• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Harga Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di Indonesia

Subsektor peternakan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional. Peningkatan populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat menyebabkan permintaan terhadap berbagai kebutuhan bahan pangan terus meningkat. Pola konsumsi menu makanan rumah tangga juga secara bertahap mengalami perubahan ke arah

peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Daging sapi potong dan daging ayam broiler merupakan produk peternakan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Namun, kedua komoditas ini memiliki harga yang berfluktuasi sehingga mengindikasikan adanya risiko.

Penentuan risiko harga daging sapi potong dan daging ayam broiler pada penelitian ini didasarkan pada nilai varians harga daging sapi potong dan daging ayam broiler yang diperoleh dari hasil pendugaan persamaan harga daging sapi potong dan daging ayam broiler dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan Value at Risk (VAR) untuk menganalisis besarnya risiko harga. Perhitungan analisis risiko ini menggunakan data harga harian dari komoditas daging sapi potong dan daging ayam broiler pada periode Februari 2003 hingga Februari 2013 di Indonesia.

Eksplorasi Pola Data Harga Daging Sapi Potong

Berdasarkan plot data harian harga daging yang dianalisis dari awal Februari 2003 hingga awal Februari 2013 terlihat bahwa harga-harga tersebut berfluktuasi setiap harinya. Gambar 7 menunjukkan plot deret waktu dari pergerakan harga harian daging sapi potong periode awal Februari 2003 hingga awal Februari 2013.

Gambar 7 Plot harga harian domestik daging sapi potong periode Februari 2003 – Februari 2013

Sumber : Kemendag (2013)

Dari plot deret waktu terlihat bahwa harga harian daging sapi potong berkisar antara Rp30 000.00 hingga Rp90 000.00 per kg. Fluktuasi pola data menggambarkan adanya fluktuasi harga yang secara keseluruhan memiliki kecenderungan meningkat. Harga terendah daging sapi potong yakni Rp31 862.50 per kg yang dicapai pada hari ke-211 yang jatuh pada tanggal 28 Januari 2004.

Harga tertinggi daging sapi potong yakni sebesar Rp87 485.06 per kg yang dicapai pada hari ke-2340 yang jatuh pada tanggal 29 Januari 2013.

Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan data yang dilansir oleh Departemen Pertanian melalui basis Data Statistik Pertanian, diketahui bahwa populasi sapi potong nasional pada tahun 2008 adalah 12 256 604 ekor. Dapat dihitung bahwa rata-rata peningkatan poupulasi sapi potong nasional adalah 156 073 ekor per tahun. Populasi terendah dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 adalah 10 215 193 ekor sapi potong pada tahun 2001. Populasi sapi potong kemudian meningkat pada tahun 2002 dan menurun kembali pada tahun 2003. Kemudian sejak tahun 2004 mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Gambar 8.

Populasi sapi potong dinyatakan sebagai jumlah sapi yang hidup pada suatu wilayah pada periode waktu tertentu dan biasanya dinyatakan dalam tahun. Besarnya populasi sapi potong dipengaruhi oleh berbagai penyebab antara lain: banyaknya pemotongan, kematian ternak, ekspor ternak, dan tinggi rendahnya

natural increase (Sumadi 2009).

Gambar 8 Populasi sapi potong nasional tahun 2000 - 2008 Sumber : Deptan (2010) dalam Ramadhan (2010)

Produksi daging sapi nasional pada tahun 2008 adalah 392 500 ton (Gambar 9). Dapat dihitung bahwa rata-rata peningkatan produksi daging sapi nasional adalah 6 570 ekor per tahun. Produksi daging sapi tertinggi dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 adalah 447 570 ton pada tahun 2004. Sedangkan produksi daging sapi terendah adalah pada tahun 2002 yaitu sebesar 330 290 ton. Produksi daging sapi potong tertinggi di Indonesia terdapat pada Provinsi Jawa Timur dengan jumlah produksi 85 173 ton pada tahun 2008, kemudian diikuti oleh Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi sebesar 70 010 ton, lalu Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah produksi daging sapi potong

sebesar 45 736 ton, dan Provinsi Banten dengan jumlah produksi daging sapi potong pada tahun 2008 sebesar 25 882 ton.

Gambar 9 Produksi daging sapi nasional tahun 2000 - 2008 Sumber : Deptan (2010) dalam Ramadhan (2010)

Kondisi penawaran daging sapi dari dalam negeri (domestik) yaitu berada pada kondisi defisit, bahwa penawaran lebih rendah daripada permintaannya. Hal tersebut terjadi pada empat tahun terakhir (2004-2008) Indonesia mengalami defisit daging sapi dari penawaran domestik dengan rata-rata mencapai angka sebesar 43.11 ribu ton per tahun. Diketahui juga bahwa, defisit tersebut mengalami pertumbuhan yang meningkat setiap tahunnya, yang pada tahun 2004 defisit hanya sebesar 11.77 ribu ton meningkat dengan pesat dalam jangka waktu relatif singkat (empat tahun) menjadi 115.28 ribu ton pada tahun 2008. Akibat dari defisit penawaran dan adanya penurunan subsidi dan proteksi perdagangan komoditas ekspor-impor dari kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang terjadi, maka Indonesia melakukan pemenuhan melalui impor, menyebabkan pasar dalam negeri harus dibuka bagi produk-produk impor termasuk daging sapi. Kecenderungan yang terjadi bahwa volume impor daging sapi Indonesia selalu mengalami peningkatan, rata-rata peningkatan volume impor mulai tahun 1990-2007 sebesar 2 201.14 ton per tahun (BPS 2007 dalam Hutabalian 2009).

Eksplorasi Pola Data Harga Daging Ayam Broiler

Gambar 10 menunjukkan plot deret waktu dari pergerakan harga harian daging ayam broiler periode awal Februari 2003 hingga awal Februari 2013. Terlihat dari plot deret waktu bahwa harga harian daging ayam broiler berkisar antara Rp10 000.00 per kg hingga Rp30 000.00 per kg. Fluktuasi pola data menggambarkan adanya beberapa periode pergerakan yang secara keseluruhan memiliki kecenderungan meningkat. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa harga terendah daging ayam broiler yakni Rp10 116.50 per kg yang dicapai pada hari ke-226 yang jatuh pada tanggal 23 Februari 2004. Sedangkan harga tertinggi

yakni sebesar Rp28 846.27 per kg yang dicapai pada hari ke-2219 yang jatuh pada tanggal 20 Juli 2012.

Gambar 10 Plot harga harian domestik daging ayam broiler periode Februari 2003 – Februari 2013

Sumber : Kemendag (2013)

Daryanto (2010) mengungkapkan tingginya harga ayam broiler tentu saja bukan fenomena baru. Hal ini dikarenakan komoditas peternakan dalam proses produksinya mengandung ketidakpastian karena bersifat musiman (seasonal). Selain itu, komoditas peternakan mudah rusak (perishable) dan supply tidak elastis (inelastic). Sifat musiman berarti pada saat panen supply melimpah, demand tetap, maka harga cenderung menurun. Sebaliknya, pada saat paceklik, supply menipis, demand tetap (apalagi meningkat), harga cenderung naik. Supply yang tidak elastis berarti tidak dapat memanfaatkan peluang adanya kenaikan harga secara cepat.

Tabel 7 Konsumsi ayam broiler di Indonesia tahun 2003 – 2007

Tahun Jumlah (Ton) Pertumbuhan (%)

2003 1 368 200 - 2004 1 425 300 4.17 2005 1 573 000 10.36 2006 1 486 100 (5.52) 2007 1 564 200 5.25 Sumber : Ditjennak (2008)

Berdasarkan Tabel 7, pada tahun 2003 sampai tahun 2007 jumlah konsumsi ayam broiler mengalami peningkatan, namun tahun 2006 jumlah konsumsi ayam broiler mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi

penawaran dan permintaan ayam broiler di pasar, diduga pada tahun adanya isu- isu ternak seperti flu burung dan ayam bangkai sehingga konsumen mengurangi jumlah konsumsi daging ayam mereka. Dengan demikian adanya peningkatan permintaan daging ayam broiler menyebabkan industri yang bergerak dibidang peternakan harus mampu memanfaatkan persediaan ayam broiler dan telur dengan cara berproduksi lebih efektif dan efisien mulai dari hulu sampai hilir (Siregar 2009).

Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan bahwa konsumsi daging ayam pada tahun 2005 adalah sebanyak 1 573 000 ton. Sementara produksi pada tahun yang sama hanya sebesar 779 106 ton (Tabel 8). Adanya kekurangan suplai ini, menyebabkan masuknya daging ayam broiler yang sebagian besar dalam bentuk paha (chicken leg quarter) dari Amerika Serikat. Impor daging ayam pada tahun 2003 - 2005 meningkat cukup tinggi, kenaikan berkisar antara 140.6% - 202.8%. Tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 12.8% tetapi impor masih dilakukan karena belum mencukupi kebutuhan dalam negeri (Ditjennak 2007). Keadaan ini bila dibiarkan, akan menyebabkan merosotnya peternakan ayam broiler nasional pada periode mendatang (Komalasari 2008).

Tabel 8 Produksi daging ayam broiler tahun 2003 – 2007 di Indonesia

Tahun Produksi (ton)

2003 771 112 2004 846 097 2005 779 106 2006 861 263 2007 918 478 Sumber : Ditjennak (2007) Model Peramalan Identifikasi Model ARCH-GARCH

Berdasarkan pola data harga daging sapi potong dan harga daging ayam broiler, akan diramalkan model yang tepat untuk menghitung besarnya risiko harga kedua komoditas tersebut dengan menggunakan analisis ARCH-GARCH. Sebelum diolah, untuk memudahkan analisis dan mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten, semua data ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural. Dalam pemodelan ARCH-GARCH didahului dengan identifikasi apakah data mengandung heteroskedastisitas atau tidak. Identifikasi dapat dilakukan antara lain dengan mengamati beberapa ringkasan statistik dari data. Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan melihat nilai kurtosis data. Jika data tersebut memiliki nilai kurtosis lebih dari 3, maka data tersebut dideteksi bersifat heteroskedastisitas (Davidson and MacKinnon 2004).

Tabel 9 memberikan informasi tentang rata-rata (mean) data kuadrat harga daging, kemenjuluruan (skewness), serta keruncingan (kurtosis). Koefisien kemenjuluran (skewness) yang merupakan ukuran kemiringan adalah lebih besar

dari nol yang menunjukkan data kuadrat hargadaging tersebut memilki distribusi yang miring ke kanan artinya data cenderung menumpuk pada nilai yang rendah. Nilai kurtosis yang lebih dari 3 bermakna bahwa distribusi data kuadrat harga daging tersebut memiliki ekor yang lebih padat dibandingkan dengan sebaran normal. Nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 ini juga merupakan gejala awal terjadinya heteroskedastisitas (Firdaus 2011).

Tabel 9 Ringkasan statistik data kuadrat harga daging

Selain itu fungsi autokorelasi kuadrat harga juga dapat digunakan dalam pendeteksian efek ARCH atau ARCH error. Menurut Enders (2004), jika nilai autokorelasi pada data harga kuadrat signifikan, maka nilai tersebut mengindikasikan bahwa pada data tersebut terdapat efek ARCH. Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa terdapat autokorelasi pada kuadrat harga daging sapi potong dan daging ayam broiler yang ditandai dengan nilai autokorelasi kuadrat harga daging sapi potong dan daging ayam broiler yang signifikan pada 15 lag pertama. Hal ini mengindikasikan adanya efek ARCH atau ARCH error pada data kuadrat harga daging sapi potong dan daging ayam broiler tersebut.

Tabel 10 Pengujian autokorelasi kuadrat harga daging

Komoditas Probability 15 Lag Pertama Uji Autokorelasi

Daging Sapi Potong Signifikan Ada Autokorelasi

Daging Ayam Broiler Signifikan Ada Autokorelasi

Tahapan berikutnya dari spesifikasi model untuk daging sapi potong dan daging ayam broiler adalah dengan melakukan serangkaian metodologi Box- Jenkins mulai dari pengujian kestasioneran data harga, penentuan model tentatif ARIMA hingga pendugaan parameter dan pemilihan model terbaik. Untuk menguji stasioneritas data, dapat menggunakan uji akar unit (unit root test) yang dikembangkangkan oleh Dickey-Fuller. Uji yang biasa digunakan adalah uji ADF (Augmented Dickey–Fuller) yang mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai hipotesis nol. Hal ini dapat dilihat dari nilai ADF test statistic yang lebih kecil dari McKinnon critical value (nilai kritis McKinnon) pada tingkat kepercayaan 1%, 5%, maupun 10%, yang menunjukkan bahwa data harga telah stasioner. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Namun pada umumnya data runtut waktu (time series) memiliki unsur kecenderungan (trend) yang menjadikan kondisi data time series

menjadi tidak stasioner. Sedangkan penerapan model ARIMA hanya dapat dilakukan pada data yang sudah stasioner. Oleh karena itu diperlukan pembedaan

Komoditas Mean Skewness Kurtosis

Daging Sapi Potong 9.90E-05 14.62571 265.1379

yang dapat membedakan data yang belum stasioner dengan data baru yang sudah stasioner. Biasanya hal ini disebut dengan differencing (pembedaan).

Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa nilai ADF test statistic dari setiap harga daging, lebih negatif atau lebih kecil dari critical value pada taraf nyata 5%, serta nilai probabilitasnya lebih kecil dari nilai kritis 0,05. Maka hipotesis nol dapat ditolak, hal ini menunjukkan bahwa data asli harga tidak mengandung akar unit dan telah stasioner pada level.

Tabel 11 Hasil uji stasioneritas data harga daging

Komoditas ADF t-Statistic Critical Values Prob.*

Daging sapi potong -22.17839 -2.862575 0.0000 Daging ayam broiler -33.71967 -2.862573 0.0000

Keterangan : *) Stasioner pada taraf nyata 0,05

Setelah data harga stasioner maka dapat dilakukan penentuan model tentatif ARIMA yang didasarkan pada analisis perilaku atau pola dari Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) untuk menduga parameter AR dan MA. Dari model ARIMA tentatif yang diperoleh, selanjutnya dilakukan uji diagnostik. Untuk memutuskan model mana yang dipilih dari beberapa model yang fit, maka Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwatrz Criterion (SC) dapat digunakan. Model ARIMA juga telah memenuhi criteria yang disyaratkan dalam evaluasi model Box-Jenkins, yaitu residual bersifat acak, model parsimonious, parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol, kondisi invertibilitas dan stasioneritas terpenuhi yang ditunjukkan oleh jumlah koefisien AR dan MA yang masing-masing kurang dari satu, proses iterasi

convergence, dan model memiliki MSE yang kecil (dapat dilihat dari nilai AIC dan SC). Berdasarkan proses pengujian diperoleh beberapa model ARIMA untuk data harga daging sebagai berikut :

Tabel 12 Model ARIMA data harga daging

Komoditas Model ARIMA Terbaik

Daging Sapi potong ARIMA (1,0,1)

Daging Ayam broiler MA (1)

Model ARIMA yang terpilih pada Tabel 12 merupakan model yang paling memenuhi kriteria. Dari model tersebut kemudian diperiksa residualnya. Hasil pemeriksaan pada residual model menunjukkan bahwa nilai Lagrange Multiplier

dari tiap komoditas lebih besar dari nilai kritis χ22 dengan nilai probability sebesar 0.0000 yang lebih kecil dari 0.05. Terlihat pada Lampiran 11 dan 24, diketahui bahwa nilai F-statistic untuk model ARIMA harga daging sapi potong dan daging ayam broiler secara berturut-turut sebesar 399.3421 dan 523.7072, dengan nilai

probability untuk model dari harga daging sapi potong dan harga daging ayam broiler yang kurang dari 0.05 mengindikasikan bahwa terdapat efek ARCH pada model ARIMA yang diestimasi.

Pendugaan Parameter dan Pemilihan Model Terbaik

Model terbaik ARIMA dapat digunakan lebih lanjut untuk mencari model ARCH-GARCH karena dalam model tersebut terdapat efek ARCH. Langkah pertama adalah mensimulasikan beberapa model ragam dengan spesifikasi model rataan yang telah didapatkan, dilanjutkan dengan pendugaan parameter model menggunakan metode kemungkinan maksimum atau quasi-maximum likelihood

(QML). Simulasi model ini mengkombinasikan nilai r = 1 dan 2 dengan nilai m = 0, 1 dan 2 sehingga terbentuk enam model ragam. Pemilihan model ragam yang terbaik dilakukan dengan mengambil salah satu model dengan nilai AIC atau SC terendah dan memiliki koefisien yang signifikan. Model dugaan sementara dari data harga daging sapi potong dan daging ayam broiler yang terpilih adalah :

Tabel 13 Model ARCH/GARCH terbaik data harga daging

Komoditas Model ARCH/GARCH Terbaik

Daging Sapi potong GARCH (1,1)

Daging Ayam broiler ARCH (1)

Untuk mengetahui kecukupan model-model tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap galat terbakukan (standardized residuals) dengan mengamati nilai statistik uji Jarque-Bera (JB) untuk memeriksa asumsi kenormalan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketidaknormalan galat diatasi melalui pendugaan parameter dengan Quasi-Maximum Likelihood

(QML). Selain itu dalam pengolahan data telah dimasukkan metode

Heteroscedasticity Consistent Covariance Bollerslev-Wooldridge agar asumsi galat menyebar normal tetap terjaga. Sehingga galat baku dugaan parameter tetap konsisten.

Tabel 14 Hasil uji Jarque-Bera

Komoditas Nilai Jarque-Bera Probabilitas

Daging Sapi Potong 992364.8 0.000000

Daging Ayam Broiler 713416.1 0.000000

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap galat terbakukan (Tabel 14), dapat dilihat bahwa nilai JB dari tiap komoditas memiliki nilai probabilitas 0.000000 yang berarti penolakan terhadap hipotesis nol, artinya galat terbakukan tidak menyebar normal. Walaupun tidak menyebar normal, estimasi parameter akan tetap konsisten apabila persamaan rataan dan persamaan varian dispesifikasi dengan benar (Brooks 2002). Tahap berikutnya adalah memeriksa koefisien

Autocorrelation Function (ACF) galat terbakukan. Harapannya adalah bahwa galat terbakukan tersebut saling bebas dan sudah tidak terdapat lagi

heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil uji Ljung-Box terlihat bahwa ACF residual kuadrat pada 15 lag pertama sudah tidak signifikan artinya sudah tidak terdapat efek ARCH. Pada tabel 15, nilai probabilitas dari lag ke-1 hingga lag ke-20 yang lebih besar dari 0.05 menunjukan bahwa residual kuadrat sudah bersifat random dan stasioner (Lampiran 34 dan 35). Dengan demikian kinerja kedua model dapat dikatakan baik.

Tabel 15 Pengujian autokorelasi kuadrat galat terbakukan

Komoditas Hasil Uji Ljung-Box

Daging Sapi Potong Tidak ada autokorelasi

Daging Ayam Broiler Tidak ada autokorelasi

Selain itu hasil uji ARCH (Tabel 16) untuk menguji keberadaan efek ARCH menunjukkan bahwa nilai Langrange Multiplier (LM) lebih kecil dari nilai kritis χ22

. Terlihat nilai probability dari tiap komoditas yang lebih besar dari 0.05. Ini berarti LM test mengindikasikan bahwa memang sudah tidak terdapat efek ARCH pada kedua model yang diestimasi atau dengan kata lain kinierja kedua model sudah baik.

Tabel 16 Hasil pengujian efek ARCH pada residual model ARCH-GARCH

Daging Nilai F-statistic Probabilitas

Sapi Potong 0.010075 0.9201

Ayam Broiler 0.440701 0.5068

Volatilitas Harga Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler

Hasil analisis ARCH-GARCH terhadap harga daging sapi potong menghasilkan model terbaik untuk estimasi volatilitas harga daging sapi potong yaitu model GARCH (1,1). Model tersebut memberikan informasi tentang pola volatilitas harga daging sapi potong pada periode awal Februari 2003 sampai dengan awal Februari 2013. Persamaan model ragam harga daging sapi potong yang diperoleh adalah : ht = 1.42E-05 + 0.705391ht-1+ 0.440435 2t-1.

Model tersebut memberikan informasi bahwa pola pergerakan harga daging sapi potong dipengaruhi oleh volatilitas satu periode sebelumnya dan varian harga satu periode sebelumnya. Model ini dapat diinterpretasikan jika pada harga daging sapi potong hari ini terdapat nilai residual harga dan varian harga yang relatif besar, maka tingkat harga daging sapi potong esok hari akan cenderung besar. Nilai koefisien ARCH pada model menunjukkan tinggi rendahnya volatilitas harga daging sapi potong. Nilai koefisien ARCH pada model ini sebesar 0.440435. Nilai tersebut relatif kecil (tidak mendekati angka satu) sehingga mengindikasikan bahwa volatilitasnya rendah. Adapun nilai koefisien GARCH adalah 0.705391. Nilai tersebut relatif besar (mendekati angka satu) sehingga mengindikasikan bahwa shocks (guncangan) pada varian harga akan bertahan lama (persistence) untuk berubah. Berdasarkan model GARCH (1,1)

diketahui bahwa volatilitas harga daging sapi potong di masa datang akan cenderung semakin kecil dan persistence (berlangsung dalam waktu yang lama).

Hasil analisis ARCH-GARCH terhadap harga daging ayam broiler menghasilkan model terbaik untuk estimasi volatilitas harga daging ayam broiler yaitu model ARCH (1). Model tersebut memberikan informasi tentang pola volatilitas harga daging ayam broiler pada periode awal Februari 2003 sampai dengan awal Februari 2013. Persamaan model ragam harga daging ayam broiler yang diperoleh adalah : ht= 0.00020λ + 0.170352 2t-1.

Model tersebut memberikan informasi bahwa tingkat risiko harga daging ayam broiler hanya dipengaruhi oleh besarnya volatilitas pada satu periode sebelumnya. Model ini dapat diinterpretasikan jika pada harga daging ayam broiler hari ini terdapat nilai residual harga yang relatif besar, maka tingkat harga daging ayam broiler esok hari akan cenderung besar. Nilai koefisien ARCH pada model menunjukkan tinggi rendahnya volatilitas harga daging ayam broiler. Nilai koefisien ARCH pada model ini sebesar 0.170352. Nilai tersebut kurang dari angka satu dan relatif kecil atau tidak mendekati angka satu, sehingga menunjukkan volatilitas yang rendah. Berdasarkan model ARCH (1) diketahui bahwa volatilitas harga daging ayam broiler di masa datang akan cenderung semakin kecil.

Bahan pangan strategis seperti beras, gula, daging sapi, daging ayam, telur, susu, jagung, cabai, bawang, merupakan kebutuhan konsumsi dasar bagi masyarakat Indonesia. Bahan-bahan tersebut secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan manusia dimana pun mereka berada yang terkait dengan ketahanan pangan (Yasin 2013). Ketahanan pangan sangat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Kurangnya ketersediaan pangan strategis dengan kondisi yang aman dan merata serta fluktuasi (volatilitas) harga yang tidak wajar mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.

Gambar 11 Volatilitas harga daging sapi potong periode Februari 2003- Februari 2013

Ketersediaan dan harga bahan pangan seringkali bergejolak akibat berbagai faktor, baik fenomena alam (iklim), kegagalan pasar, juga masalah kelancaran distribusi. Sepanjang tahun 2003 - 2004, minyak mentah mengalami kenaikan. Kenaikan harga minyak ini disebabkan oleh perkembangan ekonomi dunia. Gejolak drastis dan kecenderungan peningkatan harga-harga komoditas pangan di dunia tidak dapat dihindari. Indonesia sendiri tidaklah kebal terhadap gejolak harga pangan dunia tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi pasar dalam negeri.

Harga daging sapi potong dan daging ayam broiler pada periode analisis sangat berfluktuatif (Gambar 11 dan Gambar 12). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi volatilitas harga daging baik sapi potong maupun ayam broiler. Pada periode analisis dari tahun 2003-2013, terdapat beberapa isu baik nasional maupun global yang dianggap mempengaruhi volatilitas harga pangan, termasuk daging sapi potong dan daging ayam broiler. Dunia global semakin berkembang terutama karena dukungan teknologi informasi. Bidang peternakan pun menjadi bagiannya. Salah satu momen penting yakni isu dimulainya perdagangan bebas yang telah dicanangkan pada awal tahun 2003.

Gambar 12 Volatilitas harga daging ayam broiler periode Februari 2003 – Februari 2013

Sumber : Kemendag (2013)

Berdasarkan hasil pendugaan persamaan varian harga daging sapi potong, kemudian dapat digambarkan perubahan volatilitas, dimana terlihat kondisi paling tidak stabil (volatilitas harga daging sapi potong sebesar 0.092182721) adalah pada periode ke-1407. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai-nilai simpangan baku bersyarat pada periode tersebut yang umumnya jauh lebih tinggi dari nilai-nilai simpangan baku bersyarat pada periode lainnya. Berdasarkan data harga daging sapi potong dari Februari 2003 sampai Februari 2013 diketahui bahwa periode tersebut berada pada bulan April 2009. Berdasarkan hasil pendugaan persamaan

varian harga daging ayam broiler, kemudian dapat digambarkan perubahan volatilitas, dimana terlihat kondisi paling tidak stabil (volatilitas harga daging ayam broiler sebesar 0.121778935 dan 0.090432918) adalah pada periode ke-1410 dan pada periode ke-1471. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai-nilai simpangan baku bersyarat pada periode tersebut yang umumnya jauh lebih tinggi dari nilai- nilai simpangan baku bersyarat pada periode lainnya. Berdasarkan data harga

Dokumen terkait