• Tidak ada hasil yang ditemukan

A adalah absorbans larutan DPPH tanpa sampel dan B adalah absorbans sampel (larutan DPPH dan larutan ekstrak) yang telah dikoreksi dengan absorbans larutan ekstrak tanpa DPPH.

Pemilihan Eluen Terbaik (Harborne 1987)

Pelat KLT yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G60F254 dari Merck dengan ukuran lebar 1 cm dan tinggi 10 cm. Ekstrak pekat metabolit sekunder teraktif ditotolkan pada pelat KLT sebanyak 25 totolan. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana elusi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Eluen awal yang digunakan adalah metanol, kloroform, etil asetat, n-butanol, n-heksana, serta berbagai nisbah kloroform, etil asetat, metanol, asam asetat, etil asetat, dan air. Noda hasil elusi diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan noda terbanyak dan terpisah dengan baik dipilih sebagai eluen terbaik.

Fraksionasi Menggunakan KLT Preparatif

Ekstrak teraktif ditotolkan pada pelat, kemudian dielusi dengan KLT preparatif menggunakan eluen metanol:etil asetat:air (1.5:8:0.5) dan diperoleh beberapa pita. Pita yang dihasilkan diamati menggunakan sinar UV pada 366 nm, lalu ditandai dan dikerok. Kemudian dilarutkan lalu disaring dan diuapkan dengan penguap putar.

Pencirian Senyawa dengan

Spektrofotometer UV-tampak

Sebanyak 1 mg fraksi teraktif dilarutkan dengan metanol, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL dan ditera dengan pelarut. Larutan dimasukkan ke dalam kuvet dan ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektrofotometer UV-tampak. Analisis dilakukan pada rentang panjang gelombang 400−200 nm.

Pencirian Senyawa dengan FTIR

Sedikit fraksi teraktif (kira-kira 1−2 mg)

ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) kemudian diaduk hingga rata. Campuran ditempatkan dalam cetakan dan ditekan dengan menggunakan alat penekan mekanik. Tekanan dipertahankan beberapa menit, kemudian sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan ditempatkan dalam tempat sampel

pada alat spektrofotometer FTIR untuk dianalisis.

Uji Proliferasi Sel Metode MTT (Nurlaila 2011)

Media sel dikeluarkan dari flask (botol kultur), kemudian 5 mL PBS ditambahkan untuk membersihkan sel dari sisa media. Sel dilepaskan dari dinding flask dengan menambahkan 2.5 mL tripsin, kemudian diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 5 menit. Sel yang telah lepas dimasukkan ke dalam tabung 15 mL dengan menambahkan 2 mL media. Media sel disentrifugasi, kemudian supernatan dibuang dan ditambahkan 3 mL media baru. Viabilitas sel dihitung dengan hemositometer.

Sel ditumbuhkan menggunakan microplate 96 wells sebanyak masing-masing 100 µL/sumur dengan jumlah sel 5×103 sel/sumur. Sel diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam dalam inkubator CO2. Media kultur dibuang, kemudian ditambahkan ekstrak daun tin dengan deret konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 ppm sebanyak 100 µL/sumur dengan 3 kali pengulangan. Sebagai pembanding, dibuat kontrol sel (berisi media sel tanpa ekstrak). Setelah diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 48 jam, ditambahkan MTT sebanyak 10 µL/sumur dan diinkubasi kembali pada suhu yang sama selama 4 jam hingga terbentuk formazan yang berwarna biru pada sel hidup. Selanjutnya ditambahkan HCl-isopropanol sebanyak 100 µL/sumur, digoyang secara stabil selama 10 menit, dan dibaca serapannya dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 590 nm. Serapan kemudian dikonversi ke dalam bentuk persen penghambatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Suatu sampel dikatakan baik apabila memiliki kadar air <10% karena pada tingkat kadar air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan jamur yang cepat (Soetarno & Soediro 1997). Penentuan kadar air merupakan analisis kuantitatif dengan cara memanaskan sampel pada suhu tertentu (105−110 ºC) sehingga air menguap dan kadar air yang diperoleh merupakan selisih bobot sampel sebelum dan sesudah pemanasan (Harjadi 1993).

8

Kadar air simplisia daun tin didapatkan sebesar 3.61% dari 3 kali ulangan dengan nilai RSD 2.19% (Lampiran 6). Nilai tersebut berarti dalam 100 g simplisia terkandung air sebanyak 3.61 g. Hasil ini menunjukkan bahwa simplisia daun tin dapat disimpan dalam jangka waktu relatif lama karena memiliki kadar air kurang dari 10% sesuai dengan ketentuan standar mutu Materia Medika Indonesia (MMI) (Prawirosujanto et al. 1995).

Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan uji kualitatif untuk menentukan kandungan senyawa metabolit sekunder di dalam sampel. Berdasarkan hasil uji ini, tahap ekstraksi spesifik selanjutnya ditentukan. Uji fitokimia simplisia daun tin dalam penelitian sebelumnya menunjukkan kandungan flavonoid, steroid, triterpenoid, alkaloid, dan tanin (Sirisha et al. 2010; Krishna et al. 2007).

Tabel 1 Hasil uji fitokimia Uji Fitokimia Hasil uji

Flavonoid +++ Alkaloid + Terpenoid - Tanin ++ Steroid + Keterangan: +++ : intensitas tinggi ++ : intensitas sedang + : intensitas rendah − : tidak terdeteksi

Simplisia daun tin mengandung semua metabolit sekunder yang diujikan kecuali terpenoid, namun dalam intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas terlihat dari jumlah tanda positif (+) yang digunakan pada Tabel 1. Flavonoid menghasilkan intensitas warna paling besar dengan warna merah yang intens pada lapisan amil alkohol. Tanin menghasilkan warna hijau kehitaman dengan intensitas warna lebih lemah bila dibandingkan dengan flavonoid. Terpenoid dan steroid diujikan bersamaan dan menghasilkan warna hijau dengan intensitas warna cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia daun tin mengandung steroid dan tidak mengandung terpenoid. Uji alkaloid dilakukan 2 kali. Pengujian pertama menggunakan simplisia sebanyak 0.5 g dan tidak menunjukkan alkaloid. Pengujian kedua menggunakan 1 g simplisia dan menunjukkan

alkaloid, namun dengan intensitas sangat kecil.

Ekstraksi

Senyawa aktif pada tanaman atau bahan alam dapat diperoleh melalui proses ekstraksi. Proses ekstraksi pada penelitian ini menggunakan metode maserasi, yaitu dengan merendam sampel pada pelarut yang sesuai. Maserasi dipilih untuk menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas karena kandungan senyawa dalam sampel belum diketahui daya tahannya terhadap panas (Harborne 1987).

Ekstraksi simplisia daun tin dilakukan untuk mendapatkan 3 metabolit sekunder, yaitu flavonoid, tanin, dan steroid. Metode ekstraksi spesifik digunakan sesuai dengan ekstrak metabolit sekunder yang diinginkan. Ekstraksi flavonoid mengacu pada Markham (1988) memberikan rendemen 11.08%. Ekstraksi tanin dan steroid mengacu pada Heryani (2002), masing-masing menghasilkan rendemen 1.75% dan 0.58%.

Rendemen ekstrak flavonoid lebih besar bila dibandingkan dengan ekstrak tanin dan steroid. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian antara pelarut pengekstrak yang digunakan, kepolaran metabolit sekunder, dan proses ekstraksi yang digunakan. Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam melakukan ekstraksi suatu senyawa. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan memengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstraksi karena setiap pelarut memiliki efisiensi dan selektivitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut bergantung pada gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran.

Rendemen ekstraksi sesuai dengan hasil uji fitokimia. Intensitas tinggi pada uji fitokimia flavonoid menunjukkan bahwa simplisia mengandung flavonoid dalam jumlah yang paling besar. Hasil ini sesuai dengan rendemen ekstrak flavonoid yang paling besar dibandingkan dengan 2 ekstrak lainnya. Begitu juga dengan ekstrak tanin dan steroid. Pada uji fitokimia, tanin menghasilkan intensitas yang lebih kuat daripada steroid, dan rendemen ektrak tanin lebih besar daripada steroid (Gambar 5).

9

Gambar 5 Rendemen ekstrak daun tin.

Uji Antioksidan Metode DPPH

Antioksidan dapat melindungi sel tubuh dari radikal bebas dengan cara mengikat radikal bebas tersebut sehingga dapat memperlambat atau mencegah oksidasi sel oleh radikal bebas. Oksidasi ialah proses kimia yang melibatkan transfer elektron dari suatu zat ke bahan pengoksidasi. Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas, salah satunya dengan metode DPPH.

Radikal bebas DPPH lazim digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam (Rakesh et al. 2010). Senyawa DPPH menerima transfer elektron atau radikal hidrogen dari antioksidan membentuk molekul diamagnetik yang stabil.

Metode uji aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas DPPH dipilih karena sederhana, cepat, dan mudah untuk penapisan aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa. Selain itu, metode ini terbukti akurat, terpercaya, dan praktis. Radikal DPPH menghasilkan absorbans yang kuat pada panjang gelombang maksimum 517 nm dan berwarna ungu gelap. Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH akan tereduksi dan warnanya berubah menjadi kuning. Perubahan tersebut dapat diukur dengan spektrofotometer dan dialurkan terhadap konsentrasi (Ordon et al. 2006).

Tinggi atau rendahnya aktivitas antioksidan suatu zat dapat dilihat dari nilai IC50-nya. IC50 adalah konsentrasi zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Nilai IC50

ini didapat dengan cara mengalurkan

konsentrasi sampel uji dengan nilai persen penghambatannya. Setelah itu, persamaan garis linear ditentukan dan dicari konsentrasi zat yang dapat menyebabkan persen penghambatan sebesar 50%.

Kontrol positif yang digunakan pada uji antioksidan adalah vitamin C. Pada Tabel 2 terlihat bahwa ekstrak vitamin C menghasilkan IC50 yang lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak flavonoid dan tanin. Hasil ini menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai daya hambat yang lebih baik terhadap radikal bebas karena pada konsentrasi 4.5 ppm dapat menghambat 50% radikal bebas, sedangkan ekstrak flavonoid dan tanin daun tin membutuhkan konsentrasi berturut-turut 150 dan 286 ppm. Di antara kedua ekstrak daun tin ini, ekstrak flavonoid mempunyai daya hambat lebih baik karena mempunyai nilai IC50 lebih kecil. Ekstrak steroid daun tin menghasilkan nilai IC50

negatif, yaitu -2.295 ppm. Belum diketahui penyebab ekstrak steroid daun tin menghasilkan nilai IC50 negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Juniarti (2009) terhadap ekstrak steroid dari daun saga tidak menunjukkan aktivitas antioksidan. Perhitungan aktivitas antioksidan metode DPPH terlampir pada Lampiran 7.

Tabel 2 Aktivitas antioksidan

No. Sampel IC50

(mg/L) 1 Ekstrak flavonoid daun tin 150 2 Ekstrak tanin daun tin 286 3 Ekstrak steroid daun tin -2.295

4 Vitamin C 4.5

Menurut Zuhra (2008), suatu senyawa dikatakan antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat jika IC50 50−100 ppm, sedang jika IC50 100-150 ppm, dan lemah jika IC50 151-200 ppm. Hasil uji menunjukkan bahwa vitamin C tergolong antioksidan sangat kuat, ekstrak flavonoid daun tin memiliki aktivitas antioksidan sedang, sedangkan ekstrak tanin daun tin kurang berpotensi sebagai antioksidan.

Uji Toksisitas Metode BSLT

BSLT dilakukan untuk menentukan potensi bioaktif senyawa bahan alam dan toksisitas senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan obat. Uji toksisitas dilakukan menggunakan larva udang A. salina Leach 11.08 1.75 0.58 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

Flavonoid Tanin Steroid

% R en d em en

10

yang berumur 48 jam karena mempunyai daya resistensi paling rendah terhadap kondisi lingkungannya.

Pengujian didahului dengan penetasan telur larva selama 48 jam, lalu ekstrak dengan berbagai konsentrasi dimasukkan masing-masing ke dalam air laut yang berisi larva udang. Kematian larva diamati setelah 24 jam. Uji toksisitas menghasilkan nilai LC50 untuk ekstrak flavonoid, tanin, steroid masing-masing sebesar 191.43, 150.14, dan 153.85 ppm (Gambar 6). Perhitungan uji toksisitas metode BSLT terlampir pada Lampiran 8.

Menurut Meyer et al. (1982), tingkat toksisitas ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50. Ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, toksik bila LC50 30−1000 ppm, dan tidak toksik bila LC50 di atas 1000 ppm. Berdasarkan kriteria di atas, ketiga ekstrak tergolong toksik. Ekstrak tanin dan steroid daun tin memiliki nilai LC50 lebih kecil sehingga sifat toksiknya lebih kuat bila dibandingkan dengan ekstrak flavonoid daun tin (Gambar 6). Namun, berdasarkan uji T (Lampiran 9), nilai LC50 ketiga ekstrak tidak berbeda nyata.

Gambar 6 Aktivitas toksisitas ekstrak daun tin.

Penentuan Eluen Terbaik dengan KLT

Berdasarkan uji antioksidan dan toksisitas, ekstrak flavonoid daun tin digunakan pada tahap selanjutnya. Ekstrak dianalisis dengan KLT analitik menggunakan fase diam silika gel G60F254 dari Merck untuk menentukan komposisi eluen terbaik yang akan digunakan dalam fraksionasi menggunakan KLT preparatif. Pelarut yang digunakan sebagai eluen adalah n-heksana, kloroform, etil asetat, n-butanol, metanol, etil asetat, dan air. Profil kromatogram diamati di bawah lampu UV pada λ 254 dan 366 nm.

Penggabungan beberapa eluen dengan berbagai nisbah menghasilkan eluen terbaik dari eluen yang diujikan, yaitu metanol:etil asetat:air (1.5:8:0.5) (Gambar 7). Menurut Skoog et al. (2004), eluen terbaik adalah yang menghasilkan jumlah noda terbanyak dan terpisah dengan baik. Eluen metanol:etil asetat:air (1.5:8:0.5) ini selanjutnya digunakan pada proses fraksionasi menggunakan KLT preparatif.

Gambar 7 Hasil pemisahan ekstrak flavonoid menggunakan eluen metanol:etil asetat:air (1.5:8:0.5) dengan 3 kali ulangan.

Fraksionasi dengan KLT Preparatif

Ekstrak flavonoid difraksionasi lebih lanjut dengan KLT preparatif (KLTp). Fase gerak yang digunakan metanol:etil asetat:air (1.5:8:0.5) dan fase diam silika gel yang tercetak pada lempengan kaca. Silika gel merupakan senyawa anhidrat, sehingga perlu diaktifkan dalam oven selama 30 menit sebelum digunakan untuk melepaskan air yang terikat secara fisik pada permukaannya. Silika gel dapat menjerap air sebanyak 3.5% bobot keringnya dalam kelembapan sekitar

40−50% (Septianti 2011). Hasil fraksionasi ekstrak flavonoid ditunjukkan pada Lampiran 10.

Silika gel bersifat polar sehingga akan mengikat senyawa yang bersifat polar juga. Senyawa polar akan cepat bergerak jika menggunakan pelarut yang polar, begitu juga sebaliknya (Harvey 2000). Noda yang terbentuk diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm dan dihasilkan 9 fraksi. Semua fraksi dihitung rendemennya. Dari 9 fraksi yang dihasilkan, fraksi 1, 2, 4, dan 7 digunakan dalam uji lanjutan karena jumlahnya memadai.

191.43 150.14 153.85 0 50 100 150 200 250

Flavonoid Tanin Steroid

N il a i L C 5 0 ( p p m)

Uji Proliferasi Sel Kanker

Pengujian aktivitas antikanker dilakukan terhadap 4 fraksi hasil fraksinasi dan ekstrak flavonoid dengan berbagai konsentrasi, yaitu 50, 100, 200, 400, dan 800 ppm. Konsentrasi dipilih di bawah 800 ppm karena pada uji toksisitas, ekstrak flavonoid tergolong toksik. Sel kanker yang digunakan adalah sel HeLa dan uji proliferasi dilakukan menggunakan metode MTT. Metode ini relatif cepat, peka, akurat, dapat digunakan untuk mengukur sampel dalam jumlah banyak, dan hasilnya bisa memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan. Namun, metode ini tidak dapat menggambarkan morfologi sel. Akibatnya, apabila terdapat kelainan morfologi akan tetap dihitung sebagai sel hidup, walaupun perubahan morfologi dari suatu sel dapat diakibatkan dari toksisitas suatu bahan.

Hasil uji proliferasi sel kanker (Lampiran 11) menunjukkan bahwa tidak semua fraksi memiliki aktivitas penghambatan sel kanker. Beberapa fraksi pada beberapa konsentrasi yang menghasilkan nilai % inhibisi negatif. Hal ini dapat terjadi karena 2 hal. Pertama, pada konsentrasi tertentu ekstrak dapat memicu perkembangan sel kanker dan kedua, terdapat kenaikan jumlah sel kanker yang mati pada blangko. Fraksi F7 teraktif, dengan nilai penghambatan yang paling besar, yaitu 57.18% pada konsentrasi 800 ppm.

Analisis Spektrum UV-Tampak

Flavonoid mengandung sistem aromatik terkonjugasi dan karena itu, menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV-tampak (Harborne 1987). Spektrum khas flavonoid terdiri atas dua panjang gelombang maksimum, yaitu 240–285 nm (pita 2) dan 300–550 nm (pita 1). Rentang serapan spektrum UV-tampak senyawa flavonoid ditunjukkan pada Tabel 3 (Markham 1988).

Fraksi F7 (fraksi teraktif) dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-tampak. Pemayaran dilakukan dengan perubahan panjang gelombang 2 nm. Spektrum UV-tampak fraksi F7 memiliki 2 panjang gelombang maksimum, 325 nm (bahu) dan 268 nm. Hasil tersebut menunjukkan terjadinya transisi σ→σ*, dan π→π* yang dihasilkan dari kromofor C=C terkonjugasi dan C−O. Senyawa yang

mempunyai transisi n→σ*, dan σ→σ* akan

mengabsorpsi cahaya di daerah UV pada panjang gelombang 200-400 nm (Creswell et al. 2005). Menurut Markham (1988) seperti

tertulis pada Tabel 3, serapan pada panjang gelombang 325 nm dan 268 nm merupakan flavonoid golongan isoflavon atau flavon. Spektrum UV-tampak fraksi F7 ditunjukkan pada Lampiran 12.

Tabel 3 Rentang serapan spektrum UV-tampak senyawa flavonoid (Markham 1988)

Pita 2 (nm) Pita 1 (nm) Jenis Flavonoid 250−280 310−350 Flavon 250−280 330−360 Flavonol (3-OH tersubstitusi) 250−280 350−385 Flavonol (3-OH bebas) 245−275 310−330 bahu Isoflavon 275−295 300−330 bahu Flavanon dan

dihidroflavonol 230−270 340−390 bahu Kalkon 230−270 (kekuatan rendah) 380−430 Auron 270−280 (Kekuatan rendah) 465−560 Antosianidin dan antosianin

Analisis Spektrum FTIR

Analisis spektrum FTIR fraksi F7 (Tabel 4) menunjukkan beberapa gugus fungsi seperti –

OH (3435.00 cm-1) yang didukung juga oleh munculnya serapan pada 1114.55 cm-1 untuk ikatan C-O. Gugus C=C aromatik ditunjukkan dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1627.00 cm-1. Spektrum FTIR fraksi F7 dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 4 Absorpsi FTIR gugus-gugus fungsi

fraksi F7 Bilangan Gelombang (cm-1) Literatur* (cm-1) Gugus dugaan 3435.00 3200−3450 Regang O-H 1627.00 1500−1675 Regang C=C aromatik 1114.00 1000−1300 Regang C-O

*) Sumber: Creswell et al. (2005)

Dokumen terkait