• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Timur"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH :

LINDA KRISTIYANTI H14103082

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

OLEH :

LINDA KRISTIYANTI H14103082

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur (di bawah bimbingan ALLA ASMARA).

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Semua negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup bagi rakyatnya, dengan cara mengindentifikasi potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki, kemudian menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Pada kenyataannya selama ini pembangunan bertujuan untuk mencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan peningkatan taraf hidup sebagian besar masyakatnya. Artinya tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat pemerataan distribusi hasil pembangunannya. Pertumbuhan terpusat yang diharapkan mampu memberikan trickle down effect

tidak optimal, hal ini yang menyebabkan permasalahan ketimpangan pendapatan antar daerah. Pengurasan sumberdaya alam dan mobilitas sumberdaya manusia terus terjadi mengalir dari wilayah pendukung (hinterland) ke pusat pertumbuhan ekonomi.

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Pulau Jawa memiliki luas wilayah 46.428,57 km2, terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, 640 kecamatan dan 8.464 desa yang mempunyai beragam potensi baik bersifat alami ataupun buatan yang berpeluang menjadi sektor basis daerah. Secara umum seluruh sektor perekonomian di Jawa Timur pada tahun 2005 mengalami peningkatan pertumbuhan. Akan tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, struktur perekonomian Jawa Timur ternyata masih sangat timpang, dimana distribusi pendapatan yang menyusun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur didominasi oleh daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kota Surabaya, Kota kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Gresik yang memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dari total PDRB Jawa Timur setiap tahunnya. Surabaya merupakan ibukota provinsi yang secara otomatis sebagai pusat pemerintahan serta pendidikan di Jawa Timur. Kota Kediri menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia. Lima kota ini mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Ketidakmerataan pertumbuhan ini menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan di Jawa Timur.

(4)

2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah.

Ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), besar nilai ketimpangan. Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen.

Ketiga analisis ini memberikan kesimpulan bahwa tidak semua sektor basis dapat mengurangi tingkat ketimpangan. Walaupun peranan sektor tersebut besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Hal ini diduga karena sektor-sektor tersebut tidak merata, hanya dinikmati oleh sebagian wilayah saja. Sektor pertanian yang memiliki peranan terbesar dalam mengurangi ketimpangan dan pembentukan PDRB Jawa Timur.

(5)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2007

(6)

di Wonogiri. Penulis adalah putri tunggal dari pasangan Saryoko dan Tukiyem. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak TK Pertiwi Jatirejo. Kemudian dilanjutkan pendidikan sekolah dasar SDN Mojopuro 1 diselesaikan pada tahun 1997 dan pendidikan sekolah lanjutan pertama SLTP Negeri 1 Jatiroto diselesaikan pada tahun 2000 selanjutnya sekolah lanjutan atas yang diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 3 Wonogiri.

(7)

hidayahnya, penyusunan skripsi yang berjudul ”Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan

Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan baik waktu persiapan, penelitian maupun penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. sebagai Dosen Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan sarannya untuk perbaikan skripsi.

3. Widyastutik, S.E, M.Si. sebagai Dosen Penguji Komosi Pendidikan atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Sahara, S.P, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta motivasi yang sangat berharga bagi penulis. 5. Ibu Reta dan Pustakawan BPS Jakarta atas segala informasi dan bantuannya

dalam kemudahan memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Kepada semua petugas TU Departemen IE, Fakultas, LSI, Perpus FEM atas bantuannya kepada penulis.

6. Ayah dan Bunda, serta keluarga besar penulis atas kesabaran, kasih sayang dan doa yang tiada henti untuk penulis.

7. Dudi Arida Purba, S.Pi. dan keluarga atas doa dan motivasi yang telah diberikan selama ini.

(8)

Bogor, September 2007

(9)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Linda Kristiyanti

Nomor Register Pokok : H 14103082 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen pembimbing

Alla Asmara, S.Pt, M.Si. NIP. 132 159 707

Mengetahui ,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872

(10)
(11)

OLEH :

LINDA KRISTIYANTI H14103082

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

OLEH :

LINDA KRISTIYANTI H14103082

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur (di bawah bimbingan ALLA ASMARA).

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Semua negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup bagi rakyatnya, dengan cara mengindentifikasi potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki, kemudian menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Pada kenyataannya selama ini pembangunan bertujuan untuk mencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan peningkatan taraf hidup sebagian besar masyakatnya. Artinya tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat pemerataan distribusi hasil pembangunannya. Pertumbuhan terpusat yang diharapkan mampu memberikan trickle down effect

tidak optimal, hal ini yang menyebabkan permasalahan ketimpangan pendapatan antar daerah. Pengurasan sumberdaya alam dan mobilitas sumberdaya manusia terus terjadi mengalir dari wilayah pendukung (hinterland) ke pusat pertumbuhan ekonomi.

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Pulau Jawa memiliki luas wilayah 46.428,57 km2, terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, 640 kecamatan dan 8.464 desa yang mempunyai beragam potensi baik bersifat alami ataupun buatan yang berpeluang menjadi sektor basis daerah. Secara umum seluruh sektor perekonomian di Jawa Timur pada tahun 2005 mengalami peningkatan pertumbuhan. Akan tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, struktur perekonomian Jawa Timur ternyata masih sangat timpang, dimana distribusi pendapatan yang menyusun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur didominasi oleh daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kota Surabaya, Kota kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Gresik yang memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dari total PDRB Jawa Timur setiap tahunnya. Surabaya merupakan ibukota provinsi yang secara otomatis sebagai pusat pemerintahan serta pendidikan di Jawa Timur. Kota Kediri menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia. Lima kota ini mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Ketidakmerataan pertumbuhan ini menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan di Jawa Timur.

(14)

2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah.

Ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), besar nilai ketimpangan. Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen.

Ketiga analisis ini memberikan kesimpulan bahwa tidak semua sektor basis dapat mengurangi tingkat ketimpangan. Walaupun peranan sektor tersebut besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Hal ini diduga karena sektor-sektor tersebut tidak merata, hanya dinikmati oleh sebagian wilayah saja. Sektor pertanian yang memiliki peranan terbesar dalam mengurangi ketimpangan dan pembentukan PDRB Jawa Timur.

(15)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2007

(16)

di Wonogiri. Penulis adalah putri tunggal dari pasangan Saryoko dan Tukiyem. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak TK Pertiwi Jatirejo. Kemudian dilanjutkan pendidikan sekolah dasar SDN Mojopuro 1 diselesaikan pada tahun 1997 dan pendidikan sekolah lanjutan pertama SLTP Negeri 1 Jatiroto diselesaikan pada tahun 2000 selanjutnya sekolah lanjutan atas yang diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 3 Wonogiri.

(17)

hidayahnya, penyusunan skripsi yang berjudul ”Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan

Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan baik waktu persiapan, penelitian maupun penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. sebagai Dosen Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan sarannya untuk perbaikan skripsi.

3. Widyastutik, S.E, M.Si. sebagai Dosen Penguji Komosi Pendidikan atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Sahara, S.P, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta motivasi yang sangat berharga bagi penulis. 5. Ibu Reta dan Pustakawan BPS Jakarta atas segala informasi dan bantuannya

dalam kemudahan memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Kepada semua petugas TU Departemen IE, Fakultas, LSI, Perpus FEM atas bantuannya kepada penulis.

6. Ayah dan Bunda, serta keluarga besar penulis atas kesabaran, kasih sayang dan doa yang tiada henti untuk penulis.

7. Dudi Arida Purba, S.Pi. dan keluarga atas doa dan motivasi yang telah diberikan selama ini.

(18)

Bogor, September 2007

(19)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Linda Kristiyanti

Nomor Register Pokok : H 14103082 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen pembimbing

Alla Asmara, S.Pt, M.Si. NIP. 132 159 707

Mengetahui ,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872

(20)
(21)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

5.2.2.1. Peranan Sektor Basis Pertanian Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ... 54

5.2.2.2. Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ... 55

5.2.2.3. Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ... 56

5.2.2.4. Peranan Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ... 57

5.2.2.5. Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ... 58

(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Jawa Timur 2001-2005

(dalam persen) ... 4 1.2. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi Besar

di Jawa dan Nasional Tahun 2001-2005 (dalam persen) ... 5 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapata Daerah Williamson di Provinsi

Lampung Tahun 1995-2001... 23 4.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk

Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur ... 35 4.2. Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur

atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2005 ... 39 5.1. Nilai LQ Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan Harga Konstan 2000 periode 2001-2005 ... 43 5.2. Sektor Basis Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur

dengan Indikator Pendapatan Tahun 2001-2005... 44 5.3. Nilai Pengganda Basis Sektor Basis tahun 2001-2005 ... 47 5.4. Nilai Pengganda Basis Masing-masing Sektor Basis

Tahun 2001-2005 ... 49 5.5. Indeks Pendapatan... 50 5.6. Indeks Ketimpangan Pendapatan dan Pendapatan Perkapita

Rata-rata di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 ... 53 5.7. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Basis

Pertanian Provinsi Jawa Timur 2001-2005 ... 54 5.8. Indeks Ketimpangan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor

Industri dan Pengolahan Propinsi Jawa Timur 2001-2005 ... 56 5.9. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan

Tanpa Sektor Listrik, Gas&Air Bersih Provinsi Jawa Timur

2001-2005 ... 57 5.10. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan

Tanpa Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Provinsi

(23)

5.11. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi

(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Contoh Perhitungan Nilai LQ Provinsi Jawa Timur Tahun 2001

Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ... 66 2. Contoh Perhitungan Nilai Pengganda Basis Provinsi Jawa Timur

Tahun 2001 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ... 66 3. Contoh Perhitungan Nilai Pengganda Basis Sektor Pertanian Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ... 66 4. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan dan Variance

Terhadap 1 Tahun 2001 ... 67 5. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa

Timur Tahun 2001 ... 68 6. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa

Timur Tanpa Sektor Basis Pertanian Tahun 2001 ... 69 7. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa

Timur Tanpa Sektor Basis Industri dan Pengolahan Tahun 2001... 70 8. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa

Timur Tanpa Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih Tahun 2001 ... 71 9. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi

Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran

Tahun 2001 ... 72 10. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi

Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi

Tahun 2001 ... 73 11. Nilai Loction Quotient (LQ), Perananan dan Presentase

Ketimpangan Pendapatan Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur

(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Semua negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup bagi rakyatnya, dengan cara mengindentifikasi potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki, kemudian menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Pembangunan regional di Indonesia khususnya selama pelaksanaan Repelita lebih dimaksudkan sebagai pembangunan daerah (Local Development). Hal ini dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bertujuan untuk (1) memelihara keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah, (2) memelihara keseimbangan ekonomi antar wilayah dan mencegah kesenjangan antar daerah, (3) meningkatkan prakarsa daerah dan peran serta masyarakat dalam pembangunan, (4) memelihara keserasian pembangunan antara pusat-pusat kegiatan pembangunan di wilayah-wilayah perkotaan dan wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya (Ghalib, 2005).

(27)

Pertumbuhan hanya terpusat pada daerah-daerah pusat pertumbuhan saja sehingga efek trickle down yang diharapkan tidak pernah tercapai. Hal ini yang menyebabkan permasalahan ketimpangan pendapatan antar daerah. Pengurasan sumberdaya alam dan mobilitas sumberdaya manusia terus terjadi mengalir dari wilayah pendukung (hinterland) ke pusat pertumbuhan ekonomi.

Masalah ketimpangan di Indonesia secara nyata dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia ataupun ketimpangan ekonomi yang terjadi antara kota dengan desa. Secara umum persoalan pembangunan negara sedang berkembang tidak hanya menyangkut pencapaian tingkat pertumbuhan saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional, meliputi juga adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah.

(28)

Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat keunggulan atau kelemahan di wilayah menjadi semakin penting. Pengembangan sektor basis merupakan kebijakan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan daerah, karena sektor basis merupakan sektor yang dapat dipasarkan keluar batas perekonomian wilayah produksi setelah sektor tersebut memenuhi kebutuhan dalam wilayah sendiri. Sektor basis dapat dijadikan prioritas utama pembangunan terutama dalam mengurangi masalah ketimpangan pembangunan dan pendapatan daerah. Hal ini didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa peningkatan terhadap sektor basis akan mendorong pengembangan sektor-sektor lainnya sehingga pada akhirnya terjadi peningkatan perekonomian suatu wilayah.

(29)

3,16 persen. Sektor pertambangan dan penggalian menunjukkan kondisi yang membaik, sektor ini hanya tumbuh pada level 1-2 persen pada tahun 2001-2004, dan pada tahun 2005 tumbuh secara signifikan yaitu mencapai 9,23 persen.

Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh secara fluktuasi dari tahun 2001-2005, pada tahun 2001 sektor ini tumbuh sebesar 3,11 persen dan pada tahun 2002 meningkat dengan tumbuh sebesar 3,39 persen sampai tahun 2005 tumbuh sebesar 7,49 persen. Sektor jasa-jasa mengalami pertumbuhan yang cukup stabil. Pada tahun 2001 tumbuh sebesar 3,11 persen dan pada tahun 2002 meningkat dengan tumbuh sebesar 3,95 persen. Selanjutnya pada tahun 2003-2004 tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 3,41 persen dan 3,44 persen dan pada tahun 2005 tumbuh cukup signifikan hingga sebesar 4,23 persen. Berikut adalah tabel pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Propinsi Jawa Timur :

Tabel 1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Jawa Timur 2001-2005 dalam persen

Tahun LAPANGAN USAHA

2001 2002 2003 2004 2005

Pertanian 1,26 2,02 1,91 2,82 3,16

Pertambangan dan penggalian 2,68 2,76 2,21 1,84 9,32 Industri dan Pengolahan 2,35 -0,73 4,46 5,28 4,61 Listrik, Gas dan Air Bersih 3,37 18,64 15,52 14,86 6,18

Bangunan 0,89 1,10 1,86 1,85 3,48

Perdag, Hotel & Restoran 8,08 8,32 7,92 9,25 9,15 Pengangkutan & Komunikasi 2,03 13,03 5,78 6,77 5,00 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 6,73 3,39 2,12 5,94 7,49

Jasa-jasa 3,11 3,95 3,41 3,44 4,23

PDRB 3,76 3,80 4,78 5,83 5,84

Sumber : BPS Jawa Timur 2005

(30)

Timur sebesar 5,84 persen dan menduduki peringkat ke dua setelah laju pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2002-2005 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Jawa Timur semakin membaik.

Tabel 1.2 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi Besar di Jawa dan Nasional Tahun 2001-2005 (dalam persen)

Tahun

(31)

perekonomian Jawa Timur sehingga diharapkan perkembangan sektor basis tersebut mampu mengurangi masalah ketimpangan yang terjadi.

1.2 Perumusan Masalah

Sasaran pembangunan yang lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pendekatan membangun pusat-pusat pertumbuhan ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah yang semakin kompleks. Pusat-pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-nya ternyata tidak tumbuh bersama-sama secara seimbang. Trickledown effect yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan daerah hinterland ternyata berjalan sangat lambat, sedangkan sumberdaya lokal telah terkuras untuk menjadi input penunjang kemajuan daerah pusat pertumbuhan. Pola pembangunan yang demikian menimbulkan masalah ketimpangan wilayah seperti tingkat kemajuan daerah perkotaan yang lebih cepat daripada pedesaan, Pulau Jawa lebih maju daripada luar Pulau Jawa, Kawasan Barat Indonesia lebih maju daripada Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Sektor apa saja yang menjadi basis perekonomian di Provinsi Jawa Timur? 2. Berapa indeks tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di

Provinsi Jawa Timur?

(32)

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa sektor-sektor yang menjadi basis perekonomian di Provinsi Jawa Timur.

2. Menghitung besar ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur.

3. Menganalisa peranan sektor basis terhadap pemerataan pendapatan di Provinsi Jawa Timur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dan masukan terhadap pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam merumuskan, menentukan, dan memprioritaskan serta memutuskan arah kebijakan pembangunan. Penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi insan akademi maupun masyarakat secara umum yang akan melakukan penelitian sejenis sebagai pengembangan pembangunan khususnya di Provinsi Jawa Timur dan wilayah lain secara umum.

1.5 Ruang Lingkup

(33)
(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Pembangunan Ekonomi Daerah

(35)

dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengarahan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berguna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata. Dumairy (2000), pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, namun terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak selalu dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), pembangunan ekonomi adalah usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan daerah dan pendapatan riil perkapita. Jadi tujuan pembangunan ekonomi selain meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan daerah adalah besarnya kontribusi semua sektor perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut. Hal itu dapat dilihat melalui pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan.

2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

(36)

hasil pembangunan wilayah tersebut. PDRB dapat dijadikan sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi sektoral agar dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang menyebabkan perubahan pada pertumbuan ekonomi.

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto dapat didefinisikan menurut tiga sudut pandang yang berbeda namun mempunyai pengertian sama yaitu :

1. Menurut pendekatan produksi, adalah menghitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu region/wilayah dengan cara mengurangkan biaya antara dari masing-masing total produksi bruto tiap-tiap kegiatan, sub sektor atau sektor dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Unit-unit produksi tersebut penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 kelompok lapangan usaha, yaitu: (1)Pertanian, (2)Pertambangan dan Penggalian, (3)Industri dan Pengolahan, (4)Listrik, Gas dan Air Bersih, (5)Bangunan, (6)Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7)Pengangkutan dan Komunikasi, (8)Keuangan, Perseewaan dan Jasa Perusahaan, dan (9)Jasa-jasa.

(37)

Domestik Regional Bruto merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).

3. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun.

Dari ketiga pendekatan tersebut, secara konsep seyogyanya jumlah pengeluaran tadi harus sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan yang untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena mencakup komponen pajak tidak langsung. Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh jenis dan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, letak geografis, serta kemajuan penggunaan teknologi. PDRB dari suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.3 Ketimpangan

(38)

alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan pusat aktivitas ekonomi, lokasi geografis, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi nilai tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan wirausaha. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak terjadinya ketimpangan (Nugroho, 2004).

Menurut Wie (1981), negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya :

1. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya di ukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati Koefisien gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. 2. Ketimpangan antar masyarakat pedesaan dengan masyarakat kota,

(39)

3. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah (region income dispareties). Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Indonesia.

Menurut Todaro (2004), menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan perkapita dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk negara maju dan sedang berkembang. Dan menggambarkan ketimpangan pendapatan negara-negara tersebut dalam tiga kelompok dimana pengelompokan ini disesuaikan dengan tinggi, sedang, dan rendahnya tingkat pendapatan yang diukur menurut koefisien gini dan tingkat PDRB.

Setiap wilayah memiliki kemampuan yang berbeda dalam perkembangan pembangunannya, sehingga meninbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Ukuran lain untuk menghitung tingkat ketimpangan adalah teori Kuznet (1966), percaya tingkat pendapatan di negara sedang berkembang mengikuti kurva U yang terbalik, sebagaimana terlihat pada gambar kurva berikut ini :

(40)

Sumber : Pembangunan Ekonomi, 2004

Kurva ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan meningkat pada awal pembangunan terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, tetapi pada tahap selanjutnya ketidakmeratan akan menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada awal pembangunan cenderung terpusat pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena sektor karena kesenjangan antara sektor modern dan tradisional meningkat. Perkembangan tersebut karena perkembangan sektor modern lebih cepat daripada sektor tradisional. Koefisien Gini digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Todaro (2004), memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara 0.50 sampai 0.70, sedangkan untuk negara-negara yang ketimpangannya rendah atau merata koefisien Gininya terletak antara 0.20 sampai 0.35. Analisis menggunakan formula sebagai berikut :

(41)

fi = Proporsi rumah tangga kelas-i

X = Proporsi jumlah kuantitatif rumah tangga dalam kelas i Y = proporsi jumlah kuantitatif pendapatan kelas i

Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu: 1. Rumah tangga termiskin 20 persen

2. Rumah tangga kedua 20 persen 3. Rumah tangga ketiga 20 persen 4. Rumah tangga keempat 20 persen 5. Rumah tangga terkaya 20 persen

Ketidakmerataan sempurna terjadi apabila terdapat seseorang yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang lain sama sekali tidak menerima pendapatan. Namun selama ini belum pernah ditemukan kasus bahwa suatu negara mengalami kemerataan sempurna.

(42)

ketimpangan yang disebut dengan koefisien regional income inequality dengan simbol “CVw” (Hendra dalam Matola 1985). Pengukuran ini dilakukan dalam analisisnya tentang ketimpangan pendapatan daerah di Indonesia dengan menggunakan data dasar pendapatan yang diukur dari PDRB dan jumlah penduduk setiap daerah, sehingga dapat menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah.

Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi indeks CVw yang dihasilkan dari suatu

perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan data yang digunakan. Metode yang digunakan untuk menghitung CVw adalah sebagai berikut :

CVw =

Y = PDRB perkapita untuk Provinsi

Ada sejumlah teori yang menerangkan kenapa ada perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum digunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi, dan teori daya tarik industri (Tambunan, 2001):

1. Teori Basis Ekonomi

(43)

jasa dari luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumberdaya produksi lokal termasuk tenaga kerja, bahan baku dan outputnya yang diekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan perkapita dan menetapkan lapangan kerja daerah tersebut.

2. Teori Lokasi

Teori ini sering digunakan untuk penetuan dan pengembangan kawasan industri disuatu daerah. Lokasi usaha ditentikan berdasarkan tujuan perusahaan, untuk mendekati bahan baku atau mendekati pasar. Inti dari pemikiran ini didasarkan pada sifat rasioal manusia yang cenderung mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan biaya produksinya.

3. Teori Daya Tarik Industri

Upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangankan ini adalah masalah membangun portopolio industri suatu daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain adalah produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing dimasa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek bagi permintaan domestik.

2.4Teori Ekonomi Basis

(44)

sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh besarnya nilai ekspor dari wilayah tersebut (Richardson dalam Ghalib. 2005) Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisa dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar ekspor.

Menurut Glasson (1997), mengemukakan bahwa perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan mengekspor barang-barang dan jasa-jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atau memasarkan barang dan jasa kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan masyarakat yang bersangkutan setelah barang-barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayahnya sendiri.

Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang di butuhkan oleh orang-orang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan ini tidak mengekspor barang-barang jadi, luas lingkup produksi dan daerah pasar mereka yang terutama adalah bersifat lokal.

(45)

yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya, jika menurunnya aktivitas sektor basis di suatu wilayah maka akan menurunkan tingkat pendapatan dan permintaan terhadap sektor bukan basis. Karena itu sektor basis dapat dijadikan sebagai penggerak utama perubahan peningkatan di sektor non basis dan memiliki nilai multiplier atau pengganda basis terhadap pendapatan suatu wilayah. Kategori basis non basis dapat dilihat dengan dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung. Tapi para pakar ekonomi wilayah lebih memakai metode tidak langsung seperti :

1. Metode Arbiter, dilakukan dengan cara membagi secara langsung dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melalui penelitian secar a spesifik di tingkat lokal. Metode ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang yang sebagian diekspor atau dijual secara lokal ataupun kedua-duanya 2. Metode Location Quetiont (LQ) merupakan suatu alat analisis untuk

melihat peranan suatu sektor tertentu dalam suatu wilayah dengan peranan sektor tersebut dalam wilayah yang lebih luas.

3. Metode kebutuhan minimum, metode ini tergantung pada pemilihan presentase minimum dan tingkat disagregasi. Dengan disagregasi yang semakin terperinci maka berakibat semua sektor akan jadi sektor basis.

(46)

ketidakseragaman permintaan dan produktivitas nasional secara menyeluruh. Metode ini juga mengabaikan fakta bahwa sebagian produk nasional adalah untuk orang asing yang tinggal di wilayah tersebut.

Teori basis ini juga memiliki kebaikan-kebaikan yang membuat teori relevan digunakan. Kebaikan teori basis antara lain metode ini sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahan jangka pendek. Per mintaan masyarakat lebih banyak dari hasil produksi maka di impor dari tempat lain. Penyebab maju dan mundurnya sektor basis adalah sebagai berikut :

Kemajuan sektor basis disebabkan oleh :

1. Transportasi dan komunikasi yang terus berkembang. 2. Pendapatan dan penerimaan daerah yang terus meningkat. 3. Teknologi yang berkembang.

4. Prasarana ekonomi dan sosial yang memadai. Kemunduran sektor basis disebabkan oleh :

1. Permintaan yang berubah di luar daerah. 2. Cadangan sumber daya alam habis

Asumsi yang digunakan dalam menentukan sektor basis dan non-basis adalah: 1. Pergerakan utama pertumbuhan regional

2. Besarnya rasio tenaga kerja basis dan non-basis

3. Adanya keseragaman antara permintaan lokal dan nasional 4. Sistem permintaan yang tertutup

(47)

2.5 Penelitian Terdahulu

(48)

Hendra (2004), dengan menggunakan metode indeks Williamson CVw

dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Lampung. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar di Provinsi Lampung. Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian semua kabupaten yang ada di Provinsi Lampung kecuali Kota Metro dan Kota Bandar Lampung. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa terjadi hubungan negatif antara presentase pertanian dengan laju pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa daerah yang didominasi oleh sektor pertanian cenderung mempunyai PDRB/kapita yang rendah dibandingkan dengan daerah yang didominasi oleh sektor non pertanian. Ketimpangan pendapatan daerah di Lampung mengalami penurunan selama periode analisis, walaupun penurunan tersebut tidak signifikan. Dari analisis korelasi, didapat hubungan positif antara indeks ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan masih terjadi trade off

(49)

Tabel 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Provinsi

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2001

(50)

krisis kesenjangan membaik, tahun 2004 tingkat kesenjangan 0,991. Tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi dengan menganggap pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan, maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi secara signifikan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis peranan sektor basis dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yang pertama menentukan sektor-sektor yang termasuk sektor ekonomi wilayah dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) kemudian membandingkan peran sektor basis tersebut dalam mengurangi ketimpangan dengan metode CVw.

2.6 Kerangka Pemikiran

(51)

jumlah penduduk miskin dan tingkat penganggurannya. Tingginya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin mendorong tingginya tingkat ketimpangan pendapatan perorangan. Konsep kebijakan perekonomian pada masa orde baru menghendaki terjadinya trickle down effect ternyata gagal, karena pada kenyataannya yang tercapai hanyalah pertumhan ekonomi saja yang tinggi namun tingkat pemerataan tidak terjadi. Pembangunan hanya terpusat pada sektor modern yang sebenarnya masih sangat kecil dalam penyerapan tenaga kerjanya.

(52)

memberikan kontribusi yang nyata dalam mengurangi masalah ketimpangan pendapatan antar wilayah. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2

Sumber Pendapatan Daerah (data PDRB) Pertumbuhan

Ekonomi

Peranan Sektor Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan

(53)

Ket :

(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipakai adalah data sekunder dalam bentuk time series (deret waktu) data tersebut meliputi: (1) Data PDRB masing-masing kabupaten kota yang ada di Provinsi Jawa Timur bardasarkan harga konstan 2000 dari tahun 2001-2005, (2) Data jumlah penduduk menurut kabupaten/kota se-Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan Februari-Mei 2007. Jenis-jenis data tersebut diperoleh dari : (1) Badan Pusat Statistik Jakarta (BPS Jakarta), (2) Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, (3) Publikasi penelitian terdahulu, (4) Literatur dari jurnal dan internet

3.2 Metode Analisis

Dalam menganalisa peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Timur, ada beberapa pendekatan atau tahapan yang dilakukan. Yaitu mencakup analisis sektor-sektor yang termasuk sektor basis di Jawa Timur, dan analisis peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.

3.2.1 Metode Analisis Location Quotient (LQ)

(55)

dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas tersebut. Misalnya ukuran konsentrasi dari satu sektor atau subsektor di suatu propinsi dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat nasionalnya. Demikian pula ukuran konsentrasi satu sektor atau subsektor pada tingkat kabupaten/kota dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat provinsinya.

Bendavid dalam Ghalib (2005), merumuskan definisi indeks konsentrasi

untuk tingkat pendapatan adalah sebagai berikut :

LQ =

LQ = Besarnya kuosien lokasi suatu sektor ekonomi Si = Pendapatan sektor i di Propinsi Jawa Timur S = Pendapatan sektor i di Indonesia

Ni = Total pendapatan di Propinsi Jawa Timur N = Total pendapatan di Indonesia

(56)

3.2.2 Pengganda Basis (Base Multiplier)

Tarigan (2005), pengganda basis merupakan suatu metode untuk melihat besarnya pengaruh kegiatan ekonomi basis terhadap peningkatan total pendapatan di suatu wilayah. Nilai pengganda basis diperoleh dari pembagian antara jumlah pendapatan total wilayah dengan jumlah pendapatan sektor basis. Maka rumus penggada basis dapat ditulis secara metematik adalah sebagai berikut :

b

Y Y

K = ...(2)

dimana :

K = Koefisien pengganda basis

b

Y = Pendapatan sektor basis ekonomi basis di Provinsi Jawa Timur Y = Pendapatan total pendapatan di Provinsi Jawa Timur

Apabila nilai kontribusi (K) sebesar A berarti pada setiap peningkatan nilai kontribusi pendapatan yang dihasilkan pada sektor basis sebesar Rp 1,00 maka terjadi peningkatan terhadap total pendapatan di Provinsi Jawa Timur sebesar A.

3.2.3 Analisis Ketimpangan Pendapatan

Hendra dalam Matolla (1985), Untuk mengamati kecenderungan awal dari prespektif ketimpangan pendapatan daerah, dilakukan penghitungan indeks Pendapatan, dengan rumus :

(57)

perubahan dalam kearah pembangunan ketimpangan dan sebaliknya. Untuk melihat seberapa jauh nilai indeks masing-masing region tersebar sekitar 1 (karena 1 adalah nilai indeks untuk tingkat provinsi dan berarti merata sempurna). Jika variance-nya semakin besar maka semakin timpang dan sebaliknya apabila variance makin semakin kecil maka kondisi menunjukkan semakin merata, secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

...(4) dimana :

i

X = Angka indeks kabupaten/kota di Jawa Timur X = Angka indeks provinsi

n = Jumlah kabupaten/kota di Jawa Timur

x

V = Variance (terhadap1)

Williamson dalam Matolla (1985), Pengukuran angka ketimpangan pendapatan antar daerah di propinsi Jawa Tmur dilakukan dengan menggunakan metode indeks Williamson (CVw). Analisis tersebut menggunakan formula

sebagai berikut :

fi = Jumlah penduduk di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur n = Penduduk total Propinsi Jawa Timur

i

Y = PDRB perkapita kabupaten/kota

(58)

Nugroho (2004), menggolongkan nilai indeks ketimpangan dalam beberapa kriteria, sebagai berikut :

Indeks > 1, ketimpangan sangat tinggi Indeks 0.7-1, ketimpangan tinggi Indeks 0.4-0.5, ketimpangan menengah Indeks < 0.3, ketimpangan rendah

3.2.4. Analisis Peranan Sektor Basis Terhadap Ketimpangan Pendapatan

(59)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis Provinsi Jawa Timur

Provinsi ini terletak pada 111,0' hingga 114,4' Bujur Timur dan 7,12' hingga 8,48' Lintang Selatan. Batas Daerah :

Sebelah Utara : Pulau Kalimantan (Kalimantan Selatan) Sebelah Timur : Pulau Bali

Sebelah Selatan : Samudera Indonesia Sebelah barat : Provinsi Jawa Tengah

Kondisi geografis Jawa Timur yang strategis merupakan keuntungan bagi Provinsi Jawa Timur dari segi perdagangan dan perhubungan. Jawa Timur menjadi pintu gerbang perdagangan antara Kawasan Tengah dan Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia atau sebaliknya. Selain infrastruktur jalan raya yang sangat memadai, keberadaan pelabuhan laut dan bandara udara sangat menentukan dalam kemajuan sektor perdagangan. Pintu gerbang ekspor impor Jawa Timur terletak pada pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Gresik, Pelabuhan Tuban dan Bandara Juanda.

4.2 Wilayah Administratif dan Penduduk Provinsi Jawa Timur

(60)

dapat dilihat luas wilayah, jumlah penduduk serta kepadatan penduduk pada masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur 2005 dari hasil proyeksi penduduk berdasarkan BPS Jawa Timur yaitu sebesar 37.071.731 jiwa dengan pertumbuhan 2,39 persen. Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang paling besar yaitu 2.698.972 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Malang 2.393.959 jiwa dan Kabupaten Jember 2.263.794 jiwa. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto 116.383 jiwa, Kota Blitar 124.944 jiwa dan Kota Madiun 170.931 jiwa.

(61)

Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur

No Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km2)

37 Surabaya 326,36 2.698.972 8270

38 Batu 92,78 185.467 1999

Jumlah 46.428,57 37.070.731 798

(62)

4.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur

Kondisi perekonomian daerah dapat dilihat dari beberapa indikator salah satunya dari Produk Regional Domestik Bruto (PDRB). Dilihat dari peranan sektor perekonomian Jawa Timur sektor yang mempunyai kontribusi besar di dalam penciptaan PDRB Jawa Timur adalah sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian besar dalam proses pembangunan. Hal ini dikarenakan sektor pertanian dapat menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang semakin meningkat, sektor pertanian juga berperan dalam mendorong perkembangan sektor lain terutama sektor industri dan pengolahan. Selanjutnya sektor juga berperan dalam menghasilkan tambahan devisa bagi daerah. Kemajuan sektor pertanian juga dapat meningkatkan pendapatan pedesaan dan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di pedesaan (BPS Jawa Timur, 2005).

Di Jawa Timur sektor pertanian memiliki peranan yang semakin menurun dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor pertanian masih sebesar 19,77 persen dan 19,04 persen. selanjutnya pada tahun 2003 dan 2004 mulai menurun menjadi sebesar 18,24 persen dan 17,58 persen dan pada tahun 2005 peranan pertanian hanya sebesar 17,24 persen. Perubahan ini tidak berarti mengalami penurunan tetapi karena sektor lain tumbuh lebih cepat.

(63)

terbesar dalam pembentukkan PDRB Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor ini sebesar 29,66 persen dan 29,31 persen. Pada tahun 2003-2004 meningkat lagi sebesar 29,50 persen dan 29,61 persen. Selanjutnya pada tahun 2005 sebesar 29,99 persen.

Hal ini lebih diakibatkan karena adanya kenaikan harga barang-barang industri terutama kelompok industri makanan, minuman dan tembakau. Subsektor makanan, minuman dan tembakau masih memiliki peranan besar terhadap PDRB sektor industri pengolahan. Pada tahun 2005, peranan subsektor makanan, minuman dan tembakau masih sebesar 55,67 persen. Sedangkan hampir seluruh subsektor lainnya. rata-rata berperan dibawah 10 persen (BPS Jawa Timur, 2005).

Sektor yang mampu berkembang dan mengalami peningkatan dalam kontribusi pada PDRB adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Perekonomian Jawa Timur saat ini sepenuhnya bertumpu pada sektor perdagangan, hotel dan restoran terutama dengan subsektor perdagangannya. Subsektor perdagangan disebut-sebut sebagai motor penggerak perekonomian dan sampai sekarang juga berperan besar dalam pertumbuhan perekonomian Jawa Timur.

Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor ini sebesar 24,57 persen dan 25,35 persen. Pada tahun 2003-2004 meningkat lagi sebesar 26.08 persen dan 26,71 persen. Selanjutnya pada tahun 2005 sebesar 27,17 persen.

(64)

sektor ini memperlihatkan kinerja lambat, dikarenakan sektor ini masih di pengaruhi oleh dampak setelah krisis ekonomi Indonesia. Pada tahun 2001-2005 peranannya terus menurun yaitu masing-masing sebesar 3,88 persen, 3,81 persen. 3,74 persen, 3,74 persen, 3,68 persen, dan 3,60 persen. Diharapkan dengan ramainya pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran dan sarana lainnya sektor ini mampu memperbaiki peranannya dalam pembentukan PDRB Jawa Timur.

Sektor pengangkutan dan komunikasi di Provinsi Jawa Timur sangat vital dan menjadi indikator penting untuk melihat kemajuan ekonomi wilayah, terutama kemajuan angkutan udara dan komunikasi swasta. Subsektor transportasi memiliki peran penting bagi mobilitas perekonomian (BPS Jawa Timur, 2005). Pada tahun 2001-2003 sektor ini terus meningkat dan mampu berperan sebesar 5,18 persen, 5,67 persen dan 5,71 persen. Adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2004-2005 juga memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor pengangkutan. Pada tahun 2004-2005 mengalami penurunan dan hanya mampu berperan sebesar 5,52 persen dan 5,53 persen.

(65)

sektor ini menurun hanya sebesar 1,89 persen. Berikut adalah tabel yang menunjukkan peranan sektor perekonomian Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Tabel 4.2. Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur atas Dasar

Harga Berlaku Tahun 2001-2005

Tahun LAPANGAN USAHA

2001 2002 2003 2004 2005

Pertanian 19,77 19,04 18,24 17,58 17,24

Pertambangan dan penggalian 2,1 2,06 2,00 1,93 2,01 Industri dan Pengolahan 29,66 29,31 29,50 29,61 29,99 Listrik. Gas dan Air Bersih 1,35 1,62 1,76 2,05 1,89

Bangunan 3,88 3,18 3,74 3,68 3,60

Perdag. Hotel & Restoran 24,57 25,35 26,08 26,71 27,17 Pengangkutan & Komunikasi 5,18 5,67 5,71 5,52 5,53 Keuangan. Persewaan & Jasa Perusahaan 4,97 4,79 4,59 4,60 4,53

Jasa-jasa 8,51 8,35 8,83 8,23 8,04

(66)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Ekonomi Basis

5.1.1. Analisis Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur

Penggunaan analisis Location Quotient merupakan suatu ukuran untuk menentukan sektor basis atau non basis dalam suatu wilayah dengan membandingkan sektor perekonomian di tingkat bawah dengan perekonomian di tingkat atasnya. Penentuan sektor basis sangat penting bagi pemerintah karena dapat digunakan sebagai barometer untuk menentukan sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan daerah untuk periode selanjutnya.

Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah yaitu PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu), hal ini berarti bahwa sektor-setor tersebut memiliki peranan yang besar dalam kegiatan ekspor daerah dan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan perekonomian di Jawa Timur.

(67)

(BBM) pada tahun 2004 dan 2005 berpengaruh besar terhadap sektor industri dan pengolahan. Kenaikan harga BBM akan menaikan biaya operasional angkutan dan produksi pada sektor industri sehingga harga jual produksi menjadi mahal. Daya beli masyarakat yang kembali turun dengan kenaikan harga BBM akan mengurangi pola permintaan terhadap hasil-hasil sektor industri dan pengolahan maupun terhadap sektor produksi lainnya. Perubahan sektor industri dan pengolahan menjadi sektor non basis juga mengidikasikan bahwa sektor pengolahan ini tidak mampu bersaing di pasar global, sehingga menimbulkan adanya impor sektor pengolahan dari wilayah lain. Begitu juga dengan sektor pengankutan dan konumikasi pada tahun yang sama juga tidak lagi menjadi sektor basis perekonomian Jawa Timur. Hal ini diduga karena alasan yang sama dengan sektor pengolahan.

Sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sektor yang mampu bertahan menjadi sektor basis di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan nilai kontribusi yang besar dalam perekonomian Jawa Timur.

(68)

karena adanya pergeseran dari sektor primer ke sektor industri, diduga alasan lain karena adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah perumahan karena kenaikan jumlah penduduk dan tingginya permintaan akan rumah. Nilai LQ sektor petanian meningkat tahun 2005 sebesar 1.2030, hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian semakin membaik.

Dilihat dari besarnya nilai LQ hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang selalu meningkat LQ setiap tahunnya, sedangkan sektor basis lain cenderung berfluktuatif. Hal ini berarti bahwa sektor perdagangan hotel dan restoran dapat dikembangkan menjadi sektor andalan ekspor di Jawa timur. Pada tahun 2001 nilai LQ sektor ini sebesar 1.5687 dan nilai ini terus meningkat sampai tahun 2005 sebesar 1.7321.

Nilai LQ yang tertinggi adalah dari sektor Listrik, gas dan air bersih, nilai LQ sektor ini mencapai angka dua selama periode 2001-2005 dan merupakan sektor yang memiliki nilai LQ tertinggi dibanding sektor basis lainnya. Hal ini berarti bahwa sektor ini mampu menjadi andalan ekspor Jawa Timur walaupun peranannya terhadap PDRB Jawa Timur kecil. Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan ekonomi dan sebagai sarana infrastruktur yang dapat mendorong aktivitas seluruh sektor terutama industri dan pengolahan. Hampir seluruh kegiatan disektor ini dimonopoli oleh pemerintah sehingga sektor ini terus dapat berkembang dan bisa bebas dari persaingan tarif harga.

(69)

bangunan memiliki nilai LQ yang terus menurun, diduga penyebabnya adalah makin banyaknya penambahan bangunan seperti pertokoan, perkantoran dikota-kota besar sehingga peranan kabupaten dan desa semakin menurun. Sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis diduga penyebabnya karena sektor basis ini hanya dihasilkan dari wilayah tertentu di Jawa Timur seperti Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Sumenep saja. Hasil penghitungan analisis sektor basis di Provinsi Jawa Timur periode 2001-2005 dapat dilihat dari tabel 5.1 sebagai berikut:

Tabel 5.1. Nilai LQ Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Harga Konstan 2000 periode 2001-2005

Tahun LAPANGAN USAHA

2001 2002 2003 2004 2005

Pertanian 1.2391 1.2302 1.2080 1.1989 1.2030

Pertambangan dan penggalian 0.1748 0.1790 0.1855 0.1963 0.2078 Industri dan Pengolahan 1.0873 1.0087 1.0003 0.9825 0.9815 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.0024 2.1952 2.4182 2.6178 2.6110

Bangunan 0.7011 0.6765 0.6495 0.6108 0.5875

Perdag, Hotel & Restoran 1.5687 1.6407 1.6792 1.7225 1.7321

Pengangkutan & Komunikasi 1.0551 1.1076 1.0444 0.9761 0.9058 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 0.5848 0.5705 0.5459 0.5332 0.5359

Jasa-jasa 0.9233 0.9313 0.9225 0.8987 0.8904

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan : dicetak tebal adalah sektor basis

(70)

Tabel 5.2. Sektor Basis Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur dengan Indikator Pendapatan Tahun 2001-2005

Sektor Basis Kabupaten/Kota

2001 2002 2003 2004 2005 Pacitan 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 1,2,5,7,8,9 Ponorogo 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,8,9 Trenggalek 1,2,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 Tulung Agung 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9 1,2,6,8,9

Blitar 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9

Kediri 1,2,9 1,2,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,9

Malang 1,2,4,9 1,2,4,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9

Lumajang 1,2,5,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8

Jember 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9

Banyuwangi 1,2,7,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8

Bondowoso 1,8,9 1,8,9 1,8,9 1,8,9 1,8,9

Situbondo 1,6,7 1,2,6,9 1,2,6,9 1,2,6,9 1,2,6,9

Probolinggo 1,2,4,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9 1,2,5,9

Pasuruan 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9 1,3,4,9

Sidoarjo 2,3,4,7 2,3,4,7 3,7 3,7 3,7

Mojokerto 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3

Jombang 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9 1,4,7,9

Nganjuk 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9

Bangkalan 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9 1,5,7,9

Sampang 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9

Pamekasan 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9

Sumenep 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9 1,2,9

Kediri 3 3 3 3 3

Blitar 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Malang 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 3,6,7,8,9 Probolinggo 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,6,7,8,9 Pasuruan 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Mojokerto 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Madiun 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Surabaya 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8 3,4,5,6,7,8

Batu 1,4,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9 1,6,9

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan :

1. Sektor Pertanian

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 3. Sektor Industri dan Pengolahan 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan

6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Pengangkutan dan komunikasi

8. Sektor Keuangan, Keuangan dan Jasa Perusahaan

(71)

Pada tingkat kabupaten dan kota sektor jasa merupakan salah satu sektor basis yang mendominasi di setiap wilayah, hal ini berarti sektor jasa dapat menjadi andalan bagi ekspor di tingkat kabupaten dan kota. Namun di tingkat provinsi sektor ini belum mampu bersaing di pasar global, karena tidak mampu menjadi sektor basis perekonomian.

Sektor pertanian merupakan sektor basis yang dimiliki oleh 27 kabupaten dan satu kota di Provinsi Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa struktur perekonomian di kota telah berubah dari sektor primer menjadi sekunder. Kondisi ini disebababkan karena adanya tingginya permintaan lahan terhadap sektor bangunan, sektor perdagangan dan sektor industri. Pergeseran fungsi lahan ini yang diduga sebagai penyebab sektor pertanian tidak mampu menjadi sektor basis di kota-kota yang ada di Provinsi Jawa Timur.

Sektor basis industri dan pengolahan hanya di miliki oleh empat kabupaten dan tiga kota di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang dan Kota Surabaya. Pada tingkat provinsi sektor ini mampu menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur dari Tahun 2001-2003. Sektor keuangan tidak mampu menjadi sektor basis di tingkat provinsi namun sektor ini mampu berkembang di 18 wilayah di provinsi Jawa Timur.

(72)

pengolahan rokok berpengaruh besar terhadap perekonomian Kota Kediri. Kabupaten dan kota yang meniliki sektor basis perekonomian terbanyak adalah Kabupaten Pacitan, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto dan Kota Surabaya, yang masing memiliki enam sektor basis perekonomian perbedaannya masing-masing kota tidak memiliki sektor basis pertanian sedangkan Kabupaten Pacitan memiliki sektor basis pertanian. Pada beberapa kabupaten dan kota sektor basis mengalami perubahan, jumlah sektor basis ada yang bertambah namun ada pula yang berkurang. Hal ini di duga karena adanya perubahan kondisi perekonomian di Provinsi Jawa timur.

5.1.2.Efek Pengganda Basis (Base Multiplier)

(73)

Pada tabel 5.3. nilai koefisien pengganda basis berfluktuasi selama periode 2001-2005. Nilai koefisien pengganda basis tahun 2001 sebesar 1.2427, hal ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 124,270 dan pendapatan sektor bukan basis sebesar Rp 22,380. Nilai koefisien mengalami kecenderungan yang terus naik dari tahun 2002-2005.

Pada tahun 2004 juga terjadi perubahan pada sektor yang menjadi sektor basis di Jawa Timur yang menjadi tiga sektor basis. Penurunan jumlah sektor basis memberikan pengaruh yang nyata pada besarnya nilai efek penggandanya. Hal ini juga mengindikasikan sumbangan yang dihasilkan dari sektor basis lebih kecil daripada sektor non basisnya.

Pada tahun 2004-2005 nilai pengganda basis meningkat. Pada tahun 2004 sebesar 2.0918 dan pada tahun 2005 sebesar 2.0729 yang artinya jika terjadi kenaikan pada sektor basis sebesar Rp 100,000 maka pendaptan total akan meningkat sebesar Rp 207,290 dan Rp 107,290 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai efek pengganda dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 5.3. Nilai Pengganda Basis Sektor Basis Tahun 2001-2005

BASE MULTIPLIER

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

(74)

pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 7,901,150 dan Rp 7,801,150 sektor non basis.

Sektor pertanian memiliki efek pengganda yang cenderung meningkat dan stabil selama tahun 2001-2005. pada tahun 2005 nilai pengganda basis sebesar 5.7375 yang artinya jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 573,750 sektor basis dan Rp 473.750 sektor non basis.

Sektor pengolahan juga memperlihatkan nilai pengganda basis yang semakin meningkat dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2005 nilai pengganda basis 3.6295 yang artinya bahwa jka terjadi peningkatan sektor basis sebesar Rp100,000 maka pendapatan total sebesar Rp 362,950 dan Rp 262,950 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai pengganda basis persektor dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 5.4. Nilai Pengganda Basis Masing-masing Sektor Basis Tahun 2001-2005

BASE MULTIPLIER PER SEKTOR BASIS TAHUN

Pertanian Pengolahan Listrik Perdagangan Pengangkutan

2001 5.1919 3.4025 79.4115 3.9354 19.4248

2002 5.2824 3.5580 69.4817 3.7711 178396

2003 5.4310 3.5688 63.0198 3.6614 17.6697

2004 5.5901 3.5874 58.0659 3.5467 17.5141

2005 5.7353 3.6295 57.8783 3.4391 17.6544

Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)

5.2 Ketimpangan Pendapatan Daerah

(75)

PDRB 100 persen dan jumlah penduduk juga 100 persen berarti memiliki indeks pendapatan sama dengan 1 (satu).

Untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki nilai yang bervariasi. Besarnya nilai indeks tergantung dari besarnya PDRB yang dimiliki serta besarnya jumlah penduduk di wilyah tersebut. Dengan membandingan variance dari indeks pendapatan masing-masing kabupaten/kota dalam periode waktu lima tahun diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan awal ketimpangan pendapatan.

(76)

Tabel 5.5. Indeks Pendapatan Kabupaten dan Kota Tahun 2001-2005

Tahun No Kabupaten/Kota

2001 2002 2003 2004 2005

1 Pacitan 0.3788 0.3731 0.3692 0.3653 0.3617

Trend ketimpangan juga menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat, trend ketimpangan Jawa Timur dilakukan dengan mengukur

(77)

daerah tersebar diantara 1 (karena satu adalah nilai indeks untuk propinsi dan berarti merata sempurna). Jika variance terhadap 1 (satu) semakin besar maka semakin timpang hal ini berarti ketimpangan pendapatan antar wilayah di Propinsi Jawa Timur meningkat.

Pada tahun 2001 nilai variance terhadap 1 adalah 0.5078 dan terus meningkat secara pasti sampai pada tahun 2005 nilai variance terhadap 1 sebesar 0.5447. peningkatan nilai trend ketimpangan di Jawa Timur terlihat pada gambar sebgai berikut :

Kecenderungan lain untuk mengamati tingkat ketimpangan pendapatan dengan cara melihat range indeks pendapatan dari yang tertinggi dan terendah. Diketahui bahwa nilai indeks tertinggi pada tahun 2001 adalah Kota Surabaya sebesar 3.5366 yang merupakan 9.3363 kali lipat dari nilai indeks yang terendah yaitu Kabupaten Pacitan sebesar 0.3788. Kemudian pada pada tahun 2005 nilai indeks yang tertinngi tetap Kota Surabaya sebesar 3.6364 dan terendah adalah Kabupaten Pamekasan sebesar 0.3475, nilai indeks tertinngi tahun 2005 menjadi

Gambar 5.1 Grafik Trend Koefisien Variance Terhadap 1

0.50780.5064

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(78)

10.4646 kali lipat dari nilai terendahnya. Kondisi range yang semakin melebar ini berarti bahwa ketimpangan semakin meningkat.

5.2.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penghitungan ketimpangan pendapatan daerah dalam penelitian ini menggunakan rumus atau formula yang diperkenalkan oleh Williamson (1965) yang disebut CV Williamson (CVw). Semakin besar nilainya maka tingkat ketimpangan pendapatan daerah

semakin besar dan sebaliknya jika nilainya semakin kecil atau mendekati nol maka tingkat ketimpangan rendah (merata).

Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh bahwa perhitungan nilai indeks ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dalam kurun waktu 2001-2005 terus meningkat ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Timur kurang baik artinya cenderung bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah juga meningkat.

Gambar

Tabel 1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Jawa Timur 2001-2005 dalam persen
Tabel 1.2 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi Besar di Jawa dan Nasional Tahun 2001-2005 (dalam persen)
Tabel 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Provinsi Lampung Tahun 1995-2001
Gambar 2.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data udara atas pada saat kejadian yang diperoleh dari stasiun meteorologi Pangkal Pinang menunjukkan bahwa pesawat terbang dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki atau dapat

Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa dodol yang disimpan pada hari ke-0 dan ke-5 pada perlakuan yang dilapisi kitosan, baik 1% dan 2% tidak berbeda nyata dengan

Masa kerja dimulai baik sejak menjadi guru honorer atau guru bantu maupun ketika diangkat langsung menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, dan (3) variabel terikat

Retrieve Detail Keluhan Update Kategori Perbaikan Pilih Keluhan Form Pindah ke Teknisi Memberi Keterangan Perbaikan Ya Tidak Detail Keluhan List Data Keluhan Pilih

Faktor usia, asal institusi pendidikan kedokteran, pengalaman seminar, dan endemisitas lingkungan praktik tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan dokter umum secara

Alat ini mempunyai fungsi untuk menganalisis kandungan Tritium (H-3) dan C-14 di dalam pendingin air primer. Pada saat digunakan untuk melakukan pencacahan alat

Pasca Operasi Pembebasan Irak (Operation Iraqi Freedom/OIF) yang terjadi pada pertengahan 2003, Amerika Serikat dan koalisinya serta berbagai bantuan organisasi