• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB)

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan penyakit utama pada perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia (Idris et al. 2004). Hasil penelitian Abadi (1987), BPB di Sumatera Utara disebabkan oleh G. boninense, demikian pula di Malaysia. Ho & Nawawi (1985) melaporkan bahwa ratusan tubuh buah yang dikumpulkan dari berbagai tempat di Malaysia, semuanya adalah spesies G. boninense.

Tanaman kelapa sawit dewasa yang terserang G. boninense menunjukkan gejala awal pada pelepah daun berwarna pucat seperti kekurangan unsur hara. Tetapi hanya terbatas pada beberapa pelapah yang terdapat di pucuk. Daun akan mengalami nekrotik dimulai dari daun tua kemudian ke yang lebih muda dan tidak membuka serta lebih banyak dari biasanya. Pelepah daun patah dan menggantung. Gejala ini sering muncul pada tanaman yang sudah tua yaitu tanaman yang berumur lebih dari 15 tahun. Gejala yang paling khas dari penyakit ini adalah terjadinya pembusukan pada pangkal batang serta diikuti robohnya pohon dan adanya basidiospora sebagai tanda penyakit. Gejala internal yaitu berupa zona-zona yang mengalami pembusukan ditandai dengan adanya garis- garis berwarna coklat kehitaman. Kerusakan pada akar, terlihat adanya perubahan warna jaringan utama stele yang kemudian lapuk. Di permukaan kulit akar yang sakit tidak pernah ditemukan massa miselium. Diduga miselianya hanya terdapat di dalam jaringan akar sakit, terutama stele yang mengalami perubahan warna (Abadi 1987; Susanto et al. 2005).

Kejadian penyakit BPB lebih tinggi pada kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Akibatnya, selain menurunkan produktifitas pada tanaman kelapa sawit yang menghasilkan (TM), usia produktif tanaman kelapa sawit menjadi berkurang, dan replanting (penanaman kembali) kelapa sawit menjadi lebih cepat. Tanaman yang seharusnya dapat mencapai umur 25-30 tahun pada kondisi sehat, harus diganti ketika baru mulai berproduksi. Laju infeksi G. boninense akan semakin cepat pada kebun yang telah mengalami peremajaan, ketika populasi sumber penyakit (inokulum) G. boninense sudah

semakin banyak. Kondisi ini akan mengancam kelangsungan hidup tanaman kelapa sawit muda yang baru saja ditanam untuk menggantikan tanaman yang telah mati (Sinaga et al. 2003).

Berbagai usaha telah dilakukan untuk pengendalian penyakit BPB, namun hingga saat ini belum dapat dikatakan berhasil. G. boninense bersifat soil borne dan kemampuan bertahan dalam kondisi kurang optimal yang tinggi merupakan salah satu faktor yang mempersulit usaha pengendalian baik secara kultur teknis, mekanis, maupun kimiawi. Pengendalian menggunakan fungisida baik dengan metode absorpsi akar maupun penyiraman fungisida ke dalam tanah kurang efektif, karena pengaruh sifat fisik dan kimia tanah atau terdegradasi oleh mikroflora di dalam tanah sebelum mencapai sasaran. Selain itu efek samping yang ditimbulkan dapat membahayakan lingkungan. Keragaman mikroorganisme yang berpotensi sebagai angens biokontrol dapat berkurang karena penggunaan fungisida secara terus menerus (Sinaga et al. 2003; Susanto 2002).

Beberapa pendekatan pengendalian mulai dikembangkan diantaranya pengendalian hayati dan penggunaan tanaman tahan. Menurut Agrios (2005) penggunaan tanaman tahan adalah cara yang paling mudah, murah, dan aman sepanjang varietas dari tanaman tahan yang dimaksud tersedia. Namun diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan suatu varietas tanaman tahan merupakan kendala tersendiri. Penggunaan varietas tahan yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi varietas mudah patah dan dapat menimbulkan masalah yang lebih berat, terlebih jika penggunaannnya bersamaan dengan aplikasi pestisida secara berlebihan seperti yang biasa dilakukan di perkebunan (Sinaga et al. 2003).

Strategi pengendalian yang harus dikembangkan berdasarkan bioekologi G. boninense ialah pengendalian yang mampu menekan jumlah inokulum awal patogen sampai taraf yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi, pendekatan terhadap ekosistem alami, dan berkelanjutan. Pengendalian yang bersifat ramah lingkungan dan mampu menekan inokulum patogen, ialah pengendalian hayati. Salah satu teknik pengendalian hayati dapat dilakukan melalui introduksi agens antagonis ke dalam agroekosistem. Teknik ini

berpotensi mengendalikan patogen-patogen yang bersifat tular tanah termasuk G. boninense (Cook & Baker 1996; Sinaga et al. 2003).

Potensi Bakteri Kitinolitik dan Mikoriza untuk Pengendalian G. boninense Bakteri Kitinolitik

Pemanfaatan mikrob kitinolitik merupakan salah satu cara pengendalian hayati yang efektif untuk fungi patogen tanaman. Mikrob ini dapat digunakan langsung sebagai agens antagonis atau menggunakan protein murni dari mikrob kitinolitik atau melalui manipulasi gen (Tahtamouni et al. 2006; Singh et al. 1999). Enzim kitinase yang diproduksi mikrob kitinolitik dapat menghidrolisis struktur kitin, yang merupakan struktur utama penyusun dinding sel, spora, tabung kecambah, dan miselia fungi, sehingga fungi tidak mampu menginfeksi tanaman. Salah satu penyakit yang dapat dikendalikan dengan mikrob kitinolitik adalah penyakit karat daun kedelai yang disebabkan oleh fungi Phakopsora pachyrhizi Syd. Penyakit ini sukar dikendalikan dengan varietas tahan karena pergeseran ras patogen yang cepat sementara sumber ketahanan kedelai sangat terbatas (Priyatno et al. 2001).

Pengendalian hayati fungi dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme menghasilkan enzim kitinase dan β- 1,3-glukanase yang dapat melisis sel fungi (El-Katatny et al. 2000). Kemampuan kitinolitik bakteri sebagai agens biokontrol patogen dilaporkan oleh Inbar & Chat (1991), yang menggunakan Aeromonas caviae untuk mengendalikan beberapa fungi patogen tanaman. Selain A. caviae beberapa bakteri kitinolitik dilaporkan memiliki potensi sebagai pengendali hayati misalnya P. syringae, Burkholderia cepasia, Bacillus subtilis, Agrobacterium radiobacter, Enterobacter cloacae dan Streptomyces griseoviridis, Actinomycetes, (Fravel et al. 1998; Tahtamouni et al. 2006).

Mikoriza

Pengendalian patogen tular tanah sangat baik dan efisien, bila menggunakan jasad renik (mikrob), karena perkembangan mikrob bersifat berkelanjutan, memiliki persistensi yang tinggi di alam, aman, dan berwawasan lingkungan

(Cook & Baker 1996). Mikoriza adalah mikrob yang berpotensi sebagai agens biokontrol terhadap patogen tular tanah.

Fungi mikoriza arbuskular (FMA), memiliki pengaruh yang luas terhadap patogen dan mikrob non-patogenik di dalam tanah. Selain berpotensi dalam pengendalian hayati, juga mampu meningkatkan penyerapan hara esensial terutama fosfor (P) oleh akar tanaman. Selain itu, FMA mampu meningkatkan kandungan klorofil dan zat perangsang tumbuh, sehingga tanaman terhindar dari stres lingkungan terutama saat dipindahkan ke lapangan (Hasanuddin & Gonggo 2004; Widiastuti et al. 2005).

Sharda & Rodrigues (2009) merangkum beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa tanaman yang berasosiasi dengan FMA akan mengalami perubahan dalam morfologi pada akar dan jaringan akar. Terjadi lignifikasi dinding sel akar tanaman inang akan menghambat infeksi patogen akar. Pada tanaman yang bermikoriza, mengandung isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tahan terhadap serangan patogen karena senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan patogen tanah. Perubahan pada unsur kimia dan jaringan tanaman, pengurangan stres abiotik, dan perubahan populasi mikroorganisme pada rizosfir (Artursson et al. 2006). Kontribusi FMA sebagai agens biokontrol penyakit tanaman, terutama patogen tular tanah karena memiliki kemampuan untuk mengeluarkan zat antibiotik (Azcon-Anguilar & Barea 1996) dan atau menghasilkan metabolit sekunder seperti fitoaleksin (Harrison & Dixon 1993) dan senyawa fenolik (Grandmaison et al. 1993).

Imas et al. (1989) mengemukakan bahwa mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi patogen akar dengan mekanisme sebagai berikut: (1) adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen, (2) mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen, (3) akar tanaman yang sudah diinfeksi fungi mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh fungi patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.

Salah satu percobaan dilakukan oleh Azizah et al. (1990) dengan menggunakan FMA sebagai agens biokontrol Ganoderma penyebab penyakit akar merah kakao. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pra-inokulasi FMA pada

bibit kakao berusia dua minggu berhasil mengurangi kejadian penyakit sebesar 50% dibandingkan dengan kontrol, lima bulan setelah paparan patogen. Handayani (2004) melaporkan akar semai tusam bermikoriza mempunyai aktivitas kitinase lebih tinggi daripada semai yang tidak bermikoriza dan aktivitas antifungi dari kitinase menunjukkan kitinase mampu menghambat miselia Fusarium sp. Oleh Widiastuti et al. (2005) dilaporkan bahwa simbiosis fungi mikoriza arbuskular (FMA) dapat meningkatkan serapan fosfor pada pembibitan kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari Juni 2009 sampai Juli 2010 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Mikologi Tumbuhan, dan lahan percobaan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

1. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik

Bakteri kitinolitik diisolasi dari rizosfir tanaman kelapa sawit yang diambil dari PTPN XIV (Sulawesi Selatan) dan PT Astra Agrolestari (Sulawesi Barat). Akar digerus kemudian dilakukan pencawanan untuk setiap seri pengenceran. Sedangkan suspensi tanah dibuat dengan menambahkan 5g tanah ke dalam 50 ml phospat buffer saline, diratakan dengan menggunakan inkubator bergoyang (shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama 1 jam, dan dilakukan pencawanan untuk setiap seri pengenceran pada media nutrien agar. Koloni bakteri yang muncul diinokulasikan pada media luria-bertaini (LB) 10% dengan penambahan serbuk kitin 1% (b/v) sebagai induksi awal bakteri kitinolitik dan ditumbuhkan selama ±12 jam. Setelah itu sebanyak 10 µl kultur bakteri diteteskan ke dalam media kitin dan diinkubasi pada suhu ruang. Koloni yang menghasilkan zona bening pada media kitin adalah bakteri kitinolitik yang dipilih untuk pengujian berikutnya yaitu uji patogenitas isolat bakteri dengan metode hipersensitif pada tanaman tembakau. Pengujian ini dilakukan dengan menyuntikan suspensi bakteri pada daun tembakau dengan menggunakan syringe steril. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya gejala nekrotik pada daun tembakau yang disuntik dengan suspensi bakteri setelah 24 jam (Schaad et al. 2001).

Isolat bakteri yang positif kitinolitik dan tidak patogen tersebut kemudian dikarakterisasi dengan uji gram. Pengujian dilakukan dengan menggunakan KOH 3%, untuk mengetahui sifat bakteri apakah gram positif atau negatif. Satu tetes larutan KOH 3% diteteskan pada gelas objek kemudian inokulum bakteri kitinolitik umur 24 jam (dari biakan pada media padat) diletakan diatasnya menggunakan jarum ose. Kemudian diaduk selama 5-10 detik dan jarum ose

diangkat-angkat keatas dari tetesan tersebut. Reaksi positif ditunjukkan dengan larutan KOH 3% menjadi kental dan cairan mengikuti jarum ose sampai 0.5-2 cm atau lebih, bila jarum tersebut di angkat. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri uji adalah gram negatif sebaliknya jika slime atau cairan kental tidak berbentuk atau tidak mengikuti jika jarum ose diangkat maka reaksi adalah negatif, dan bakteri diindikasikan bersifat gram positif (Schaad et al. 2001).

2. Uji Indeks Kitinolitik

Koloni bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada media LB 10% dengan

penambahan serbuk kitin 1%. Setelah itu 10 μl dari masing-masing kultur bakteri

yang positif kitnolitik diteteskan pada media kitin dan diinkubasikan selama 7 hari pada suhu ruang. Lebarnya zona bening menunjukan aktifitas kitinase dari masing-masing isolat. Nilai aktivitas hidrolisis secara kualitatif diperoleh dengan membagi diameter zone bening disekitar koloni dengan diameter koloni isolat.

3. Uji Potensi Antagonis Bakteri Kitinolitik terhadap G. boninense

Uji potensi antagonis bakteri kitinolitik terhadap G. boninense dilakukan dengan metode kultur ganda pada media cair dan media padat. Pengujian pada media padat dilakukan di media PDA pada petri yang berdiameter 9 cm. Potongan biakan G. boninense dan suspensi bakteri ditempatkan pada posisi berlawanan masing-masing berjarak 3 cm dari tepi petri. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 4 hari. Pengujian pada media cair dilakukan pada media PDB. Inolukum G. boninense dimasukkan dalam media PDB yang mengandung 106cfu/100 ml suspensi bakteri kitinolitik. Sebagai kontrol inolukum G. boninense ditumbuhkan pada media PDB tanpa perlakuan bakteri kitinolitik. Pengamatan dilakukan 14 hsi dengan menimbang berat basah fungi G. boninense yang tumbuh.

Persentase penekanan pertumbuhan patogen pada media cair dan media padat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

% 100 x R Ro R P 

dimana P adalah persentase penghambatan, R adalah jari-jari koloni patogen yang mengarah ke tepi cawan petri atau berat basah patogen yang tumbuh pada media

tanpa bakteri kitinolitik (kontrol), dan Ro adalah jari-jari koloni patogen yang mengarah ke bakteri kitinolitik atau berat basah patogen yang tumbuh pada media dengan perlakuan bakteri kitinolitik.

Pengujian potensi antagonis bakteri kitinolitik terhadap G. boninense pada media cair dan media padat dilakukan dalam percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 9 perlakuan dan 3 ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan nilai tengah antar perlakuan diuji menggunakan uji BNT pada 0,05.

4. Uji Keefektifan Bakteri Kitinolitik dan FMA dalam Menekan Keparahan

Penyakit dan Pengaruh terhadap Pertumbuhan Bibit Sawit 4.1. Penyiapan Substrat Inokulum G. boninense

Isolat fungi G. boninense yang digunakan merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, yang diremajakan kembali dengan menggunakan mediaPDA. Pembiakan substrat inokulum G. boninense dilakukan dengan cara potongan batang karet yang berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm direndam selama semalam lalu dimasukkan ke dalam plastik polipropilen tahan panas yang bagian atasnya diberi ring paralon diameter 1 inci dan ditutup kapas, kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 60 menit. Biakan G. boninense yang berumur 14 hari pada media PDA diinfestasikan pada substrat yang telah steril dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 minggu, hingga mengkolonisasi seluruh bagian substrat, dan selanjutnya dapat langsung digunakan sebagai sumber inokulum di dalam polybag.

4.2. Penyiapan Formula FMA

Formula FMA diperoleh dari Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pusat pengembangan Ilmu Pengentahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong dengan kandungan Gigaspora sp. dan Glomus sp.

4.3. Penyiapan Bakteri Kitinolitik

Berdasarkan hasil pengujian in vitro dipilih 2 isolat bakteri kitinolitik yaitu isolat TB41 dan AL11. Kedua isolat dikulturkan pada media LB dengan

menggunakan inkubator bergoyang (shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama ± 12 jam.

4.4. Aplikasi FMA, Bakteri Kitinolitik dan G. boninense pada Bibit Sawit

Bibit kelapa sawit yang telah berumur 3 bulan dipindahkan ke Polybag besar berukuran 25 cm x 30 cm (pre-nursery). Media tanam yang digunakan adalah tanah yang terlebih dahulu difumigasi menggunakan Vapam (Sodium methyldithiocarbamate) selama 10 hari dalam kantong plastik besar (4 g Vapam/50 kg tanah), setelah itu kantong plastik dibuka dan diangin-anginkan selama 3 hari dan siap digunakan sebagai media tanam bibit sawit. Waktu inokulasi bakteri kitinolitik dan FMA dilakukan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Inokulasi FMA baik secara tunggal maupun kombinasi dengan bakteri kitinolitik sebanyak 15 g/polybag dan suspensi bakteri sebanyak 106 cfu/ml dengan dosis 38,33 ml/kg tanah. Inokulasi G. boninense dilakukan dengan cara biakan G boninense sebanyak 2 potong diinokulasi dengan cara kontak langsung pada perakaran kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit dipelihara selama 2 bulan, setelah diinokulasi patogen, kemudian dibongkar setiap unitnya untuk diamati pada bagian akar dan pangkal batang.

Pengujian dilakukan dengan dengan menggunakan petak terpisah yang terdiri atas 20 perlakuan dan 5 ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan nilai tengah antar perlakuan diuji menggunakan uji BNT 0,05. Susunan perlakuaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Perlakuan uji pada bibit sawit

Kode perlakuan MoBoP1 MoB1P1 MoB2P1 M1BoP1 M1B1WoP1 M1B1W1P1 M1B1W2P1 M1B2WoP1 M1B2W1P1 M1B2W2P1 MoBoP0 MoB1P0 MoB2P0 M1BoP0 M1B1WoP0 M1B1W1P0 M1B1W2P0 M1B2WoP0 M1B2W1P0 M1B2W2P0 Keterangan: Mo= tanpa FMA, M1= dengan FMA, Bo= tanpa bakteri, B1= isolat

bakteri TB41, B2= isolat bakteri AL11, W0 = aplikasi FMA dan bakteri secara bersamaan, W1 = aplikasi bakteri 2 minggu sebelum aplikasi FMA, W2 = aplikasi bakteri 4 minggu setelah aplikasi FMA.

4.4.1. Pengamatan terhadap Tingkat Keparahan Penyakit BPB

Tingkat keparahan penyakit (KpP) diukur berdasarkan nekrotik yang terjadi pada akar. Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsen & Hüberger dalam Ariffin et al. (2000)

dimana KpP adalah persen keparahan penyakit, ni adalah jumlah tanaman dalam skor yang sama, vi adalah nilai skor penyakit, Z adalah nilai skor tertinggi yang digunakan, dan N adalah jumlah tanaman yang diamati. Metode pemberian skor skala 0 hingga 4 digunakan untuk menentukan persen KpP.

Tabel 2 Skoring bercak nekrotik akar berdasarkan persentase nekrotik akar kelapa sawit

Nilai Skor Nekrotik akar (%) Keterangan

0 0 ≤ x < 1 Tidak ada nekrotik atau nekrotik bukan

disebabkan oleh infeksi G. boninense

1 1 ≤ x < 20 Nekrotik hanya meluas hingga 20 % (ringan)

2 20 ≤ x < 40 Nekrotik hanya meluas hingga 40 % (sedang)

3 40 ≤ x < 60 Nekrotik hanya meluas hingga 60 % (berat)

4 60 ≤ x ≤ 100 Nekrotik meluas hingga 100 % (sangat parah)

4.4.2 Pengamatan terhadap Berat Basah Akar, Tajuk, dan Tinggi Bibit Sawit

Penentuan berat akar kelapa sawit dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menimbang akar kelapa sawit yang telah dicuci bersih menggunakan timbangan digital, sedangkan tinggi tajuk diukur secara manual menggunakan mistar berukuran 100 cm.

4.4.3 Tingkat Asosiasi FMA pada Akar Bibit Sawit

Pengamatan tingkat asosiasi mikoriza dapat dilakukan setelah proses pembersihan dan pewarnaan akar. Akar tanaman kelapa sawit yang telah dicuci bersih selanjutnya dipotong-potong pada bagian akar sekunder, kurang lebih 1 cm sebanyak 0,1 gram, kemudian dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% (w/v) dan dipanaskan menggunakan boiling bath pada suhu 60 oC hingga 90 oC selama 1

  % 100 N Z v n Kp P 4 0 i i i    

jam, perlakuan ini sama dengan pemanasan pada suhu 121 oC selama 5 menit di dalam autoklaf. Akar yang masih berwarna gelap dimasukkan ke dalam larutan alkalin hydrogen peroksida 0.5% H2O2 (v/v) selama 10 menit, selanjutnya direndam dalam larutan 1% HCl (v/v) selama 10 menit, dan diwarnai menggunakan larutan trypan blue 0.05% (w/v) di dalam larutan lactid acid glycerol yang merupakan campuran asam laktat, gliserol, dan air dengan perbandingan 1:1:1 (v/v), lalu dipanaskan pada suhu 121 oC selama 15 menit, kemudian dicuci dibawah air mengalir hingga bersih sebelum dipindahkan ke dalam larutan yang berbeda. Akar yang telah diwarnai disimpan di dalam larutan 50 % gliserol (v/v) (Brundett et al. 1996).

Infeksi akar oleh FMA dihitung menggunakan prosedur the gridline intersection method (Brundett et al. 1996). Akar yang telah diwarnai disebar secara acak pada cawan petri berdiameter 14 cm yang telah diberi kotakan berukuran 0.8 cm x 0.8 cm sebanyak 100 kotak. Potongan akar yang melewati gridline dihitung sebagai infeksi, apabila ditemukan struktur mikoriza (spora, hifa, vesikel, atau arbuskula) pada jaringan yang ditandai dengan bagian berwarna lebih gelap dibandingkan dengan bagian lainya. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop binokuler dengan cara mengamati seluruh kotakan gridline secara vertikal dan horizontal (Newman 1996; Tennant 1975; Giovannetti & Mosse 1980 dalam Brundett et al. 1996). Tingkat asosiasi mikoriza dihitung menggunakan rumus berikut :

olonisasi mikori a akar terinfeksi mikori aakar interseksi

Panjang akar terkolonisasi (cm) =  akar terinfeksi x L grid x 11/14, dimana L grid adalah panjang sisi dari kotakan pada the gridline intersection method yaitu 0.8 cm. Proporsi panjang akar yang terkolonisasi mikoriza, dapat dihitung menggunakan faktor konversi yang didapat dari panjang total Gridlines dan jumlah kotakan grid di dalam cawan petri.

Aktivitas enzim Peroksidase

Aktifitasenzim peroksidase (POD) pada akar tanaman diukur menggunakan menggunakan spektrofotometer. Ekstraksi dan kuantifikasi enzim POD dilakukan pada akhir percobaan menurut metode Karthikeyan et al. (2005) yang dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Antar Universitas (PAU) IPB.

Sampel akar yang akan dianalisis dari setiap perlakuan terlebih dahulu dihomogenkan menggunakan nitrogen cair, kemudian sebanyak 1 gr sampel ditambah 2 ml 0.1M buffer fosfat pH 7.0 pada suhu 4 oC lalu disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 10000 rpm dan sepernatannya digunakan sebagai sumber enzim yang akan dianalisis.

Pengukuran aktivitas enzim POD dilakukan setelah penambahan 1.5 ml pirogalol 0.05 M, 0.5 ml ekstrak enzim, dan 0.5 ml H2O2 1% dan diinkubasi pada suhu ruang. Absorbansi dihitung dengan menggunakan spektrofotometer pada 420 nm dengan interval 30 detik selama 3 menit. Aktivitas enzim ini dinyatakan sebagai perubahan absorbansi (min-1 mg-1 protein).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Bakteri kitinolitik

Hasil eksplorasi bakteri kitinolitik dari rizosfir kelapa sawit di beberapa lokasi perkebunan kelapa sawit Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diperoleh 77 isolat bakteri. Diantara 77 isolat bakteri yang diperoleh, 7 isolat bakteri positif bersifat kitinolitik. Aktifitas kitinolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona hidrolisis/zona bening di sekitar koloni bakteri pada medium yang mengandung koloidal kitin pada 7 hari setelah inkubasi (hsi) (Gambar 1).

Gambar 1 Isolat bakteri positif kitinolitik dengan zona bening pada media koloidal kitin, tanda panah menunjukkan koloni bakteri, dan tanda panah kiri kanan menunjukkan zona bening aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan bakteri.

Pleban et al. (1997) melaporkan bahwa zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri menandakan adanya aktivitas kitinolitik di medium pertumbuhan yang mengandung kitin. Untuk mengetahui produksi kitinase dari suatu bakteri kitinolitik dapat dilihat dari perubahan warna medium menjadi lebih transparan dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni bakteri. Warna medium transparan disebabkan oleh terdegradasinya kitin pada media tumbuh karena adanya aktivitas enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri ke medium. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang berperan penting dalam menghidrolisis kitin, enzim ini dihasilkan di dalam sel bakteri, tetapi dikeluarkan ke dalam medium tumbuhnya (Tsujibo et al. 1996; Wijaya 2002; Dewi 2008).

B13 B14 B16 B42

Hasil pengujian gram mengunakan KOH 3% menujukkan bahwa dari ketujuh isolat uji hanya isolat B16 yang gram positif, sedangkan isolat lainnya (B13, B14, B42, AL11, TB41, dan L34) adalah gram negatif. Hasil uji patogenesitas dengan metode hipersensitif pada tanaman tembakau menunjukkan bahwa ketujuh isolat bakteri kitinolitik bereaksi negatif (tidak menimbulkan nekrotik). Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa ketujuh isolat bakteri uji tidak fitopatogenik.

Evaluasi Potensi Antagonisme dan Indeks Kitinolitik

Hasil uji potensi antagonisme 7 isolat bakteri kitinolitik terhadap G. boninense dengan metode kultur ganda pada media cair (PDB) dan media padat (PDA) menunjukkan hasil yang berbeda. Pada media cair, ketujuh isolat bakteri uji memiliki kemampuan menekan pertumbuhan G. boninense yang tinggi, yaitu lebih dari 95%. Pada media padat hanya isolat AL11, TB41, dan L34 yang menunjukkan penekanan yang relatif tinggi yaitu 52%, 44%, dan 41%. Sedangkan isolat B14, B13, B16, dan B42 hanya mampu menghambat pertumbuhan G. boninense kurang dari 10% (Gambar 3 dan Tabel 3).

Gambar 2 Penekanan pertumbuhan G. boninense oleh bakteri kitinolitik pada media cair (atas), tanda panah menunjukkan pertumbuhan koloni G. boninense, dan padat (bawah), tanda garis menunjukkan zona penghambatan.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada media cair, persentase penghambatan semua isolat bakteri berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Kontrol Isolat B14 Isolat B42 Isolat Al11 Isolat TB41

Dokumen terkait