang dimiliki (Harborne 1987).

Lebih lanjut menurut Harborne (1987), triterpenoid dapat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu triterpena, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena dan steroid terdapat dalam bentuk glikosida. Triterpena tertentu terkenal dengan rasanya yang pahit seperti limonena dalam buah jeruk.

Struktur steroid sangat beragam sehingga metode isolasi umum sulit diperoleh. Senyawa steroid sebagian besar nonpolar hingga semipolar sehingga proses isolasi dapat menggunakan pelarut benzena atau eter yang nonpolar. Di sisi lain, senyawa glikosida umumnya diekstraksi menggunakan pelarut polar seperti etanol dan metanol (70−90%) dengan pemanasan (Robinson 1995).

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan metode pemisahan secara fisik atau kimia satu atau lebih senyawa yang diinginkan dari larutan atau padatan yang mengandung campuran senyawa (Hunt 1988). Pemisahan pada ekstraksi menggunakan prinsip like dissolve like, artinya kelarutan zat dalam pelarut bergantung pada kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, begitu pula zat nonpolar hanya larut dalam pelarut nonpolar. Pemilihan pelarut dalam ekstraksi harus memperhatikan selektivitas, kemampuan mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga (Harborne 1987).

Secara umum terdapat tiga metode ekstraksi, yaitu metode perkolasi, maserasi, dan soxhletasi (Houghton & Raman 1998). Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan

cara merendam sampel dalam pelarut tunggal atau campuran dengan atau tanpa pengadukan, tanpa pemanasan untuk mengekstraksi sampel yang relatif mudah rusak oleh panas.

Menurut List dan Schmidt (1989), metode maserasi relatif sederhana karena tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Namun, waktu yang diperlukan relatif lama

(umumnya 1−2 hari perendaman) dan penggunaan pelarut tidak efektif dan efisien (Meloan 1999).

Uji Antioksidan Metode DPPH dan Antioksidan

Halliwell dan Gutteridge (1997) mendefinisikan antioksidan ke dalam 4 pengertian. Pertama, antioksidan diartikan sebagai bahan yang mampu mengeliminasi radikal bebas dan spesies reaktif secara katalitik. Kedua, antioksidan diartikan sebagai protein yang mampu meminimumkan sifat prooksidan (seperti transferin dan metalotionein). Ketiga, antioksidan berupa protein yang mampu melindungi biomolekul dari kerusakan. Keempat, antioksidan adalah kelompok bahan yang mampu “memakan”

spesies oksigen dan nitrogen yang reaktif. Menurut Qonita (2009), terdapat 3 macam antioksidan. (1) Antioksidan dapat dibuat oleh tubuh, berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutatione peroksidase, peroksidase, dan katalase. (2) Antioksidan alami dapat diperoleh dari tanaman atau hewan, misalnya tokoferol, vitamin C, beta karotena, flavonoid, dan senyawa fenolik. (3) Antioksidan sintetik, dibuat dari bahan-bahan kimia seperti hidroksianisol berbutil (BHA), hidroksitoluena berbutil (BHT), t-butilhidrokuinon (TBHQ), propil galat (PG), dan asam norhidroguairetat (NDGA) yang ditambahkan dalam makanan untuk mencegah kerusakan lemak.

Aktivitas ekstrak daun sebagai antioksidan dapat diketahui dengan menggunakan metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Metode DPPH merupakan metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat, dan tidak membutuhkan banyak reagen. Pada metode ini, DPPH berperan sebagai radikal bebas yang stabil dan berwarna ungu, yang diredam oleh antioksidan dari bahan uji. DPPH akan bereaksi dengan antioksidan tersebut membentuk 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin yang berwarna kuning (Gambar 3) (Juniarti et al.

2009). Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer UV-tampak sehingga aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat ditentukan (Zuhra et al. 2008).

O2N N-N(C6H5)2 NO2 NO2 + AH O2N N-N(C6H5)2 NO2 NO2 H + A 1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil 1,1-Difenil-2-pikrilhidrazin

Gambar 3 Mekanisme reaksi metode DPPH (Molyneux 2004).

Uji Toksisitas Metode BSLT

Metode uji letalitas larva udang (BSLT) menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji. Metode ini cukup banyak digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman (Meyer et al. 1982).

Larva udang yang digunakan adalah yang sudah berumur 48 jam, karena mempunyai daya resistensi paling rendah terhadap kondisi lingkungannya. Senyawa metabolit sekunder toksik akan menyebabkan kematian larva udang melalui 2 proses, inhalasi (pernapasan) dan difusi. Pada proses inhalasi, toksikan masuk ke tubuh melalui saluran pernafasan: nasofaring, trakea, bronkus, serta lasinia paru-paru yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan alveoli. Proses difusi adalah penyerapan toksikan dalam jumlah banyak melalui kulit udang yang tipis. Lewat kedua proses tersebut, toksikan secara sistemik menyebar ke jaringan lain dan memberikan efek letal (Sukardiman et al. 2004).

A. salina Leach merupakan udang invertebrata dari fauna pada ekosistem perairan laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada penyebaran, luasnya karakteristik ekologi, dan sensitivitasnya terhadap bahan kimia (Calleja & Persoone 1992).

Kanker dan Uji Proliferasi Sel Kanker Metode MTT

Penyakit kanker disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang

dengan cepat, tidak terkendali, dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta syaraf tulang belakang. Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri untuk menggantikan sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus meskipun tubuh tidak memerlukannya sehingga akan terjadi penumpukan sel baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya. Kanker dapat terjadi di berbagai jaringan dalam hingga organ tubuh, mulai dari kaki hingga kepala (Agoes 2008).

Uji MTT merupakan uji proliferasi sel kanker untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel kanker. Dalam uji ini,

3-[4,5-dimetiltilazol-2-il]-2,5-difeniltetrazolium bromide (MTT) mengalami reaksi reduksi oleh suksinat dehidrogenase dalam mitokondria sel hidup (Wang et al. 2009), dan membentuk produk formazan (Gambar 4) (Chapdelaine 2010). Dengan penambahan dimetil sulfoksida (DMSO), dan isopropanol, formazan akan membentuk warna biru yang dapat diukur absorbansinya secara kolorimetri (Barile 1997). Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan, sehingga jumlah formazan biru yang dihasilkan sebanding dengan jumlah sel hidup yang aktif melakukan metabolisme yang terdapat dalam kultur (Wang et al. 2009; Chapdelaine 2010).

Gambar 4 Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT formazan (Kubota et al. 2003).

Dokumen terkait