• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Analisis Ekonomi Basis

5.1.1. Analisis Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur

Penggunaan analisis Location Quotient merupakan suatu ukuran untuk menentukan sektor basis atau non basis dalam suatu wilayah dengan membandingkan sektor perekonomian di tingkat bawah dengan perekonomian di tingkat atasnya. Penentuan sektor basis sangat penting bagi pemerintah karena dapat digunakan sebagai barometer untuk menentukan sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan daerah untuk periode selanjutnya.

Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah yaitu PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu), hal ini berarti bahwa sektor-setor tersebut memiliki peranan yang besar dalam kegiatan ekspor daerah dan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan perekonomian di Jawa Timur.

Jika dilihat dari kontribusi terhadap pembentukan PDRB maka sektor industri pengolahan memberikan kontribusi yang terbesar, besarnya sektor tersebut berasal dari subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau yang lebih di dominasi oleh industri rokok. Kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak

(BBM) pada tahun 2004 dan 2005 berpengaruh besar terhadap sektor industri dan pengolahan. Kenaikan harga BBM akan menaikan biaya operasional angkutan dan produksi pada sektor industri sehingga harga jual produksi menjadi mahal. Daya beli masyarakat yang kembali turun dengan kenaikan harga BBM akan mengurangi pola permintaan terhadap hasil-hasil sektor industri dan pengolahan maupun terhadap sektor produksi lainnya. Perubahan sektor industri dan pengolahan menjadi sektor non basis juga mengidikasikan bahwa sektor pengolahan ini tidak mampu bersaing di pasar global, sehingga menimbulkan adanya impor sektor pengolahan dari wilayah lain. Begitu juga dengan sektor pengankutan dan konumikasi pada tahun yang sama juga tidak lagi menjadi sektor basis perekonomian Jawa Timur. Hal ini diduga karena alasan yang sama dengan sektor pengolahan.

Sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sektor yang mampu bertahan menjadi sektor basis di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan nilai kontribusi yang besar dalam perekonomian Jawa Timur.

Sektor pertanian sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap sektor lain atau perekonomian secara keseluruhan. Sektor pertanian merupakan input dari sektor industri dan pengolahan. Walaupun dilihat dari perkembangannya tehadap PDRB Jawa Timur terus menurun namun sektor pertanian masih merupakan sektor basis perekonomian Jawa Timur. Jika dilihat dari nilai LQ maka sektor pertanian cenderung menurun dari tahun 2001-2004, hal ini diduga

karena adanya pergeseran dari sektor primer ke sektor industri, diduga alasan lain karena adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah perumahan karena kenaikan jumlah penduduk dan tingginya permintaan akan rumah. Nilai LQ sektor petanian meningkat tahun 2005 sebesar 1.2030, hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian semakin membaik.

Dilihat dari besarnya nilai LQ hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang selalu meningkat LQ setiap tahunnya, sedangkan sektor basis lain cenderung berfluktuatif. Hal ini berarti bahwa sektor perdagangan hotel dan restoran dapat dikembangkan menjadi sektor andalan ekspor di Jawa timur. Pada tahun 2001 nilai LQ sektor ini sebesar 1.5687 dan nilai ini terus meningkat sampai tahun 2005 sebesar 1.7321.

Nilai LQ yang tertinggi adalah dari sektor Listrik, gas dan air bersih, nilai LQ sektor ini mencapai angka dua selama periode 2001-2005 dan merupakan sektor yang memiliki nilai LQ tertinggi dibanding sektor basis lainnya. Hal ini berarti bahwa sektor ini mampu menjadi andalan ekspor Jawa Timur walaupun peranannya terhadap PDRB Jawa Timur kecil. Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan ekonomi dan sebagai sarana infrastruktur yang dapat mendorong aktivitas seluruh sektor terutama industri dan pengolahan. Hampir seluruh kegiatan disektor ini dimonopoli oleh pemerintah sehingga sektor ini terus dapat berkembang dan bisa bebas dari persaingan tarif harga.

Sektor pertambangan dan galian, sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa tidak termasuk sektor basis. Hal ini dapat dilihat dari nilai LQ sektor ini lebih kecil daripada satu. Sektor

bangunan memiliki nilai LQ yang terus menurun, diduga penyebabnya adalah makin banyaknya penambahan bangunan seperti pertokoan, perkantoran dikota-kota besar sehingga peranan kabupaten dan desa semakin menurun. Sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis diduga penyebabnya karena sektor basis ini hanya dihasilkan dari wilayah tertentu di Jawa Timur seperti Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Sumenep saja. Hasil penghitungan analisis sektor basis di Provinsi Jawa Timur periode 2001-2005 dapat dilihat dari tabel 5.1 sebagai berikut:

Tabel 5.1. Nilai LQ Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Harga Konstan 2000 periode 2001-2005

Tahun LAPANGAN USAHA

2001 2002 2003 2004 2005

Pertanian 1.2391 1.2302 1.2080 1.1989 1.2030

Pertambangan dan penggalian 0.1748 0.1790 0.1855 0.1963 0.2078 Industri dan Pengolahan 1.0873 1.0087 1.0003 0.9825 0.9815 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.0024 2.1952 2.4182 2.6178 2.6110

Bangunan 0.7011 0.6765 0.6495 0.6108 0.5875

Perdag, Hotel & Restoran 1.5687 1.6407 1.6792 1.7225 1.7321

Pengangkutan & Komunikasi 1.0551 1.1076 1.0444 0.9761 0.9058 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 0.5848 0.5705 0.5459 0.5332 0.5359

Jasa-jasa 0.9233 0.9313 0.9225 0.8987 0.8904

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan : dicetak tebal adalah sektor basis

Pada tingkat kabupaten/kota dapat dilihat adanya perbedaan sektor basis yang dimiliki dibandingkan dengan tingkat provinsinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Jumlah sektor basis berbeda di setiap kabupaten dan kota menunjukkan bahwa sektor perekonomian yang menjadi basis disuatu wilayah belum tentu menjadi basis juga di wilayah lain. Kondisi tersebut dapat terlihat pada Tabel 5.2 di bawah ini :

Tabel 5.2. Sektor Basis Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur dengan Indikator Pendapatan Tahun 2001-2005

Sektor Basis Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 Pacitan 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 Ponorogo 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 Trenggalek 1,2,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 Tulung Agung 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 Blitar 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 Kediri 1,2,9 1,2,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,9 Malang 1,2,4,9 1,2,4,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 Lumajang 1,2,5,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 Jember 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 Banyuwangi 1,2,7,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 Bondowoso 1,8,9 1,8,9 1,8,9 1,8,9 1,8,9 Situbondo 1,6,7 1,2,6,9 1,2,6,9 1,2,6,9 1,2,6,9 Probolinggo 1,2,4,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 Pasuruan 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9 Sidoarjo 2,3,4,7 2,3,4,7 3,7 3,7 3,7 Mojokerto 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 Jombang 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9 Nganjuk 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9 Madiun 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 Magetan 1,5,9 1,5,9 1,5,9 1,5,9 1,5,9 Ngawi 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 Bojonegoro 1,8,9 1,8,9 1,8,9 1,2,8,9 1,2,5,8,9 Tuban 1,2,4,5 1,2,4,5 1,2,4,5 1,2,4,5 1,2,4,5 Lamongan 1,4,9 1,4,9 1,9 1,9 1,9 Gresik 2,3,4,5 3,4,5 3,4,5 3,4,5 3,4,5 Bangkalan 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9 Sampang 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 Pamekasan 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 Sumenep 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 Kediri 3 3 3 3 3 Blitar 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Malang 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 Probolinggo 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 Pasuruan 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Mojokerto 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Madiun 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Surabaya 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 Batu 1,4,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan :

1. Sektor Pertanian

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 3. Sektor Industri dan Pengolahan 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan

6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Pengangkutan dan komunikasi

8. Sektor Keuangan, Keuangan dan Jasa Perusahaan

Pada tingkat kabupaten dan kota sektor jasa merupakan salah satu sektor basis yang mendominasi di setiap wilayah, hal ini berarti sektor jasa dapat menjadi andalan bagi ekspor di tingkat kabupaten dan kota. Namun di tingkat provinsi sektor ini belum mampu bersaing di pasar global, karena tidak mampu menjadi sektor basis perekonomian.

Sektor pertanian merupakan sektor basis yang dimiliki oleh 27 kabupaten dan satu kota di Provinsi Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa struktur perekonomian di kota telah berubah dari sektor primer menjadi sekunder. Kondisi ini disebababkan karena adanya tingginya permintaan lahan terhadap sektor bangunan, sektor perdagangan dan sektor industri. Pergeseran fungsi lahan ini yang diduga sebagai penyebab sektor pertanian tidak mampu menjadi sektor basis di kota-kota yang ada di Provinsi Jawa Timur.

Sektor basis industri dan pengolahan hanya di miliki oleh empat kabupaten dan tiga kota di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang dan Kota Surabaya. Pada tingkat provinsi sektor ini mampu menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur dari Tahun 2001-2003. Sektor keuangan tidak mampu menjadi sektor basis di tingkat provinsi namun sektor ini mampu berkembang di 18 wilayah di provinsi Jawa Timur.

Kota kediri hanya memiliki satu sektor basis perekonomian yaitu sektor industri dan pengolahan, namun pendapatan perkapita di Kota Kediri lebih tinggi di bandingkan Kota besar lain di Provinsi Jawa Timur seperti surabaya, Kota Malang, kabupaten Sidoarjo dan lainnya. Hal ini diduga karena sektor industri dan

pengolahan rokok berpengaruh besar terhadap perekonomian Kota Kediri. Kabupaten dan kota yang meniliki sektor basis perekonomian terbanyak adalah Kabupaten Pacitan, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto dan Kota Surabaya, yang masing memiliki enam sektor basis perekonomian perbedaannya masing-masing kota tidak memiliki sektor basis pertanian sedangkan Kabupaten Pacitan memiliki sektor basis pertanian. Pada beberapa kabupaten dan kota sektor basis mengalami perubahan, jumlah sektor basis ada yang bertambah namun ada pula yang berkurang. Hal ini di duga karena adanya perubahan kondisi perekonomian di Provinsi Jawa timur.

5.1.2.Efek Pengganda Basis (Base Multiplier)

Konsep ekonomi basis wilayah menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah terjadi karena adanya pengganda basis dari pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh dari penjualan keluar atau jasa yang dihasilkan dari wilayah tersebut. Peningkatan pendapatan suatu sektor basis dapat memberikan efek peningkatan terhadap sektor lainnya (sektor bukan basis) yang ditunjukkan oleh nilai koefisien yang dihasilkan. Komoditi basis merupakan suatu komoditi yang mampu dipasarkan keluar wilayah karena komoditi tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan dalam wilayahnya. Hasil dari penjualan atau ekspor komoditi ini akan memberikan arus pendapatan ke wilayah tersebut. Koefisien pengganda basis merupakan perbandingan antara pendapatan total dengan pendapatan sektor basis.

Pada tabel 5.3. nilai koefisien pengganda basis berfluktuasi selama periode 2001-2005. Nilai koefisien pengganda basis tahun 2001 sebesar 1.2427, hal ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 124,270 dan pendapatan sektor bukan basis sebesar Rp 22,380. Nilai koefisien mengalami kecenderungan yang terus naik dari tahun 2002-2005.

Pada tahun 2004 juga terjadi perubahan pada sektor yang menjadi sektor basis di Jawa Timur yang menjadi tiga sektor basis. Penurunan jumlah sektor basis memberikan pengaruh yang nyata pada besarnya nilai efek penggandanya. Hal ini juga mengindikasikan sumbangan yang dihasilkan dari sektor basis lebih kecil daripada sektor non basisnya.

Pada tahun 2004-2005 nilai pengganda basis meningkat. Pada tahun 2004 sebesar 2.0918 dan pada tahun 2005 sebesar 2.0729 yang artinya jika terjadi kenaikan pada sektor basis sebesar Rp 100,000 maka pendaptan total akan meningkat sebesar Rp 207,290 dan Rp 107,290 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai efek pengganda dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 5.3. Nilai Pengganda Basis Sektor Basis Tahun 2001-2005

BASE MULTIPLIER

TAHUN Y total Y basis K (multiplier)

2001 210,448,570.19 169,343,848.52 1.2427 2002 218,452,389.09 176,067,362.07 1.2407 2003 228,884,458.54 185,375,243.68 1.2347 2004 242,228,892.17 115,799,076.99 2.0918 2005 256,374,726.78 123,677,261.61 2.0729

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

Jika dilihat dari efek pengganda per sektor, maka sektor listrik memberikan sektor pengganda terbesar, walapun nilanya terus menurun. Pada tahun 2005 nilai pengganda basis sektor ini adalah 79.4115 artinya jika terjadi peningkatan

pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 7,901,150 dan Rp 7,801,150 sektor non basis.

Sektor pertanian memiliki efek pengganda yang cenderung meningkat dan stabil selama tahun 2001-2005. pada tahun 2005 nilai pengganda basis sebesar 5.7375 yang artinya jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 573,750 sektor basis dan Rp 473.750 sektor non basis.

Sektor pengolahan juga memperlihatkan nilai pengganda basis yang semakin meningkat dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2005 nilai pengganda basis 3.6295 yang artinya bahwa jka terjadi peningkatan sektor basis sebesar Rp100,000 maka pendapatan total sebesar Rp 362,950 dan Rp 262,950 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai pengganda basis persektor dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 5.4. Nilai Pengganda Basis Masing-masing Sektor Basis Tahun 2001-2005

BASE MULTIPLIER PER SEKTOR BASIS TAHUN

Pertanian Pengolahan Listrik Perdagangan Pengangkutan

2001 5.1919 3.4025 79.4115 3.9354 19.4248

2002 5.2824 3.5580 69.4817 3.7711 178396

2003 5.4310 3.5688 63.0198 3.6614 17.6697

2004 5.5901 3.5874 58.0659 3.5467 17.5141

2005 5.7353 3.6295 57.8783 3.4391 17.6544

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

5.2 Ketimpangan Pendapatan Daerah

Untuk melihat kecenderungan awal terjadinya ketimpangan pendapatan terlebih dahulu menggunakan metode yang sederana yaitu menghitung indeks pendapatan dari setiap kabupaten/kota yang ada di propinsi Jawa Timur dengan

PDRB 100 persen dan jumlah penduduk juga 100 persen berarti memiliki indeks pendapatan sama dengan 1 (satu).

Untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki nilai yang bervariasi. Besarnya nilai indeks tergantung dari besarnya PDRB yang dimiliki serta besarnya jumlah penduduk di wilyah tersebut. Dengan membandingan variance dari indeks pendapatan masing-masing kabupaten/kota dalam periode waktu lima tahun diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan awal ketimpangan pendapatan.

Dari hasil perhitungan indeks pendapatan yang telah dilakukan, diketahui ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur mengalami kecenderungan meningkat karena perkembangan angka indeks setiap tahun bergerak menjauhi angka 1 (satu), hal ini berarti bahwa pembagian pendapatan wilayah semakin timpang. Hanya ada enam kota yang memiliki nilai indeks lebih dari satu dan mengalami peningkatan dari tahun 2001 ke tahun 2005 yaitu Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, dan Kota Surabaya. Nilai indeks tertinggi periode 2001-2005 adalah Kota Surabaya dan wilayah yang memiliki nilai indeks terendah di tahun 2005 dan cenderung mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode 2001-2005 adalah Kabupaten Pamekasan, selama periode 2001-2005 nilai indeksnya bergerak pelahan tapi menjauhi angka 1 (satu), tahun 2001 nilai indeks Kabupaten Pamekasan sebesar 0.3638 dan pada tahun 2005 menjadi 0.3475. Hasil perhitungan dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 5.5. Indeks Pendapatan Kabupaten dan Kota Tahun 2001-2005 Tahun No Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 1 Pacitan 0.3788 0.3731 0.3692 0.3653 0.3617 2 Ponorogo 0.4828 0.4846 0.4868 0.4859 0.4834 3 Trenggalek 0.4315 0.4293 0.4267 0.4233 0.4209 4 Tulung Agung 0.9724 0.9838 0.9916 0.9942 0.9969 5 Blitar 0.6438 0.6434 0.6487 0.6469 0.6490 6 Kediri 0.5812 0.5715 0.5608 0.5456 0.5311 7 Malang 0.7608 0.7567 0.7589 0.7615 0.7602 8 Lumajang 0.7141 0.7148 0.7141 0.7201 0.7174 9 Jember 0.5951 0.5976 0.5982 0.5986 0.6018 10 Banyuwangi 0.8455 0.8527 0.8562 0.8512 0.8476 11 Bondowoso 0.4070 0.4052 0.4052 0.4064 0.4060 12 Situbondo 0.7130 0.7106 0.7114 0.7082 0.7069 13 Probolinggo 0.8174 0.8201 0.8185 0.8140 0.8090 14 Pasuruan 0.5810 0.5783 0.5758 0.5728 0.5713 15 Sidoarjo 2.0562 2.0180 1.9825 1.9428 1.9202 16 Mojokerto 0.7760 0.7703 0.7637 0.7563 0.7508 17 Jombang 0.6523 0.6535 0.6582 0.6583 0.6583 18 Nganjuk 0.5743 0.5757 0.5788 0.5788 0.5816 19 Madiun 0.5407 0.5428 0.5405 0.5355 0.5359 20 Magetan 0.6611 0.6625 0.6643 0.6661 0.6683 21 Ngawi 0.4736 0.4690 0.4661 0.4651 0.4611 22 Bojonegoro 0.6086 0.6071 0.6072 0.6096 0.6251 23 Tuban 0.7584 0.7509 0.7470 0.7373 0.7317 24 Lamongan 0.5148 0.5136 0.5127 0.5088 0.5094 25 Gresik 1.7793 1.7797 1.7711 1.7699 1.7874 26 Bangkalan 0.5046 0.4999 0.4975 0.4893 0.4827 27 Sampang 0.4313 0.4237 0.4176 0.4075 0.3961 28 Pamekasan 0.3686 0.3635 0.3608 0.3539 0.3475 29 Sumenep 0.7238 0.7232 0.7189 0.7057 0.6855 30 Kediri 2.9872 3.0826 3.1638 3.2736 3.2970 31 Blitar 0.7982 0.7540 0.7684 0.7794 0.7854 32 Malang 2.1125 2.1048 2.1096 2.1347 2.1250 33 Probolinggo 1.1864 1.1912 1.1856 1.1851 1.1890 34 Pasuruan 0.7749 0.7737 0.7733 0.7721 0.7684 35 Mojokerto 1.3033 1.3211 1.3396 1.3380 1.3283 36 Madiun 0.8399 0.8457 0.8552 0.8593 0.8650 37 Surabaya 3.5366 3.5498 3.5629 3.6034 3.6364 38 Batu 0.8652 0.8573 0.8518 0.8501 Jawa Timur 1 1 1 1 1 Variance terhadap 1 0.5078 0.5064 0.5164 0.5366 0.5447

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

Trend ketimpangan juga menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat, trend ketimpangan Jawa Timur dilakukan dengan mengukur

daerah tersebar diantara 1 (karena satu adalah nilai indeks untuk propinsi dan berarti merata sempurna). Jika variance terhadap 1 (satu) semakin besar maka semakin timpang hal ini berarti ketimpangan pendapatan antar wilayah di Propinsi Jawa Timur meningkat.

Pada tahun 2001 nilai variance terhadap 1 adalah 0.5078 dan terus meningkat secara pasti sampai pada tahun 2005 nilai variance terhadap 1 sebesar 0.5447. peningkatan nilai trend ketimpangan di Jawa Timur terlihat pada gambar sebgai berikut :

Kecenderungan lain untuk mengamati tingkat ketimpangan pendapatan dengan cara melihat range indeks pendapatan dari yang tertinggi dan terendah. Diketahui bahwa nilai indeks tertinggi pada tahun 2001 adalah Kota Surabaya sebesar 3.5366 yang merupakan 9.3363 kali lipat dari nilai indeks yang terendah yaitu Kabupaten Pacitan sebesar 0.3788. Kemudian pada pada tahun 2005 nilai indeks yang tertinngi tetap Kota Surabaya sebesar 3.6364 dan terendah adalah Kabupaten Pamekasan sebesar 0.3475, nilai indeks tertinngi tahun 2005 menjadi

Gambar 5.1 Grafik Trend Koefisien Variance Terhadap 1

0.50780.5064 0.5164 0.5366 0.5447 0.5 0.51 0.52 0.53 0.54 0.55 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 tahun var ia n c e t e rh ad a p 1 Series1

10.4646 kali lipat dari nilai terendahnya. Kondisi range yang semakin melebar ini berarti bahwa ketimpangan semakin meningkat.

5.2.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penghitungan ketimpangan pendapatan daerah dalam penelitian ini menggunakan rumus atau formula yang diperkenalkan oleh Williamson (1965) yang disebut CV Williamson (CVw). Semakin besar nilainya maka tingkat ketimpangan pendapatan daerah semakin besar dan sebaliknya jika nilainya semakin kecil atau mendekati nol maka tingkat ketimpangan rendah (merata).

Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh bahwa perhitungan nilai indeks ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dalam kurun waktu 2001-2005 terus meningkat ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Timur kurang baik artinya cenderung bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah juga meningkat.

Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan maksimal karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), dari hasil perhitungan tersebut juga mengindikasikan bahwa upaya pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan pendapatan belum optimal. Tingkat ketimpangan Jawa Timur berflutuatif, tingkat ketimpangan tahun 2001 sebesar 1.1150 kondisi ini mulai menurun tahun 2002 menjadi 1.1008 nanum meningkat kembali tahun 2003-2004.

Pada Tabel 5.6. ditunjukkan bahwa pendapatan perkapita Provinsi Jawa Timur selama periode 2001-2005 mengalami pertumbuhan yang semakin membaik ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan perkapita rata-rata propinsi Jawa Timur yang terus meningkat. Pada tahun 2001 pendapatan perkapita Jawa Timur sebesar Rp. 6.2809 juta per orang angka ini terus meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2005 mencapai Rp. 6.9292 juta per orang. Namun peningkatan pendapatan perkapita tidak dapat menjadi tolak ukur bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah di Jawa Timur menurun, karena ternyata ini berlawanan dengan hasil perhitungan nilai ketimpangannya. Hasil penghitungan analisis ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur periode 2001-2005 dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 5.6. Indeks Ketimpangan pendapatan dan Pendapatan Perkapita Rata-rata di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005

No Tahun Indeks Ketimpangan

Pendapatan Pendaptan Perkapita (juta rupiah) 1 2001 1.1150 6.2809 2 2002 1.1008 6.3023 3 2003 1.1015 6.5176 4 2004 1.1104 6.7825 5 2005 1.0915 6.9292

Sumber: BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

5.2.2. Peranan Sektor Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Jawa Timur

Dalam menganalisis peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah di Provinsi Jawa Timur dilakukan dengan cara menghitung selisih antara indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor basis dengan indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor basis. Besarnya nilai selisih menunjukkan peranan sektor basis tersebut dalam mengurangi

ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Timur. Masisng-masing sektor basis memilki peranan yang berbeda terhadap tingkat ketimpanngan pendapatan di Jawa Timur. Perhitungan besar peranan masing-masing sektor basis dapat dilihat pada penjelasan berikut.

5.2.2.1. Peranan Sektor Basis Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur

Dari hasil perhitungan bahwa sektor basis pertanian memberikan kontribusi yang besar dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan mengeluarkan PDRB sektor basis pertanian lebih tinggi dibandingkan nilai indeks dengan memasukkan PDRB sektor basis pertanian. Hal ini juga mengindikasikan bahwa perkembangan sektor basis pertanian mampu menekan tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah. Hasil perhitungan indeks ketimpangan pendapatan Propinsi Jawa timur dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.7. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Basis Pertanian Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005

Tahun Indeks Ketimpangan Pendapatan

Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Basis

Pertanian Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 2001 1.1150 1.3850 19.49 2002 1.1008 1.3711 19.71 2003 1.1015 1.3668 19.41 2004 1.1104 1.3709 19.00 2005 1.0915 1.3497 19.13

Sumber: BPS Jawa Timur 2005 (diolah)

Indeks ketimpangan Jawa Timur tanpa sektor pertanian pada tahun 2001 sebesar 1.3850 sedangkan 1.1150 dengan memasukkan sektor basis pertanian, ini berarti bahwa sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 19.49 persen terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan.

Pada Tabel 5.7. dapat dilihat apabila kontribusi sektor pertanian dalam penurunan ketimpangan naik maka nilai indeks ketimpangan menurun artinya tingkat ketimpangan juga menurun. Sektor basis pertanian merupakan sektor basis yang paling besar memberikan kontribusi dalam mengurangi tingkat ketimpangan dibandingkan sektor basis lainnya.

5.2.2.2. Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur

Jika dilihat dari sisi peranannya sektor industri pengolahan memiliki peranan terbesar terhadap PDRB Jawa Timur. Terutama sektor makanan, minuman dan tembakau. Sektor ini juga mampu menjadi sektor basis di Jawa Timur hingga tahun 2003. Namun jika dilihat dari peranannya terhadap ketimpangan pendapatan sektor ini memberikan peran yang negatif artinya nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor pengolahan nilainya lebih rendah. Hal ini berarti sektor pengolahan menyebabkan peningkatan terhadap ketimpangan.

Pada tahun 2001 nilai indeks ketimpangan tanpa sektor pengolahan sebesar 0.7129 sedangkan dengan sektor pengolahan sebesar 1.1150 hal ini berarti sektor pengolahan telah memberikan kontribusi terhadap tingkat kenaikan ketimpangan sebesar 56.40 persen. Kondisi ini terjadi diduga karena sektor pengolahan ini hanya terpusat beberapa wilayah saja seperti Kota Kediri, Kota Surabaya yang selama ini merupakan kota pusat pertumbuhan.

Sektor ini memberikan kontribusi yang besar terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dan bukan tingkat pemerataan pendapatan. Dari tahun 2003-2005 sektor ini menunjukkan kondisi yang semakin membaik dalam ketimpangan

pendapatan hal ini dikarenakan sektor ini semakin memberikan dampak yang semakin kecil terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan dan tanpa sektor basis pengolahan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5.8. Indeks Ketimpangan Dengan dan Tanpa Sektor Industri dan Pengolahan Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005

Tahun Indeks Ketimpangan Pendapatan

Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Basis Pengolahan

Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 2001 1.1150 0.7129 -56.40 2002 1.1008 0.7264 -39.50 2003 1.1015 0.7362 -49.61 2004 1.1104 0.7561 -46.85 2005 1.0915 0.7696 -41.82

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

5.2.2.3. Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur

Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang mampu menjadi sektor basis selama periode 2001-2005, artinya sektor ini mampu bertahan dalam guncangan perekonomian. Walupun sektor ini merupakan sektor yang memberikan kontribusi terendah terhadap PDRB Jawa Timur. Perkembangan sektor ini juga mempengaruhi sektor lain terutama sektor industri.

Dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan sektor ini hanya mampu memberi kontribusi yang sangat kecil. Dilihat dari perkembangannya kontribusi sektor listrik, gas dan air bersih dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan terus menurun. Tahun 2001 sektor ini masih

Dokumen terkait