• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keuntungan Komoditas Buah Unggulan Jawa Barat

Keuntungan komoditas buah unggulan Jawa Barat merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Keuntungan usahatani terdiri atas keuntungan terhadap biaya tunai dan biaya total. Pada Tabel 8, diketahui jumlah keuntungan yang diperoleh masing-masing petani komoditas buah unggulan di tiga Kabupaten sentra produksi buah di Jawa Barat pada tahun 2013.

Pada sistem komoditas mangga gedong gincu, petani mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 113 009 617.59 per hektar per tahun. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terdiri atas biaya tunai sebesar Rp 82 608 606.68 dan biaya tidak tunai sebesar Rp 2 900 895. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 27 500 115.91 dengan nilai R/C ratio sebesar 1.32. Ini berarti biaya yang harus dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 1 akan menghasilkan penambahan penerimaan sebesar Rp 1.32 (Lampiran 10).

Tabel 8 Analisis keuntungan komoditas buah unggulan di tiga Kabupaten sentra produksi buah di Jawa Barat, Tahun 2013 (Rp/Hektar)

Pada sistem komoditas durian, petani mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 65 281 690.14 per hektar per tahun, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terdiri atas biaya tunai sebesar Rp 29 354 332.18 dan biaya tidak tunai sebesar Rp 1 689 360. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 34 237 997.96 dengan nilai R/C ratio sebesar 2.10. Ini berarti biaya yang harus dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 1 akan menghasilkan penambahan penerimaan sebesar Rp 2.10 (Lampiran 11). Pada sistem komoditas pisang, petani mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 35 416 666.67 per hektar per tahun, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terdiri atas biaya tunai sebesar Rp 21 515 154.67 dan biaya tidak tunai sebesar Rp 93 750. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 13 807 762 dengan nilai R/C ratio sebesar 1.64. Ini berarti biaya yang harus dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 1 akan menghasilkan penambahan penerimaan sebesar Rp 1.64 (Lampiran 12). Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa seluruh sistem komoditas buah yang diteliti mampu menghasilkan keuntungan bagi petani dan layak untuk terus diusahakan. Dari ketiga sistem komoditas buah yang diteliti, sistem komoditas mangga mampu menghasilkan keuntungan terbesar. Sedangkan untuk tingkat pengembalian penerimaan, sistem komoditas durian menempati posisi terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan sumberdaya oleh petani durian lebih efektif dibandingkan petani pada sistem komoditas lainnya.

Selanjutnya berdasarkan analisis biaya, komponen biaya terbesar kesatu dan kedua pada sistem komoditas mangga gedong gincu adalah biaya tenaga kerja yang besarnya mencapai 43.40 persen (Rp 37 109 715.50) dan biaya sewa lahan sebesar 41.50 persen (Rp 35 490 000.00) dari total biaya yang dikeluarkan oleh petani setiap hektarnya (Lampiran 10). Untuk sistem komoditas durian, komponen biaya terbesar kesatu dan kedua adalah komponen biaya obat-obatan, yaitu sebesar 30.90 persen (Rp 9 591 769.23) dan biaya pupuk NPK mencapai 25.48 persen (Rp 79 100 000.00) dari total biaya yang dikeluarkan oleh petani setiap hektarnya (Lampiran 11). Pada sistem komoditas pisang, komponen biaya terbesar kesatu dan kedua adalah biaya untuk pembelian pupuk kandang sebesar 27.77 persen (Rp 6 000 000.00) dan biaya pembelian benih pisang sebesar 19.44 persen (Rp 4 200 000.00) dari total biaya yang dikeluarkan oleh petani setiap hektarnya, lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 12.

Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat diketahui bahwa sistem komoditas mangga gedong gincu dan sistem komoditas durian merupakan sistem komoditas yang masih menggunakan tenaga kerja manusia secara intensif (intensive labour), khususnya pada kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pasca panen sehingga alokasi biaya untuk tenaga kerja pun menjadi besar. Namum berbeda dengan sistem komoditas pisang, petani memerlukan pupuk kandang

Tunai Tidak Tunai

13 807 762 1.64 Uraian

Sistem Komoditas Pisang di Kabupaten Cianjur 113 009 617.6 65 281 690.14 35 416 666.67 82 608 606.68 2 900 895 29 354 332.18 1 689 360 21 515 154.67 93 750

Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) R/C Ratio Sistem Komoditas Mangga Gedong Gincu

di Kabubaten Majalengka

Sistem Komoditas Durian di Kabupaten Bogor

27 500 115.91 1.32 34 237 997.96 2.10

cukup banyak pada proses produksinya sehingga biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan pupuk jenis ini cukup besar.

Kebijakan Input pada Usahatani Buah

Kebijakan-Kebijakan input yang diterapkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi yang terkait input usahatani buah di Indonesia antara lain: (1) Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan, (2) Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan, (3) Kepgub No. 521.33/Kep. 1495- Binprod/2012 tentang Alokasi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian dan Perikanan Tahun 2013 (Diperta Jabar, 2012) dan (4) Pengumuman Nomor 07.PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu.

Kebijakan pada poin (1) dan (2) adalah kebijakan yang menjadi dasar kenaikan bea masuk dan PPN sebesar 5 persen dan 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan. Dampak dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan harga pupuk anorganik dan obat-obatan yang selanjutnya akan turut meningkatkan biaya produksi pada sistem komoditas buah yang diteliti. Sedangkan kebijakan pada poin ke (3) adalah kebijakan pengalokasian pupuk bersubsidi pada masing-masing sub sektor pertanian dan perikanan secara adil dan merata sesuai kebutuhan. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga pupuk dan pemakaian pupuk agar tidak berlebih. Untuk sub sektor hortikultura pada tahun 2012, provinsi Jawa Barat mendapatkan alokasi pupuk Urea sebesar 10 persen (72 000 ton), pupuk SP-36 sebesar 10 persen (14 700 ton), pupuk ZA sebanyak 5 persen (3 532 ton), pupuk NPK sebanyak (10 persen) (35 125 ton) dan pupuk organik 6.8 persen (6 096 ton). Selanjutnya, kebijakan poin (4) adalah kebijakan subsidi BBM jenis premium sebesar Rp 3 000 per liter. Penerapan kebijakan ini tidak akan berdampak secara langsung terhadap produksi buah di 3 kabupaten di Jawa Barat. Namun, subsidi BBM akan memperkecil biaya pada aktivitas usahatani yang menggunakan input berbahan bakar BBM, seperti pada aktivitas pemeliharaan (menggunakan mesin sprayer, mesin pemotong rumput) sehingga biaya privat (aktual) yang dikeluarkan oleh petani menjadi lebih kecil dan pada akhirnya membantu meningkatkan keuntungan petani dan daya saing komoditas.

Kebijakan Output pada Usahatani Buah

Kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap output buah adalah adanya Permentan No.3/2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura, dalam hal ini Kementan mengeluarkan rekomendasi kuantitas (kuota) impor dan

dialokasi kepada importir terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat sesuai Permendag No.30/2013. Permendag No.30/2012 tentang lisensi impor (IT) produk hortikultura serta tahun 2013 dikeluarkannya kebijakan penutupan keran impor produk hortikultura (termasuk buah). Dengan adanya kebijakan ini diharapkan akan membantu petani/produsen hortikultura (khususnya buah) dalam negeri untuk meningkatkan keuntungan dan daya saing produknya serta mendorong petani untuk meningkatkan produksi secara bertahap sehingga mampu mensubstitusi produk buah impor yang selama ini membanjiri pasar buah di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Faktor lain yang turut mempengaruhi output pada usahatani buah adalah diequilibrium kurs mata uang domestik terhadap dollar yang terjadi akibat dari kebijakan makroekonomi. Faktor ini akan berpengaruh terhadap harga sosial buah sehingga berimplikasi terhadap keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat secara keseluruhan.

Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Komoditas Buah Unggulan Jawa Barat

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Metode Penelitian, bahwa alat analisis yang digunakan adalah PAM (Policy Analysis Matrix). Metode PAM terdiri dari tiga baris. Baris pertama merupakan perhitungan untuk mengestimasi keuntungan privat/finansial, yaitu dengan menghitung selisih antara penerimaan dan biaya privat (berdasarkan harga aktual yang terjadi di pasar) yang mencerminkan nilai- nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Apabila selisih penerimaan dan biaya privat lebih besar atau sama dengan nol, maka sistem usahatani komoditas buah yang diteliti layak untuk tetap diusahakan. Perhitungan keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio, digunakan untuk mengukur daya saing (keunggulan kompetitif) suatu komoditas pertanian, khususnya buah- buahan berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.

Baris kedua merupakan perhitungan untuk mengestimasi keuntungan social/ekonomi yang dinilai dengan harga sosial (harga bayangan atau harga efisiensi8). Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan sosial (social revenues) dengan biaya social (social cost). Keuntungan sosial digunakan untuk mengukur keunggulan ekonomi dan daya saing (keunggulan komparatif) atau efisiensi usahatani suatu komoditas pertanian, khususnya komoditas buah-buahan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih atau sama dengan nol, maka sistem usahatani komoditas buah yang diteliti tidak layak untuk usahakan atau diteruskan.

Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan efek divergensi (effects of divergences). Divergensi ini timbul karena adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar sehingga menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensinya. Apabila kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut

8

harga yang menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya, dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi. Dalam kondisi tersebut, efek kebijakan distorsif dan kegagalan pasar tidak ada.

lebih banyak disebabkan karena adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis dalam penelitian ini.

Dari matrix PAM, dapat diketahui tingkat efisiensi pemakaian sumberdaya. Pemakaian sumberdaya diusahakan pada taraf efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga mampu mendorong produktivitas. Pengukuran tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya menggunakan indikator Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR).

Keuntungan Privat dan Sosial Komoditas Mangga Gedong Gincu

Analisis keuntungan produsen mangga gedong gincu dibedakan menjadi dua yaitu keuntungan privat (finansial) dan keuntungan sosial (ekonomi). Analisis keuntungan privat yaitu keuntungan petani yang dihitung berdasarkan harga privat (aktual), sedangkan analisis keuntungan sosial dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan).

Tabel 9 Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial usahatani mangga gedong gincu di Kabupaten Majalengka, Tahun 2013 (Rp/Hektar)

Uraian Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) Tradabel Domestik Harga Privat 113 009 618 5 693 299 79 816 203 27 500 116 Harga Sosial 118 441 294 5 546 661 79 986 888 32 907 745 Efek Divergensi -5 431 676 146 637 -170 685 -5 407 629

Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa sistem usahatani komoditas mangga gedong gincu di Kabupaten Majalengka menguntungkan petani baik secara privat maupun secara sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sistem usahatani mangga gedong gincu di Kabupaten Majalengka tersebut layak untuk diteruskan. Keuntungan privat yang dihasilkan mencapai Rp 27 500 116 per hektar per tahun. Tingginya keuntungan yang dihasilkan disebabkan karena nilai jual per kg mangga gedong gincu lebih tinggi dibandingkan mangga jenis lainnya yang umum ditanam oleh petani di lokasi penelitian, seperti mangga arumanis, golek, cengkir dan bapang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani dan pedagang, salah satu faktor penentu tingginya harga jual mangga gedong gincu adalah karena jumlah produksi yang menurun secara serempak disertai tingkat penyusutan yang tinggi akibat curah hujan yang tinggi saat fase pembungaan dan serangan OPT, seperti hama dan jamur. Data harga jual rata-rata setiap 1 kg mangga gedong gincu yang diperoleh di lokasi penelitian mencapai Rp 18 600 sedangkan mangga jenis lain hanya 75 persen atau lebih kecil dari harga mangga gedong gincu.

Bila dianalisis secara ekonomi berdasarkan harga sosial, ternyata keuntungan yang diperoleh petani mangga gedong gincu di Kabupaten Majalengka lebih besar daripada keuntungan privat, yakni sebesar Rp 32 907 745.

Keuntungan sosial komoditas mangga gedong gincu bernilai positif dikarenakan harga Free On Board (FOB) komoditas mangga jenis ini dipasar internasional lebih tinggi dari pada harga aktualnya. Harga sosial mangga gedong gincu tahun 2013 adalah sebesar US$ 2 per kg. Dengan asumsi nilai tukar bayangan sebesar

Rp 10 496.99 per dollar, maka harga sosial mangga gedong gincu sebesar Rp 19 493.99 per kg, sementara harga aktualnya sebesar Rp 18 600 per kg. Kondisi ini menunjukan bahwa secara sosial sistem komoditas usahatani mangga gedong gincu lebih menguntungkan, artinya bahwa kondisi dimana harga input dan output yang dihitung berdasarkan harga-harga opportunity cost-nya dan tidak ada distorsi pasar, maka produksi mangga gedong gincu memberikan keuntungan yang cukup besar.

Biaya usahatani mangga gedong gincu dibedakan atas biaya tradable dan biaya domestik. Biaya tradable pada usahatani mangga gedong gincu atas harga privat sebesar Rp 5 693 299 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 5 546 661 per hektar per tahun. Sementara untuk biaya domestik pada usahatani mangga gedong gincu atas harga privat sebesar Rp 79 816 203 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 79 986 888 per hektar per tahun. Untuk informasi yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. Komoditas Durian

Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa sistem usahatani komoditas durian di Kabupaten Bogor menguntungkan petani baik secara privat maupun secara sosial. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara umum sistem usahatani komoditas durian di Kabupaten Bogor tersebut layak untuk diteruskan. Keuntungan privat yang dihasilkan mencapai Rp 6 692 558 per hektar per tahun. Berdasarkan hasil penelitian, faktor utama tingginya keuntungan yang diperoleh petani durian yakni rendahnya alokasi biaya yang dikeluarkan khususnya untuk pemupukan dan pemeliharaan.

Petani dilokasi penelitian umumnya kurang memperhatikan standard pemupukan dan pemeliharaan yang layak sehingga terkesan asal-asalan. Selain itu, petani juga tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit tanaman durian karena umumnya tanaman yang diusahakan adalah tanaman yang sudah produktif sejak petani tersebut memulai usahanya dan merupakan tanaman warisan dari orang tua mereka.

Tabel 10 Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial usahatani durian di Kabupaten Bogor, Tahun 2013 (Rp/Hektar)

Uraian Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) Tradabel Domestik Harga Privat 65 281 690 9 363 552 21 680 140 34 237 998 Harga Sosial 92 149 486 8 037 470 19 773 954 64 338 063 Efek Difergensi -26 867 796 1 326 083 1 906 186 -30 100 065

Dari sisi produksi, produktivitas dan ketersediaan output di pasar semakin menurun akibat semakin tingginya penebangan pohon durian untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan meubel atau dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal-hal tersebut pada akhirnya memicu tingginya harga jual durian. Data harga jual rata-rata setiap 1 butir durian (rata-rata beratnya 3 kg per butir) yang diperoleh di lokasi penelitian mencapai Rp 45 000, maka harga jual setiap 1 kg mencapai Rp 15 000.

Bila dianalisis secara ekonomi berdasarkan harga sosial, ternyata keuntungan yang diperoleh petani durian di Kabupaten bogor lebih besar daripada

keuntungan privat, yakni sebesar Rp34 237 998. Keuntungan sosial komoditas durian bernilai positif dikarenakan harga Free On Board (FOB) komoditas durian dipasar internasional lebih tinggi dari pada harga aktualnya. Harga sosial durian tahun 2013 adalah sebesar US$ 2.16 per kg. Dengan asumsi nilai tukar bayangan sebesar Rp 10 496.99 per dollar, maka harga sosial durian sebesar Rp 21 174.51 per kg, sementara harga aktualnya sebesar Rp 15 000 per kg. Kondisi ini menunjukan bahwa secara sosial sistem komoditas usahatani durian lebih menguntungkan, artinya bahwa kondisi dimana harga input dan output yang dihitung berdasarkan harga-harga opportunity cost-nya dan tidak ada distorsi pasar, maka produksi durian memberikan keuntungan yang sangat besar.

Biaya usahatani durian dibedakan atas biaya tradable dan biaya domestik. Biaya tradable pada usahatani durian atas harga privat sebesar Rp 8 037 470 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 8 037 470 per hektar per tahun. Untuk biaya domestik pada usahatani durian atas harga privat sebesar Rp 21 680 140 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 19 773 954 per hektar per tahun (Lampiran 15).

Komoditas Pisang

Keuntungan produsen pisang merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan pisang dengan biaya yang dikeluarkan pada sistem usahatani tersebut. Dalam analisis ini keuntungan produsen pisang dibedakan menjadi dua yaitu keuntungan privat (finansial) dan keuntungan sosial (ekonomi). Analisis keuntungan privat yaitu keuntungan petani yang dihitung berdasarkan harga privat (aktual), sedangkan analisis keuntungan sosial dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan).

Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa sistem usahatani komoditas pisang di Kabupaten Cianjur menguntungkan petani baik secara privat maupun secara sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sistem usahatani pisang di Kabupaten Cianjur tersebut layak dan patut untuk diteruskan. Keuntungan privat yang dihasilkan mencapai Rp 13 807 762 per hektar per tahun. Tabel 11 Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial usahatani pisang di

Kabupaten Cianjur, Tahun 2013 (Rp/Hektar) Uraian Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) Tradabel Domestik Harga Privat 35 416 667 1 352 292 20 256 612 13 807 762 Harga Sosial 61 546 641 1 260 207 19 595 355 40 691 079 Efek Divergensi -26 129 975 92 085 661 258 -26 883 317

Tingginya keuntungan yang dihasilkan disebabkan karena nilai jual per kg pisang lebih tinggi dibandingkan mangga jenis lainnya yang umum ditanam oleh petani di lokasi penelitian, seperti mangga arumanis, golek, cengkir dan bapang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani dan pedagang, salah satu faktor penentu tingginya harga jual pisang adalah karena jumlah produksi yang menurun secara serempak disertai tingkat penyusutan yang tinggi akibat curah hujan yang tinggi saat fase pembungaan dan serangan OPT, seperti hama dan jamur. Data harga jual rata-rata setiap 1 kg pisang yang diperoleh di lokasi penelitian mencapai Rp 2 000.

Bila dianalisis secara ekonomi berdasarkan harga sosial, ternyata keuntungan yang diperoleh petani pisang di Kabupaten Cianjur lebih besar daripada keuntungan privat, yakni sebesar Rp40 691 079. Keuntungan sosial komoditas pisang bernilai positif dikarenakan harga Free On Board (FOB) komoditas pisang dipasar internasional lebih tinggi dari pada harga aktualnya. Harga sosial pisang tahun 2013 adalah sebesar US$ 0.474 per kg, dengan asumsi nilai tukar bayangan sebesar Rp 10 496.99 per dollar, maka harga sosial pisang sebesar Rp 3 475.58 per kg, sementara harga aktualnya sebesar Rp 2 000 per kg. Kondisi ini menunjukan bahwa secara sosial sistem komoditas usahatani pisang lebih menguntungkan, artinya bahwa kondisi dimana harga input dan output yang dihitung berdasarkan harga-harga opportunity cost-nya dan tidak ada distorsi pasar, maka produksi pisang di Kabupaten Cianjur memberikan keuntungan yang cukup besar.

Biaya usahatani pisang dibedakan atas biaya tradable dan biaya domestik. Biaya tradable pada usahatani pisang atas harga privat sebesar Rp 1 352 292 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 1 260 207 per hektar per tahun. Untuk biaya domestik pada usahatani pisang atas harga privat sebesar Rp 20 256 612 per hektar per tahun dan atas harga sosial sebesar Rp 19 595 355 per hektar per tahun (Lampiran 16).

Keunggulan Kompetitif dan Komparatif

Keunggulan kompetitif dalam analisis PAM diukur dari Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR), yang merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input yang diperdagangkan pada harga privat. Pada Tabel 12 dipaparkan nilai PCR dan DRCR masing-masing komoditas. Untuk komoditas mangga gedong gincu, diketahui bahwa nilai PCR adalah sebesar 0.74, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output mangga gedong gincu di Kabupaten Majalengka sebesar satu satuan pada harga privat, maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu atau sebesar 0.74 satu satuan. Untuk komoditas durian, nilai PCR sistem usahatani komoditas durian adalah sebesar 0.39, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output durian di Kabupaten Bogor sebesar satu satuan pada harga privat, maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu atau sebesar 0.39 satu satuan. Sedangkan untuk komoditas pisang, nilai PCR sistem usahatani komoditas pisang di Kabupaten Cianjur adalah sebesar 0.59, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output pisang di Kabupaten Cianjur sebesar satu satuan pada harga privat, maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu atau sebesar 0.59 satu satuan.

Berdasarkan analisis tersebut maka diketahui bahwa seluruh sistem usahatani komoditas buah yang diteliti memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR kurang dari satu. Selain itu, dapat diartikan juga bahwa sistem usahatani komoditas buah yang diteliti dapat membayar faktor domestiknya. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambah output (Pranoto 2011).

Menurut Pranoto (2011), peningkatan nilai tambah output dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output. Semakin kecil nilai PCR yang dihasilkan (PCR<1), maka sistem usahatani semakin memiliki daya saing dan begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai PCR

yang dihasilkan (PCR mendekati satu atau lebih dari satu) maka sistem usahatani memiliki daya saing yang lemah atau tidak memiliki daya saing sama sekali. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Mayrita (2007), Puspitasari (2011), Situmorang (2013), Manalu (2014) dan Rahmi (2014) yang menunjukan bahwa produsen memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR<1. Semakin kecil nilai PCR, maka semakin tinggi dan kuat keunggulan kompetitifnya.

Tabel 12 Nilai rasio biaya rivat (Private Cost Ratio/PCR) komoditas buah yang diteliti, Tahun 2013

Uraian PCR

Daya Saing Mangga

Gedong Gincu 0.74

Daya Saing Durian 0.39

Daya Saing Pisang 0.59

Keunggulan komparatif diukur dengan menggunakan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR), yang merupakan rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah output dari biaya input yang diperdagangkan pada harga sosial (bayangan). Harga sosial yang dimaksud adalah harga yang mendekati pasar persaingan sempurna (tidak ada intervensi pemerintah). Pada Tabel 13 dapat diketahui nilai DRCR yang dihasilkan pada masing-masing komoditas yang diteliti.

Untuk komoditas mangga gedong gincu, nilai DRCR yang dihasilkan adalah sebesar 0.71, artinya jika mangga gedong gincu diproduksi di dalam negeri khususnya di Kabupaten Majalengka, maka akan membutuhkan biaya sebesar 0.71 satuan, sehingga terjadi penghematan biaya sebesar 0.29 satuan. Artinya, biaya yang diperlukan untuk memproduksi mangga gedong gincu di dalam negeri khususnya di Kabupaten Majalengka lebih murah dibandingkan negara eksportir buah sejenis.

Tabel 13 Nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR) komoditas buah yang diteliti, Tahun 2013

Uraian DRCR

Daya Saing Mangga

Gedong Gincu 0.71

Daya Saing Durian 0.24

Daya Saing Pisang 0.33

Untuk komoditas durian, nilai DRCR yang dihasilkan adalah sebesar 0.04,

Dokumen terkait