BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.5 Hasil Optimasi Waktu Pembentukan Biofilm S. aureus
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Suspensi Bakteri Uji (200µL)
A b sor b an si
Diagram Optimasi Waktu Pembentukan
Biofilm S. aureus
1 hari 2 hari 3 hari 4 hari
Sebelum dilakukan uji aktivitas penghambatan pembentukan dan penghancuran biofilm seduhan daun teh putih (C. sinensis), kultur cair suspensi bakteri S. aureus harus diuji pertumbuhan biofilm dengan menggunakan metode Microtitter Plate Biofilm Assay (Absorbansi OD595) tujuannya memastikan bakteri uji pada waktu inkubasi optimal dapat membentuk biofilm terbaik pada alat uji. Diagram optimasi waktu pembentukan biofilm S. aureus dapat dilihat pada gambar 8.
Pada grafik terlihat bakteri S. aureus dapat membentuk biofilm yang baik dan pembentukan biofilm S. aureus paling optimal pada waktu inkubasi selama 2 hari. Jumlah suspensi bakteri uji yang digunakan sebanyak 200µL karena dapat membentuk biofilm terbaik sesuai dengan hasil optimasi pembentukan biofilm terbaik pada uji pendahuluan sebelumnya. Waktu inkubasi optimal dengan suspensi bakteri uji sebanyak 200µL dijadikan sebagai kontol negatif pada pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm seduhan daun teh putih (C. sinensis) terhadap biofilm S. aureus.
4.6 Hasil Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. sinensis)
Setelah diketahui waktu optimal yang dibutuhkan bakteri S. aureus membentuk biofilm paling baik, selanjutnya dilakukan uji aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis). Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus dan dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 9.
Tabel 3. Hasil Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus (%kontrol negatif)
Sampel Aktivitas Penghambatan (%) Aktivitas Penghancuran (%)
1% 2% 4% 8% 1% 2% 4% 8% I 56,643 61,479 61,812 63,313 31,019 18,519 25,231 27,995 II 56,976 58,810 64,314 47,971 37,731 50,231 48,148 31,481 III 53,474 55,642 53,641 32,129 51,389 47,917 39,352 24,870 Rata-rata 55,698 58,644 59,922 47,804 40,046 38,889 37,577 28,115 SD 1,93 2,93 5,58 15,59 10,38 17,68 11,56 3,36
26
Gambar 9. Diagram Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. Sinensis) Melalui
Metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm)
Pada aktivitas penghambatan pertumbuhan, pola umum dari grafik aktivitas antibiofilm (% kontrol negarif) mengikuti pola tertentu, yaitu pola sigmoid (membentuk huruf S). Aktivitas yang paling baik dalam penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dihasilkan pada konsentrasi 4% (v/v), dengan penghambatan mencapai 59,922% dan penghambatan terendah pada konsentrasi 8% (v/v) dengan penghambatan sebesar 47,804%. Tingginya aktivitas penghambatan pertumbuhan pada konsentrasi 4% (v/v) jika dilihat dari eror bars berupa standar deviasi tidak berbeda jauh aktivitasnya dengan konsentrasi lainnya dan menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus.
Pada penelitian Roccaro et al (2004) dalam Steinmann et al (2012), menunjukkan bahwa EGCG yang merupakan salah satu bentuk katekin yang terkandung dalam teh hijau dapat menurunkan produksi lendir dan menghambat pembentukan biofilm oleh isolat S. aureus dan S. epidermidis dari mata. Hasil ini menunjukkan bahwa selain mengikat lapisan lipid dan peptidoglikan, EGCG
0 10 20 30 40 50 60 70
Penghambatan pertumbuhan Penghancuran
A kt iv itas A n tibiofi lm (% ko n tr o l n e g atif ) Perlakuan Pengujian
Diagram Aktivitas Penghambatan dan
Penghancuran Biofilm S. aureus
1% (v/v) 2% (v/v) 4% (v/v) 8% (v/v)
2012). Sama halnya dengan teh hijau, teh putih mengandung senyawa katekin (sering disebut dengan polifenol teh) memiliki aktivitas dalam penghambatan pembentukan biofilm S. aureus, namun jumlah kandungan katekin di setiap jenis teh berbeda dan bergantung dengan cara pengolahan daun teh sebelum dilakukan pengeringan. Selain itu mekanisme aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm oleh seduhan daun teh putih belum diketahui.
Pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus, terlihat pola umum dari grafik aktivitas antibiofilm (% kontrol negarif) mengikuti pola tertentu, yaitu pola linier yang terus menurun dari konsentrasi seduhan rendah ke konsentrasi seduhan tertinggi. Aktivitas paling baik dihasilkan pada konsentrasi 1% (v/v), dengan penghancuran mencapai 40,046% dan penghancuran biofilm terendah pada konsentrasi 8% (v/v) dengan penghancuran sebesar 28,115%. Jika dilihat dari eror bars berupa standar deviasi pola grafik berbetuk sigmoid dengan titik puncak pada konsentrasi 2% (v/v), hal ini dimungkinkan konsentrasi 2% (v/v) memiliki aktivitas penghancuran paling baik namun tidak berbeda jauh aktivitasnya dengan konsentrasi 1% (v/v) dan konsentrasi 4% sedangkan terlihat berbeda secara nyata dengan konsentrasi 8% (v/v), dimungkinkan pada konsentrasi 8% (v/v) merupakan konsentrasi yang terlalu besar sehingga menghasilkan nilai absorbansi yang tinggi karena adanya senyawa daun teh putih yang tersisa dalam tiap wells. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.
Data yang telah diperoleh pada setiap aktivitas seduhan daun teh putih terhadap penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm selanjutnya dilakukan uji persyaratan. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p≥0,05). Setelah dilakukan uji normalitas, dilanjutkan uji homogenitas Levene. Hasil uji homogenitas menghasilkan data yang homogen (p≥0,05). Hasil uji tersebut menunjukkan nilai signifikan 0,160 (p≥0,05) untuk aktivitas penghambatan pertumbuhan dan 0,086 (p≥0,05) untuk aktivitas penghancuran biofilm. Hasil uji anova yang dilakukan menunjukkan nilai signifikan 0,000 (p≤0,05) pada aktivitas penghambatan pertumbuhan dan 0,006 (p≤0,05) pada aktivitas penghancuran biofilm, ketika dilanjutkan dengan uji BNT jenis LSD data yang diperoleh menunjukkan hasil
28
yang berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif (p≤0,05) namun tidak berbeda secara bermakna antar konsentrasi seduhan daun teh putih untuk setiap aktivitas. Kontrol negatif yang digunakan adalah biofilm S. aureus dengan menggunakan jumlah kepadatan bakteri uji dan waktu inkubasi optimal sebelumnya.
4.7 Hasil Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus
Optimasi dilakukan pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus. Hal ini dilakukan karena bakteri S. aureus telah membentuk biofilm terlebih dahulu dan berkembang dengan pesat hingga membentuk koloni terutama pada permukaan yang lembab dan kaya nutrisi (Traver, 2009). Mikroba dapat membuat suatu pertahanan dengan membentuk biofilm, yaitu suatu lapisan sel mikroba yang melekat di sebuah permukaan dan tertanam dalam matriks eksopolisakarida yang dihasilkan sendiri oleh miroorganisme tersebut (Saad Musbah Alasil et al., 2014) sehingga masalah utama dari kejadian biofilm yaitu lebih diperlukan akivitas penghancuran biofilm. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis).
Optimasi aktivitas penghancuran biofilm dilakukan terhadap 3 faktor yaitu konsentrasi seduhan, waktu kontak pemberian seduhan dan suhu inkubasi yang didesain dan analisis eksperimen pada Response Surface Analysis (RSA) bervariasi. Rentang yang digunakan pada konsentrasi seduhan daun teh putih 1% - 8% (v/v), waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih 30 menit – 90 menit, dan suhu inkubasi pada suhu 25°C - 50°C. Pemilihan rentang konsentrasi seduhan daun teh putih mengikuti uji penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm sebelumnya yaitu dimulai dari 1% sampai dengan 8% (v/v). Sedangkan rentang waktu kontak pada titik tengah mengikuti uji pada umumnya yaitu selama 60 menit (Prasasti dan Hertiani, 2010) kemudian dimodifikasi yaitu dengan diturunkan dan ditingkatkan 30 menit, sehingga rentang waktu kontak pemberian seduhan yang digunakan dimulai dari 30 menit hingga 90 menit. Dan untuk pemilihan suhu inkubasi dimulai dari suhu ruang yaitu 25°C, suhu optimal
kondisi suhu termofil yaitu pada suhu diatas 45°C hingga 90°, bahkan mencapai 122°C (Shadily, Hassan., 1980). Kondisi suhu termofil yang digunakan adalah 50°C. Sehingga rentang suhu inkubasi yang digunakan dimulai dari 25°C hingga 50°C.
Hasil desain eksperimen pada RSA terlihat konsentrasi seduhan daun teh putih yang akan diuji pada optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah 1%, 4,5% dan 8% (v/v) dengan cara dilakukan pengenceran menggunakan aquadest steril. Perhitungan pengenceran tersebut dapat dilihat pada lampiran 6. Waktu kontak pemberian seduhan selama 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Serta kondisi suhu yang diuji pada tahap ini adalah 25°C, 37,5°C dan 50°C. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapakah titik optimal dari setiap variabel faktor dan apakah ada hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Sebelum dioptimasi, terdapat 20 pasang desain dan analisis eksperimen dari ketiga variabel faktor yang harus dilakukan uji aktivitas penghancuran biofilm S. aureus. Pengujian dilakukan dengan jumlah replikasi 1, secra triplo.
Pengujian dan proses penyiapan seduhan dilakukan dengan cara yang sama pada uji penghancuran biofilm sebelumnya. Yaitu dibiarkan terlebih dahulu biofilm terbentuk dalam setiap wells dan dibuang kemudian diberi perlakuan dengan memasukkan seduhan daun teh putih kedalamnya. Hasil yang didapatkan setelah dilakukan uji aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah berupa nilai pertumbuhan biofilm (Absorbansi OD595). Selanjutnya dilakukan perhitungan rumus sehingga didapatkan persen penghancuran biofilm, kemudian dianalisis menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) dan diperoleh hasil berupa contour plot yang menunjukkan suhu, konsentrasi dan waktu kontak yang optimal.
Hasil optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih pada % penghancuran biofilm S. aureus dapat dilihat pada lampiran 16. Dan hasil contour plot dari % penghancuran biofilm terhadap waktu kontak dan konsentrasi seduhan pada suhu 25°C dapat dilihat pada gambar 10.
30 konsentrasi w a k tu k o n ta k 8 7 6 5 4 3 2 1 90 80 70 60 50 40 30 suhu 37,5 Hold Values > – – – – < -48 -48 -36 -36 -24 -24 -12 -12 0 0 Penghancuran %
Contour Plot of % Penghancuran vs waktu kontak; konsentrasi
Gambar 10. Contour plot dari % Penghancuran vs Waktu Kontak dan Konsentrasi.
Hasil contour plot dari % penghancuran biofilm terhadap suhu dan waktu kontak pada konsentrasi 1% (v/v) dapat dilihat pada gambar 11.
waktu kontak s u h u 90 80 70 60 50 40 30 50 45 40 35 30 25 k onsentrasi 4,5 Hold Values > – – – – < -20 -20 0 0 20 20 40 40 60 60 Penghancuran %
Contour Plot of % Penghancuran vs suhu; waktu kontak
Gambar 11. Contour plot dari % Penghancuran vs Suhu dan Waktu kontak.
Contour plot dari aktivitas % Penghancuran biofilm S. aureus pada RSA seduhan daun teh putih yaitu berwarna putih kehijauan hingga hijau tua. Kondisi
didapatkan kondisi optimal untuk aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah pada konsentrasi 3,253 % (v/v), dengan waktu kontak pemberian seduhan selama 90 menit pada suhu 25°C dan waktu kontak pemberian seduhan selama 30 menit pada suhu 50°C.
Pada contour plot terlihat bahwa aktivitas % penghancuran memberi hasil yang baik pada kondisi suhu 25°C dengan waktu kontak selama 90 menit dan pada kondisi suhu 50°C dengan waktu kontak selama 30 menit. Seduhan teh putih pada suhu ruang ternyata memiliki aktivitas dalam penghancuran biofilm, didukung dengan waktu kontak selama 90 menit memberi aktifitas penghancuran biofilm S. aureus yang optimal. Sama halnya dengan kondisi suhu 50°C biofilm S. aureus dengan mudah terdegradasi meski pemberian seduhan teh putih hanya dalam waktu kontak selama 30 menit. Selain itu, dengan adanya kondisi suhu yang tinggi dimungkinkan membantu peningkatan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih. Hal ini dimungkinkan karena salah satu komposisi penyusun biofilm bakteri adalah lipid, dan pada suhu yang tinggi akan meregang dan terganggu kestabilan lapisan biofilm sehingga membuka celah dan membantu teh putih masuk kedalam biofilm sehingga dapat bertindak sebagai antimokroba. Sehingga bakteri mati dan tidak membentuk biofilm kembali.
Dari hasil optimasi terlihat bahwa aktivitas penghancuran biofilm S. aureus terbaik oleh seduhan daun teh putih dapat digunakan pada suhu yang hangat yaitu 50°C dengan waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih yang lebih singkat dalam waktu 30 menit, atau dapat menggunakan kondisi suhu ruang yaitu 25°C (tidak panas) namun dengan waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih yang sedikit lebih lama yaitu 90 menit. Namun, mekanisme aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih belum diketahui.
Dari hasil contour plot aktivitas penghancuran terlihat semakin buruk pada suhu 50°C dengan waktu kontak 90 menit dimungkinkan karena sumur yang diberikan perlakuan seduhan daun teh putih sudah tidak terdapat biofilm S. aureus karena tingginya suhu dan nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kontrol negatif dimungkinkan karena seduhan daun teh putih yang menempel pada tiap wells dan tidak hilang pada suhu yang tinggi.
32
Setelah dilakukan optimasi ativitas penghancuran bifilm S. aureus menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) jika dibandingkan dengan hasil skrining awal pada pengujian aktivitas penghancuran, pada contour plot terlihat aktivitas penghancuran biofilm pada kondisi suhu 25°C selama 60 menit menghasilkan warna hijau muda yang artinya tidak optimal dan menghasilkan % penghancuran dengan nilai kecil. Pengujian dengan kondisi yang tidak optimal pada hasil pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm pada sebelum optimasi dimungkinkan menyebabkan aktivitas penghancuran yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus.
5.1 Kesimpulan
1) Seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.
2) Perbedaan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus dipengaruhi oleh konsentrasi seduhan, waktu kontak dan suhu inkubasi.
3) Setelah dilakukan optimasi menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) didapatkan kondisi terbaik untuk mendapatkan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus yang optimal.
5.2 Saran
1) Seduhan daun teh putih (C. sinensis) dengan kondisi terbaik dapat digunakan oleh masyarakat umum dalam mengontrol biofilm S. aureus. 2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kimia
yang lebih spesifik dalam seduhan daun teh putih (C. sinensis) secara kuantitatif menggunakan metode analisa tertentu dan mengetahui mekanisme yang terjadi pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis).
DAFTAR PUSTAKA
Ando, Eiichi., Monden, Koichi., Mitsuhata, Ritsuko., Kariyama, Reiko., dan Kumon, Hiromi. 2004. Biofilm Formation among Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Isolates from Patients with Urinary Tract Infection. Acta Medica Okayama. Vol. 58, No. 4, pp. 207-214.
Archer, et al. 2011. Staphylococcus Aureus Biofilms Properties, Regulation and Roles in Human Disease. Landes Bioscience. Virulence 2:5, 445-459. Arifin, S. 1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh dan Kina. Pusat Penelitian Teh
dan Kina. Gambung, Bandung.
Assani S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara. Jakarta.
Bixler, Gregory D., dan Bhushan, Bharat. 2012. Biofouling: Lessons From Nature. Phil. Trans. R. Soc. A 370, 2381–2417.doi:10.1098/Rsta.2011.0502. Breed, Roberto et al. 1957. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.
Seventh Edition. The Williams and Wilkins Company.
Chen, Meng., Yu, Qingsong., dan Sun, Hongmin. 2013. Novel Strategies for the Prevention and Treatment of Biofilm Related Infections. International Journal of Molecular Sciences. 14. 18488-18501; doi: 10.3390/ijms140918488.
Coleman et al. 2010. Characterization of plant-derived saponin natural products against Candida albicans. ACS Chem Biol. Doi: 10.1021/cb900243b
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2965462/ [diakses pada: 10 Juni 2015. Jam 23:33].
Davies D.G., Marques C.N. 2009. A Fatty Acid is Responsible for Inducing Dispersion in Microbial Biofilms. Journal of Bacteriology191: 1393-1403. Deby et al., 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun (Coleus
atropurpureus (L.) Benth) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa Secara In Vitro. Program Studi Farmasi. FMIPA UNSRAT Manado, 95115.
Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011. Antimicrobial Resistance: The Global Public Health Challenge. International Journal of Student Research.Volume I. Issue 2.
Jawetz; Melnick; dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran, ed. 23. Alih bahasa oleh Hartanto, H., et al. Penerbit EGC. Jakarta.
Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. (H. Hartanto, C. Rachman, A. Dimanti, A. Diani). Penerbit EGC. Jakarta.p.199 – 200 : 233. J. B. Harborne. 1987. Metode Fitokimia Penentuan Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan Pertama. Bandung: Penerbit ITB.
Jin-Hyung Lee, Joo-Hyeon Park, Hyun Seob Cho, Sang Woo Joo, Moo Hwan Cho dan Jintae Lee. 2013. Anti-biofilm activities of quercetin and tannic acid against Staphylococcus aureus. Biofouling: The Journal of Bioadhesion and Biofilm Research, 29:5, 491-499.
Kudva I.T., Jelacic S., Tarr P.I., Youderian P., Hovde C.J. 1999. Biocontrol of Escherichia coli O157 with O157-spesific bacteriophages. Applied and Environmental Microbiology65: 3767-3773.
Maric S., and Vrances J. 2007. Characteristics and Significance of Microbial Biofilm Formation. Periodicum Biologorum. Vol 109. No 2.
Mead, M. Nathaniel. 2007. Diet and Nutrition: Temperance in Green Tea. Environ Health Perspect. Sep; 115(9): A445.
Mims et al. 1998. Medical Microbiology, 2nd edition. London: Mosby.
Montgomerry, Douglas C. 2001. Design and Analysis of Experiments. John Wiley & Sons. New York. USA.
[MSU] Montana State University. 2008. A Bioflm Primer: How Biofilm Forms. Biofilm online http://www.biofilmsonline.com/cgni-bin/biofilmsonline/ ed_how primer.html [diakses pada: 02 Februari 2015. Jam 00:25].
M. Simoes., Simoes L.C., Vieira M.J. 2010. A Review of Current and Emergent Biofilm Control Strategies. LWT-Food Science and Technology 43: 573-583.
Pertiwi, Nursitasari. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri dan Mekanisme Hambat Ekstrak Air Campuran Daun Piper Bettle L Terhadap Bakteri Uji. Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Skripsi].
Prakash B., B.M. Veeregowda and G. Krishnappa. 2003. Biofilms: A Survival Strategy of Bacteri. Current Sci., 85: 1299 – 1307.
36
Prasasti D., Hertiani T. 2010. Potensi Campuran Minyak Atsiri Rimpang Temulawak dan Daun Cengkeh Sebagai Inhibitor Plak Gigi. The Journal of Indonesia Medical Plant. Vol 3 (2).
Prasetia, Hendra Adi. 2012. Biofilm Mikroba: Ancaman Nyata Keamanan Pangan.
Pratiwi, Sylvia. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
[PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2012. Excellent Gamboeng White Tea.
http://www.gamboeng.com/excellent-gamboeng-white-tea/ [diakses pada: 28 Januari 2015. Jam 22:14 ].
Rahardjo, Jani., Iman, R. 2002. Optimasi Produksi dengan Metode Response Surface Studi Kasus pada Perusahaan Injection Moulding. Jurnal Teknik Industri Vol. 4, No. 1, 36 – 44.
Rai, Nishant., Jigisha, A., Navin, K., dan Pankaj, G. 2012. Green Tea: A Magical Herb With Miraculous Outcomes. International Research Journal of Pharmacy 3(5): 139-148.
Rosenbach, AJ. 1884. Mikro-Qrganismen bei den Wund-Infections-Krankheiten des Menschen. Wiesbaden, J.F. Bergmann,. p. 18.
Saad Musbah Alasil et al. 2014. Antibiofilm Activity, Compound Characterization and Acute Toxicity of Extract from a Novel Bacterial Species of Paenibacillus. International Journal of Microbiology. Volume 2014. Article ID 649420. 11 pages.
Sandasi, Leonard C M, Viljoen A M. 2010. The In vitro antibiofilm activity of selected culinary herb and medical plants againt listeria monocytogenes. Letters in Applied Microbiology (50) . Page : 30-35.
Septiari. B.B. 2012. Infeksi nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika.
Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia Jilid 6 (SHI-VAJ). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, hal. 3515.
Syah, Andi. 2006. Taklukan Penyakit dengan Teh Hijau. Cetakan 1. Jakarta: AgroMedika Pustaka.
Syukur, Cheppy. 2011. Teh Putih (Camellia sinensis) Sebagai Minuman Kesehatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Volume. 17, nomor. 3: 9-13.
Steinmann Joerg., Buer, J., Pietschmann, T., dan Steinmann, E. 2012. Anti-infective properties of epigallocatechin-3-gallate (EGCG), a component of
Todar, K., 2008. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Disease . USA : Wisconsin, Madison http://www.textbookofbacteriology.net/staph.html
[diakses pada 03 Februari 2015. Jam 14:44].
Traver T. 2009. Biofilms A Thread to Food Safety. Food Technology February 2009. pp: 46 – 52 http://www.ift.org [diakses pada: 02 Februari 2015. Jam 00:12].
Trisnawati, I.N. 2010. Pengaruh perlakuan sanitizer air panas pada peralatan penyajian terhadap penurunan angka total bakteri dan coliform di bangsal geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang. [Skripsi] Semarang: UNDIP. hlm. 29. Wahjono, Hendro. 2007. Peran Mikrobiologi Klinik Pada Penanganan Penyakit
Infeksi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Surabaya.
Watnick P., Kolter R. 2000. Biofilm, City of Microbes. Journal of Bacteriology 182: 2675 – 2679.
Yunus, L. 2000. Pembentukan biofilm oleh Salmonella blockey pada permukaan stainless steel serta pengaruh sanitasi terhadap pembentukan kembali biofilm baru. [Skripsi] Bogor: IPB. hlm. 12-15.
Yuwono. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA. Jurnal Kedokteran & Kesehatan Fakultas Kedokteran UNSRI. 42 (1). pp. 2837-2841. ISSN 0-853-1773.
Lampiran 1. Alur Kerja
Daun teh putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze): 1. Daun teh kering dari kemasan 2. Daun teh hasil seduhan pertama 3. Daun teh diayak Mesh no. 20
Karakterisasi dan penapisan fitokimia daun teh putih
Staphylococcus aureus
Identifikasi daun teh putih
Purifikasi dan Karaketisasi bakteri