• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Bakteri kitinolitik

Hasil eksplorasi bakteri kitinolitik dari rizosfir kelapa sawit di beberapa lokasi perkebunan kelapa sawit Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diperoleh 77 isolat bakteri. Diantara 77 isolat bakteri yang diperoleh, 7 isolat bakteri positif bersifat kitinolitik. Aktifitas kitinolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona hidrolisis/zona bening di sekitar koloni bakteri pada medium yang mengandung koloidal kitin pada 7 hari setelah inkubasi (hsi) (Gambar 1).

Gambar 1 Isolat bakteri positif kitinolitik dengan zona bening pada media koloidal kitin, tanda panah menunjukkan koloni bakteri, dan tanda panah kiri kanan menunjukkan zona bening aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan bakteri.

Pleban et al. (1997) melaporkan bahwa zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri menandakan adanya aktivitas kitinolitik di medium pertumbuhan yang mengandung kitin. Untuk mengetahui produksi kitinase dari suatu bakteri kitinolitik dapat dilihat dari perubahan warna medium menjadi lebih transparan dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni bakteri. Warna medium transparan disebabkan oleh terdegradasinya kitin pada media tumbuh karena adanya aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri ke medium. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang berperan penting dalam menghidrolisis kitin, enzim ini dihasilkan di dalam sel bakteri, tetapi dikeluarkan ke dalam medium tumbuhnya (Tsujibo et al. 1996; Wijaya 2002; Dewi 2008).

B13 B14 B16 B42

Hasil pengujian gram mengunakan KOH 3% menujukkan bahwa dari ketujuh isolat uji hanya isolat B16 yang gram positif, sedangkan isolat lainnya (B13, B14, B42, AL11, TB41, dan L34) adalah gram negatif. Hasil uji patogenesitas dengan metode hipersensitif pada tanaman tembakau menunjukkan bahwa ketujuh isolat bakteri kitinolitik bereaksi negatif (tidak menimbulkan nekrotik). Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa ketujuh isolat bakteri uji tidak fitopatogenik.

Evaluasi Potensi Antagonisme dan Indeks Kitinolitik

Hasil uji potensi antagonisme 7 isolat bakteri kitinolitik terhadap G. boninense dengan metode kultur ganda pada media cair (PDB) dan media padat (PDA) menunjukkan hasil yang berbeda. Pada media cair, ketujuh isolat bakteri uji memiliki kemampuan menekan pertumbuhan G. boninense yang tinggi, yaitu lebih dari 95%. Pada media padat hanya isolat AL11, TB41, dan L34 yang menunjukkan penekanan yang relatif tinggi yaitu 52%, 44%, dan 41%. Sedangkan isolat B14, B13, B16, dan B42 hanya mampu menghambat pertumbuhan G. boninense kurang dari 10% (Gambar 3 dan Tabel 3).

Gambar 2 Penekanan pertumbuhan G. boninense oleh bakteri kitinolitik pada media cair (atas), tanda panah menunjukkan pertumbuhan koloni G. boninense, dan padat (bawah), tanda garis menunjukkan zona penghambatan.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada media cair, persentase penghambatan semua isolat bakteri berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Kontrol Isolat B14 Isolat B42 Isolat Al11 Isolat TB41

Namun, persentase penghambatan antar masing-masing isolat bakteri tidak berbeda nyata. Sedangkan pada media padat semua isolat juga menunjukkan persentase penghambatan yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, kecuali isolat B42 (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase penghambatan pertumbuhan G. boninense dengan perlakuan bakteri kitinolitik pada media padat 4 hsi dan media cair 14 hsi

Perlakuan Persentase penghambatan (%)

Media cair Media padat

Kontrol 0.00 c 0.00 a Dh5α 29.99 b 0.00 a B13 96.30 a 9.33 c B14 99.33 a 2.67 b B16 99.55 a 4.00 b B42 99.63 a 0.00 a AL11 99.63 a 52.00 e TB41 99.65 a 44.00 d L34 99.62 a 41.33 d

Keterangan: Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasar uji BNT α0.05

Perbedaan kemampuan penekanan pertumbuhan G. boninense pada media cair dan padat diduga karena adanya perbedaan mekanisme antagonisme dominan yang berperan pada media padat dan media cair. Pada media padat mekanisme antagonisme dominan yang berperan adalah enzimatis sedang pada media cair kemungkinan ada mekanisme senyawa atau aktivitas lain yang terlibat dalam proses antagonisme dari bakteri kitinolitik.

Hasil pengukuran indeks kitinolitik 7 hsi menunjukkan aktivitas kitinolitik bahwa masing-masing bakteri berbeda-beda. Nilai indeks kitinolitik tertinggi ditunjukkan pada isolat B16 dan B42, diiukiti isolat B13 dan B14. Indeks kitinolitik yang lebih rendah ditunjukkan oleh isolat TB41, AL11, dan L34. Besarnya indeks kitinolitik ini tidak berhubungan dengan kecepatan tumbuh masing-masing isolat bakteri (Gambar 2).

Media yang digunakan pada pengujian indeks kitinolitik adalah koloidal kitin (chitin shell scrab agar). Koloidal kitin memiliki karakter relatif mudah untuk diasimilasi dan dimanfaatkan oleh suatu mikroba. Menurut Chernin et al. (1995) bakteri kitinolitik dapat menghidrolisis koloidal kitin setelah ditumbuhkan 72-96 jam pada campuran 1.5% agar dan 0.2% koloidal kitin sebagai sumber karbon.

Gambar 3 Indeks kitinolitik 7 isolat bakteri pada 7 hsi ( ) dan pertumbuhan koloni bakteri kitinolitik ( ).

Hasil percobaan menunjukkan bahwa kemampuan menghidrolisis kitin dari 7 isolat bakteri uji berbeda-beda. Hal ini mungkin disebabkan jenis subtrat kitin yang digunakan. Menurut Joo 2005, Gohel et al. 2006, dan Brzezinska et al. 2007, kemampuan menghidrolisis kitin dari setiap strain bakteri kitinolitik salah satunya dipengaruhi oleh susbtrat kitin yang digunakan. Menurut Joo (2005), aktivitas kitinolitik Streptomyces halstedii lebih tinggi terjadi pada medium koloidal kitin yang mengandung campuran kitobiose, kitotriose, kitotetrose, dan kitopentose.

Dari hasil pengujian indeks kitinolitik pada media koloidal kitin dan pengujian potensi antogonisme pada media padat dapat dilihat bahwa nilai indeks kitinolitik yang tinggi tidak selalu diikuti dengan potensi antagonis yang tinggi terhadap G. boninense. Isolat bakteri AL11, TB41, dan L34 walaupun pada pengujian indeks kitinolitik menunjukan nilai indeks kitinolitik yang rendah namun pada pengujian kemampuan antagonis pada media padat ketiga isolat tersebut menunjukkan kemampuan antagonis yang lebih tinggi dibanding isolat lain.

Kemampuan memproduksi enzim ekstraseluler termasuk produksi enzim kitinase, bukan merupakan satu-satunya penentu keefektifan daya hambat isolat bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan G. boninense. Menurut Zhang (2004), antagonisme antara rizobakteri dengan fungi patogen dapat terjadi melalui mekanisme antibiosis, kompetisi, produksi enzim ekstraseluler, atau induksi resistensi. 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 B13 B14 B16 B42 AL11 TB41 L34 Ind ek s k it ino li ti k Perlakuan 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 B13 B14 B16 B42 AL11 TB41 L34 Di am et er k ol on i (c m ) Perlakuan B42 B13 B14 B16 B42 AL11 TB41 L34

Berdasarkan hasil uji antagonisme in vitro, hanya dipilih 2 isolat bakteri untuk evaluasi keefektifannya mengendalikan BPB pada bibit kelapa sawit yaitu isolat TB41 dan AL11. Pemilihan kedua isolat tersebut untuk dievaluasi keefektifannya dalam mengendalikan BPB pada bibit kelapa sawit karena kedua isolat tersebut menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan G. boninense yang konsisten tinggi baik pada media cair maupun media padat.

Pengaruh Aplikasi Bakteri Kitinolitik dan FMA terhadap BPB

Hasil pengamatan menujukkan bahwa pada akar bibit sawit yang diinokulasi patogen terdapat gejala nekrotik berwarna coklat kehitaman. Nekrotik ini meluas seiring dengan perkembangan penyakit. Sedangkan semua tanaman tanpa inokulasi patogen tidak menunjukkan adanya gejala nekrotik pada akar. Hal ini terjadi karena pada perlakuan tanpa inokulasi patogen (kontrol) memang tidak ada inokulum patogen yang dapat menimbulkan infeksi pada bibit sawit. Adanya aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan kombinasinya menurunkan pesentase akar bibit sawit yang mengalami nekrotik. Contoh akar yang mengalami nekrotik dan penilaian keparahan penyakit disajikan pada Gambar 4.

C

Gambar 4 Gejala nekrotik (tanda panah) pada akar bibit sawit. (A) Tanaman tanpa patogen, (B) M1B2W2P1, (C) M0B0P1, (D) Kontrol patogen. Akar yang terinfeksi G. boninense mengalami pembusukan dengan zona pembusukan yang tidak teratur, sehingga akar menjadi lebih rapuh dan hancur. Hal ini sesuai dengan laporan Ariffin et al. (2000), Susanto (2002), Pradikta (2008), dan Risanda (2008), bahwa akar tanaman yang terserang BPB sangat A Tanaman sehat B Nekrotik 1%≤ x˂20% Nekrotik 20%≤ x˂40% D Nekrotik 60≤ x≤ 100%

rapuh. Jaringan korteks berubah warna dari putih menjadi coklat kehitaman, dan mudah didisintegrasi. Pada serangan berat stele menjadi kehitaman, kadang- kadang bagian permukaan sebelah dalam endodermis ditemukan hifa berwarna keputihan yang merupakan tanda penyakit.

Dalam percobaan ini, hingga 2 bulan setelah inokulasi belum ditemukan gejala busuk pada pangkal batang. Akan tetapi, gejala nekrotik pada akar yang merupakan gejala awal adanya infeksi G. boninense sudah dapat digunakan sebagai indikator perkembangan BPB. Yulianti (2001), melaporkan bahwa inokulasi G. boninense selama 5 bulan belum menunjukkan gejala BPB pada pangkal batang dan daun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sinaga et al. (2003) dan Risanda (2008), bahwa periode inkubasi G. boninense untuk dapat menimbulkan gejala pada tajuk tanaman kelapa sawit cukup lama. Menurut Sinaga et al. (2003), bahwa inisiasi gejala nekrotik pada daun dan pangkal batang muncul pada bulan ketujuh setelah inokulasi G. boninense.

Hasil analisis statitistik menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi bakteri kitinolitik dan FMA secara tungal dan kombinasinya berpengaruh nyata pada keparahan penyakit (Tabel 4). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa persen keparahan penyakit semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (inokulasi G. boninense), sedangkan antar perlakuan aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan kombinasinya bervariasi (Tabel 5). Perlakuan kombinasi antara bakteri kitinolitik dan FMA menunjukkan penekanan keparahan penyakit yang lebih tingi dibandingkan dengan perlakuan tunggal isolat bakteri kitinolitik dan FMA (Tabel 5 dan Gambar 5).

Tabel 4 Sidik ragam perlakuan aplikasi bakteri kitinolitik, FMA, dan kombinasinya terhadap keparahan penyakit

Sumber keragaman db F hitung P-value

Petak utama (PU) 1 181.62 ˂.0001*

Anak petak (AN) 9 17.52 ˂.0001*

Galat a 8 3.30 0.0029

PU*AN 9 17.52 ˂.0001*

Galat b 72

Total 99

Keterangan: Tanda bintang (*) dibelakang nilai P-value menunjukkan berpengaruh nyata

Berdasarkan persen keparahan penyakit yang ditunjukkan melalui gejala nekrotik akar diketahui bahwa perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri

kitinolitik menghasilkan kolonisasi FMA dan persentase penekanan keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal. Aplikasi patogen tidak mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar. Aktivitas enzim peroksidase pada perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri kitinolitik tidak selalu lebih tinggi dibanding pada perlakuan tunggal, baik dengan ataupun tanpa inokulasi G. boninense. Aktivitas enzim peroksidase yang tinggi tidak selalu diikuti dengan ketahanan tanaman terhadap G. boninense. Pada bibit sawit yang aplikasikan G. boninense, waktu aplikasi bakteri kitinolitik (isolat TB41) dan FMA juga berpengaruh terhadap kemampuan menekan keparahan penyakit. Perlakuan FMA terlebih dulu memberikan hasil yang lebih baik dalam menekan keparahan penyakit, namun berbeda dengan isolat bakteri AL11 perbedaan waktu aplikasi bakteri kitinolitik dan FMA menunjukkan kemampuan yang sama dalam menekan keparahan penyakit (Tabel 5).

Tabel 5 Persentase kolonisasi FMA, aktivitas enzim peroksidase, dan persentase penekanan penyakit pada akar bibit sawit pada berbagai perlakuan

Perlakuan Kolonisasi FMA

(%) Aktivitas enzim peroksidase (min-1 mg-1 protein). Penekanan penyakit (%) M0B0P1 0.00 0.0059 0.00 a M0B1P1 0.00 0.0044 55.00 b M0B2P1 0.00 0.0017 70.00 bc M1B0P1 42.50 0.0025 70.00 bc M1B1W0P1 55.36 0.0013 75.00 bcd M1B1W1P1 60.47 0.0028 80.00 bcd M1B1W2P1 60.78 0.0016 90.00 cd M1B2W0P1 51.85 0.0020 90.00 cd M1B2W1P1 61.90 0.0026 90.00 cd M1B2W2P1 91.23 0.0017 95.00 cd M0B0P0 0.00 0.0020 100.00 d M0B1P0 0.00 0.0017 100.00 d M0B2P0 0.00 0.0022 100.00 d M1B0P0 48.89 0.0027 100.00 d M1B1W0P0 57.45 0.0021 100.00 d M1B1W1P0 55.81 0.0031 100.00 d M1B1W2P0 52.83 0.0025 100.00 d M1B2W0P0 92.86 0.0018 100.00 d M1B2W1P0 62.16 0.0026 100.00 d M1B2W2P0 68.09 0.0025 100.00 d

Keterangan: Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji BNT α0.05

b bc bc bcd bcd cd cd cd cd 0 20 40 60 80 100 Per se nt as e (% ) Perlakuan

Gambar 5 Keparahan penyakit ( ) dan kolonisasi FMA( ) pada akar bibit sawit yang diinokulasi G. boninense.

Keterangan: Huruf yang sama diatas bar menunjukan tidak berbeda nyata berdasar uji BNT α0.05

Hasil percobaan ini membuktikan bahwa antara FMA dan isolat bakteri (TB41 dan AL11) saling kompatibel dan sinergis menekan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penekanan keparahan penyakit dan kolonisasi FMA pada akar bibit sawit yang lebih tinggi pada perlakuan kombinasi dibanding pada perlakuan tunggal. Menurut Barea et al. (2005), beberapa bakteri yang diisolasi dari rizosfir dapat membantu perkembangan dan stabilitas FMA. Citernesi et al. (1996) dan Budi et al. (1999) melaporkan hubungan bakteri rizosfir dengan tanaman yang dikolonisasi oleh FMA menunjukkan asosiasi yang kompatibel. Beberapa bakteri dilaporkan berasosiasi dengan FMA (Bianciotto et al. 2003). Beberapa bakteri juga telah ditemukan terkait dengan struktur hifa eksternal FMA (Toljander et al. 2006) dan spora atau dinding spora (Roesti et al. 2005). Bakteri yang berasosiasi dengan FMA dapat meningkatkan potensi biokontrol dari FMA dengan menghambat pertumbuhan miselium, produksi sporangium, dan perkecambahan zoospore fungi patogen (Budi et al. 1999) serta memperbaiki struktur tanah (Andrade et al. 1997). Asosiasi antara bakteri dan FMA juga dapat meningkatkan perkecambahan spora FMA (Walley & Germida 1996; Bianciotto & Bonfante 2002; Hildebrandt et al. 2002; Xavier & Germida 2003).

Pada percobaan ini adanya aplikasi bakteri kitinolitik selain meningkatkan persen akar yang dikolonisasi oleh FMA, juga meningkatkan persen penekanan keparahan penyakit pada akar bibit sawit. Hasil ini sejalan dengan penelitian Cruz et al. (2008) yang menyatakan bahwa aktivitas biokontrol yang dilakukan

oleh FMA di dalam tanah terutama di daerah rizosfir berkaitan dengan bakteri yang berasosiasi dengan FMA. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa semakin tinggi persen kolonisasi FMA pada akar, penekanan terhadap penyakit juga semakin tinggi. Hal yang sama dilaporkan oleh Khaosaad et al. (2007), bahwa pengaruh sistemik dari kolonisasi akar oleh FMA Glomus mosseae terhadap infeksi Gaeumannomyces graminis var. tritici (GGT) berkurang ketika tanaman barlei menunjukkan tingkat kolonisasi mikoriza yang tinggi.

Meskipun perlakuan kombinasi antara FMA dan bakteri kitinolitik menunjukkan hasil persentase penekanan penyakit yang lebih baik namun perlakukan tunggal bakteri kitinolitik dan FMA juga mampu menekan persentase keparahan penyakit BPB. Bakteri kitinolitik telah banyak digunakan sebagai agens biokontrol yang potensial karena kemampuannya untuk melisis dinding sel fungi patogen dan kemampuannya memanfaatkan hifa fungi sebagai substrat pertumbuhan (De Boer et al. 2001). Penelitian pemanfaatan bakteri kitinolitik untuk pengendalian penyakit tumbuhan diantaranya diaporkan oleh Ordentlich et al. (1987) yang melaporkan bahwa kultur filtrat bakteri kitinolitik Serratia marcescens efektif sebagai agens biokontrol terhadap Sclerotium rolfsii. Sedangkan Singh et al. (1999) melaporkan bahwa Paenibacillus spp. dan Streptomyces spp. mampu menekan layu Fusarium pada mentimun.

Hasil penelitian El-Tarabily et al. (2000), menunjukkan bahwa beberapa Streptomyces dan bakteri non-Streptomyces adalah penghasil kitinase dan berpotensi sebagai antagonis terhadap Sclerotiorum pada selada. Dua dari isolat S. viridodiasticus dan Mictomonospora carbonacea menghasilkan kitinase yang tinggi dan secara signifikan mengurangi pertumbuhan Sclerotiorum pada percobaan in vitro, dan mengurangi kejadian penyakit di rumah kaca. Chung et al. (2005) mengembangkan formulasi yang mengandung bakteri kitinolitik Sreptomyces padanus untuk mengendalikan Rhizoctonia solani penyebab damping-off pada bibit kubis cina. Kamil et al. (2007) melaporkan Bacillus licheniformis, Stenotrophomonas maltophilia, B. licheniformis dan B. thuringiensis secara in vitro efektif menekan pertumbuhan Rhizoctonia solani, Macrophomina phasiolina, F. culmorum, Pythium sp, Alternaria alternata dan S.

rolfsii, dan (Suryanto et al. 2010) melaporkan bakteri kitinolitik sebagai agens biokontrol layu Fusarium pada cabai merah.

Menurut De Boer et al. (2001) dan Gohel et al. (2006), bakteri kitinolitik memiliki beberapa mekanisme dalam menekan patogen. Dalam menekan fungi, bakteri dapat melisis hifa fungi atau menyebabkan dinding sel fungi menjadi tidak stabil. Bakteri kitinolitik akan memanfaatkan hifa fungi sebagai substrat untuk pertumbuhannya. Selain itu bakteri ini juga dapat bersimbiosis dengan akar tanaman dan menghasilkan kitinase yang berperan sebagai pertahanan diri bagi tanaman dalam melawan patogen.

Hasil penelitian tentang pemanfaatan FMA untuk pengendalian patogen telah banyak dilaporkan antara lain oleh Cordier et al. (1998) dan Pozo et al. (2002) melaporkan bahwa aplikasi FMA (G. mosseae) efektif mengendalikan Phytophthora parasitica pada tanaman tomat, Hashim (2003) melaporkan bahwa aplikasi mikoriza efektif menekan kematian akibat G. boninense pada kelapa sawit, Khaosaad et al. (2007) melaporkan bahwa aplikasi FMA secara sistemik mampu menekan Gaeumannomyces graminis var. tritici pada tanaman barlei, dan Ozgonen et al. (2010) bahwa FMA efektif untuk pengendalian busuk batang yang disebabkan oleh S.rolfsii pada kacang tanah.

Secara umum peran FMA dalam pengendalian patogen tanaman adalah adanya perubahan pada anatomi dan morfologi akar yang berasosiasi dengan FMA, perubahan populasi mikrob disekitar rizosfir tanaman yang berasosiasi dengan FMA, dan pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman oleh adanya asosiasi dengan FMA (Azcón-Aguilar & Barea 1996). Sedangkan secara spesifik misalnya adanya aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam biosintesis lignin (peroksidase dan polifenol oksidase) maupun enzim hidrolitik (kitinase dan glukanase), adanya pembentukan struktur seperti papila maupun deposisi material seperti kalus terutama pada tempat terjadinya infeksi patogen (Cordier et al. 1998; Pozo et al. 2002; Lee et al. 2005; Zheng et al. 2005).

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi FMA dan bakteri kitinolitik lebih baik dalam menekan keparahan penyakit dibanding perlakuan tunggal. Namun aktivitas enzim yang berhubungan dengan reaksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (enzim peroksidase) pada perlakuan

0.000 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 M0B0 M0B1 M0B2 M1B0 M1B1W0 M1B1W1 M1B1W2 M1B2W0 M1B2W1 M1B2W2 Ak tiv it a s enzim P O D (U/m g /m in) Perlakuan

kombinasi FMA dan bakteri kitinolitik tidak selalu lebih tinggi dibanding perlakuan tunggal (Gambar 6). Hasil pengukuran aktivitas enzim peroksidase tidak menunjukkan pola yang jelas, walaupun demikian diduga bahwa sebenarnya pembentukan lignin pada akar telah terjadi. Pola aktivitas enzim yang tidak jelas tersebut mungkin disebabkan karena analisis aktivitas ezim peroksidase dilakukan pada akhir percobaan (2 bulan setelah inokulasi patogen). Dari beberapa hasil penelitian pada umumnya mengukuran aktivitas enzim peroksidase dilakukan maksimal satu minggu setelah inokulasi petogen.

Gambar 6 Aktivitas enzim peroksidase pada perakaran bibit sawit ’tanpa

patogen’ ( ) dan ’dengan patogen’ ( ) pada berbagai perlakuan.

Peroksidase merupakan kelompok PR-protein dari golongan PR-9. Aktivitas peroksidase berhubungan dengan resistensi penyakit pada tanaman (Lin & Kao 2001; Ray etal. 1998), dan meningkat pada tanaman inang setelah infeksi patogen (Borden & Higgins 2002; Koike et al. 2001; Zheng et al. 2005). Peroxidase adalah enzim yang berpartisipasi dalam proses oksidasi reduktif polisakarida dalam dinding sel, seperti oksidasi fenol, suberisasi, dan lignifikasi sel tanaman inang (Ray et al. 1998). Peroksidase dilaporkan berperan sebagai katalis dalam tahap akhir biosintesis lignin dan hidrogen peroksida (Breusegem et al. 2001).

Menurut Breusegem et al. (2001) dan Lin & Kao (2001) resistensi tanaman terhadap patogen dikaitkan dengan induksi peroksidase dalam jaringan inang. Demikian juga Gupta et al. (1990) dan Tenaya et al. (2001) menyimpulkan dari

beberapa hasil penelitian tentang studi ketahanan terhadap penyakit bahwa aktivitas enzim peroksidase berhubungan dengan ketahanan dan dapat digunakan

sebagai penanda seleksi ketahanan terhadap penyakit. Namun menurut Chen et al. (2000) dan Mohammadi & Kazemi (2002) selain peroksidase, akumulasi lignin dan senyawa fenolik juga berhubungan dengan resistensi tanaman dalam interaksinya dengan patogen tanaman, seperti Fusarium graminearum pada gandum dan Pythium aphanidermatum pada ketimun.

Seevers et al. (1971) mengemukakan bahwa peningkatan peroksidase dapat dilihat hanya sebagai sebuah gejala biokimia dan peristiwa lainnya yang sebelumnya menyebabkan resistensi. Kenyataan bahwa peningkatan peroksidase tertentu dapat memberikan beberapa informasi tentang kejadian biokimia sebelumnya atau berhubungan dengan pengembangan resistensi.

Pengaruh Aplikasi Bakteri Kitinolitik dan FMA terhadap Pertumbuhan Bibit Sawit

Hasil pengukuran kebugaran tanaman (berat basah akar, tajuk, dan tinggi tanaman) disajikan pada Tabel 6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa adanya aplikasi FMA dan bakteri kitinolitik meningkatkan berat tajuk dan persen penambahan tinggi tanaman walaupun ada inokulasi G. boninense. Pengaruh aplikasi FMA dan bakteri kitinolitik terhadap kebugaran tanaman ini diduga karena adanya peningkatan penyerapan hara oleh tanaman terutama yang diaplikasi FMA. Selain itu, kemampuan FMA dan bakteri kitinolitik dalam menghambat dan menekan perkembangan patogen juga faktor lain yang dapat meningkatkan kebugaran tanaman, terutama pada tanaman yang diinokulasi dengan patogen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi antara FMA dan bakteri cenderung lebih baik dalam meningkatkan kebugaran tanaman atau dengan kata lain terdapat kompatibilitas antara FMA dengan 2 isolat bakteri kitinolitik yang diuji. Hal ini sesuai Artursson et al. (2006) yang melaporkan bahwa beberapa bakteri telah terbukti secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkecambahan spora FMA dan memberikan dampak menguntungkan untuk tanaman melalui asosiasi FMA dan bakteri. Bakteri bersama dengan FMA dapat menciptakan sinergi yang secara tidak langsung mendukung pertumbuhan tanaman, termasuk penyerapan hara, penghambatan fungi patogen tanaman, dan

peningkatan percabangan akar, sekaligus membentuk pertahanan terhadap infeksi patogen.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan bakteri kitinolitik dan FMA terhadap kebugaran tanaman berdasarkan berat basah akar dan tajuk serta tinggi tanaman

Perlakuan Berat Tajuk (g) Berat Akar (g) Penambahan Tinggi Tajuk

(%)

M0B0P1 20.90 a 8.82 abcdf 20.76 a

M0B1P1 22.10 ab 7.26 ab 33.85 bc

M0B2P1 22.45 abc 7.74 abcd 32.18 abc

M1B0P1 25.17 abcdefg 8.38 abcde 39.68 bc

M1B1W0P1 25.01 abcdefg 8.50 abcde 31.73 abc

M1B1W1P1 26.95 cdefg 8.56 abcdef 30.84 abc

M1B1W2P1 29.05 fg 9.55 cdef 28.64 ab

M1B2W0P1 25.59 abcdefg 7.93 abcde 41.46 bc

M1B2W1P1 26.43 bcdefg 8.02 abcde 43.33 c

M1B2W2P1 27.54 defg 9.39 bcdef 30.50 abc

M0B0P0 29.71 g 10.07 ef 36.58 bc

M0B1P0 23.02 abcd 6.91 a 36.22 bc

M0B2P0 23.35 abcde 8.87 abcdef 33.26 abc

M1B0P0 28.19 efg 10.77 f 33.42 abc

M1B1W0P0 26.83 bcdefg 8.54 abcdef 35.93 bc

M1B1W1P0 28.12 defg 8.37 abcde 35.48 bc

M1B1W2P0 25.77 bcdefg 7.37 abc 33.41 abc

M1B2W0P0 25.59 abcdefg 8.28 abcde 42.56 c

M1B2W1P0 26.94 cdefg 7.06 a 37.56 bc

M1B2W2P0 28.66 def 9.88 def 30.96 abc

Keterangan: Huruf yang sama dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasar uji BNT α0.05

Dokumen terkait