• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Jenis Komoditas

Klasifikasi berdasarkan jenis komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar internasional, dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan harga FOB (Free On Board/harga di pelabuhan ekspor) dan untuk harga yang dapat diimpor digunakan harga CIF (harga di pelabuhan impor).

Kebijakan Terhadap Output

Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan dapat berupa tarif dan kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Dampak subsidi positif bagi produsen dan konsumen barang- barang ekspor dan impor.

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 1(a) menunjukan subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga barang yang diterima dipasar domestic (PD) lebih tinggi dari harga

di pasar internasional (dunia) (PW). Subsidi ini merupakan insentif bagi produsen

sehingga dapat meningkatkan output produksinya. Hal ini dibuktikan dengan bergesernya output produksi (Q) dari Q1 ke Q2, sedangkan konsumsi tetap di Q3

pada tingkat subsidi sebesar (PD – PW). Subsidi ini tidak merubah harga barang

impor di pasar domestik sehingga harga yang diterima oleh konsumen di pasar domestik sama dengan harga di pasar dunia. Menurut Novianti (2003) subsidi ini dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dan diikuti pula oleh kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (karena diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi. Dampak lanjutan dari subsidi ini adalah turunnya jumlah barang impor dari (Q3 – Q1) menjadi (Q3 – Q2). Pada tingkat subsidi per

output sebesar (PD-PW) dan tingkat output produksi sebesar Q2, maka total transfer

pemerintah ke produsen yaitu sebesar (Q2x (PD – PW)) atau sebesar PDABPW.

Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang

diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Subsidi akan

memberikan dampak terjadinya kehilangan efisiensi sebesar CAB.

Gambar 1(b) menunjukan subsidi positif untuk konsumen barang impor dimana harga barang impor yang diterima dipasar domestik, menjadi lebih rendah dari harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi sebesar (PW – PD) menyebabkan

konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sedangkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Peningkatan

konsumsi akan direspon dengan peningkatan barang impor dari (Q3– Q1) menjadi

(Q4 – Q2). Pada kondisi tersebut, telah terjadi dua transfer yaitu transfer dari

pemerintah ke konsumen sebesar ABHG dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PWABPD. Dengan demikian, kehilangan efisiensi ekonomi terjadi pada

produksi dan konsumsi. Pada sisi produksi, output turun dari Q1 menjadi Q2

menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2AFQ1 atau sebesar (PWx (Q1 –

Q2)), sedangkan besarnya input yang dapat dihemat adalah sebesar Q2BFQ1

sehingga terjadi inefisiensi sebesar AFB. Sedangkan dari sisi konsumsi menunjukan opportunity cost akibat meningkatnya konsumsi dari Q3 menjadi Q4

adalah sebesar (PWx (Q4 – Q3)) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan

membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga inefisiensi sebesar EGH.

Sehingga total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH.

Gambar 1(c) menunjukan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi

menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat

subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.

Gambar 1(d) menunjukan subsidi untuk konsumen barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (PW) lebih besar dari harga yang diterima produsen

(Pd). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi harga barang ekspor

meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost

sebesar (PW x (Q2 – Q1)) atau area yang sama dengan kemampuan membayar

Kebijakan selain subsidi output adalah kebijakan hambatan (restriksi) perdagangan pada barang-barang impor maupun ekspor. Hal ini yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Dampak kebijakan hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor

Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan :

TPI = Kebijakan Hambatan Perdagangan pada produsen barang impor TCE = Kebijakan Perdagangan pada konsumen untuk barang ekspor

Gambar 2(a) menujukan adanya kebijakan hambatan perdagangan pada barang impor dimana terdapat tariff impor sebesar (PD – PW) sehingga

meningkatkan harga di pasar domestik baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkatkan dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi turun dari Q3

ke Q4. Penururunan konsumsi ini akan direspon dengan penurunan impor dari (Q3

– Q1) menjadi (Q4 – Q2). Dengan demikian, terjadi transfer pendapatan dari

konsumen kepada produsen sebesar ((PD – PW) x Q2) atau PDEPPW dan terjadi

transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen sebesar ((PD– PW) x (Q4– Q2)

atau sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbesaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan

willingness to pay Q4ACQ3, sehingga efisiensi ekonomi yang hilang pada

konsumen adalah sebesar daerah ABC dan pada produsen sebesar EPG. Sementara untuk Gambar 2(b) adalah kebalikan dari Gambar 2(a).

Kebijakan Terhadap Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input yang dapat diperdagangkan (tradable) dan tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak akan tampak pada input (non-tradable), karena dalam input tersebut hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri saja. Adapun perubahan yang terjadi akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan hambatan perdagangan

akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan konsumen berubah (Monke dan Pearson 1989). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input

tradable dapat ditunjukan pada Gambar 3.

Gambar 3 Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input tradable

Sumber: Monke dan Pearson (1989) Keterangan :

S-II = Pajak untuk Input Impor S+II = Subsidi untuk Input Impor

Gambar 3(a), menunjukan pengaruh pajak pada input tradable

menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran bergeser ke atas.

Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar Q2BCQ1.

Gambar 3(b) menunjukan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Apabila kondisi perdagangan bebas, harga yang berlaku adalah sebesar PW dan produksi yang dihasilkan adalah sebesar Q1. Adanya subsidi pada

input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah dan penggunaan input lebih intensif sehingga kurva penawaran bergeser kebawah (S’) dan produksi mengalami kenaikan dari Q1 menjadi Q2. Inefisiensi yang terjadi adalah

sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu

Q1ABQ2.

Kebijakan Input Non-Tradable

Pada input non-tradable, kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non-tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non-

tradable. Pengaruh kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pada input non- tradable dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Dampak pajak dan subsidi pada input non-tradable

Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan :

S – N = Pajak untuk Barang Non-Tradable

A+N = Subsidi untuk Barang Non-Tradable

Pada Gambar 4(a), menunjukan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non- tradable berada pada PD dan Q1. Adanya pajak sebesar (PC – PD) menyebabkan

produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun

menjadi PP dan harga yang diterima konsumen naik menjadi PC. Efisiensi

ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen adalah sebesar BCA.

Gambar 4(b) menunjukan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non- tradable berada pada pada PD dan Q1. Setelah adanya subsidi, harga yang diterima

produsen menjadi lebih rendah yaitu PC. Efisiensi yang hilang dari produsen

adalah sebesar ABC dan inefisiensi konsumen adalah sebesar ABD. Analisis PAM (Policy Analysis Matriks)

Metode Policy Analysis Matrix (PAM) membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian (Pearson et al. 2005). Isu pertama berkaitan terhadap pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya, akan mengubah keuntungan privat (privat profitability). Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar).

Isu kedua adalah dampak investasi publik dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil (misalnya, investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.

Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut.

Metode PAM pada dasarnya secara ringkas dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara keseluruhan dengan sistematis. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, antara lain aktivitas usahatani (farm production), pengolahan dan pemasaran. Selain itu, analisis ini juga dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe usahatani dan teknologi. Dibandingkan dengan menghitung efisiensi ekonomi dan insentif intervensi pemerintah yang konvensional, maka dengan menggunakan matriks PAM penghitungan dapat dilakukan secara menyeluruh, sistematis dan output yang sangat beragam. Namun kekurangan dari alat analisis ini tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam dan outputnya pun hanya berlaku pada saat aktual saja.

Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu analisis keuntungan yang terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial/ekonomi, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas. Merujuk pada Tabel 6, metode PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom.

Baris pertama, perhitungan untuk mengestimasi keuntungan privat, yaitu dengan menghitung selisih antara penerimaan dan biaya privat (berdasarkan harga aktual yang terjadi di pasar) yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Perhitungan keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio, digunakan untuk mengukur daya saing (keunggulan kompetitif) suatu komoditas pertanian, khususnya buah-buahan berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Dalam menghitung rasio, satuan (seringkali disebut sebagai numeraire), seperti Rupiah per kilogram buah, perlu dihilangkan. Oleh karena itu, perhitungan rasio dilakukan untuk menghindarkan diri dari membandingkan keuntungan per kilogram buah mangga, misalnya, dengan keuntungan per kilogram buah alpukat. Untuk membandingkan daya saing sistem usahatani yang berbeda dihitung private benefit-cost ratio (PBCR) untuk setiap sistem, dan selanjutnya kedua rasio tersebut dibandingkan. PBCR adalah pendapatan privat dibagi dengan biaya privat, atau PBCR = A/(B+C).

Baris kedua, perhitungan untuk mengestimasi keuntungan sosial yang dinilai dengan harga sosial (harga bayangan atau harga efisiensi6). Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan sosial (social revenues) dengan biaya social (social cost), atau H = E – (F + G). Keuntungan sosial digunakan untuk mengukur keunggulan ekonomi dan daya saing (keunggulan komparatif) atau efisiensi usahatani suatu komoditas pertanian, khususnya komoditas buah-buahan.

Baris ketiga, merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan efek divergensi (effects of divergences). Divergensi ini timbul karena adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar sehingga menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensinya. Kebijakan Pemerintah adalah intervensi Pemerintah yang meyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efesiensinya. Kebijakan Pemerintah yang dapat menyebabkan divergensi antara lain pajak/subsidi, hambatan perdagangan atau regulasi harga. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Apabila kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis dalam penelitian ini.

Setiap matriks mempunyai empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua dan kolom ketiga adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik (domestic factors). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/bibit, alat bangunan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan factor domestik dan kolom keempat adalah keuntungan dari masing-masing baris (selisih antara penerimaan dengan biaya). Tabel matriks kebijakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Tabel Analisis Matriks Kebijakan Uraian Pendapatan Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik Nilai Finansial A B C D (Harga Privat) Nilai Ekonomi E F G H (Harga Sosial) Efek Divergensi I J K L

Sumber: Monke and Pearson (1989) dan Pearson et al. (2005) Keterangan :

1. Keuntungan Privat (PP) : D = A - (B+C) 2. Keuntungan Sosial (SP) : H = E-F-G

3. Transfer Output (OT) : I = A-E

6

harga yang menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya, dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi. Dalam kondisi tersebut, efek kebijakan distorsif dan kegagalan pasar tidak ada.

4. Transfer Input untuk Input Tradable (IT) : J = B-F 5. Tranfer Faktor untuk Non-Tradable (FT) : K = C-G

6. Tranfer Bersih (NT) : L = D-H atau I-J-K

7. Rasio Biaya Privat (PCR) : = C/(A-B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) : = G/(E-F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) : = A/E 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) : = B/F

11. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) : = (A-B)/(E-F) 12. Koefisien Keuntungan (PC) : = D/H

13. Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) : = L/E

Berdasarkan matriks PAM tersebut dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1. Keuntungan Privat (PP); D = A - (B+C)

Apabila D>0 maka sistem komoditas itu memperoleh profit diatas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan.

2. Keuntungan Sosial (SP); H = E- (F+G)

Apabila H>0 dan nilainya makin besar, berarti sistem komoditas makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, bila H<0, berarti sistem komoditas tidak mampu berjalan tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.

3. Transfer Output (OT); I = A – E

Apabila nilai I > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen. Sehingga dengan demikian masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dan sebaliknya apabila I bernilai negatif.

4. Transfer Input untuk Input Tradable (IT); J = B–F

Apabila nilai J > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari produsen kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor.

5. Transfer Faktor untuk Non-Tradable (FT); K = C-G

Apabila nilai K > 0, berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif.

6. Transfer Bersih (NT); L = D-H atau I-J-K

Apabila Nilai L> 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya jika L bernilai negatif.

7. Rasio Biaya Privat (PCR); PCR = C/(A – B)

Apabila nilai PCR<1 dan makin kecil, berarti sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat (memiliki keuntungan kompetitif) dan kemampuan itu meningkat.

Apabila nilai DCRC<1 berarti memiliki keunggulan komparatif. 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO); = NPCO = A/E

Apabila nilai NPCO>1 berarti pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efisiensinya (harga dunia). Penurunan tarif impor produk pertanian secara bertahap akan menurunkan nilai A, karena harga produk menurun, sehingga nilai NPCO secara bertahap akan menurun.

10.Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI); NPCI = B/F

Apabila NPCI>1, berarti pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik diatas harga efisiensinya (harga dunia). Hal ini membawa implikasi sector yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi. Penurunan tarif impor input secara bertahap akan menurunkan nilai B, karena harga input menurun, sehingga NPCI menurun. Sebaliknya jika nilai NPCI<1, berarti pemerintah menurunkan harga input

tradable di pasar domestik dibawah harga efisiensinya. Hal tersebut dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri.

11.Koefisien Proteksi Efektif (EPC); EPC = (A-B)/(E-F)

Apabila EPC>1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan diatas harga efisiensinya. Sehingga dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen domestik berjalan secara efektif. Sebaliknya jika EPC<1, berarti kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif. Penurunan tarif impor secara simultan untuk output dan input akan menurunkan nilai EPC. Namun seperti halnya NPCO atau NPCI, nilai EPC juga mengabaikan efek transfer dari kebijakan pasar faktor. Oleh karena itu, koefisien tersebut bukan merupakan indikator yang lengkap mengenai insentif.

12.Koefisien Keuntungan (PC); PC = D/H

Jika PC>1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Penurunan secara simultan tarif impor secara bertahap pada output dan input yangdiperdagangkan serta adanya subsidi akan menurunkan nilai PC, sedangkan kebijakan yang efisien pada faktor domestic (terutama bunga bank) akan meningkatkan nilai PC. Sebaliknya jika nilai PC<1, menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. Berarti produsen harus mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat atau konsumen.

13.Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP); SRP = L/E

Apabila nilai SRP < 0, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama inimenyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan (opportunity cost) dan sebaliknya jika nilai SRP positif. Dalam menggunakan metode PAM, terdapat beberapa asumsi penting, antara lain :

1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benar- benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah.

2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah. Pada komoditas

tradable harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan

komponen tradable (asing) dan non tradable (faktor domestik). 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.

Penggunaan harga pasar dan harga sosial dalam matriks kebijakan, menunjukan bahwa analisis ini mencangkup analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial bertujuan untuk mengamati aktivitas peserta ekonomi secara secara individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi bertujuan untuk mengamati suatu aktivitas ekonomi dari sudut masyarakat secara keseluruhan.

Konsep Sensitivitas

Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat dampak yang terjadi akibat adanya perubahan pada variabel ekonomi secara sistematis terhadap daya saing buah yang diteliti. Analisis sensitivitas merupakan salah satu perlakukan terhadap ketidakpastian yang dapat terjadi pada keadaan yang telah diramalkan (Gittinger 1986). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa analisis sensitivitas merupakan suatu teknik analisa untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis, bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan usaha (Kadariah dan Grey 1987), khususnya usahatani buah.

Kadariah dan Grey (1987) menjelaskan bahwa analisis sensitivitas dilakukan dengan cara: (1) mengubah besarnya faktor-faktor yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan- perubahan tersebut, (2) menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima (tidak memiliki daya saing). Adapun kelemahan analisis sensitivitas ini adalah : (1) tidak dapat digunakan untuk memilih proyek, karena merupakan analisis parsial yang akan mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu, (2) hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan menentukan layak dan tidaknya suatu proyek.

Pada penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing buah yang diteliti. Analisis ini akan mensubstitusi kelemahan metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang digunakan sebelumnya. PAM bersifat statis dan tidak dimungkinkan dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh perubahan dari faktor-faktor penting dalam suatu proyek, khususnya usahatani buah.

Tinjauan Studi Penelitian Terdahulu Studi Mengenai Daya Saing Komoditas Buah

Suatu komoditas dianggap memiliki daya saing apabila memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara dalam bersaing dengan negara lain di dalam perdagangan internasional. Penelitian mengenai daya saing komoditas buah telah banyak dilakukan, antara lain oleh Suprihatini (1999) tentang daya saing mangga segar Indonesia, Mudjayani (2008) tentang daya saing buah tropis Indonesia (komoditas yang diteliti adalah manggis, nenas, papaya, dan pisang), Suherman (2008) dan Adegibte et al. (2014) tentang daya saing buah nenas, masing-masing di Kabupaten Bogor dan Subang (Suherman 2008) serta di Provinsi Osun Nigeria (Adegibte et al. 2014), Dhiany (2008) tentang daya saing buah mangga gedong gincu di Kabupaten Indramayu, Andriani (2010) tentang daya saing apel di Kecamatan Poncokusumo di Kabupaten Malang melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani apel, Dewanata (2011) tentang daya saing buah jeruk siam di Kabupaten Garut, Puspitasari (2011) tentang daya saing buah belimbing di Depok, Muslim dan Nurasa (2011) tentang daya saing komoditas manggis di Kabupaten Purwakarta, Wahyuni (2012) tentang daya saing buah naga di Daerah Istimewa Yogyakarta, Setiawan (2014) tentang daya saing komoditas buah kelapa di Kabupaten Kupang, Sinngu dan Antwi (2014) tentang daya saing industri jeruk di Afrika Selatan dan Rasu (2015) tentang daya saing Komoditi Rambutan di Kabupaten Minahasa Selatan. Alat

Dokumen terkait