• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Cirebon merupakan salah satu Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan sekaligus sebagai pintu gerbang Provinsi Jawa Tengah. Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis sebagai bagian dari jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa. Letak daratannya memanjang dari Barat Laut ke Tenggara.

Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108°40´-108°48´ Bujur Timur (BT) dan 6°30´-7°00´ Lintang Selatan (LS). Jarak terjauh dari arah Barat ke Timur sepanjang 54 km dan Utara ke Selatan sepanjang 39 km. Kabupaten Cirebon secara administratif berbatasan dengan wilayah:

 Sebelah Utara : Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Laut Jawa

 Sebelah Barat Laut : Kabupaten Majalengka

 Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan

 Sebelah Timur : Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah

Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai terutama daerah bagian utara, timur, dan barat, sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah perbukitan. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson keadaan iklim di Kabupaten Cirebon termasuk tipe B/C (Q=56.06%). Tipe ini memiliki rata-rata bulan kering 3.7 dan rata-rata bulan basah 6.6. Tipe ini termasuk golongan daerah beriklim sedang-hujan dengan curah hujan rata-rata 1 500–4 000 mm pertahun. Suhu tertinggi mencapai 33 °C dan suhu terendah sekitar 24 °C dengan suhu rata-rata 28 °C. Kisaran suhu sebesar itu dikategorikan sebagai daerah tropis. Wilayah Cirebon juga dipengaruhi oleh angin kumbang yang bertiup relatif kencang dan bersifat kering.

Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Kabupaten Cirebon. Ini terlihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto yang hampir mencapai 30 persen. Sektor pertanian tersebut meliputi tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Kabupaten Cirebon merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Jawa Barat, hal ini mengakibatkan bawang merah tidak saja dijadikan komoditas primadona oleh setiap petani di Kabupaten Cirebon, namun juga merupakan andalan pendapatan bagi rumah tangga petani dan sekaligus andalan bagi Produk Domestik Regional khususnya dari sektor pertanian.

Berdasarkan syarat tumbuhnya, tanaman bawang merah sangat potensial dibudidayakan di Kabupaten Cirebon. Banyaknya petani yang telah membudidayakan bawang merah menjadikan komoditas ini sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Cirebon. Wilayah sentra pengembangan bawang merah di Kabupaten Cirebon meliputi Kecamatan Waled, Ciledug, Pabuaran, Losari, Pabedilan, Babakan, Gebang, Karang Sembung, Sedong, Astanajapura, Pangenan, Mundu, Beber, Palimanan, Plumbon, dan Susukan. Luas tanam potensial bawang merah di Kabupaten Cirebon adalah sekitar 3 927 ha dengan kapasitas produksi sebesar 40 155 ton/tahun (Bappeda Kabupaten Cirebon 2014). Dengan kapasitas

produksi tersebut dapat memenuhi kebutuhan bawang merah di Kabupaten Cirebon, bahkan sebagian dipasarkan keluar daerah. Oleh karena itu, pengembangan bawang merah memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan petani di Kabupaten Cirebon.

Karakteristik Responden Petani Bawang Merah

Karakteristik petani dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara karakteristik yang dimiliki oleh petani dengan tingkat persepsi, proses pengambilan keputusan penggunaan benih, serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses keputusan pembelian benih. Responden petani bawang merah dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang terdiri dari 30 orang petani yang menggunakan benih lokal dan 30 orang petani yang menggunakan benih impor. Responden petani diambil dari dua kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, yaitu Kecamatan Gebang dan Pabedilan. Hal ini dikarenakan pada kedua kecamatan tersebut, petani bawang merah menggunakan dua jenis benih yang berbeda yaitu benih lokal ataupun impor.

Karakteristik petani yang dianggap penting untuk diketahui yaitu umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, pola tanam, dan analisis pendapatan usahatani. Karakteristik dari masing-masing petani berbeda-beda sehingga hal ini dapat mempengaruhi keragaan usahatani dari aspek teknik budidaya. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan gambaran karakteristik petani sebagai berikut.

Umur

Berdasarkan kelompok umur, responden petani bawang merah baik yang menggunakan benih lokal maupun impor dikelompokkan kedalam empat kelompok, yaitu kelompok umur kurang dari 25 tahun, 25–35 tahun, 36–45 tahun, 46–55 tahun, dan lebih dari 55 tahun. Pengelompokkan ini untuk membedakan responden berdasarkan umur produktif dan tidak produktif, karena menurut Bakir dan Maning (1984), umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang pada umumnya adalah 15-55 tahun. Karakteristik responden petani berdasarkan tingkat umur disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Umur responden petani bawang merah lokal dan impor di Kabupaten Cirebon

No Umur (tahun)

Petani benih lokal Petani benih impor

Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 <25 0 0 1 3.33 2 25-35 4 13.33 2 6.67 3 36-45 8 26.67 10 33.33 4 46-55 16 53.33 10 33.33 5 >55 2 6.67 7 23.33 Jumlah 30 100.00 30 100.00

Pada responden petani yang menggunakan benih lokal, rata-rata umur petani adalah 48 tahun, dimana umur petani yang paling muda adalah 30 tahun sedangkan yang tertua mencapai 70 tahun. Persentase terbesar umur petani berada pada kisaran umur 46-55 tahun yaitu sebanyak 53.33 persen, kemudian pada kisaran umur 36-45 tahun sebanyak 26.67 persen, pada kisaran umur 25-35 tahun sebanyak 13.33 persen, dan umur lebih dari 55 tahun sebanyak 6.67 persen.

Pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih impor, rata-rata umur petani adalah 49 tahun, dimana umur petani yang paling muda adalah 24 tahun sedangkan yang tertua mencapai 69 tahun. Persentase terbesar umur petani berada pada kisaran umur 36–45 tahun dan 46–55 tahun yang masing-masing sebanyak 33.33 persen, kemudian pada umur lebih dari 55 tahun sebanyak 23.33 persen, pada kisaran umur 25-35 tahun sebanyak 6.67 persen, dan petani yang berumur dibawah 25 tahun sangat jarang ditemui, hanya ada sebanyak 3.33 persen.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa petani bawang merah baik yang menggunakan benih lokal maupun impor didominasi oleh petani yang berada pada kisaran umur produktif yaitu antara 15-55 tahun. Pada umumnya orang-orang yang berusia produktif memiliki semangat yang tinggi untuk mengembangkan usahanya karena terdorong oleh kebutuhan yang tinggi. Umur mempengaruhi kemampuan seseorang untuk dapat bekerja secara fisik dan berfikir. Petani yang berumur lebih muda biasanya lebih dinamis dan lebih berani mengambil resiko. Oleh karena itu faktor umur dapat mempengaruhi produktifitas usahatani yang dikelola. Selain itu umur juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang dan berperan dalam proses pengambilan keputusan berbagai pekerjaan yang dilakukan.

Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden petani bawang merah yang menggunakan benih lokal di Kecamatan Gebang dan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, sebagian besar adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 36.67 persen, kemudian diikuti dengan petani yang tidak tamat SD sebesar 30 persen, petani lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 23.33 persen, petani lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 6.67 persen, dan petani yang tidak bersekolah sebesar 3.33 persen.

Pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih impor, jenjang pendidikan tertinggi adalah perguruan tinggi tetapi jumlahnya masih tergolong rendah yaitu 6.67 persen, sedangkan jumlah penduduk terbesar adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 40 persen, kemudian diikuti dengan petani lulusan SMA sebesar 36.67 persen, petani lulusan SMP sebesar 10 persen, serta petani lulusan perguruan tinggi dan yang tidak tamat SD dengan persentase yang sama yaitu sebesar 6.67 persen. Karakteristik responden petani berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 8.

Berdasarkan data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani responden baik yang menggunakan benih lokal maupun impor masih didominasi oleh pendidikan sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa sebagian besar petani responden memiliki tingkat pendidikan formal yang masih rendah. Petani bawang merah yang menggunakan benih lokal memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan petani yang menggunakan benih impor.

Pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih lokal tidak ada yang lulusan perguruan tinggi, namun justeru ada responden petani yang tidak bersekolah. Sedangkan pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih impor terjadi sebaliknya, tidak ada responden petani yang tidak bersekolah, namun ada yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Baik petani benih lokal maupun benih impor masih didominasi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yaitu SD. Namun pada petani benih impor, walaupun masih didominasi oleh lulusan SD, cukup banyak pula petani yang merupakan lulusan SMA bahkan beberapa ada yang lulusan perguruan tinggi. Apabila persentase responden petani lulusan SMA dan perguruan tinggi dijumlahkan, maka akan diperoleh nilai persentase yang lebih besar daripada petani yang lulusan SD, yaitu sebesar 43.34 persen.

Tabel 8 Tingkat pendidikan responden petani bawang merah lokal dan impor di Kabupaten Cirebon

No Pendidikan

Petani benih lokal Petani benih impor Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak Sekolah 1 3.33 0 0.00 2 Tidak Tamat SD 9 30.00 2 6.67 3 SD 11 36.67 12 40.00 4 SMP 7 23.33 3 10.00 5 SMA 2 6.67 11 36.67 6 Perguruan Tinggi 0 0.00 2 6.67 Jumlah 30 100.00 30 100.00

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani. Tingkat pendidikan yang rendah pada petani yang menggunakan benih lokal menunjukkan kualitas sumber daya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan petani benih impor. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada tingkat keberanian mengambil keputusan dan risiko dalam pengelolaan usahatani bawang merah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Emiria et al. (2014) yang menyatakan bahwa karena keterbatasan dana mengakibatkan banyak petani yang memilih untuk tidak bersekolah lagi dan meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Pendidikan sangat berperan dalam menentukan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat dan dapat memberikan pemahaman terhadap baik atau buruknya sesuatu hal.

Pengalaman Berusahatani

Pengalaman petani diperoleh melalui rutinitas kegiatan sehari-hari atau peristiwa yang pernah dialaminya yang dijadikan sebagai dasar pengetahuan bagi petani. Pengalaman usaha tani dapat menentukan keberhasilan usahatani bawang merah. Pengalaman petani dalam berusahatani mempengaruhi respon dan penerimaan petani terhadap suatu jenis informasi. Pengalaman akan menjadi dasar pembentukan pandangan seseorang untuk memberikan tanggapan dan penghayatan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden petani bawang merah yang menggunakan benih lokal di Kecamatan Gebang dan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, sebagian besar memiliki pengalaman usaha tani bawang merah antara 1-10 tahun yaitu sebanyak 36.67 persen, kemudian diantara 21-30 tahun sebanyak 30 persen, diantara 11-20 tahun sebanyak 23.33 persen, lebih dari 40 tahun sebanyak 6.67 dan diantara 31-40 tahun sebanyak 3.33 persen. Pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih impor, persentase terbesar yaitu petani yang memiliki pengalaman usahatani antara 1-10 tahun yaitu sebanyak 86.67 persen, dan diantara 11-20 tahun sebanyak 13.33 persen. Tidak ada responden petani bawang merah pengguna benih impor yang memiliki pengalaman usahatani lebih dari 20 tahun. Hal ini dikarenakan menurut pengakuan petani responden, mereka mulai menggunakan benih bawang merah impor sejak tahun 1990-an. Karakteristik responden petani berdasarkan pengalaman berusaha tani disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pengalaman berusahatani responden petani bawang merah lokal dan impor di Kabupaten Cirebon

No

Pengalaman Berusahatani

(Tahun)

Petani Benih Lokal Petani Benih Impor

Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 1 - 10 11 36.67 26 86.67 2 11 - 20 7 23.33 4 13.33 3 21 - 30 9 30.00 - - 4 31 - 40 1 3.33 - - 5 > 40 2 6.67 - - Jumlah 30 100.00 30 100.00

Pada petani bawang merah baik yang menggunakan benih lokal maupun impor, sebagian besar memiliki pengalaman berusahatani antara 1–10 tahun. Pengalaman berusahatani menunjukkan lamanya petani berkecimpung dalam usaha tani bawang merah. Semakin lama pengalaman usahataninya maka dapat disimpulkan bahwa petani tersebut sudah memahami teknik budidaya dalam kegiatan usaha taninya. Pengalaman seseorang berhubungan dengan persepsi dan pengambilan keputusannya. Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi, selain itu pengalaman tidak hanya melalui proses belajar formal namun juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah dihadapi.

Luas Lahan

Lahan merupakan basis dalam kegiatan usahatani yang bereperan sebagai salah satu modal dalam pertanian selain tenaga kerja dan kapital. Total luasan lahan yang digunakan petani untuk budidaya bawang merah cukup beragam. Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani yang menggunakan benih lokal adalah 0.81 hektar dengan luas lahan terkecil sebesar 0.14 dan luas lahan terbesar adalah 3 hektar. Sedangkan rata-rata luas lahan pada petani yang menggunakan benih impor adalah 1.72 hektar dengan luas lahan terkecil sebesar 0.5 hektar dan luasan lahan terbesar adalah 4 hektar.

Responden petani bawang merah yang menggunakan benih lokal di Kecamatan Gebang dan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, pada umumnya tergolong kedalam petani berskala menengah dengan pengusahaan lahan 0.5–1 hektar sebanyak 46.67 persen, kemudian golongan petani berskala kecil dengan pengusahaan lahan 0.10-0.29 hektar sebanyak 30 persen dan luasan 0.30–0.49 hektar sebanyak 6.67 persen. Namun ada pula yang tergolong petani berskala besar dengan luas pengusahaan lahan lebih dari 1 hektar sebanyak 16.67 persen.

Pada responden petani bawang merah yang menggunakan benih impor, sebagian besar tergolong kedalam petani berskala besar dengan pengusahaan lahan lebih dari 1 hektar sebanyak 53.33 persen dan sebagian lainnya tergolong petani berskala menengah dengan luasan lahan 0.5-1 hektar sebanyak 46.67 persen. Pada responden petani bawang merah dengan benih impor, tidak ada yang tergolong petani berskala kecil yang memiliki luasan lahan dibawah 0.5 hektar. Karakteristik responden petani berdasarkan luas lahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Luas lahan pertanian responden petani bawang merah lokal dan impor

di Kabupaten Cirebon Tahun 2014

No Luas Lahan (Ha)

Petani Benih Lokal Petani Benih Impor

Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 0.10-0.29 9 30.00 0 0.00 2 0.30-0.49 2 6.67 0 0.00 3 0.50-1.00 14 46.67 14 46.67 4 > 1 5 16.67 16 53.33 Jumlah 30 100.00 30 100.00

Luas lahan sangat mempengaruhi besar kecilnya produksi dalam suatu usahatani. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang menggarap lahan yang luas pada umumnya memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dan lebih banyak dapat memanfaatkan lahannya untuk usahatani sehingga produksi yang dihasilkan juga akan lebih tinggi. Pada umumnya petani yang memiliki lahan dibawah 0.5 hektar masih dominan dan petani dengan luas lahan tersebut memiliki keterbatasan modal untuk memperluas lahannya (Nahraeni 2012). Petani lahan sempit pada umumnya belum mampu mengembangkan usahatani. Oleh karena itu, lahan usahatani sempit menjadi kendala bagi penerapan sistem usaha tani secara intensif, dan menyebabkan petani kurang mampu dalam penerapan teknologi pertanian serta pengelolaan usaha tani secara komersial.

Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan dibedakan menjadi 2 yaitu lahan milik pribadi dan lahan sewa. Status tersebut merupakan faktor yang menentukan perbedaan beban biaya yang harus dikeluarkan dalam usahataninya. Lahan milik pribadi merupakan kepunyaan petani itu sendiri dan dia harus menanggung pajak lahan. Sedangkan lahan sewa dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu menyewa dan membayarnya dengan uang atau dengan cara bagi hasil (dikenal dengan istilah “maro”, yang artinya membagi).

Responden petani bawang merah yang menggunakan benih lokal di Kecamatan Gebang dan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, sebagian besar lahan garapannya merupakan lahan sewaan yaitu sebesar 93.33 persen dan sisanya sebesar 6.67 persen merupakan lahan milik sendiri. Sedangkan untuk responden petani bawang merah dengan benih impor, sebanyak 86.67 persen respondennya menggunakan lahan sewa, dan sisanya sebanyak 13.33 persen menggunakan lahan milik sendiri. Status kepemilikan lahan pertanian petani responden di Kecamatan Gebang dan Pabedilan, Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Status kepemilikan lahan responden petani bawang merah lokal dan impor di Kabupaten Cirebon

No Status Lahan

Petani Benih Lokal Petani Benih Impor Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Lahan Milik Sendiri 2 6.67 4 13.33

2 Lahan Sewa 28 93.33 26 86.67

Jumlah 30 100.00 30 100.00

Alasan utama petani melakukan sewa tanah adalah karena adanya keterbatasan lahan yang dimilikinya sehingga pada akhirnya untuk dapat melakukan usaha budidaya bawang mereka, mereka mencari lahan sewa dari petani lain. Pada umumnya apabila lahan yang digunakan oleh petani adalah miliknya sendiri maka petani tersebut memiliki hak untuk melakukan apapun tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pihak tertentu, termasuk dalam hal penggunaan input produksi dalam budidaya bawang merah.

Pola Tanam

Tanaman bawang merah pada umumnya tidak tahan kekeringan karena sistem perakarannya yang dangkal, sehingga air sangat dibutuhkan terutama pada awal pertumbuhan dan pembentukan umbi. Namun sebaliknya, bawang merah juga tidak tahan air yang berlebihan dan tempat-tempat yang selalu basah. Oleh karena itu, bawang merah sebaiknya ditanam pada musim kemarau atau akhir musim hujan. Waktu tanam benih tergantung kepada varietas benih itu sendiri. Kebiasaan petani menanam bawang merah dilakukan pada lahan sawah bergantian dengan tanaman pangan dan hortikultura lainnya, seperti padi, jagung, tebu, terong, dan ketimun.

Pada umumnya dalam satu tahun, rata-rata petani menanam bawang merah sebanyak 3 kali. Pada petani bawang merah yang menggunakan benih lokal, karena umur panen benih bawang merah lokal yang cukup singkat yaitu sekitar 60 hari, maka ada beberapa petani yang mengusahakan bawang merah sebanyak 4 kali dalam satu tahun. Petani menanam bawang merah dengan benih lokal pada musim hujan dan musim kemarau I dimana pada musim ini ketersediaan air cukup melimpah. Hal ini dikarenakan bawang merah merupakan tanaman yang membutuhkan cukup banyak air. Selain itu petani juga menanam pada musim kemarau II apabila air untuk irigasi cukup tersedia. Pola tanam bawang merah secara monokultur yang dilakukan oleh petani yang menggunakan benih lokal

pada musim tanam Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014 dapat dilihat pada Gambar 6. Ha Bera Bawang Merah (Lokal) Padi Bawang Merah (Lokal) Padi/ Jagung Bawang Merah (Lokal) Bera 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bulan

Gambar 6 Pola tanam bawang merah yang dilakukan oleh petani bawang merah lokal di Kabupaten Cirebon pada musim tanam Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014

Benih bawang merah varietas lokal dapat ditanam baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Namun produktivitas yang dihasilkan dari kedua musim tersebut cukup berbeda. Produktivitas bawang merah yang ditanam pada musim kemarau lebih besar daripada musim hujan. Hal ini karena tanaman bawang merah relatif rentan terhadap serangan hama yang umumnya banyak berkembamg pada musim hujan dan karena kondisi iklim yang kurang baik. Sedangkan untuk benih bawang merah varietas impor hanya cocok apabila ditanam pada musim kemarau, jadi pada umumnya petani yang menggunakan benih impor hanya menanam pada musim kemarau II yaitu sekitar bulan Juli–Oktober, sedangkan pada musim hujan dan kemarau I menanam bawang merah menggunakan benih lokal. Pola tanam bawang merah secara monokultur yang dilakukan oleh petani yang menggunakan benih impor pada musim tanam Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014 dapat dilihat pada Gambar 7.

Ha Bera Bawang Merah (Lokal) Bera Bawang Merah (Lokal) Jagung/Terong/ Ketimun Bawang Merah (Impor) 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bulan

Gambar 7 Pola tanam bawang merah yang dilakukan oleh petani bawang merah impor di Kabupaten Cirebon pada musim tanam Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014

1

Menurut Suhardi (1996), hasil optimal bawang merah dipengaruhi oleh waktu tanam. Penanaman pada bulan Juli-September merupakan waktu yang terbaik, sedangkan penanaman pada bulan Januari-Februari merupakan musim terburuk. Hal ini berkaitan dengan serangan penyakit antraknose. Ditambahkan pula oleh Sofiari (2009), beberapa kultivar lokal umumnya lebih toleran terhadap penanaman diluar musim dibandingkan dengan kultivar impor. Sama halnya dengan petani yang menggunakan benih lokal, beberapa petani bawang merah yang menggunakan benih impor juga adakalanya mengusahakan bawang merah sebanyak 4 kali dalam satu tahun, yaitu 3 kali menanam dengan benih lokal dan 1 kali menanam dengan benih impor.

Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah

Analisis pendapatan usahatani yang akan dibahas yaitu menguraikan komponen-komponen biaya pengeluaran, penerimaan, pendapatan, serta perhitungan nilai efisiensi dari penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan dengan menggunakan rumus R/C. Analisis pendapatan dilakukan dengan memisahkan pendapatan usahatani atas biaya tunai dan biaya total. Pengeluaran juga dipisahkan antara pengeluaran tunai dan diperhitungkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya pendapatan atas biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahataninya dan besarnya pendapatan usahatani jika seluruh biaya untuk usahataninya diperhitungkan.

Benih merupakan input produksi utama yang digunakan untuk menghasilkan output produksi. Penggunaan jenis input yang berbeda akan menyebabkan adanya perbedaan struktur biaya usahatani antara budidaya bawang merah dengan menggunakan benih lokal dan benih impor. Selain input produksi, budidaya bawang merah dengan menggunakan varietas benih yang berbeda akan menghasilkan output produksi yang juga berbeda. Perbedaan kualitas bawang merah yang dihasilkan dengan menggunakan benih lokal maupun impor akan berdampak pada harga jual dari output yang dihasilkan. Jumlah output dan harga output yang dihasilkan akan mempengaruhi penerimaan usahatani. Biaya dan penerimaan usahatani merupakan faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani.

Pendapatan rata-rata dari petani bawang merah dengan menggunakan benih lokal dan benih impor dihitung untuk mengetahui secara umum keuntungan yang terbesar antara penggunaan kedua benih tersebut. Pendapatan diperoleh dengan cara mengurangkan penerimaan dengan biaya produksi yang dikeluarkan selama satu musim tanam usahatani bawang merah. Musim tanam yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada musim kemarau kedua (MK2) karena benih bawang merah impor hanya cocok ditanam pada musim kemarau dan pada umumnya petani menanam bawang merah dari benih impor pada MK2 yaitu pada kisaran bulan Juni-September.

Biaya Usahatani Bawang Merah dengan Menggunakan Benih Lokal dan Impor

Perbedaan struktur biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani bawang merah dibedakan atas penggunaan input produksi, yaitu benih bawang merah varietas lokal dan impor. Biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai (biaya diperhitungkan). Biaya tunai

Dokumen terkait