• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Hasil Penyiapan Seduhan dan Karakterisasi Seduhan

ini dianalisis kandungan total fenol (polifenol total) dalam tiap seduhan secara kuantitatif dengan metode Follin-ciocalteau di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 16 Maret 2015. Hasil analisis total fenol tiap seduhan teh putih (C. sinensis) dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Total Fenol

Nama Sampel Hasil Teknik Analisis Seduhan 1 0,018% (b/v)

Spektrofotometri Seduhan 2 0,025% (b/v)

Seduhan 3 0,028% (b/v)

Dari hasil uji total fenol metode Folin-ciocalteau diatas terlihat pada seduhan 1 hanya mengandung 0,018% (b/v), dimungkinkan karena daun teh putih belum terekstrak sempurna. Jika dilihat dari karakteristiknya, daun teh putih masih dalam bentuk kuncup dan menggulung sehingga kandungan metabolit sekunder sulit terekstrak keluar dari dalam daun teh dan hanya menghasilkan total fenol lebih sedikit dibandingkan seduhan lainnya. Pada seduhan 2 menghasilkan kandungan total fenol yang lebih tinggi dari seduhan satu yaitu sebesar 0,025% (b/v). Sesuai dengan saran penyajian kemasan, teh putih dapat diseduh ulang hingga 2-3 kali menggunakan volume air yang sama, ini membuktikan bahwa daun teh putih masih berkhasiat dan layak dikonsumsi meskipun sebelumnya telah diseduh. Sedangkan pada seduhan 3 mengandung total fenol yang lebih tinggi dari seduhan lainnya yaitu mencapai 0,028% (b/v), dimungkinkan karena daun teh putih terekstrak sempurna karena daun teh putih sebelumnya telah diserbuk halus dengan cara digiling dalam lumpang dan alu kemudian di ayak dengan ayakan Mesh 20. Dengan perlakuan sebelumnya ini, sangat disayangkan karena dapat menghilangkan keunikan dari bentuk daun teh putih meskipun menghasilkan total fenol yang paling tinggi.

Dari hasil analisis total fenol didapatkan seduhan 3 memiliki polifenol total yang paling tinggi yaitu 0,028% (b/v). Dipilihnya seduhan yang memiliki kandungan polifenol total tertinggi karena dimungkinkan memiliki aktivitas antibiofilm yang lebih baik khususnya dalam aktivitas penghambatan dan penghancuran biofilm S. aureus. Polifenol dapat diartikan sebagai suatu senyawa kimia yang umumnya terdapat pada daun teh dimana struktur dasarnya memiliki

22

gugus aromatik yang terikat satu atau lebih gugus OH. Senyawa dari golongan polifenol dalam daun teh putih yang digunakan pada penelitian ini, setelah dilakukan penapisan fitokimia adalah flavonoid dan tanin yang keduanya berpotensi memiliki aktivitas antibiofilm. Kemudian diseduh dan dianalisis secara kuantitatif total fenol (polifenol totalnya), dimungkinkaan senyawa flavonoid dan tanin pada daun teh putih larut selama proses penyeduhan karena senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air. Senyawa saponin juga mudah larut dalam air (J. B. Harborne, 1987).

Seduhan 3 dijadikan larutan seduhan yang akan digunakan untuk pengujian penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus. Larutan seduhan dianggap konsentrasi 100% karena daun teh putih tidak larut sempurna dalam larutan penyeduh dan harus disaring untuk memisahkan daun teh putih dari larutan seduhan dan tidak bisa dipastikan konsentrasi (b/v). Dari larutan tersebut dibuat seri konsentrasi sebesar 1%, 2%, 4% dan 8% (v/v) dengan cara dilakukan pengenceran menggunakan akuades steril. Seri konsentrasi seduhan daun teh putih (C. sinensis) dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan aktivitas antibiofilm khususnya dalam aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm meskipun dengan menggunakan konsentrasi yang kecil.

4.4 Preparasi Bakteri Uji

4.4.1 Hasil Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri Uji pada Media Luria Bertani Agar

Purifikasi bertujuan untuk memurnikan biakan bakteri uji dari kultur murni S. aureus. Pada penelitian ini purifikasi bakteri uji menggunakan media luria bertani (LB) agar selama 24 jam pada suhu 37°C untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri uji sehingga dapat tumbuh dengan baik (J.-H. Lee et al., 2013). Media LB agar merupakan media pendukung bagi banyak pertumbuhan dan tersusun dari komponen yang umumnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mikroorganisme, media LB agar bukan media selektif untuk bakteri S. aureus (Pratiwi, 2008).

tertanam dalam perbenihan luria bertani agar jika dilihat dari sisi atas koloni – koloni terlihat bundar, menonjol dan sisi meninggi, koloni berkilau berwarna kuning tua keemasan dan tumbuh dengan baik pada media LB agar. Hasil purifikasi bakteri uji pada media luria bertani agar dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Hasil Purifikasi Bakteri S. aureus pada Media LB Agar. Sumber: Dokumen Pribadi

Dari hasil pewarnaan Gram dapat dilihat secara mikroskopik bahwa isolat bakteri uji yang digunakan menghasilkan warna ungu, berbentuk bulat tidak beraturan seperti anggur, dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Gram, golongan bakteri ini dapat menyerap dan mempertahankan zat warna kristal ungu pada peptidoglikan setebal 20 – 80 nm (Mims et al., 1998) dengan komposisi terbesar teichoic, asam teichuroni, dan berbagai macam polisakarida (Jawetz et al., 2005) sehingga tidak luruh saat dicuci dengan alkohol 96%. Jadi dapat disimpulkan isolat yang digunakan adalah benar merupakan bakteri Gram positif yaitu bakteri S. aureus. Hasil karakterisasi bakteri S. aureus menggunakan pewarnaan Gram dapat dilihat pada gambar 7.

24

4.4.2 Hasil Suspensi Bakteri Uji

Tabung yang berisi kultur cair bakteri uji yang telah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C terlihat lebih keruh dari hari sebelumnya, hal ini menandakan bakteri uji telah tumbuh dan konsentrasi bakteri uji lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Selanjutnya divortex selama 1 menit hingga homogen kemudian diukur nilai Optical Density (Absorbansi OD600) menggunakan alat spektrometer, kemudian dilakukan pengenceran menggunakan HTR cair hingga mencapai 0,5 (Abs OD600) atau ~108 CFU/mL. Digunakan OD 0,5 pada suspensi bakteri uji karena dapat membentuk biofilm yang baik (kuat) pada nilai OD ≥ 0.5 (Ando et al., 2004). Selain itu, pada nilai OD 0,5 bakteri S. aureus berada pada tahap pertengahan fase log (Bjarnsholt, Thomas et al., 2011) dan dalam laju metabolisme yang cepat. Menurut Pratiwi, Sylvia (2008) fase log (fase eksponensial) merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksmum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel-baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

Dokumen terkait