• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan adalah suatu perubahan yang positif, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan beserta hasil-hasilnya. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung dalam rangka mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil-hasil dari pembangunan ini akan tercermin dari pendapatan daerah dan tingkat kesejahteraan penduduknya (Tarigan, 2005).Pembangunan merupakan tujuan setiap bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan dilakukan menyeluruh pada semua bidang ter masuk juga bidang ekonomi, pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan perkapita. Todaro (2004), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) wilayah tersebut. Pembangunan daerah adalah bagian integrasi

dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengarahan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berguna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata. Dumairy (2000), pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, namun terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak selalu dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), pembangunan ekonomi adalah usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan daerah dan pendapatan riil perkapita. Jadi tujuan pembangunan ekonomi selain meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan daerah adalah besarnya kontribusi semua sektor perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut. Hal itu dapat dilihat melalui pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan.

2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang berperan dalam membuat perencanaan kebijaksanaan dalam pembangunan, menentukan arah pembangunan serta mengevaluasi

hasil pembangunan wilayah tersebut. PDRB dapat dijadikan sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi sektoral agar dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang menyebabkan perubahan pada pertumbuan ekonomi.

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto dapat didefinisikan menurut tiga sudut pandang yang berbeda namun mempunyai pengertian sama yaitu :

1. Menurut pendekatan produksi, adalah menghitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu region/wilayah dengan cara mengurangkan biaya antara dari masing-masing total produksi bruto tiap-tiap kegiatan, sub sektor atau sektor dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Unit-unit produksi tersebut penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 kelompok lapangan usaha, yaitu: (1)Pertanian, (2)Pertambangan dan Penggalian, (3)Industri dan Pengolahan, (4)Listrik, Gas dan Air Bersih, (5)Bangunan, (6)Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7)Pengangkutan dan Komunikasi, (8)Keuangan, Perseewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9)Jasa-jasa.

2 Menurut pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu region/wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan semua belum dipotong pajak. Dalam definisi ini PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak langsung netto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu Produk

Domestik Regional Bruto merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).

3. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun.

Dari ketiga pendekatan tersebut, secara konsep seyogyanya jumlah pengeluaran tadi harus sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan yang untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena mencakup komponen pajak tidak langsung. Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh jenis dan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, letak geografis, serta kemajuan penggunaan teknologi. PDRB dari suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.3 Ketimpangan

Ketimpangan pembangunan terjadi karena ada tiga faktor yaitu faktor alami, faktor kondisi sosial dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor

alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan pusat aktivitas ekonomi, lokasi geografis, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi nilai tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan wirausaha. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak terjadinya ketimpangan (Nugroho, 2004).

Menurut Wie (1981), negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya :

1. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya di ukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati Koefisien gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. 2. Ketimpangan antar masyarakat pedesaan dengan masyarakat kota,

ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan perolehan pendapatan antar masyarakat desa dengan masyarakat kota (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator pertama perbandingan antara tingkat pendapatan didaerah perkotaan dan pedesaan. Kedua, disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan.

3. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah (region income dispareties). Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Indonesia.

Menurut Todaro (2004), menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan perkapita dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk negara maju dan sedang berkembang. Dan menggambarkan ketimpangan pendapatan negara-negara tersebut dalam tiga kelompok dimana pengelompokan ini disesuaikan dengan tinggi, sedang, dan rendahnya tingkat pendapatan yang diukur menurut koefisien gini dan tingkat PDRB.

Setiap wilayah memiliki kemampuan yang berbeda dalam perkembangan pembangunannya, sehingga meninbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Ukuran lain untuk menghitung tingkat ketimpangan adalah teori Kuznet (1966), percaya tingkat pendapatan di negara sedang berkembang mengikuti kurva U yang terbalik, sebagaimana terlihat pada gambar kurva berikut ini :

Sumber : Pembangunan Ekonomi, 2004

Kurva ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan meningkat pada awal pembangunan terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, tetapi pada tahap selanjutnya ketidakmeratan akan menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada awal pembangunan cenderung terpusat pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena sektor karena kesenjangan antara sektor modern dan tradisional meningkat. Perkembangan tersebut karena perkembangan sektor modern lebih cepat daripada sektor tradisional. Koefisien Gini digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Todaro (2004), memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara 0.50 sampai 0.70, sedangkan untuk negara-negara yang ketimpangannya rendah atau merata koefisien Gininya terletak antara 0.20 sampai 0.35. Analisis menggunakan formula sebagai berikut :

+ − + + − =1 (Xi 1 Xi)(Yi Yi 1) G

+ + − =1 fi(Yi Yi 1) G 0 < G < 1 dimana : G = Koefisien Gini

Gambar 2.1. Kurva “U” terbalik

Tingkat Pendapatan Perkapita

fi = Proporsi rumah tangga kelas-i

X = Proporsi jumlah kuantitatif rumah tangga dalam kelas i Y = proporsi jumlah kuantitatif pendapatan kelas i

Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu: 1. Rumah tangga termiskin 20 persen

2. Rumah tangga kedua 20 persen 3. Rumah tangga ketiga 20 persen 4. Rumah tangga keempat 20 persen 5. Rumah tangga terkaya 20 persen

Ketidakmerataan sempurna terjadi apabila terdapat seseorang yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang lain sama sekali tidak menerima pendapatan. Namun selama ini belum pernah ditemukan kasus bahwa suatu negara mengalami kemerataan sempurna.

Williamson dalam Abel (2006), menyatakan bahwa ketidakmerataan antar regional berhubungan dengan proses pembangunan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya secara empiris terhadap sifat-sifat ketidakmerataan secara spasial di dalam suatu batas wilayah secara nasional. Wajar jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dengan daerah miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua wilayah tumbuh dengan presentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi unit-unit regional dengan negara makin kuat dibandingkan antar daerah-daerah itu sendiri. Metode yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan yakni dengan mengukur ketimpangan pendapatan daerah dalam suatu nilai

ketimpangan yang disebut dengan koefisien regional income inequality dengan simbol “CVw” (Hendra dalam Matola 1985). Pengukuran ini dilakukan dalam analisisnya tentang ketimpangan pendapatan daerah di Indonesia dengan menggunakan data dasar pendapatan yang diukur dari PDRB dan jumlah penduduk setiap daerah, sehingga dapat menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah.

Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi indeks CVw yang dihasilkan dari suatu perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan data yang digunakan. Metode yang digunakan untuk menghitung CVw adalah sebagai berikut :

CVw = Y n f Y Y i i ) . ( 2

− dimana :

CVw = indeks ketimpangan daerah fi = jumlah penduduk di daerah i n = penduduk total

i

Y = PDRB perkapita

Y = PDRB perkapita untuk Provinsi

Ada sejumlah teori yang menerangkan kenapa ada perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum digunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi, dan teori daya tarik industri (Tambunan, 2001):

1. Teori Basis Ekonomi

Teori ini menjelaskan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan

jasa dari luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumberdaya produksi lokal termasuk tenaga kerja, bahan baku dan outputnya yang diekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan perkapita dan menetapkan lapangan kerja daerah tersebut.

2. Teori Lokasi

Teori ini sering digunakan untuk penetuan dan pengembangan kawasan industri disuatu daerah. Lokasi usaha ditentikan berdasarkan tujuan perusahaan, untuk mendekati bahan baku atau mendekati pasar. Inti dari pemikiran ini didasarkan pada sifat rasioal manusia yang cenderung mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan biaya produksinya.

3. Teori Daya Tarik Industri

Upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangankan ini adalah masalah membangun portopolio industri suatu daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain adalah produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing dimasa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek bagi permintaan domestik.

2.4Teori Ekonomi Basis

Teori ekonomi basis dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lain dan mengetahui hubungan antar

sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh besarnya nilai ekspor dari wilayah tersebut (Richardson dalam Ghalib. 2005) Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisa dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar ekspor.

Menurut Glasson (1997), mengemukakan bahwa perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan mengekspor barang-barang dan jasa-jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atau memasarkan barang dan jasa kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan masyarakat yang bersangkutan setelah barang-barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayahnya sendiri.

Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang di butuhkan oleh orang-orang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan ini tidak mengekspor barang-barang jadi, luas lingkup produksi dan daerah pasar mereka yang terutama adalah bersifat lokal.

Menurut Glasson (1997), meningkatnya arus jumlah aktivitas ekonomi basis di suatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut mereka akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang dan pelayanan

yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya, jika menurunnya aktivitas sektor basis di suatu wilayah maka akan menurunkan tingkat pendapatan dan permintaan terhadap sektor bukan basis. Karena itu sektor basis dapat dijadikan sebagai penggerak utama perubahan peningkatan di sektor non basis dan memiliki nilai multiplier atau pengganda basis terhadap pendapatan suatu wilayah. Kategori basis non basis dapat dilihat dengan dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung. Tapi para pakar ekonomi wilayah lebih memakai metode tidak langsung seperti :

1. Metode Arbiter, dilakukan dengan cara membagi secara langsung dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melalui penelitian secar a spesifik di tingkat lokal. Metode ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang yang sebagian diekspor atau dijual secara lokal ataupun kedua-duanya 2. Metode Location Quetiont (LQ) merupakan suatu alat analisis untuk

melihat peranan suatu sektor tertentu dalam suatu wilayah dengan peranan sektor tersebut dalam wilayah yang lebih luas.

3. Metode kebutuhan minimum, metode ini tergantung pada pemilihan presentase minimum dan tingkat disagregasi. Dengan disagregasi yang semakin terperinci maka berakibat semua sektor akan jadi sektor basis.

Berdasarkan ketiga metode tersebut Glasson (1997), menyarankan metode LQ dalam menentukan sektor basis. Teknik Location Quotient (LQ) adalah teknik yang lazim digunakan dalam studi empirik. Kelemahan dalam metode Location Quotient (LQ) adalah kegagalannya untuk menghitung

ketidakseragaman permintaan dan produktivitas nasional secara menyeluruh. Metode ini juga mengabaikan fakta bahwa sebagian produk nasional adalah untuk orang asing yang tinggal di wilayah tersebut.

Teori basis ini juga memiliki kebaikan-kebaikan yang membuat teori relevan digunakan. Kebaikan teori basis antara lain metode ini sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahan jangka pendek. Per mintaan masyarakat lebih banyak dari hasil produksi maka di impor dari tempat lain. Penyebab maju dan mundurnya sektor basis adalah sebagai berikut :

Kemajuan sektor basis disebabkan oleh :

1. Transportasi dan komunikasi yang terus berkembang. 2. Pendapatan dan penerimaan daerah yang terus meningkat. 3. Teknologi yang berkembang.

4. Prasarana ekonomi dan sosial yang memadai. Kemunduran sektor basis disebabkan oleh :

1. Permintaan yang berubah di luar daerah. 2. Cadangan sumber daya alam habis

Asumsi yang digunakan dalam menentukan sektor basis dan non-basis adalah: 1. Pergerakan utama pertumbuhan regional

2. Besarnya rasio tenaga kerja basis dan non-basis

3. Adanya keseragaman antara permintaan lokal dan nasional 4. Sistem permintaan yang tertutup

2.5 Penelitian Terdahulu

Rahman (2003), menganalisis peranan sektor basis pertanian di Kabupaten Kuningan. Penelitiannya menyimpulkan bahwa masing-masing kecamatan di Kabupaten Kuningan memiliki beberapa komoditi basis pertanian yang jumlahnya berbeda-beda, secara keseluruhan surplus pendapatan komoditi basis yang dihasilkan relatif besar sehingga dapat digunakan untuk membeli komoditi non-basis yang kurang untuk pendapatan masyarakat setempat. Efek pengganda yang dihasilkan dibeberapa kecamatan selama tahun 2001 berkisar antara 1,0186-1,8997. Hasil analisis Location Quotient (LQ) dan spesialisasi menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pertanian menyebar dan tidak terdapat spesialisasi kegiatan pertanian atau cenderung menghasilkan komoditi yang beragam. Sartono (2004), menggunakan metode Location Quotient (LQ) dengan indikator pendapatan sebagai alat analisis penelitian mengenai Analisis Peranan Sektor Basis Perekonomian Terhadap Pembangunan Wilayah Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa selama kurun waktu 1998-2002 Kabupaten Wonogiri memiliki enam sektor basis (pertanian, pertambangan, bangunan, pengangkutan, komunkasi, dan jasa-jasa) pada tahun 1998. Pada tahun 1999 tedapat dua sektor yaitu pertanian dan pengangkutan. Pada tahun 2000-2002 memilki empat sektor basis yaitu pertanian, pengangkutan, keuangan dan sektor jasa. Penelitian ini juga dilakukan di tingkat lokal, sektor pertanian masih menunjukkan keunggulan diantara sektor yang lain hampir di setiap wilayah kecamatan wonogiri.

Hendra (2004), dengan menggunakan metode indeks Williamson CVw

dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Lampung. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar di Provinsi Lampung. Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian semua kabupaten yang ada di Provinsi Lampung kecuali Kota Metro dan Kota Bandar Lampung. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa terjadi hubungan negatif antara presentase pertanian dengan laju pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa daerah yang didominasi oleh sektor pertanian cenderung mempunyai PDRB/kapita yang rendah dibandingkan dengan daerah yang didominasi oleh sektor non pertanian. Ketimpangan pendapatan daerah di Lampung mengalami penurunan selama periode analisis, walaupun penurunan tersebut tidak signifikan. Dari analisis korelasi, didapat hubungan positif antara indeks ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan masih terjadi trade off

antara pertumbuhan dengan pemerataan. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah. Peranan ini terlihat setelah dilakukan analisis, didapat bahwa ketimpangan semakin meningkat jika PDRB sektor pertanian dikeluarkan dari perhitungan. Dari uji korelasi juga didapat hubungan yang negatif yang kuat antar a pertanian dengan indeks ketimpangan, yang berarti peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Provinsi Lampung Tahun 1995-2001 Tahun Tanpa PDRB Sektor Pertanian Dengan PDRB Sektor Pertanian % Penurunan Ketimpangan Pendapatan Daerah 1995 0.8373 0.4404 47.4 1996 0.8380 0.4499 46.3 1997 0.8391 0.4846 42.2 1998 0.8369 0.4426 47.1 1999 0.7951 0.4207 47.1 2000 0.7793 0.4160 46.6 2001 0.7680 0.4068 47.0

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2001

Supriantoro (2005), melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapata daerah di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 1993-2003 dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah yang terbagi dalam sepuluh wilayah pembangunan tergolong dalam taraf ketimpangan antara 0,2768-0,3427 yang berarti masih berada di bawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah, kemudian untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam wilayah pembangunan yang terdiri dari 10 kabupaten/kota berada pada taraf ketimpangan rendah untuk wilayah pembangunan II, III, IV yaitu antara 0,1291-0,3414 dan wilayah pembanguan I, X berada pada taraf ketimpangan yaitu antara 0,6403-0,9438. sementara untuk wilayah pembangunan VII dari tahun 2000-2003 berada pada taraf ketimpangan sedang dan wilayah pembangunan VIII berada pada wilayah taraf sedang antara 0,3578-0,4426. Fitria (2006), menganalisis tentang kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa. Dari hasil analisanya diperoleh bahwa kesenjangan antara kabuaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis selama periode 1993-1998 memburuk. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota sebesar 0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924. tetapi setelah

krisis kesenjangan membaik, tahun 2004 tingkat kesenjangan 0,991. Tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi dengan menganggap pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan, maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi secara signifikan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis peranan sektor basis dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yang pertama menentukan sektor-sektor yang termasuk sektor ekonomi wilayah dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) kemudian membandingkan peran sektor basis tersebut dalam mengurangi ketimpangan dengan metode CVw.

2.6 Kerangka Pemikiran

Pembangunan daerah adalah bagian integrasi dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah. Pengarahan sumber daya nasional memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berguna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata. Permasalahan pembangunan daerah selama yang terjadi selama ini adalah timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam bentuk, aspek dan dimensi, secara umum hal ini dapat dilihat dari perbedaan tingkat kemajuan suatu daerah, perbedaan pendapatan (PDRB), tingkat pemerataan

jumlah penduduk miskin dan tingkat penganggurannya. Tingginya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin mendorong tingginya tingkat ketimpangan pendapatan perorangan. Konsep kebijakan perekonomian pada masa orde baru menghendaki terjadinya trickle down effect ternyata gagal, karena pada kenyataannya yang tercapai hanyalah pertumhan ekonomi saja yang tinggi namun tingkat pemerataan tidak terjadi. Pembangunan hanya terpusat pada sektor modern yang sebenarnya masih

Dokumen terkait