• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang

Migas.

Sektor minyak dan gas di Indonesia merupakan salah satu sektor vital dan memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal itu dapat terlihat selama kurun waktu tahun 1992 sampai tahun 1999, kontribusi sektor migas pada Produk Domestik Bruto Indonesia selalu berada diatas angka 8% (tabel 3)

Tabel 3 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993)

Tahun PDB migas (Miliar Rp) PDB migas terhadap PDB nasional (%)

1992 8,395.2 10.54 1993 8,382.9 9.68 1994 8,566.1 9.52 1995 8,371.7 8.49 1996 9,008.5 8.29 1997 8,809.9 8.02 1998 8,680.3 9.66 1999 8,668.7 9.16

Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Sementara itu, pada periode tahun 2000 sampai tahun 2012 kontribusi sektor migas terhadap PDB Indonesia mempunyai kecenderungan menurun.

80 Loc.cit

36

Penurunan kontribusi ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor migas pada tahun 2000 yaitu 14.2% menjadi 5.29% pada tahun 2012 (tabel 4). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah penurunan alami cadangan minyak bumi karena proses eksploitasi yang berlebihan, semenjak tahun 2004 Indonesia menjadi negara Net Oil Importer karena ketidakmampuan produksi domestik untuk memenuhi konsumsi BBM yang semakin meningkat serta realisasi pengeboran eksplorasi di blok-blok baru sejak keberadaan Undang- Undang Migas terus anjlok.

Menurut Kurtubi:82

“Penemuan cadangan/lapangan baru menjadi langka. Lifting minyak terus turun karena hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua. Sasaran lifting dalam APBN setiap tahun, pasca- Undang-Undang Migas, nyaris tidak pernah tercapai. Indonesia berubah dari negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC jadi negara pengimpor minyak netto. Indonesia harus keluar dari OPEC.”

Tabel 4 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000)

Tahun PDB migas (Miliar Rp) terhadap PDB PDB migas nasional (%) 2000 43,736 14.2 2001 41,312 13.10 2002 40,086 12.00 2003 38,968 11.10 2004 37,540 9.90 2005 36,455 9.00 2006 36,468 8.50 2007 35,723 7.80 2008 35,660 7.40 2009 36,094 7.04 2010 35,626 6.48 2011 35,626 6.05 2012 33,243 5.29

Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Penurunan produksi dan ketergantungan produk impor pada sektor migas ini sepertinya tidak terlalu menjadi fokus utama pemeritah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya penerimaan/pendapatan negara yang dihasilkan oleh sektor migas. Penerimaan sektor migas ini berkontribusi ±30% pada total penerimaan pemerintah dan nilainya terus meningkat setiap tahunnya. (tabel 5)

Hal yang menyebabkan masih tingginya dan meningkatnya penerimaan pemerintah dikala produksi sektor migas ini menurun adalah harga migas di pasar cenderung mengalami peningkatan. Untuk minyak bumi saja, pada tahun 1992 harganya masih dikisaran Rp. 43,934/barel pada tahun 2012 harganya meningkat

37 ke kisaran Rp. 984,276/barel. Sedangkan untuk gas bumi, pada tahun 1992 harganya berada pada kisaran Rp. 8,724/scf dan pada tahun 2012 harganya melonjak ke kisaran Rp. 170,239/scf (tabel 6). Hal tersebut disebabkan banyak hal diantaranya semakin menurunnya produksi dunia dan permintaan semakin meningkat, selain itu dipengaruhi oleh iklim ekonomi dunia yang berdampak pada pembentukan harga komoditi migas ini.

Tabel 5 Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar Rupiah)

Tahun Migas PPh Penerimaan Migas Minyak Bumi Alam Gas Total

1992 - 15,331 12,092 3,239 30,662 1993 - 12,503 9,447 3,056 25,006 1994 - 13,537 10,004 3,533 27,074 1995 - 16,055 11,964 4,091 32,110 1996 - 20,137 14,783 5,354 40,274 1997 - 31,208 22,913 8,295 62,416 1998 - 41,368 25,957 15,411 82,736 1999 - 28,603 15,070 13,533 57,206 2000 18,652 66,661 50,953 15,708 151,974 2001 23,102 81,041 58,950 22,091 185,184 2002 17,469 60,011 47,686 12,325 137,491 2003 18,963 61,502 42,969 18,533 141,967 2004 22,947 85,259 63,060 22,199 193,465 2005 35,143 103,762 72,822 30,940 242,667 2006 43,188 158,086 125,145 32,941 359,360 2007 44,001 124,784 93,605 31,179 293,569 2008 77,019 211,617 169,022 42,595 500,253 2009 50,044 125,752 90,056 35,696 301,548 2010 58,873 152,733 111,815 40,918 364,339 2011 73,096 193,491 141,304 52,187 460,078 2012* 60,671 157,325 114,392 42,934 375,322

Sumber: Kementrian Keuangan (diolah) *angka sementara

Peningkatan penerimaan pemerintah ini juga diikuti oleh peningkatan biaya

cost recovery. Secara teknis, harusnya ketika terjadi penurunan produksi, biaya

yang dikeluarkan juga semestinya turun karena cost recovery merupakan biaya

yang dikeluarkan pemerintah untuk mengganti biaya operasional/biaya produksi yang dikeluarkan oleh kontraktor. Hal tersebut disebabkan oleh masih tingginya ketergantungan kontraktor terhadap sumur-sumur tua sehingga biaya produksi semakin tinggi dan biaya pemeliharaan yang juga tinggi.

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur tua adalah dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR).83 Meskipun biaya untuk proyek

EOR ini tinggi, tetapi resiko kontraktor tidak sebesar untuk melakukan kegiatan

38

eksplorasi, karena untuk kegiatan eksplorasi apabila kontraktor gagal menemukan cadangan migas maka segala biaya dan kerugian ditanggung oleh kontraktor dan tidak mendapatkan cost recovery.

Tabel 6 Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012

Tahun

Produksi Harga Cost

Recovery

(Juta Rupiah) Minyak Bumi

& Kondensat

(ribu barel) Gas Alam (MSCF)

Minyak Bumi & Kondensat (rupiah/barel) Gas Alam (rupiah/S CF) 1992 550660 1788848.2 43 934.70 8 724.24 - 1993 547430 2755280.1 35 419.87 6 773.10 - 1994 551140 2941622 35 086.33 7 106.00 - 1995 546980 2966781.4 38 668.74 7 992.83 - 1996 548648.3 3164016.2 47 634.34 9 122.97 - 1997 543752.6 3166034.9 52 395.61 10 496.43 - 1998 534892 2978851.9 149 270.60 30 024.40 - 1999 494643 3068349.1 83 100.18 16 547.94 - 2000 484393.3 2845532.9 94 922.13 19 022.92 - 2001 480116.1 3765828.5 109 097.64 21 865.09 - 2002 397308.5 2289373.9 234 114.20 41 343.99 16 426.32 2003 383700 2142605 248 121.13 42 785.87 16 416.94 2004 404992.9 3026069.3 338 121.48 52 714.46 21 348.98 2005 387653.5 2985341 519 751.40 68 468.08 26 541.89 2006 357477.4 2948021.6 588 703.37 73 738.66 26 359.90 2007 348348 2805540.3 651 017.44 76 940.15 26 801.95 2008 358718.7 2790988 919 625.36 111 117.46 39 859.91 2009 346313 2887892.2 633 056.87 77 078.85 26 693.41 2010 344888 3407592.3 717 860.31 85 234.12 29 396.22 2011 329249.3 3256378.9 912 288.53 136 436.57 44 921.65 2012 314665.9 2982753.5 984 276.63 170 239.27 53 568.49

*data produksi migas didapat dari Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Badan Pusat Statistik (BPS)

**harga minyak bumi dan gas bumi didapat dari World Bank dalam situs www.indexmundi.com yang sudah di konversi ke rupiah

***data cost recovery didapat dari BP Migas dan sudah di konversi ke rupiah

Masih tergantungnya kontraktor terhadap sumur-sumur tua juga dapat terlihat dari besaran investasi pada sektor migas. Selama periode tahun 1995-2007 saja proporsi eksplorasi terhadap total investasi yang dikeluarkan investor/kontraktor masih kecil yaitu dikisaran angka 4%-13% saja. Kecilnya rasio di sektor eksplorasi itu diikuti juga oleh penemuan minyak yang semakin turun (tabel 7)

Menurut Kurtubi:84

“Secara teoretis, mestinya penemuan cadangan minyak di Indonesia akan sangat tinggi. Sebab, berdasarkan penelitian, elastisitas penemuan cadangan minyak di Indonesia lebih bersifat price elastic. Artinya, laju

39

penemuan cadangan di Indonesia sangat dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia, di mana laju penemuan cadangan akan lebih tinggi dari laju kenaikan harga. Namun, nyatanya, penemuan cadangan baru pasca-UU Migas nyaris tak ada meski harga minyak dunia terus naik. Satu-satunya penemuan baru yang signifikan, bisa tambah lifting 165.000 bbls per hari, adalah Blok Cepu. Itu pun ditemukan sebelum UU Migas.”

Tabel 7 Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak Tahun 1995-2007

Tahun Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi Penemuan Minyak (MMBL) 1995 9% 41 1996 8% 55 1997 11% 98 1998 13% 66 1999 6% 76 2000 5% 15 2001 5% 6 2002 4% 26 2003 5% 19 2004 5% 20 2005 7% 31 2006 6% 14 2007 5% 15

Sumber: BP Migas dalam ReforMiner’s Policy Review Edisi: #1, Juli 2012. Hal 2

Pernyataan tersebut sesuai dengan data pada tabel 7 yang mana penemuan minyak semakin menurun tetapi harga minyak (pada tabel 6) menunjukan kenaikan yang sangat drastis. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, selain faktor kualitas data geologi, koordinasi yang buruk, dan tumpang tindih lahan, faktor masih tingginya angka korupsi Indonesia serta tata kelola yang buruk menjadi penyebab utamanya. Tata kelola sistem perminyakan di Indonesia menempatkan Indonesia sebagai negara ke-114 dari 135 negara yang di survei oleh Fraser Institute Canada dalam laporannya, "Global Petroleum Survey 2011".

Di kawasan Asia-Oceania, sistem tata kelola migas di Indonesia paling buruk, lebih buruk daripada semua negara tetangga, termasuk Timor Leste.85

Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan Pengelolaan Migas di Indonesia.

Analisis Deskriptif

Indikator kinerja migas dilihat dari variabel-variabel yang digunakan pada model yang telah disebutkan di bab metodologi penelitian yang mana variabel- varaibel tersebut adalah variabel pertumbuhan output (GO) yang merupakan

85

40

variabel dependen (Y) sedangkan variabel independennya adalah variabel pertumbuhan modal (GK), variabel pertumbuhan tenaga kerja (GL) dan variabel pertumbuhan kemajuan teknologi (GT). Laju pertumbuhan indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari Gambar 17 dan Gambar 18.

Gambar 17 Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 1993-2001 Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 18 Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 2002-2012 Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 17 menunjukan laju pertumbuhan indikator kinerja sektor migas sebelum liberalisasi (Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001) dan Gambar 18 menunjukan indikator kinerja sektor migas setelah liberalisasi tahun 2001. Pada Gambar 17 dapat terlihat laju semua variabel tumbuh relatif stabil pada rentang angka -50 sampai 50 kecuali pada tahun 1998 variabel pertumbuhan modal (GK) meningkat tajam. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh krisis moneter yang dialami Indonesia sehingga meningkatkan biaya input yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan. Peningkatan biaya input (modal) tersebut tidak diikuti

41 oleh peningkatan ouput secara signifikan. Meskipun begitu selama kurun waktu tahun 1993-2001, laju pertumbuhan output (GO) tidak pernah bernilai negatif.

Pada Gambar 18 variabel-variabel indikator kinerja sektor migas cenderung mengalami penurunan. Variabel pertumbuhan output (GO) sempat mengalami kenaikan sampai pada tahun 2004, setelah itu mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah pada tahun 2004 Indonesia menjadi negara Net Oil Importer

karena tingginya permintaan domestik terhadap BBM yang menyebabkan produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Variabel pertumbuhan modal (GK) mengalami kenaikan pada tahun 2003. Hal itu diduga disebabkan oleh transformasi Pertamina menjadi Perseroan Terbatas (PT) dan sektor hilir migas diliberalisasi yang menyebabkan banyaknya perusahaan asing yang mulai masuk dan berinvestasi pada sektor hulu dan hilir migas. Tetapi kenaikan tersebut tidak berlangsung lama karena setahun setelahnya (tahun 2004) laju pertumbuhan modal turun drastis.

Variabel kemajuan teknologi (GT) juga mengalami hal serupa pada tahun 2004 meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami kenaikan. Penurunan kemajuan teknologi ini diduga disebabkan oleh kontraktor-kontraktor bagi hasil yang hanya berproduksi pada sumur tua sehingga efektifitas tenaga kerja menjadi berkurang. Variabel pertumbuhan tenaga kerja sempat mengalami kenaikan pada tahun 2004 tetapi pada tahun-tahun berikutnya tidak ada kenaikan pertumbuhan tenaga kerja yang signifikan bahkan setelah tahun 2007 pertumbuhannya terus negatif.

Tahap Evaluasi Pemilihan Model

Dengan menggunakan metode regresi dengan peubah dummy maka nanti akan terlihat bagaimana pengaruh liberalisasi tahun 2001 terhadap kinerja sektor migas yang di proksikan dengan variabel pertumbuhan output (GO) sebagai variabel dependen (Y) serta variabel GK, GL, dan GT yang masing-masing sebagai variabel indipendennya. Setelah dilakukan analisis menggunakan Augmented Dickey Fuller Test, maka model yang terbaik adalah dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) karena semua variabel stasioner pada

level.

Tabel 10 Hasil Uji Stationeritas

Variabel Level First Difference Second Difference

Y (GO) Stationer - -

X1 (GK) Stationer - -

X2 (GL) Stationer - -

X3 (GT) Stationer - -

Pengujian Asumsi Klasik A. Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Breusch-Pagan- Godfrey. Dari hasil output yang didapatkan, maka tidak ada masalah heteroskedastisitas pada model tersebut karena nilai Prob. Chi-Square (4) lebih besar dari taraf nyata 10% yaitu sebesar 0.2649

42

Tabel 8 Output Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 4.641806 Prob. F(4,15) 0.0122 Obs*R-squared 11.06271 Prob. Chi-Square(4) 0.0259 Scaled explained SS 5.225799 Prob. Chi-Square(4) 0.2649 B. Autokorelasi

Pada uji autokorelasi, setelah diuji menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test didapatkan nilai yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen, yaitu sebesar 0.2452 sehingga dapat disimpulkan model ini bebas dari masalah autokorelasi.

Tabel 9 Output Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.063069 Prob. F(2,13) 0.3736 Obs*R-squared 2.811212 Prob. Chi-Square(2) 0.2452 C. Uji Normalitas

Dari histogram pada gambar 19 nilai Jarque-Bera (JB) model ini sebesar 0,545668 dan lebih besar pada taraf nyata 10%. Dari histogram juga terlihat bahwa eror menyebar normal .

Gambar 19 Sebaran Error Model

0 1 2 3 4 5 -10 -5 0 5 10 Series: Residuals Sample 1993 2012 Observations 20 Mean 2.89e-15 Median -1.385280 Maximum 11.48435 Minimum -10.65671 Std. Dev. 5.916163 Skewness 0.371526 Kurtosis 2.679572 Jarque-Bera 0.545668 Probability 0.761219

43 Hasil Estimasi

Setelah dilakukan regresi berganda dengan metode estimasi OLS didapatkan hasil output seperti yang tertera pada Tabel 10. Model tersebut mempunyai nilai

R-Squared sebesar 0.896787 yang artinya bahwa sebesar 89.67 persen persamaan

tersebut dapat dijelaskan oleh variabel-variabel di dalam model dan sisanya yaitu sebesar 10.33 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistic sebesar 0.00000 dan lebih kecil dari taraf nyata manapun (baik 10%, 5%, dan 1%) yang berarti model ini signifikan.

Dari keempat variabel independen tersebut, variable yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan output adalah variabel pertumbuhan tenaga kerja (GL) dan variabel kemajuan teknologi (GT), sedangkan variabel pertumbuhan kapital (GK) dan variabel dummy tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan

output pada taraf nyata manapun.

Nilai koefisien variabel GK sebesar 0.046237 dengan nilai koefisien yang positif berarti ketika laju pertumbuhan modal naik sebesar 1 persen maka akan meningkatkan laju pertumbuhan ouput sebesar 4.62 persen dengan asumsi cateris paribus dan variabel tersebut signifikan. Kecilnya pengaruh variabel

pertumbuhan modal ini diduga disebabkan oleh investasi yang masuk menjadi modal tidak terlalu meningkatkan output karena kecilnya investasi pada sektor eksplorasi yang menyebabkan kegiatan produksi hanya fokus terhadap sumur- sumur tua yang menghabiskan biaya yang besar dengan hasil yang tidak terlalu besar.

Tabel 10 Hasil Estimasi Model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. GK 0.046237 0.034457 1.341858 0.1996 GL 1.156602 0.144925 7.980692 0.0000 GT 0.871201 0.099993 8.712600 0.0000 Dummy 5.083365 3.059802 1.661338 0.1174 C -3.871214 2.907764 -1.331337 0.2030 R-squared 0.896787 Mean dependent var 15.89000 Adjusted R-squared 0.869264 S.D. dependent var 18.41508 S.E. of regression 6.658422 Akaike info criterion 6.841960 Sum squared resid 665.0188 Schwarz criterion 7.090893 Log likelihood -63.41960 Hannan-Quinn criter. 6.890554 F-statistic 32.58275 Durbin-Watson stat 2.421649 Prob(F-statistic) 0.000000

Variabel pertumbuhan tenaga kerja (GL) signifikan mempengaruhi pertumbuhan output pada taraf nyata manapun dan menunjukan nilai koefisien positif sebesar 1.156602 yang berarti bahwa ketika laju pertumbuhan tenaga kerja naik sebesar 1 persen akan meningkatkan laju pertumbuhan output sebesar 115.66 persen dengan asumsi cateris paribus. Variabel pertumbuhan teknologi juga

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan output. Nilai koefisien sebesar 0.871201 dan bertanda positif menunjukkan bahwa ketika

44

terjadi pertumbuhan kemajuan teknologi (GT) sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pertumbuhan output sebesar 87.12 persen dengan asumsi cateris paribus. Variabel GT yang signifikan menunjukan bahwa teknologi sangat

berperan pada efisiensi sektor migas dalam meningkatkan ouput.

Variabel terakhir yang menjadi indikator adanya pengaruh liberalisasi tahun 2001 yaitu variabel dummy, tidak signifikan pada taraf nyata manapun. Hal

tersebut menunjukan bahwa regulasi atau Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan output sektor migas meskipun koefisiennya bernilai positif dengan nilai 5.083365.

Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di Indonesia.

Sebagai salah satu sektor penyumbang terbesar di Indonesia, tentu sektor migas merupakan sektor strategis yang mana pemerintah berhak untuk turut campur dalam pemanfaatannya karena menyangkut kebutuhan pokok bagi rakyat dan pembangunan nasional. Tetapi dalam pelaksanaanya, sektor migas ini tidak jarang menimbulkan celah-celah yang dimanfaatkan oleh individu/oknum tertentu agar dapat memperoleh keuntungan atau biasa disebut aktivitas perburuan rente (rent seeking activity).

Hal yang menjadi penyebab terjadinya rent seeking activity menurut

Buchanan dalam Yustika86 adalah adanya hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) dan persaingan pasar yang tidak sempurna (imperfect competition). Artinya

ketika adanya kedua hambatan tersebut, para pelaku ekonomi lain akan berusaha sekuat tenaga dan melakukan lobi-lobi kepada pemerintah agar mereka dapat masuk pasar atau mendapatkan lisensinya. Hal tersebut sesuai dengan kondisi sektor migas pada waktu sebelum liberalisasi (sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) yang mana Pertamina merupakan perusahaan milik negara yang mempunyai peran penuh dalam kegiatan di sektor migas, atau dengan kata lain merupakan perusahaan yang diberi hak monopoli oleh pemerintah untuk mengelola migas di Indonesia.

Dengan adanya hak monopoli tersebut, pesaing asing (dalam hal ini perusahaan minyak asing) tidak dapat masuk ke Indonesia selain harus bekerjasama dengan Pertamina melalui sistem Production Sharing Contract

(PSC). Hal itu mendorong perusahaan asing untuk melakukan motif-motif lobi kepada pemerintah Indonesia agar bisa masuk dan mengelola migas di Indonesia dengan adanya tuntutan untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

Beberapa ahli menyatakan bahwa ada beberapa lembaga internasional yang ikut campur dalam perancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini. Diantaranya:

“...Bahwa sesuai dokumen yang ahli miliki sangat jelas dibuktikan bahwa yang merancang Undang-Undang Migas adalah US Departement Energy (USAID). Dalam dokumen ini bahkan dibuktikan jika masyarakat marah karena kenaikan energi, suap secara politik. Oleh karena itu, USAID bekerja sama dengan Eddy Bidden dari Bank Dunia, termasuk dengan

86 Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 110

45

sejumlah lembaga multilateral, bagaimana merealisasikan Undang-Undang ini.” –Ichsanudin Noorsy87

“...Konspirasi jahat telah melumpuhkan “Pertaminanya” Ibnu Sutowo. Pelumpuhan ini makin nyata di kemudian hari sebagai skenario jahat melalui hegemoni legislasi yang melahirkan UU no. 22 tahun 2001 yang terkenal dengan nama UU Migas 2001, yang menggantikan UU no. 8 tahun 1971 tentang Pertamina. UU migas no. 22 tahun 2001 lahir dari Letter of Intent yang dipaksakan IMF.” –Sri Edi Swasono88

“... RUU ini terlalu terkonsentrasi untuk "mengambil alih" peran dan tugas Perusahaan Minyak Negara seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1960, UU No 15/ 1962, dan UU No 8/1971. Perebutan lahan inilah yang menjadi tema sentral dari RUU ini, sehingga melupakan masalah utama yang dihadapi oleh bangsa ini.” –Kurtubi89

“...Pemerintah AS lewat USAID mengucurkan dana jutaan dolar agar program deregulasi, pencabutan/pengurangan subsidi (penaikan harga) dan reformasi bidang energi di Indonesia dapat terlaksana. Untuk itu melalui kerjasama antara USAID dengan pejabat Indonesia dengan melibatkan ormas/LSM, media, dan Universitas telah berhasil menyelesaikan draft UU Migas tahun 2000. Selanjutnya pada tahun 2001 USAID mengucurkan dana lagi ke LSM-LSM dan Universitas-Universitas untuk berkampanye masalah penghapusan subsidi energi.” –Sugiaryo90

Dari pernyataan beberapa ahli tersebut terlihat bahwa perusahaan minyak multinasional (MNOC) menggunakan lembaga-lembaga internasional untuk mendesak pemerintah Indonesia agar sektor migas diliberalisasi dan mereka bisa masuk ke industri minyak Indonesia.

Tetapi apabila berdasarkan proposisi Buchanan diatas, maka ketika hambatan masuk ditiadakan dan adanya peningkatan persaingan di pasar seharusnya aktivitas perburuan rente akan menghilang secara sendirinya. Hal tersebut tidak sesuai dengan kasus yang ada di Indonesia, meski sektor migas telah diliberalisasi pada tahun 2001, kasus-kasus rent seeking activity semakin banyak terungkap setelahnya.

Menurut data dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) setidaknya ada 23 temuan yang teraudit BPK-RI dari tahun 2004-2012. Temuan-temuan tersebut sebagian besar merupakan temuan-temuan BPK-RI mengenai kejanggalan laporan cost recovery dan bagi hasil kontraktor

(perusahaan) migas di Indonesia yang apabila dijumlahkan sampai tahun 2012 potensi kerugian negara adalah sebesar US$ 3,317,208,033 atau apabila memakai kurs rupiah terhadap dollar sebesar 10.000, maka hasilnya sebesar ±33 triliun rupiah dan apabila dirata-ratakan, maka kerugian negara setiap tahunnya adalah 3,67 triliun/tahun dari kejanggalan laporan cost recovery dan bagi hasil tersebut.

87 Pendapat tersebut dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 halaman 35

yang mana posisi Ichsanuddin Noorsy sebagai Ahli dalam persidangan Mahkamah.

88 Sri-Edi Swasono dalam KH Ramadhan. 2008. Op.cit. hal 514

89 Kurtubi. 2001. HINDARI KEHANCURAN SISTEM PERMINYAKAN NASIONAL.

KOMPAS, Senin, 02-07-2001. Halaman: 32

46

Tabel 16 Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil Sektor Migas tahun 2004-2012

Tahun Temuan Jumlah Potensi Kerugian Negara (US Dollar)

2004 1 1 635 513 163 2005 0 0 2006 0 0 2007 2 1 318 577 701 2008 0 0 2009 4 56 637 864 2010 5 181 149 411 2011 3 50 917 828 2012 8 74 412 066 Total 23 3 317 208 033

Sumber: Laporan Audit BPK-RI tahun 2004-2012 (diolah)

Dari data tabel 16 diatas dapat terlihat meskipun sektor migas telah diliberalisasi tetapi rent seeking activity di sektor migas masih tetap ada dan

semakin banyak yang terungkap. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yang pertama apabila dianalisis dari lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 itu sendiri yang mana regulasi tersebut merupakan hasil lobi para pemburu rente (MNOC dan lembaga internasional lainnya) kepada pemerintah sehingga regulasi tersebut banyak menimbulkan distorsi. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Krueger dalam Yustika yang mana dia menjelaskan bahwa ketika adanya lobi-lobi pemburu rente untuk mendapatkan lisensi dari pemerintah (atau dalam hal ini lobi MNOC untuk perancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) maka hal itu akan mendistorsi alokasi sumber daya alam sehingga tidak efisien.91

Dalam kasus sektor migas disini, distorsi tersebut adalah ketika regulasi itu memaksakan sektor migas agar diliberalisasi tetapi disisi lain hal itu bersebrangan dengan ideologi ekonomi negara Indonesia khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3 dan tetap dipaksakan sehingga menghasilkan liberalisasi yang semu. Maksud liberalisasi semu disini adalah liberalisasi yang diterapkan tidak sepenuhnya diserahkan melalui market mechanism karena masih adanya peran pemerintah atau dalam hal ini adalah BP Migas/SKK Migas.

Peran BP Migas/SKK migas juga jelas akan menimbulkan banyaknya rent seeking activity. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah peran BP Migas/SKK Migas yang bukan entitas bisnis, melainkan BHMN (Badan Hukum Miliki Negara) yang tidak dilengkapi oleh Majelis Wali Amanah/Dewan Komisaris yang melakukan kontrol. Dengan kedudukannya yang bukan entitas bisnis maka BP Migas/SKK Migas tidak dapat melakukan penjualan migas sehingga harus menunjuk pihak ketiga. Menurut Kurtubi:92

“BP Migas, SKSP Migas, dan SKK Migas pada hakikatnya "makhluk" yang sama. Ketiganya sama-sama lembaga pemerintah non-bisnis yang tidak bisa menjual sendiri migas milik negara, tetapi harus melalui pihak ketiga, sehingga terbuka peluang bagi para pemburu rente (trader/calo) untuk

91 Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 109

47

menyedot uang negara meski lewat mekanisme "tender". Ketiga lembaga pemerintah ini sama-sama tak bisa mengoperasikan lapangan/blok produksi yang sudah selesai kontrak sehingga terbuka ruang rekayasa untuk memperpanjang kontrak atau dioper ke kontraktor/pemburu rente yang lain.”

Selain dari masalah penjualan, masalah dalam pemberian ijin pengelolaan sebuah wilayah kerja untuk kontraktor juga dapat menimbulkan celah bagi para pemburu rente. Terkadang untuk dapat masuk dan mendapatkan ijin mengelola sebuah wilayah kerja, para calon kontraktor berusaha me-lobi pemerintah meskipun sistem yang digunakan untuk mendapatkan lisensi kontrak tersebut adalah sistem lelang. Mekanisme pemberian lisensi inilah yang dikritik oleh Krueger yang pada waktu itu mengkritisi sistem kebijakan lisensi impor. Menurut Krueger (dalam Dasguta, 1998:28) dalam Yustika:93

“Bila kebijakan lisensi impor yang digunakan, maka proses pembuatan kebijakan tersebut akan mudah dimasuki oleh pemburu rente sehingga hanya individu yang memiliki akses terhadap pembuat kebijakan yang akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, seperti izin lisensi impor”

Selain penyebab-penyebab diatas yang mendasari kenapa aktivitas

Dokumen terkait