• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap Pengelolaan Migas Di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap Pengelolaan Migas Di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP

PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:

PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik adalah benar karya saya dengan arahan dari Dosen Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Khoerul Imam Fatwani

(4)

ABSTRAK

KHOERUL IMAM FATWANI. Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI

Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas memberikan dampak bagi pengelolaan migas dan perekonomian Indonesia. Selain untuk efisiensi, alasan dikeluarkan Undang-Undang Migas ini adalah untuk terciptanya persaingan yang sehat dan transparan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia, menganalisis dampak liberalisasi sektor migas terhadap kinerja industri migas, serta menganalisis aktivitas perburuan rente pada sektor migas. Penelitian ini menggunakan periode analisis dari tahun 1992 sampai tahun 2012 dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif serta menggunakan analisis ekometrika dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square) menggunakan E-views 6. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor migas terhadap

PDB Indonesia mengalami. Selain itu, hasil regresi menunjukan bahwa Undang-Undang Migas tersebut tidak mempengaruhi kinerja industri migas secara signifikan. Untuk aktivitas perburuan rente, selama kurun waktu 2004 sampai 2012, BPK sedikitnya menemukan sedikitnya 23 temuan kejanggalan laporan cost recovery yang berpotensi merugikan negara senilai US$ 3.3 juta.

Kata kunci : aktifitas perburuan rente, cost recovery, liberalisasi, kinerja industri,

sektor migas, Undang-Undang Migas.

ABSTRACT

KHOERUL IMAM FATWANI. Analysis of the Oil and Gas Sector liberalization On the Management of Oil and Gas in Indonesia: a Political Economy Perspective. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI

Law numbers 22 of 2001 on Oil and Gas have an impact on the management of oil and gas and Indonesian economy. In addition to efficiency, reasons issued oil and gas law is to create healthy competition and transparent. The purpose of this study is to analyze the contribution of oil and gas sector to the Indonesian economy, analyze the impact of liberalization on the performance of the oil and gas sector oil and gas industry, and analyzing rent seeking activity in the oil and gas sector. This study uses the analysis period from 1992 to 2012 by using qualitative analysis and quantitative analysis approach econometrics with OLS (Ordinary Least Square) using E-views 6. The results of research showed that the oil and gas sector's contribution to Indonesia's GDP has decreased. In addition, the regression results showed that the oil and gas law does not affect significantly the performance of the oil and gas industry. For rent seeking activity, during the period 2004 to 2012, BPK least finding irregularities discovered at least 23 reported cost recovery that could potentially harm the state valued at $ 3.3 million.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP

PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:

PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat, cinta dan karunia-Nya

sehingga skripsi ini yang berjudul “Analisis Liberalisasi Sektor Migas terhadap Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik” berhasil diselesaikan. Penulis juga sampaikan penghargaan kepada ibunda tercinta Maryati dan ayahanda Endang Abdul Malik yang telah mendidik dan membesarkan penulis sehingga penulis bisa sampai pada tahap ini. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk tante Kartini dan Pak Dadang Sugandi yang mendukung penulis selama ini. Kasih sayang juga penulis sampaikan kepada adik-adik penulis yaitu Teguh Amarullah, Ardhi Galih Pangestu, Hilwa Fauziah dan Suci Ramadhani.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masuka, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri selaku pembimbing skripsi, atas semua masukan, arahan dan pendidikan yang sangat berharga bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. Penulis merasa sangat beruntung dapat dibimbing oleh pendidik seperti Prof. Didin yang mengajarkan penulis bagaimana cara mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan cara berpikir sistematis. 2. Prof. Dr. D.S. Priyarsono selaku dosen pembimbing akademik atas segala

bimbingan selama masa perkuliahan di IPB.

3. Dr. Wiewiek Rindayanti dan Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku dosen penguji skripsi dan komdik Departemen Ilmu Ekonomi atas segala masukan terhadap skripsi ini.

4. Beasiswa Bidik Misi yang mengantar penulis untuk dapat berkuliah di IPB. 5. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Erlangga Ryansha, Candri Yuniar

Roisy dan Ikshan. Semua perjuangan kita akan menjadi kenangan tersendiri untuk penulis.

6. Teman-teman Kaka Foundation yaitu Arya Suryadilaga, Amri Maulana, Ripqi Waluyo Djati, A.M. Risyad, Muhammad Hamdani, Fachry, Rahmat Hidayat, Harry lande, Husnul Khatim, Yusuf Zamhuri, Muzakkir, dan Fidzal. Kalian sudah penulis anggap saudara sendiri.

7. Luqman Azis dan Andri Sukrudin yang membantu penulis dalam proses penelitian dan wawancara. Semoga pengalaman baik dan buruk menjadi pembelajaran untuk kita.

8. Keluarga besar HMI Komisariat FEM IPB terutama sdr. Pangrio Nurjaya, Tri Arifin Darsono, Raditya Anggoro, serta Rifki Maulana yang selalu menjadi teman bertukar pemikiran dan membantu proses pembentukan berpikir penulis.

(10)

10.Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang mewarnai kehidupan penulis selama kuliah dengan persahabatan, kenangan, dan perjuangan untuk mencapai tujuan. Sukses untuk kita semua.

11.HIPOTESA FEM IPB yang menjadi wadah bagi penulis untuk dapat berkembang dan menyalurkan pemikiran.

12.Narasumber-narasumber yang ikut menyumbangkan pemikirannya terutama untuk Mas Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute, Firdaus Ilyas dari Indonesia Corruption Watch dan Johan Budi dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Ekonomi Politik 9

Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas” 11

Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) 13

Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente) 14

Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor

Migas di Indonesia 16

Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa) 18

Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC 19

Penelitian Terdahulu 20

Kerangka Pemikiran 21

METODOLOGI PENELITIAN 23

Wilayah Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis Data 24

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26

Republik Indonesia 26

Kondisi Geografis dan Kependudukan 26

Kondisi Perekonomian 27

(12)

HASIL DAN PEMBAHASAN 35 Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang

Migas. 35

Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan

Pengelolaan Migas di Indonesia. 39

Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di

Indonesia. 44

SIMPULAN DAN SARAN 50

Simpulan 50

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 55

(13)

DAFTAR TABEL

1. Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun

2012 4

2. Ringkasan Generasi PSC di Indonesia 16

3. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993) 35 4. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia

Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) 36 5. Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar

Rupiah) 37

6. Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012 38

7. Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak

Tahun 1995-2007 39

8. Hasil Uji Stationeritas 41

9. Output Uji Heteroskedastisitas 42

10.Output Uji Autokorelasi 42

11.Hasil Estimasi Model 43

12.Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil

Sektor Migas tahun 2004-2012 46

DAFTAR GAMBAR

1. Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah) 2 2. Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan

Sektor 2

3. Alur Perhitungan PSC di Indonesia 18

4. Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas 19

5. Kerangka Pemikiran 22

6. PDB Indonesia dari tahun 2000-2012 Atas Dasar Harga Konstan

2000 ( Milyar Rupiah) 27

7. Laju Pertumbuhan Q to Q Indonesia dari tahun 2004-2012 (persen) 28

8. Inflasi Indonesia tahun 2000 sampai 2012 28

9. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia (juta jiwa) dan Gini Ratio

Indonesia tahun 2000 sampai 2012 28

10.Negara-negara Penyumbang Minyak Dunia pada Tahun 2010 29 11.Sektor Minyak dan Gas Indonesia dari tahun 1885-2008 30 12.Cadangan Minyak Indonesia Tahun 2010 (MMSTB= Juta Stock Tank

Barel) 31

13.Cadangan Gas Indonesia Tahun 2012 (TSCF= trillion square cubic

feet) 32

14.Perkembangan Wilayah Kerja di Indonesia dari tahun 2002 sampai

2012 33

15.Produsen Minyak Indonesia pada tahun 2012 33

16.Produsen Gas Indonesia pada tahun 2012 34

17.Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 1993-2001 40 18.Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 2002-2012 40

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai output, input dan jumlah TK Sektor Migas 55

2. Daftar Informan yang Diwawancarai 56

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu hal yang membuat Indonesia terkenal di dunia selain kekayaan budayanya adalah kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa yang beriklim tropis ini begitu banyak keistimewaannya. Mulai dari tanahnya yang subur, lautan yang luas, serta melimpahnya hasil bumi yang berbentuk mineral dan energi, membuat Indonesia semakin dikagumi oleh negara lain.

Dalam mengatur kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia mempunyai landasan kontitusi yang sangat kuat, yaitu adanya pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan (3).1 Kedua pasal tersebut mengamanatkan bahwa Negara harus

bisa mengatur kekayaan sumber daya alamnya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Lalu apakah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan (3) itu amanatnya sudah dilaksanakan adalah pertanyaan besarnya.

Jika dikaji secara cermat, sejauh ini ada beberapa kebijakan yang kurang sejalan dengan amanat konstitusi mengenai pengelolaan hasil bumi di Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas, yang mana dengan ditetapkan undang-undang tersebut menjadikan 70% energi nasional dikuasai oleh asing, kontrak kerjasama lebih banyak menguntungkan pihak asing, dan pengelolaan energi nasional dijalankan dengan prinsip liberalisasi ekonomi,2 atau ringkasnya sektor Migas di Indonesia telah di

privatisasi oleh asing. Jadi dapat dikatakan bahwa pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) realisasinya masih jauh dari semestinya.

Indonesia sendiri bukanlah negara yang anti terhadap investasi asing. Indonesia begitu terbuka terhadap investasi asing yang mana hal itu merupakan realisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing serta dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang bertugas untuk mempromosikan Indonesia agar para investor melakukan investasi di Indonesia.

Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal selama tahun 2012 di Indonesia didominasi oleh investor asing. Dari total investasi sebesar Rp. 313.2 triliun, Rp. 221 triliunnya disumbangkan oleh investor asing. Hal tersebut jauh melebihi target yang ditentukan untuk tahun 2012, yaitu sebesar Rp. 283.5 triliun untuk total investasi dan Rp. 206.8 triliun untuk PMA. Dari total investasti asing yang masuk ke Indonesia, 18% nya adalah untuk sektor pertambangan, 12% masuk ke sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi, 11,5% masuk ke industri kimia dasar dan farmasi, 10% masuk ke sektor industri

1 Pasal 33 UUD 1945: (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2 Makna dikuasi disini adalah dalam hal penguasaan pengelolaan sektor migas. Pendapat tersebut

(16)

2

Gambar 1 Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah) Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal

http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf

Sektor pertambangan Indonesia memang sangat menarik investasi asing. Pada sektor minyak dan gas (migas) sendiri, investasi asing yang terus berdatangan ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola migas secara mandiri sehingga untuk memanfaatkan potensi sektor migas ini pemerintah yang diwakilkan oleh Ditjen Migas dan BP Migas harus melakukan kontrak dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun asing.

Gambar 2 Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan Sektor

Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal

http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf

(17)

3 Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi, yang mana pada pasal tersebut kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak-kontrak lainnya.3 Pencetus ide sistem kontrak

bagi hasil ini sebenarnya sudah lama diungkapkan oleh direktur utama Pertamina yang pertama yaitu Ibnu Sutowo.4

Alasan kenapa Indonesia memakai sistem bagi hasil tersebut adalah industri minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan penuh ketidakpastian (resiko). Sehingga Indonesia mengundang investor-investor luar negeri serta perusahan-perusahan minyak multinasional supaya terjadi transfer teknologi yang nantinya diharapkan Indonesia dapat mengelola minyak dan gas buminya secara mandiri. Selain itu, sistem kontrak bagi hasil yang digagas oleh Ibnu Sutowo tersebut menekankan bahwa pengelolaan migas ada di tangan Indonesia (yang diwakili pemerintah/BUMN) sendiri, kita mau barter atau mau dijual sendiri, yang penting kita menjadi tuan di rumah sendiri.

Gagasan Ibnu Sutowo tentang sistem kontrak bagi hasil ini ternyata lebih berhasil dilaksanakan oleh Malaysia. Terbukti Petronas sekarang menjadi perusahaan migas multinasional yang besar dan mandiri. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 tentang ranking perusahaan minyak dunia berdasarkan cadangan minyaknya. Petronas (Malaysia) menduduki peringkat 20 dunia dengan cadangan minyak sebesar 7.876 juta barel, jauh diatas Pertamina (Indonesia) yang menempati urutan 44 dengan cadangan minyaknya yang hanya 1.505 juta barel.

Untuk cadangan minyak sendiri, sebenarnya Indonesia memiliki persediaan minyak yang cukup bahkan berlebih. Untuk sumur blok Cepu saja yang sekarang dikelola oleh Exxon Mobil (US) mempunyai cadangan minyak sebesar 1-2 milyar barel.5 Padahal dulu ketika Exxon Mobil berupaya memperpanjang kontraknya untuk mengelola sumur blok Cepu ini yang jatuh tempo pada tahun 2010, cadangan minyak yang diketahui adalah hanya sekitar 600 juta barel. Perundingan perpanjangan kontrak tersebut awalnya tidak disetujui oleh Kwik Kian Gie yang dulu menjabat sebagai Menko Ekoin, tetapi akibat adanya lobi-lobi dari perusahaan Exxon Mobil yang diwakilkan oleh Dubes Ralph Boyce ditambah adanya intervensi Presiden Amerika saat itu, George W. Bush akhirnya penguasaan sumur blok Cepu tersebut jatuh ke tangan Exxon Mobil sampai tahun 2030. 6

3 Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Aspek Hukum Kontrak

Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas [Laporan Penelitian]. Yayasan Alumni Universitas Dipenogoro, Fakultas Hukum Universtitas Semarang. Hal 11

4

Ide ini bermula ketika Permina (sebelum terbentuk Pertamina) sedang membutuhkan modal untuk mengembangkan perusahaan, Ibnu Sutowo yang pada waktu itu menjabat sebagai dirut Permina melakukan kontrak kerjasama dengan Jepang. Isi perjanjian tersebut adalah terbentuknya sistem kontrak kerjasama yang mana Permina sebagai perusahaan negara memegang tanggung jawab pengawasan, pengelolaan dan manajemen secara penuh. Maka lahirlah istilah sistem- Kontrak Bagi Hasil. Lihat KH Ramadhan. 2008. Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita. National Press Club of Indonesia: Jakarta. Hal 179-188

5 Sugiaryo. 2011. Globalisasi: Intervensi kekuatan politik dan Ekonomi dalam Pembentukan

Hukum dan Pengusahaan Migas di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi Oktober 2011. hal 232

(18)

4

1 Saudi Aramco Saudi Arabia 100 264.200

2 NIOC Iran 100 138.400

Tabel 1 Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun 2012

Sumber: Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 149

Apabila dikaji dari kasus tersebut, Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional bisa saja mendapatkan hak pengelolaan sumur blok Cepu tersebut dan mengelolanya secara mandiri. Tetapi sejak awal berdirinya republik sampai dengan sekarang, Indonesia (dalam hal ini Pertamina) belum bisa mengelola migas secara mandiri. Hal ini diakibatkan banyaknya lobi-lobi dan intervensi pihak asing dalam menguasai pengelolaan migas di Indonesia.

Selain itu masih banyaknya pandangan-pandangan kaum teknokrat Indonesia yang menganggap Pertamina dirasa belum pantas mengelola migas di Indonesia dengan alasan masih minimnya teknologi dan modal yang dimiliki. Menurut Lubiantara:7

“...rupanya kita (Indonesia) masih terpaku pada sistem paron, yang secara tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan-jangan memang tidak pernah terpikirkan kelak suatu saat NOC (National Oil Company/ Pertamina) sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi kalau saat ini kontribusi Pertamina masih 25%, tentu bukanlah hal yang mengherankan”.

Banyaknya intervensi dan lobi-lobi yang datang dari pihak perusahaan migas multinasional dan intervensi dari pihak keuangan dunia seperti IMF dan World Bank semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 sangat berpengaruh juga terhadap pengelolaan migas nasional. Kondisi tersebut diperparah oleh karakter industri migas dalam negeri yang sangat tertutup

(19)

5 dan ekslusif, termasuk soal harga dan pengelolaan, serta tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat menjadikan maraknya rent seeking activity8 (aktifitas

perburuan rente) pada industri migas.9

Aktivitas perburuan rente pada industri migas di Indonesia banyak sekali macamnya. Salah satu kasus pada sektor migas yang baru-baru saja terungkap adalah kasus suap yang melibatkan Rudi Rubiandini sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau yang lebih dikenal SKK Migas. Rudi tertangkap basah oleh KPK dengan uang US$ 400 ribu, US$ 90 ribu, dan Sin$ 127 ribu di rumah dinasnya yang diduga berasal dari Direktur PT Kernel Oil, Simon Gunawan dan Direktur PT Parna Raya, Artha Meris Simbolon agar Rudi bersedia memberika rekomendasi penurunan formula harga gas.10 Sebagai kepala SKK Migas, Rudi seharusnya menjaga agar jatah minyak mentah pemerintah dari pembagian hasil dengan kontraktor bisa memberikan pemasukan sebesar-besarnya bagi negara. Tetapi ironisnya, jabatan tersebut disalahgunakan untuk mengejar keuntungan pribadi.

Selain kasus suap tersebut, masih banyak masalah pada sektor migas. Salah satunya dari segi manipulasi cost recovery,11 yang mana tingginya cost recovery

pada sektor migas menjadi salah satu penyebab Indonesia pada tahun 2011 diduga menanggung kerugian sebesar Rp. 152.96 triliun.12

Adanya manipulasi pada cost recovery tersebut dapat terjadi karena

kurangnya pengawasan yang menyebabkan assymetric information dan moral hazard di kalangan birokrat industri migas. Sebesar apapun produksi minyak

Indonesia apabila cost recovery-nya sangat tinggi maka negara tidak dapat

menikmati keuntungan dari produksi tersebut. Keuntungan ini jelas mengalir kepada pelaku-pelaku pemburu rente baik yang individual, birokrat serta perusahaan-perusahaan minyak multinasional. Istilah ini biasa disebut dengan

goldplatting, yaitu kecenderungan (oknum) perusahaan/birokrat untuk melakukan

8 Dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang diterima penguasa

melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Lihat Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313 dan Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 107 perusahaan/kontraktor mengajukan biaya penggantian kepada pemerintah atas semua biaya yang perusahaan/kontraktor (pada kegiatan industri hulu) terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-kapital, dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membayar lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau bisa ditangguhkan pada tahun berikutnya. Lihat : Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172

12 Sabir Laluhu. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun [berita].

Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013

(20)

http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-diduga-rugikan-negara-6

investasi yang sebenarnya tidak diperlukan (Unnecesarry investment).13 Selain

dari segi cost recovery yang dinilai tidak sesuai dengan fakta, KPK juga

mensinyalir ada kejanggalan dalam pencatatan lifting migas. Hal tersebut

disebabkan karena belum terintegrasinya sistem informasi secara online.14

Sehingga hal tersebut bisa mengurangi transparansi pelaporan lifting migas

kepada masyrakat.

Sebagai negara yang belum mencapai pada tingkat good governance, dalam

hal ini dicirikan dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan upaya yang serendah-rendahnya sehingga melahirkan sebuah kebijakan yang berkecenderungan korupsi. 15 Kebijakan tersebut tentunya hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya masing-masing dan tidak berpihak pada masyarakat. Adanya kepentingan-kepentingan sebagian individu/kelompok (oknum) tadi serta kepemilikan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menyebabkan Indonesia menjadi sasaran perusahaan-perusahan energi multinasional dan investor asing agar dapat menguasai energi di Indonesia.

Perumusan Masalah

Minyak dan gas bumi merupakan komoditi strategis dan energi yang tak terbarukan yang memegang peranan penting dalam pembangunan suatu negara, termasuk Indonesia. Bahkan pada zaman orde baru (1960-1980) sektor migas memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan dan perekonomian Indonesia mengingat sektor migas pada waktu itu menjadi sumber devisa utama Indonesia. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, semenjak adanya penurunan harga minyak dunia yang terjadi pada tahun 1980-an, atau biasa disebut dengan “boom minyak”.16

Adanya kasus “boom minyak” secara tidak langsung mengubah kebijakan

pengelolaan migas pada waktu itu yang mana mekanisme PSC generasi pertama (1964-1975) yang digagas Ibnu Sutowo, harus disesuaikan dengan kondisi migas dunia dan lahirlah PSC generasi kedua (1976-1988) dan PSC generasi ketiga (1988-sekarang).

Penyesuaian desain kontrak PSC sebenarnya tidak menjadi masalah, yang penting selama itu tidak merugikan negara. Yang menjadi masalah adalah ketika kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina jelas menimbulkan pertanyaan besar. Fungsi Pertamina yang awalnya berkedudukan sebagai manajer dari perusahaan-perusahaan migas (kontraktor) harus digantikan perannya oleh BP Migas/SKK Migas dan peran Pertamina adalah sebagai

13 Lubiantara, Benny. 2012. Op.cit. hal 173 14 Sabir Laluhu. 2013. Op.cit.

15 Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.

Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 107

16 Boom minyak ini terjadi ketika gagalnya mekanisme harga yang ditetapkan oleh OPEC.

(21)

7 kontraktor perwakilan negara yang harus dipaksa bersaing dengan kontraktor-kontraktor asing (IOC) yang jelas dari segi SDM dan teknologi Pertamina kalah.

Menurut Sri-Edi Swasono:17

“Pertamina sebagai raksasa ekonomi yang tegas mempertahankan prinsip nasionalistiknya menguasai sumber kekayaan alam strategis menjadi penghalang bagi kapitalisme-imperialistik global untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam Indonesia, terutama minyak dan gas.”

Apabila dilihat dari pendapat tersebut, pertanyaan besar tentang dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mungkin sedikit terjawab. Bahwa adanya kepentingan yang menunggangi kebijakan tersebut. Kepentingan-kepentingan masuk dari lobi-lobi dan intervensi kekuatan global yang salah satunya dari lembaga keuangan yang semenjak terjadinya krisis moneter 97/98 menguasai dan mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia, yaitu IMF. IMF melalui letter of intent-nya memaksa tugas Pertamina dicabut dan

digantikan dengan BP Migas/SKK Migas.18

Sudah lebih dari satu dekade Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini berlaku. Kritikan-kritikan tentang kebijakan ini banyak dilayangkan, mulai dari media-media cetak, jurnal ilmiah, bahkan buku. Tetapi belum ada inisiasi dari lembaga-lembaga pemerintah, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif. Banyak alasan yang mungkin mendasari hal tersebut, salah satunya adalah proses efisiensi yang lebih diutamakan dalam pengelolaan migas serta adanya pihak-pihak birokrat yang merasa diuntungkan dari adanya kebijakan tersebut menjadi alasan kebijakan liberalisasi ini tetap bertahan.

Adanya Rent seeking behaviour dalam institusi negara menyebabkan para

pejabat publik dalam memutuskan kebijakan yang ditujukan untuk publik motivasinya adalah mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek berupa kerugian penerimaan negara yang diakibatkan dari praktik perburuan rente maupun jangka panjang berupa semakin menjamurnya praktik perburuan rente dikalangan birokrat yang memicu ketidakpercayaan masyarakat dan menimbulkan distorsi pada kebijakan yang dikeluarkan.

Aktivitas perburuan rente yang negatif ini dapat dikatakan sebagai penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara dan umumnya akan menajalar ke semua rantai dari aktivitas ekonomi tersebut. Apalagi sudah melibatkan sebuah institusi negara dan investor asing. Adanya campur tangan perusahaan-perusahaan minyak multinasional menyebabkan aktivitas perburuan rente ini menjalar sampai tingkat jaringan internasional. Keuntungan dari pengelolaan migas ini yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat, ternyata hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan minyak multinasional dan segelintir orang di Indonesia yang tidak mempunyai rasa nasionalisme. Seperti kasus suap kepala SKK Migas yang baru akhir-akhir ini terungkap oleh KPK. Hal ini bisa menjadi tolak ukur bahwa sektor migas merupakan “lahan basah” bagi para pemburu rente. Mereka tidak merasa segan dan tidak tanggung-tanggung dalam “melelang” isi perut bumi nusantara ini kepada perusahaan-perusahaan minyak asing tanpa memperhatikan kepentingan rakyat banyak.

(22)

8

Selain itu, sisi lain dari terungkapnya kasus tersebut harapannya dapat memberikan celah bagi penegak hukum untuk masuk ke dalam “lingkaran setan” sektor migas yang mana bisa mengungkap kasus-kasus perburuan rente lainnya dan mengungkap para birokrat-birokrat serta perusahaan migas yang mencoba mengambil keuntungan pribadi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan masa depan sektor dan industri migas nasional.

Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat, maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.

2. Bagaimana dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.

3. Bagaimana aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan migas di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibuat, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.

2. Mengetahui dampak dari liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.

3. Mengetahui aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan migas di Indonesia.

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Menjadi bahan rujukan pemerintah dalam mengatur pengelolaan migas di Indonesia agar digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

2. Menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana kondisi migas di Indonesia dilihat dari perspektif ekonomi politik.

3. Diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang pengelolaan migas di Indonesia dengan perspektif ekonomi politik.

.

TINJAUAN PUSTAKA

(23)

9 terhadap pengelolaan migas di Indonesia. Kebijakan kontrak bagi hasil yang diterapkan di Indonesia. Selanjutnya dalam pembahasannya akan lebih diperdalam dengan analisis ekonomi politik mengenai rent seeking (perburuan rente) pada

sektor migas.

Ekonomi Politik

Apabila dilihat dari sejarahnya, pendekatan ilmu ekonomi yang sekarang berkembang di masyarakat sebagai alat analisis adalah hasil turunan dari ekonomi politik. Tetapi dengan semakin berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang ilmu ekonomi ini membuat perbedaan yang cukup mendasar mengenai ilmu ekonomi murni dengan ilmu ekonomi politik terutama pada konsep kekuasaan yang berlaku pada masyarakat. Ilmu ekonomi politik menganggap kekuasaan akan mempengaruhi tingkah laku dari pelaku ekonomi dan faktor kekuasaan ini dimasukan sebagai salah satu variabel dalam analisis ekonomi. Sedangkan dalam ilmu ekonomi murni faktor kekuasaan ini dianggap given.19

Ekonomi politik sendiri pada awalnya terbentuk berdasarkan adanya pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Makna ini menegaskan bahwa secara konseptual ilmu ekonomi dan ilmu politik ini berbeda dan tidak disatukan antara keduanya dan bukan berarti keduanya terpisah dan tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan antara ekonomi dan politik inilah sebenarnya muncul istilah ekonomi politik. 20 Untuk melihat lebih jauh lagi hubungan antara ilmu ekonomi dan politik ini maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai konsep-konsep yang terdapat pada ilmu ekonomi dan ilmu politik. Pada ilmu politik dapat dilakukan pendekatan-pendekatan tentang politik sebagai pemerintahan, politik sebagai publik dan politik sebagai alokasi nilai. Pada pendekatan ilmu ekonomi yang digunakan adalah pendekatan ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan dan ekonomi sebagai perekonomian.

Pada pendekatan politik sebagai pemerintahan, politik dipandang sebagai mekanisme formal dari sebuah negara secara keseluruhan yang mana politik sendiri adalah kegiatan, proses dan struktur pemerintahan. Hal-hal yang diluar pemerintahan dianggap bukan sebagai politik sehingga pada pendekatan ini cenderung melihat politik sebagai organisasi atau badan dan aturan.21

Konsep selanjutnya adalah politik sebagai publik. Pada pendekatan ini melihat adanya urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Tujuan dari seorang individu dapat dibedakan menjadi dua hal yaiu tujuan yang bersifat pribadi dan tujuan yang melibatkan orang banyak.22 Pada pendekatan ini dapat

dikatakan lebih luas dari pendekatan sebelumnya karena pada pendekatan ini tidak melihat politik sebagai organisasi/struktur semata tetapi melihat kepentingan yang mendasari seseorang untuk bertindak maupun membuat aturan.

19

Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 98

20James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan

oleh: Suraji. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal 1-2

(24)

10

Pendekatan politik selanjutnya adalah politik sebagai alokasi nilai. Pendekatan ini melihat politik dan ekonomi sebagai suatu alat untuk mengalokasikan nilai-nilai atau dalam hal ini adalah sumber daya langka. Perbedaanya adalah pada ekonomi, yang digunakan adalah pertukaran secara sukarela sedangkan pendekatan politik yang ditekankan adalah cara khusus untuk membuat keputusan dalam mengalokasikan sumber daya tersebut sehingga pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan yang pertama, yang mana politik dipandang sebagai struktur pemerintahan semata.23

Pada pendekatan ilmu ekonomi, pendekatan yang pertama adalah ekonomi kalkulasi. Ekonomi kalkulasi memandang ekonomi sebagai tindakan individu untuk memenuhi kebutuhannya dan dalam memenuhi kebutuhannya itu dihadapkan pada hambatan-hambatan. Pada pendekatan ini masalah efisiensi menjadi fokus utama dalam ekonomi.24

Selanjutnya pendekatan yang kedua, yaitu ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan. Berbeda dari pendekatan yang pertama, pendekatan ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan tidak terlalu melihat efisiensi dalam proses produksi tetapi melihat keberlanjutan dari proses produksi atau reproduksi ini. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup menjadi hal utama yang mendorong manusia dalam melakukan produksi guna melakukan pemenuhan kebutuhan. Pendekatan ini lebih tua usianya dari pendekatan yang pertama dan digunakan oleh Aristoteles sampai Adam Smith dan Karl Marx.25 Pendekatan ilmu ekonomi yang terakhir yaitu ekonomi sebagai perekonomian atau dalam hal ini sebagai sebuah sistem. Dalam pendekatan ini ekonomi dipandang mempunyai ruang tersendiri dan terpisah dengan yang lainnya.26

Dengan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan dari ilmu politik dan ilmu ekonomi maka hal yang wajar apabila ekonomi politik dipandang sebagai sesuatu yang dipisahkan antara keduanya (ekonomi dan politik) karena dengan adanya perbedaan pendekatan pada masing-masing ilmu tadi kita tidak dapat menyatukan keduanya yang nantinya akan membuat definisi dari ekonomi politik itu menjadi rancu. Maka untuk mendeskripsikan ekonomi politik sendiri dilihat berdasarkan dari sisi batas-batas pemisahan antara keduanya serta proporsi dominasi dari keduanya.

Apabila dilakukan pendekatan ekonomi terhadap politik, maka definisi ekonomi politik menurut Caporaso dan Levine adalah:27

“ilmu yang menelaah hubungan antara wilayah ekonomi dan wilayah politik, atau antara sub-sistem ekonomi dengan dengan sub-sistem politik. Dengan kata lain, menurut pendekatan ekonomi terhadap politik, ekonomi politik bukan lagi sebuah telaah tentang apa yang terjadi ketika wilayah ekonomi bertemu dengan wilayah politik melainkan ekonomi politik berarti penerapan penerapan penalaran ekonomi terhadap proses-proses politik.

Dalam perkembangannya, ekonomi politik ini bisa diklasifikasikan menjadi dua pendekatan. Bagian yang pertama, bahwa ekonomi politik dalam hal ini menganggap pemerintah adalah individu yang selalu benar dan tidak memiliki

(25)

11 kepentingan (self interest) sehingga dalam tujuannya pemerintah hanya

beorientasi pada kesejahteraan konvensional. Berbeda dengan pendekatan yang pertama, pendekatan yang kedua menganggap bahwa pemerintah sebagai institusi negara memiliki kepentingan sendiri (self interest) dalam

menentukan/mengeluarkan kebijakannya. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan ekonomi politik baru (new political economics). Pada pendekatan ini,

bisa saja pemerintah mengalami kegagalan (government failure) dalam penentuan

kebijakan karena ada kepentingan tersebut.28 Kepentingan tersebut bisa saja berupa rasionalitas dari pemerintah itu sendiri untuk memperoleh dukungan dari pihak lain atau bisa saja memperoleh keuntungan dari pihak lain. Sehingga muncul teori pihan publik dan perburuan rente.

Pada tulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang kedua. Yang mana adanya kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah karena adanya kepentingan untuk mencari keuntungan berupa rente ekonomi (rent seeking).

Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas”

Sebenarnya konsep liberalisasi ini sesuai dengan pendekatan ekonomi kalkulasi. Yang mana efisiensi menjadi fokus utama dalam kegiatan ekonomi karena adanya hambatam-hambatan dan alokasi dalam proses produksi. Dan pendekatan ekonomi kalkulasi ini kebanyakan yang dipakai landasan dan dominan dalam ilmu ekonomi. Dalam hal ini menurut Caporaso dan Levine ekonomi tidak lagi dipandang sebagai ilmu ekonomi (economics) tetapi dipandang sebagai

economizing” (penghematan).29 Karena sifatnya yang sempit inilah, pendekatan

ekonomi kalkulasi tidak memperhitungkan adanya wilayah politis didalamnya. Inilah yang mendasari bahwa kekuasaan bukan berada pada pemerintah sebagai institusi negara, tetapi berada pada pasar sebagai pemegang kekuasaan dalam perekonomian (market mechanism).

Asas efisiensi membuat pasar ini mengurangi peran pemerintah dalam kontrol terhadap pasar dan bahkan pasar itu sendiri yang mempunyai kontrol dan memiliki kekuasaan yang tidak terlihat (invisible hand). Tidak terlihatnya faktor

kekuasaan dipandang bukan kebetulan semata, melainkan syarat mutlak yang menguntungkan bagi para pemegang paham liberalisasi ini yang umumnya mempunyai modal dan teknologi yang tinggi.30

Hal ini nampaknya sedang terjadi pada pengelolaan migas di Indonesia. Pada sektor migas, investasi-investasi asing yang masuk ke Indonesia begitu besar, hal tersebut dikarenakan belum mampunya negara Indonesia (dalam hal ini Pertamina) untuk mengelola hasil buminya (migas) secara mandiri karena adanya hambatan berupa modal dan teknologi. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan potensi migas agar lebih efisien, Indonesia mengundang para investor asing agar mau berinvestasi pada sektor migas dengan sistem kontrak bagi hasil. Hal ini jelas tidak dapat dikatakan solusi terbaik, mengingat fokus dari liberalisasi ini adalah

28 Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 102

29 Pendapat tersebut didasari pada konsep ekonomi kalkulasi yang menganggap sumber daya

selalu terbatas dan tujuan yang hendak dicapai selalu dapat dipastikan. Sehingga harus adanya penyesuaian diri dengan kondisi perubahan dan pengembangan. Lihat Caporaso dan Levine. 1992. Op.cit. Hal 39-40

(26)

12

proses alokasi (sumber daya) secara efisien tanpa memperhatikan proses distribusi. Selain itu amanat konstitusi (UUD 1945) mengisyaratkan bahwa kekayaan bumi Indonesia dipegang oleh negara bukan oleh pasar.

Menurut Hafsari: 31

“Dalam kebijakan luar negeri, liberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Konsep liberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Liberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan”.

Pada era globalisasi yang akan segera dihadapi oleh dunia, paham liberalisme akan semakin memperkuat para kapitalis-kapitalis dan perusahaan multinasional untuk menguasai perekonomian lewat teknologi dan modalnya. Apabila kita menganggap bahwa modal dan teknologi ini sebagai hambatan, maka mereka (MNC) melihatnya sebagai suatu keuntungan agar menancapkan sayapnya secara kuat. Apabila kita memandang pasar sebagai sumber kekuasaan dalam perekonomian, ketika pasar tersebut dikuasai oleh MNC karena segala kelebihan yang dipunyainya, maka dapat dikatakan liberalisasi ini secara tidak sadar tengah membangun organisasi sosial yang tengah menggantikan negara sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia.32

Apabila dilihat dari pengertian liberalisasi sebagai pembukaan jalur modal dan kapital luar negeri untuk masuk ke sektor migas di Indonesia, hal tersebut sudah lama terjadi pada saat Pertamina lahir dengan sistem kontrak bagi hasilnya. Tetapi pada era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas, makna liberalisasi ini dapat diartikan sebagai pembebasan pengelolaan migas di Indonesia oleh perusahaan dalam negeri maupun luar negeri dengan tidak harus melakukan kontrak dengan Pertamina (seperti era Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971) tetapi melalui BP Migas (SKK Migas) baik dalam bentuk kontrak bagi hasil atau kontrak lainnya. Dengan begitu liberalisasi ini memberikan makna bebas mengelola bukan bebas menguasai. Hal ini sering menjadi perdebatan di berbagai kalangan.

Makna “bebas mengelola” ini dinilai merupakan permainan kata semata karena apabila diganti dengan makna “bebas menguasai” maka hal itu akan dinilai inkonstitusi atau bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3. Peran BP migas juga dinilai hanya sebagai lembaga “jadi-jadian” agar sektor migas ini tetap dikuasai oleh negara. Namun karena kedudukannya yang bukan entitas bisnis melainkan lembaga perwakilan pemerintah, kontrak kerjasama yang pada konsep awalnya dilakukan antar entitas bisnis (melalui Pertamina) atau B to B menjadi B to G.33

31F. H Hafsari. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di Indonesia [skripsi].

FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal 25

32 Puji Rianto. 2004. Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi [jurnal]. Jurnal Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, November 2004 (161-180). Hal 164

(27)

13 Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory)

Peter Evans pada tahun 1979 memperkenalkan sebuah teori dependensi dalam tesis doktoralnya yang mana pada waktu itu Evans berargumen bahwa perekonomian brazil didominasi oleh persektuan yang melibatkan antara pemerintah, pemegang modal dalam negeri dan perusahaan multinasional. Evans melihat bagaimana ketergantungan pembangunan ekonomi brazil terhadap elit dalam negeri (dalam hal ini pemerintah dan kapitalis pribumi) yang merupakan ketergantungan internal dan terhadap perusahaan multinasional sebagai ketergantungan eksternal. Sehingga Evans menamakannya sebagai “dependent development”.34

Semenjak teori itu diperkenalkan, banyak pengembangan yang telah dilakukan terhadap teori itu, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Robinson pada tahun 1986,35 yang mana Robinson membagi pemeran ekonomi di

Indonesia menjadi empat pemeran utama yaitu:

1. Perusahaan dalam negeri (dibawahi oleh pemerintah atau elit militer). 2. Perusahaan yang dimiliki etnis China.

3. Perusahaan yang dimiliki pribumi. 4. Perusahaan multinasional asing.

Menurut teori ini pemerintah pada dasarnya melakukan persekutuan dengan pengusaha lokal (borjuis) adalah untuk mengurangi peran perusahaan asing dalam mendominasi perekonomian. Oleh karena itu pemerintah berusaha memperkuat posisi kaum borjuis dengan regulasinya dan tetap mengundang perusahaan asing karena pemerintah masih memerlukan perusahaan asing dalam keperluan modal dan teknologi.36

Pada sektor migas, teori ini terbukti dengan munculnya Pertamina sebagai perusahaan milik negara yang pada waktu itu didirikan oleh Ibnu Sutowo dan mengalami penguatan posisi dengan munculnya regulasi berupa Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang mengakhiri sistem konsesi di sektor migas. Setahun setelah regulasi tersebut keluar, yaitu pada tahun 1961 PERMINA (sebelum menjadi Pertamina) berubah status menjadi perusahaan milik negara dengan nama PN PERMINA. Kemudian setelah melakukan merger dengan PN PERTAMIN, pada tahun 1968 terbentuklah PN PERTAMINA.37

PN PERTAMINA muncul dengan konsep bagi hasil (PSC) dan untuk memperkuat posisi dan konsepnya itu pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina sehingga posisi Pertamina dan konsepnya itu kuat dan legal. Setelah 30 tahun bertahan, regulasi tersebut berhasil membawa Pertamina menjadi salah satu perusahaan minyak milik negara terbesar dan menjadi anggota OPEC. Selain itu, sektor migas juga

34 Peter Evans dalam Akira Suehiro. 2008. Catch-Up Industrualization. University of Hawaii

Prses. Hal 161

35 Ibid. Hal 162

36 Muhammad Findi Alexandi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi di Indonesia:

Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri Tepung Terigu Nasional (Periode 1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok. Hal. 37

37

(28)

14

menjadi sektor penyumbang terbesar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia dan pada masa Orde Baru Indonesia berhasil menikmati “bonanza minyak”.

Ketergantungan antara ketiga komponen tadi (pemerintah, pengusaha lokal/borjuis, dan perusahaan multinasional) ternyata membawa dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor migas dijadikan sektor primer dalam membangun perekonomian, padahal sektor migas ini merupakan sektor ekstraktif dan tidak dapat diperbarui. Eksploitasi secara besar-besaran pada masa Orde Baru berimbas pada semakin menurunnya kapasitas produksi pada masa Orde Reformasi sehingga pemerintah dibuat bingung karena semakin tingginya permintaan domestik terhadap BBM dikala produksi minyak sedang turun.

Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente)

Bagi para ekonom, rente merupakan kependekan dari "rente ekonomi" yang mana mempunyai makna sebagai jumlah keuntungan yang dibayarkan kepada seseorang atas apa yang dilakukan untuk mendapatkan alternatif terbaik.38 Apabila dilihat dari makna tersebut, rente dapat dikatakan sesuatu yang “netral” karena merupakan sesuatu hal yang biasa dan diterima karena pemahaman tersebut masih terlalu sempit.

Pada teori neoklasik, setiap individu akan selalu beusaha mencapai tingkat kepuasan tertinggi dalam memenuhi kebutuhan individu tersebut dengan kendala adanya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang tersedia sebagai alat pemenuhan

kebutuhan sehingga muncul konsep “pilihan yang dibatasi” (constrained chioce)

dengan begitu individu tersebut harus menentukan pilhan yang tepat untuk mencapai tingkat kepuasaan tertingginya. Sebagai ilustrasi, apabila ada barang A memberikan kepuasan sebesar 90, kemudian barang B sebesar 70 dan barang C sebesar 50, maka individu akan memilih barang A karena memberikan tingkat kepuasan yang lebih dari barang B dan C. Dengan konsisten juga individu tersebut akan mengurutkannya sesuai nilai kepuasannya (A>B>C). Konsep ini disebut dengan pilihan rasional (rational choice).39

Apabila ide tersebut masih dalam tingkat individu, maka Caporaso dan Levine menjelaskan bahwa dalam tingkatan kelompok, kesejahteraan akan dicapai ketika dua syarat terpenuhi yaitu: 1) tindakan individu dalam kelompok tersebut akan mempengaruhi individu lain yang tidak melakukan tindakan yang sama dalam kelompok tersebut. 2) individu satu menyediakan peluang bagi individu lain untuk peningkatan kesejahteraan bersama dengan melakukan pertukaran.40

Pada syarat yang pertama hal itu sering disebut dengan konsep eksternalitas. Yang mana dampak dari tindakan individu tersebut (eksternalitas) ada yang positif dan negatif. Untuk syarat yang kedua, apabila ditinjau dari konsep pilihan rasional, para pelaku rasional tersebut bertindak dan memberikan peluang bagi pelaku rasional lainnya dan keduanya diuntungkan maka disebut dengan keseimbangan rasional (rational equilibrium).41 Konsep tersebut bisa diilustrasikan dengan

adanya pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan perusahaan yang mempunyai

38 Paolo Mauro. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues. International Monetary

Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol. 6. Hal 2 39

James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.Cit. hal 184-186

40 Ibid. Hal. 189-190 41

(29)

15 fokus mengejar profit. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung perusahaan tersebut agar terus berekspansi dengan syarat perusahaan tersebut membiayai proyek kampanye pemerintah tadi agar posisi politiknya aman. Apabila dilihat dari kacamata neoklasik tadi (pilihan rasional) tentu hal tersebut tidaklah salah (netral) karena tindakan kedua individu tersebut masing-masing adalah untuk mencapai kepuasaan tertingginya.

Dalam literatur ekonomi politik, proses individu untuk mendapatkan keuntungan (rente) yang besar dengan menciptakan peluang (dalam hal ini kebijakan) disebut dengan konsep “rent seeking” (perburuan rente). Rent seeking

dalam kacamata ekonomi politik cenderung dilihat tindakan yang negatif karena untuk menciptakan peluang-peluang tersebut, maka individu-individu tadi harus melakukan beberapa tindakan pintas seperti lobi. Olson dalam Yustika menjelaskan:42

“proses lobi tersebut dapat berdampak kolosal karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan (decision making) berjalan sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespons secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru”

Seperti yang dijelaskan oleh Olson dalam Yustika diatas, adanya lobi dapat dikatakan dapat menimbulkan distorsi pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Distorsi yang dimaksud adalah kemungkinan adanya kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah yang terjadi karena keputusan yang diambil semata-mata hanya untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Menurut Ma’arif:43

“ dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang diterima penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Sedangkan perilaku aparat pemerintah yang mengharapkan keuntungan atas kebijakan yang dikeluarkanya disebut perilaku perburuan rente (rent seeking behaviour)”

Korupsi merupakan salah produk dari perburuan rente yang bersifat negatif. Secara fakta, negara yang belum mencapai tingkatan good governance

sangat rentan dengan korupsi. Menurut Mauro, 44 ada beberapa hal yang

menyebabkan pemerintahan korup selain dari faktor regulasi, yaitu:

a. Dukungan sumber daya alam yang melimpah. Untuk negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah cenderung lebih korup daripada negara yang miskin dengan sumber daya alam.

b. Faktor sosiologis. Banyaknya suku dan bahasa disinyalir berhubungan kuat dengan korupsi. Hal tersebut disebabkan pejabat publik lebih mungkin untuk melakukan bantuan untuk keluarga mereka dalam masyarakat yang mempunyai ikatan keluarga yang kuat.

Untuk kasus di Indonesia sendiri, dua faktor tersebut sudah terbukti kebenarannya. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menjamur pada instansi dan masyarakat umumnya telah membuat aktivitas perburuan rente semakin marak. Bahkan karena maraknya, hal ini sudah dianggap biasa dan wajar. Pada sektor migas, perburuan rente ini terjadi dari aktivitas hulu sampai hilir. Salah satu aktivitas yang marak terjadi adalah aktivitas gold platting. Aktivitas

42 Ibid. Hal 107

43 Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah

Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313

(30)

16

gold platting ini merupakan salah satu bentuk kecurangan oknum

(pemerintah/perusahaan) yang memanipulasi/ mark up cost recovery sehingga

mengurangi pemasukan (khususnya pemerintah). Hal itu disebabkan oleh sangat sulitnya mengontrol cost recovery sehingga dijadikan kesempatan bagi

oknum-oknum untuk berbuat curang dan mementingkan kepentingan individu/kelompoknya.45

Memberantas korupsi/gold platting di sektor migas adalah perang melawan

kekuatan yang sangat besar sebab semua modus pencurian dan penyelundupan itu bermuara pada bertemunya kepentingan bisnis swasta dan kepentingan oknum penguasa yang bersedia menyalahgunakan kekuasaannya. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen yang kuat untuk melawan kejahatan yang satu ini.

Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor Migas di Indonesia

Pada dasarnya, kontrak kerjasama dibidang pertambangan migas dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:46

a. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)

b. Bentuk kerjasama lainnya.

Semenjak diperkenalkannya PSC pada tahun 1965 yang mana pada waktu itu Indonesia menjadi negara pertama yang memakai sistem PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia , PSC di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahap/generasi, yaitu: 1) PSC Generasi Pertama (1966-1975), 2) PSC Generasi Kedua (1976-1988), 3) PSC Generasi Ketiga: Periode I (1988-2000) dan Periode II (2001-sekarang).47 Adapun perbedaannya dapat dijelaskan oleh tabel 2

Tabel 2 Ringkasan Generasi PSC di Indonesia

Sumber: Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 47-48

45 Yuyus Bahtiar. 2010. Relevansi Model PSC Modifikasi Revenue To Cost Index (R/C) Pada

Kerjasama Migas di Indonesia. [skripsi]. Institut Teknologi Bandung: Bandung. Hal 1

(31)

17 Adapun yang membedakan periode I dan II pada PSC generasi ketiga adalah pada periode I Pertamina masih memegang alih seluruh kegiatan pengelolaan migas di Indonesia, sedangkan pada periode II (setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) fungsi kegiatan pengawasan dan pembinaan pada sistem PSC menjadi tanggung jawab BP Migas (sekarang SKK Migas),48 sehingga peran Pertamina menjadi pengelola perwakilan negara (karena 100% masih dikuasai negara) yang harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan migas multinasional.

Karakteristik dalam kontrak bagi hasil , semua resiko ada di kontraktor. Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi.

Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk kontraktor migas.49

Berdasarkan kontrak bagi hasil, diatur bahwa kontraktor migas harus menjual bagiannya paling banyak 25% ke dalam negeri.50 Ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan BBM di pasar dalam negeri. Namun berdasarkan hasil uji materi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ketentuan tersebut diubah menjadi wajib 25% (dari paling banyak). Harga yang ditetapkan bisa berdasarkan harga pasar atau harga

tertentu. Ketentuan ini dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO). Kontraktor akan mendapatkan DMO fee atas hal ini.51

Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). Namun perhitungan secara detail diatur dalam perjanjian masing-masing. Untuk biaya cost recovery,

konsep bagi hasil yang dianut oleh Indonesia akan mengganti biaya kontraktor migas sebesar 100% (termasuk biaya investasi). Tidak ada pembatasan atas biaya-biaya yang bisa diganti oleh pemerintah. Namun ketentuan ini sudah berubah. Hasil audit BPK menemukan adanya biaya-biaya yang tidak sepatutnya jika diganti oleh pemerintah (misal biaya yang terkait dengan kegiatan CSR perusahaan) ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM no 22 tahun 2008 yang mengatur biaya-biaya yang tidak bisa di ganti oleh pemerintah (non cost recovery) antara lain pembebanan dana community development pada masa

eksploitasi, technical training untuk ekspatriat, biaya konsultan pajak.52

Secara garis besar perhitungan PSC di Indonesia dapat dijelaskan oleh Gambar 3.

48

Ibid. hal 50

49 Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 14 dan 15 50 Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 22 angka 1

51 Iswahyudi Sondi,. 2010. Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia [artikel].

Kompasiana: 26 April 2010. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-pengelolaan-migas-di-indonesia-126745.html

(32)

18

Gambar 3 Alur Perhitungan PSC di Indonesia

Sumber: Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 78

Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa) Sistem PSC tentu bukanlah satu-satunya sistem yang ada pada industri dan pengelolaan migas di dunia. Ada beberapa sistem yang banyak dipakai oleh negara-negara dalam alokasi produksi migas yang mengatur perjanjian antara pemerintah dan kontraktor. Ada sistem konsesi dan sistem service contract

(kontrak jasa) yang banyak dipakai oleh negara-negara pengahasil minyak selain sistem PSC.

Pada sistem konsesi, pemerintah hanya mendapatkan keuntungan hanya dari pajak dan royalty. Karakteristik sistem konsesi ini adalah semua hasil produksi dalam wilayah yang digarap oleh perusahaan tersebut menjadi milik perusahaan, pemerintah tidak dapat mendapatkan dari hasil produksi tersebut, tetapi hanya menerima penerimaan dari pajak/royalti saja. Oleh karena itu sistem konsesi sering disebut juga sebagai sstem royalty/tax.53 Sistem ini merupakan sistem yang

paling tua dan masih banyak digunakan pada saat ini. Pada sistem konsesi tradisional, keterlibatan pemerintah (negara) dibatasi atau bahkan tidak ada ditambah jangka waktu kontrak yang lama serta luasnya wilayah yang dapat dimiliki oleh perusahaan/kontraktor tersebut.54

Pada sistem konsesi modern, telah terjadi beberapa perubahan. Diantaranya adalah meningkatnya bagian pemerintah (negara) dari pajak dan royalti tersebut ditambah adanya pajak-pajak khusus terhadap keuntungan perusahan yang

53 Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 14 54

(33)

19 berkelebihan. Selain itu kontraknya diperpendek dengan luas wilayah yang dibatasi.55

Untuk sistem kontrak jasa, mengacu pada kontrak antara pemerintah dengan perusahaan/kontraktor dalam hal kegiatan, eksplorasi dan produksi migas. Pada sistem ini kontraktor hanya menerima pengembalian dari pemerintah secara tunai bukan secara natura (hasil dari produksi dan eksplorasi) tetapi bisa saja kontraktor membuat perjanjian dengan pemerintah dengan metode pembelian kembali natura tersebut (buy-back).56

Secara umum perbedaan PSC, konsesi dan kontrak jasa dapat dijelaskan oleh Gambar 4

Gambar 4 Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas

sumber: : Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 14

Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC

Pada sistem PSC cost recovery adalah biaya operasi yang dikeluarkan oleh perusahaan/kontraktor yang terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-kapital, dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membayar lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau bisa ditangguhkan pada tahun berikutnya.57 Konsep cost recovery sebenarnya

tidak hanya ada pada sistem PSC, pada sistem konsesi dan kontrak jasa juga terdapat konsep yang sama dengan cost recovery tetapi pada sistem konsesi

55 Loc.cit

56 Metode buy-back ini digunakan oleh negara Iran dalam menarik perusahaan/kontraktor untuk

berinvestasi di Iran.

(34)

20

disebut dengan cost deductions dan pada sistem kontrak jasa adalah reimbursement.58

Menurut Lubiantara,59 mekanisme cost recovery pada PSC adalah:

“kontraktor akan menerima sejumlah volume hasil produksi yang menjadi bagiannya (contractor entitlement) yang terdiri dari profit share dan cost recovery. Sistem PSC di Indonesia memberlakukan FTP, dimana FTP tersebut dibagi dengan kontraktor, disamping itu ada juga kewajiban memasok sejumlah volume untuk kebutuhan domestik (Domestic Market Obligation) dengan harga diskon. Adanya FTP dan DMO ini tentu juga mempengaruhi besarnya total contractor entitlement tersebut”

Cost recovery merupakan salah satu komponen cost entitlement, sejumlah

volume produksi tertentu akan diklaim oleh kontraktor sebagai pengembalian biaya operasi. Sebagai ilustrasi, biaya operasi perusahaan A adalah Rp. 1 juta rupiah, rata-rata harga minyak adalah Rp. 100/barel, maka volume yang diperlukan untuk mengganti biaya tersebut adalah Rp. 1.000.000/ Rp.100/barel= 10.000 barel.

Adanya mekanisme pembayaran cost recovery ini sering membuat

pandangan bahwa cost recovery dijadikan ladang mark-up baik itu yang dilakukan

oleh pihak birokrat pemerintahan maupun dari pihak perusahaan/kontraktor. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan ketegasan dari pihak yang berwenang sehingga memungkinkan adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan yang merugikan negara dan perusahaan itu sendiri.

Penelitian Terdahulu

a. Muryati dkk (2013) menganilis prosedur terjadinya kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) pada pertambangan minyak gas dan bumi

serta mengkaji mekanisme penyelesaian sengketanya.60

b. Bahtiar (2010) mengkaji tentang Relevansi Model PSC Modifikasi

Revenue To Cost Index (R/C) Pada Kerjasama Migas di Indonesia yang

mana pada penelitiannya membuktikan bahwa dengan adanya modifikasi pada sistem kontrak bagi hasil yang bersifat progressif dapat menimalisir praktek mark up/ gold platting. 61

c. Ma’arif (2007) dalam tesis nya yang berjudul Ekonomi Politik Kebijakan Migas tarik ulur perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasca Orde Baru 1998-2004 menjelaskan perubahan kebijakan melalui keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah mencabut kekuasaan dan hak-hak istimewa yang dimiliki Pertamina. Kebijakan ini di luar kebiasaan, karena memberi peluang seluas mungkin bagi semua pelaku bisnis seperti: BUMN, Badan Usaha Milik Swasta Asing, Badan Usaha Milik Swasta

(35)

21 Nasional, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah untuk saling bersaing di sektor migas. 62

d. Umar (2012) dalam jurnalnya Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998 menjelaskan tentang kebijakan liberalisasi sektor migas yang membuat harga BBM Indonesia sangat bergantung pada dunia. 63

Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah:

1. Dalam penelitian ini menitikberatkan pada aspek liberalisasi pada sektor migas yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang berdampak pada pengelolaan migas dan perekonomian di Indonesia.

2. Dalam penelitian ini juga akan menggunakan analisis ekonomi politik dalam bentuk analisis aktivitas rent seeking dan gold platting pada

pengelolaan migas di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil migas di dunia tentunya menjadi hal yang menguntungkan bagi Indonesia karena migas merupakan salah satu komoditi (energi) yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan dibutuhkan oleh seluruh negara untuk menjalankan aktivitas sehari-hari masyarakatnya, termasuk di Indonesia sendiri. Sebagai negara berkembang yang mempunyai teknologi dan kemampuan SDM yang terbatas menjadi sebuah dilema untuk mengelola sektor migas ini secara mandiri.

Untuk mengatasi masalah itu maka diperkenalkanlah sistem PSC pada tahun 1965 yang sistemnya tidak jauh berbeda dengan sistem paron dalam penggarapan sawah-sawah di Indonesia. Dimana Indonesia sebagai pemilik sumber daya dan kontraktor (perusahaan migas multinasional) sebagai penggarap sumber dayanya. Pada sekitar periode 1965-1980 terbukti Indonesia menjadi negara penghasil minyak yang cukup berpengaruh di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pembangunan-pembangunan infrastruktur yang pesat tidak terlepas dari hasil sektor migas tersebut. Tetapi adanya boom minyak pada periode akhir tahun 80-an

membuat industri migas lesu dan kehilangan investor-investornya.

Sebagai solusi untuk mengatasi kelesuan sektor migas tersebut maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 melakukan liberalisasi sektor migas, yang mana Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional kehilangan hak-hak istimewa serta diharuskan bersaing dengan perusahaan migas multinasional. Dengan liberalisasi tersebut, maka secara tidak langsung penguasaan migas nasional hampir 80% dikuasai oleh asing. Kerugian tersebut diperparah oleh kembali naiknya harga minyak dunia pada tahun 2004 sampai sekarang yang mana menyebabkan Indonesia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan minyak domestiknya.

62 Syamsul Ma’arif. 2007. Ekonomi politik kebijakan Migas tarik ulur perubahan Undang-undang

Migas pasca Orde Baru 1998-2004 [tesis] .Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

63 A. R. M Umar. 2012. Ekonomi Poltik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan Liberalisasi

(36)

22

Analisis kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia

sebelum dan sesudah ditetapkannya UU no. 22

tahun 2001 tentang Migas.

Analisis dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas

Nasional dan pengelolaan migas di

Indonesia.

Analisis aktivitas perburuan rente dan

dampaknya pada pengelolaan migas di

Indonesia.

Selain itu sistem PSC generasi ke III ini dinilai sangat memanjakan para kontraktor migas. Dimana adanya aturan cost recovery dan penghindaran atas

pajak menyebabkan negara merugi. Kerugian negara tidak hanya disana, adanya oknum-oknum pemerintah/perusahaan yang melakukan aktivitas rent seeking dan gold platting/ Mark up semakin memperparah kerugian pada pengelolaan migas di

Indonesia.

Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5

Gambar

Gambar 2 Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan
Tabel 2 Ringkasan Generasi PSC di Indonesia
Gambar 3 Alur Perhitungan PSC di Indonesia
Gambar 4 Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas
+7

Referensi

Dokumen terkait

karena banyak teman, dan seringnya mereka menonton berita olahraga khususnya pembelajaran menggiring bola maka akan menambah motivasi mereka terhadap pembelajaran

28 Di Negara Amerika Serikat (AS), apabila suatu Perjanjian Internasional tidak bertentangan dengan Konstitusi maka isi Perjanjian dianggap menjadi bagian Hukum yang

*.,i sulit untuk muncul dalam kondisi yang sangat tinggi secara bersamaan, karena secara Seminar Nasional dan Rapat Tahunan 81i5 - PTN Witayah Barat Bidang llmu

boundaries: west-part, middle-part, and east- part. As seen in Figure 7A, four villages with the highest local plantation area locate in the upland area. There are three villages

Oleh karena itu apabila asas pacta sunt servanda ini tidak dilaksanakan oleh para pihak, akta testament ini tetap memiliki kekuatan hukum dan para pihak terutama para

Peluang rebound jangka pendek tetap meskipun IHSG masih rentan melanjutkan pelemahan jika support MA50 dan bearish trend tadi break out dimana level pesimis pelemahan

Berkaitan dengan perkembangan fisik ini, Kuhlen dan Thomson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu : (1) Sistem syaraf sangat

Hasil yang diperoleh dari percobaan ini tidak maksimal karena kapas dan lilin yang digunakan untuk menutup ujung botol tidak tertutup rapat sehingga masih