• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Ruang Kota Bogor Terhadap Ekologi Kota

Kota Bogor dengan luas 11 850 ha dan terbagi menjadi 6 kecamatan telah mengalami serangkaian proses perubahan pola penutupan tanah selama masa perkembangannya. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi akibat adanya desakan kebutuhan sarana dan prasarana penunjang aktivitas masyarakat kota yang umumnya bergerak dibidang bukan pertanian. Hal tersebut yang kemudian membuat gencar proses alih fungsi lahan alami menjadi lahan terbangun setiap tahunnya. Fatimah (2011) mengungkapkan bahwa Kota Bogor telah mengalami penambahan luas lahan perkotaan/kawasan terbangun sebesar 30%, dari 14% (1972) menjadi 44% (2011) dan menurunkan luasan RTH pohon dengan tajuk >4m menjadi sebesar 17%. Bappeda (2012) menambahkan bahwa peningkatan lahan terbangun di Kota Bogor didominansi oleh pembangunan kawasan perumahan dan permukiman hingga mencapai 4 178.42 ha pada tahun 2012 atau setara dengan 35.26% luas kota. Hasil digitasi terhadap peta RTRW Kota Bogor 2011 – 2031 dalam Perda No. 8 tahun 2011 menunjukkan bahwa Kota Bogor mentargetkan memiliki luas kawasan terbangun seluas 9 468.68 ha yang terdiri dari kawasan perdagangan dan jasa, perumahan kepadatan tinggi, perumahan kepadatan sedang, perumahan kepadatan rendah, dan industri (Tabel 5). Sedangkan luas area untuk kawasan non terbangun sebesar 1 075.41 ha yang meliputi lahan pertanian, pemakaman, taman dan hutan kota, dan jalur hijau jalan, SUTT, sungai dan kereta (Tabel 6). Berdasarkan data dari Bappeda Kota Bogor (2012), Kota Bogor aktualnya memiliki luas RTH mencapai 5 559.63 ha (46.92% luas kota). Namun, angka tersebut masih merupakan nilai RTH potensial, karena menurut Fatimah (2011) hampir sebagian besar 5 098.18 ha (91.70%) kepemilikannya di bawah kendali privat dan memunginkan untuk beralih fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa luas RTH publik yang di bawah kepemilikan pemda hanya seluas 461.45 ha (4.01% luas kota) dan masih berada jauh dari standar minimum RTH publik untuk kawasan perkotaan menurut UU No. 26 tahun 2007 sebesar 20%.

Tabel 5 Proporsi luas kawasan terbangun di Kota Bogor

Kawasan komersil Kawasan perumahan tinggi Kawasan perumahan sedang Kawasan perumahan rendah Kawasan industri Total Luas (ha) 1 001.4 897.53 4 493.29 2 894.51 181.95 9 468.68 (sumber: Bappeda 2012)

Tabel 6 Proporsi luas kawasan non terbangun di Kota Bogor

Kawasan pertanian Kawasan pemakaman Taman dan hutan kota

Jalur hijau jalan, SUTT, sungai dan

kereta

Total

Luas (ha) 341.8 177.78 254.3 463.22 1 237.1

Ketidakseimbangan perbandingan antara proporsi penutupan tanah oleh ruang terbangun (82.34%) terhadap ruang non terbangun (10.44%) tersebut sangat berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi keseimbangan sistem ekologis di Kota Bogor. Marsalek et al. (2006) dalam Mays (2009) mengungkapkan bahwa perubahan pola pemanfaatan ruang sangat berpegaruh terhadap keseimbangan siklus hidrologi kota, termasuk di dalamnya perubahan radiasi, jumlah presipitasi, jumlah evaporasi, jumlah infiltrasi, dan peningkatan limpasan permukaan (run off) (Gambar 19). Dominansi penutupan tanah dengan permukaan kedap air berpotensi meningkatan debit aliran permukaan serta minimnya RTH sebagai penyedia ruang untuk proses infiltrasi air semakin mempertinggi resiko banjir pada musim penghujan. Fatimah (2011) menjelaskan melalui model regresi linier dari hasil analisis CITYGreen terhadap citra multitahun (1972 – 2011), bahwa hubungan antara penurunan RTH kota terhadap volume reduksi limpasan sebesar 63.6% dengan nilai R2 (koefisien determinansi) sebesar 0.404, yang artinya 40.4% variasi yang terjadi terhadap banyak sedikitnya perubahan volume reduksi limpasan disebabkan oleh perubahan luasan RTH. Fenomena demikian harus segera direspon oleh semua pihak, karena Kota Bogor merupakan satu kesatuan ekosistem DAS Ciliwung dan bila kondisi tersebut dibiarkan tidak terkendali akan mengakibatkan meningkatnya debit sungai Ciliwung dan mengakibatkan banjir tidak hanya di kota itu sendiri, tetapi juga berkontribusi terhadap banjir di Jakarta (Fatimah 2011). Di Kota Bogor sedikitnya terdapat 36 kelurahan di Kota Bogor yang diidentifikasikan sebagai kawasan rawan banjir (Bappeda 2012).

Gambar 19 Pengaruh fungsi penutupan lahan terhadap siklus hidrologi (sumber : Dunnet dan Clayden 2007)

Terganggunya proses infiltrasi juga berakibat pada turunnya level air tanah. Hal ini karena proses infiltrasi berperan penting dalam pengisian kembali lengas tanah dan air tanah (Wibowo 2006), sehingga bila proses tersebut terganggu dapat membuat ketersediaan air tanah di Kota Bogor semakin menipis dan berujung pada kekeringan. Berdasarkan data Bappeda (2012), selisih kedalaman air tanah di Kota Bogor pada saat musim hujan adalah 3 – 6 m dan menurun jauh pada musim kemarau hingga 9 – 12 m menunjukkan bahwa tingginya tingkat gangguan proses infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Menurunnya level air tanah tersebut juga berpotensi menimbulkan penurunan level permukaan tanah (Mays 2009) yang sangat berbahaya bila terjadi di lingkungan perkotaan. Selain itu, kondisi tanah di Kota Bogor yang dominan berjenis latosol merah dengan kandungan liat memiliki kecenderungan peka terhadap erosi, sehingga peningkatan limpasan permukaan juga menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya longsor pada tanah berlereng.

Mengetahui pentingnya peran RTH, Bappeda (2012) melalui perhitungan penerapan nilai minimum KDH terhadap KDB sesuai Perda No. 8 tahun 2011 pada setiap jenis kawasan terbangun, maka luas RTH yang seharusnya tersedia hingga tahun 2031 adalah 2 887.79 ha dan tersebar pada kawasan perdagangan dan jasa, perumahan kepadatan tinggi, perumahan kepadatan sedang, perumahan kepadatan rendah, dan industri (Tabel 7). Sehingga bila diasumsikan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut terlaksana, maka jumlah keseluruhan RTH di Kota Bogor dapat mencapai 3 963.2 ha atau setara dengan 34.46% luas kota dan memenuhi standar minimum RTH di Perkotaan sesuai UU No. 26 tahun 2007, yaitu sebesar 30%. Dengan terpenuhinya standar RTH 30% tersebut dinilai telah memenuhi standar minimal untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih.

Tabel 7 Luas kebutuhan RTH berdasarkan nilai KDH pada kawasan terbangun

Kawasan komersil Kawasan perumahan tinggi Kawasan perumahan sedang Kawasan perumahan rendah Kawasan industri Total Luas (ha) 182.43 179.51 1 347,94 1 157.8 20.12 2 887.79 (sumber : Bappeda 2012)

Arahan Titik Sebaran Jejaring Pocket Park

Penerapan kebijakan standar minimum KDH terhadap KDB dinilai sangat efektif karena dapat membentuk ruang-ruang kecil RTH untuk meningkatan daya dukung ekosistem sekitarnya dan tersebar pada setiap jenis fungsi kawasan di seluruh kecamatan di Kota Bogor. Peluang tersebut akan memberikan pengaruh yang signifikan terutama bila ruang-ruang kecil yang terbentuk dapat dihubungkan melalui sebuah pola tertentu. Aplikasi pola/jejaring tersebut dapat memaksimalkan peran setiap ruang-ruang kecil RTH untuk menjadi bagian dari sistem RTH dan mental map Kota Bogor.

Jejaring pocket park di Kota Bogor dapat dikembangkan dengan menerapkan tipe jejaring radial yang mengacu pada tipe jejaring yang dikemukakan Iwashita (1991) dengan memanfaatkan keberadaan Kebun Raya Bogor (KRB) yang berada di jantung kota sebagai pusatnya. Selanjutnya, pocket park yang dibentuk dapat menyebar mengikuti pola jaringan jalan di Kota Bogor yang berpola radial konsentris. Pocket park pada ruas jalan memungkinkan berperan sebagai nodes yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak yang dapat diakses oleh semua masyarakat kota. Selain itu, pocket park juga dapat menjadi bagian dari jalur hijau dan fasilitas/utilitas jalan tersebut, misalnya pocket park pada sekitar halte dapat meningkatkan kenyamanan pengguna dan menjadi ekspansi dari halte itu sendiri. Terlebih bila melihat penggunaan jalan dan akumulasi kendaraan di Kota Bogor yang tinggi karena pola sirkulasi radial konsentris tersebut merupakan satu-satunya akses penghubung antar kawasan, keberadaan pocket park dapat menjadi insentif untuk meningkatkan jumlah pejalan kaki dan mengurangi beban ekologi dari jalan.

Penentuan titik-titik potensial sebaran pocket park dilakukan melalui metode transek terhadap peta RTRW Kota Bogor dengan jarak maksimum antar

pocket park sesuai kapasitas tempuh pejalan kaki sebesar 500 m atau aksesibilitas 5 – 10 menit berjalan kaki. Penyebarannya diaplikasikan sepanjang jalan arteri dan kolektor primer maupun sekunder, serta jalan lokal primer di Kota Bogor (Gambar 21). Berdasarkan metode ini didapatan 331 titik potensial untuk pengembangan pocket park di Kota Bogor. Bila diasumsikan luas pocket park

yang diterapkan adalah standar luas minimum pocket park menurut Visalia City Council (2005), yaitu 1 012 m2, maka luasan RTH yang dapat ditambahan adalah sebesar 334 972 m2 atau 33.50 ha (1.41% dari kebutuhan RTH publik seluas 2 370 ha). Sedangkan bila luas pocket park yang diaplikasikan adalah luas maksimum, yaitu 4 046 m2, maka penambahan RTH yang dihasilkan sebesar 1 339 226 m2 atau 133.93 ha (5.65% dari kebutuhan RTH publik seluas 2 370 ha). Kedua angka tersebut masih jauh untuk memenuhi kebutuhan RTH di Kota Bogor. Hal ini disebabkan titik sebaran masih baru menjangkau sepanjang jalan arteri, kolektor, hingga lokal primer beserta rencana jalan primer dan kolektornya, namun belum tersebar sepanjang jalan lokal di Kota Bogor.

Setiap titik rencana pocket park hasil metode transek juga dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi kawasan terbangun di sekitarnya, diantaranya kawasan komersial, industri, permukiman, dan bangunan pemerintahan. Klasifikasi tersebut didasarkan pada fungsi kawasan dominan atau memiliki pengaruh besar yang dilihat melalui grid 500 × 500 m pada masing-masing titik sebaran. Selain itu, klasifikasi juga mengacu pada kawasan tertentu yang telah ditegaskan oleh pemda sebagai kawasan komersial, diantaranya sepanjang Jl. Pajajaran, Jl. K.H. Soleh Iskandar, Jl. Surya Kencana-Siliwangi, dan Jl. Raya Tajur. Adapun upaya klasifikasi ini bertujuan untuk menyesuaikan fungsi pocket park terhadap kebutuhan lingkungan sekitarnya yang dominan. Hal tersebut mengingat hampir sebagian besar titik pocket park berada pada kawasan campuran.

Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut menunjukkan dominansi titik pocket park pada kawasan permukiman sebesar 216 titik (Tabel 8). Dilihat dari aspek sebarannya, pocket park kawasan permukiman cenderung mengelompok mengingat 35.26% luas Kota Bogor merupakan kawasan permukiman. Berbeda dengan pocket park pada kawasan komersial yang memiliki sebaran cenderung liniar mengikuti pola jalan arteri kota. Sedangkan pocket park kawasan industri dan pemerintahan memiliki lokasi sebaran cenderung acak. Hal ini disebabkan tidak adanya spesifikasi khusus kawasan pemerintahan di Kota Bogor dan terdapat beberapa industri yang terpisah dari kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan industri di Kecamatan Bogor Utara. Lebih spesifik mengenai pola sebaran masing-masing klasifikasi pocket park dapat di lihat pada Gambar 22.

Tabel 8 Klasifikasi titik pocket park

Fungsi kawasan Jumlah titik pocket park

Komersial 98

Industri 12

Permukiman 216

Bangunan Pemerintahan 5

Analisis Ruang Potensial Untuk Pocket Park

Setelah terbentuk peta jejaring pocket park, kemudian dilakukan analisis visual terhadap 331 titik potensial pocket park menggunakan peta citra google earth tahun 2012 dengan petak grid 500 × 500 m. Proses ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekeritisan ruang hijau pada setiap titik potensial tersebut. Tingkat kekritisan ruang hijau ditandai oleh ketersediaan lahan berpenutupan vegetasi. Berdasarkan tipe klasifikasi (komersial, industri, permukiman, dan pemerintahan) kemudian dipilih satu lokasi titik dengan tingkat kekritisan tertinggi dari masing-masing tipe untuk dijadikan sampel dalam perhitungan kebutuhan ruang hijau dan pembuatan desain pocket park. Adapun informasi spesifik lokasi sampel yang diambil dari masing-masing tipe klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Lokasi titik sampel pocket park

Jenis titik sampel Lokasi sampel

Tipe A (komersial) Jl. Kecamatan Bogor Tengah Siliwangi, Kelurahan Sukasari, Tipe B (industri) Jl. Raya Bogor, Kelurahan Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara Tipe C (permukiman) Jl. Pandawa Raya, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara Tipe D (pemerintahan) Jl. Ir. H. Juanda, Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah Keempat sampel tersebut kemudian dihitung nilai kebutuhan ruang hijaunya menggunakan grid berukuran 500 × 500 m. Petak grid yang diaplikasikan pada peta RTRW tahun 2011 – 2031 akan menghasilkan nilai ruang hijau yang dibutuhkan pada grid tersebut. Proses perhitungan nilai kebutuhan ruang hijau tersebut mengacu pada nilai minimum koefisien dasar hijau (KDH) terhadap koefisien dasar bangunan (KDB) sesuai Perda No. 8 tahun 2011. Aplikasi grid

juga dilakukan pada peta citra google earth tahun 2012 untuk menghasilkan luas ketersediaan ruang hijau eksisting pada lokasi sampel. Perbandingan kedua grid

tersebut akan diketahui nilai selisih yang akan menentukan luas pocket park yang akan dibangun (Gambar 23). Nilai selisih positif (+) menandakan ruang hijau pada lokasi sampel telah mencukupi kebutuhannya. Sedangkan nilai selisih negatif (-) menandakan perlunya penambahan ruang hijau pada lokasi sampel. Data perhitungan lebih spesifik dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasaran hasil perhitungan dan perbandingan didapatkan bahwa pada sampel tipe A dan B memiliki nilai selisih negatif (-), sedangkan pada sampel tipe C dan D memiliki nilai selisih positif (+). Sampel tipe A membutuhkan tambahan RTH seluas 31 417.4 m2. Angka kebutuhan tersebut terlalu besar untuk diaplikasikan dalam bentuk pocket park. Sama halnya pada titik sampel B yang membutuhkan penambahan luas RTH sebesar 2 470.6 m2. Ketidaktersediaannya ruang kosong pada sampel tipe A mengharuskan dilakukannya alih fungsi lahan terbangun menjadi taman. Sedangkan pada sampel tipe B, taman memanfaatkan ruang kosong yang tersedia walaupun hanya memiliki luas 1 365 m2. Kekurangan ruang hijau pada sampel tipe B dapat diaplikasikan melalui penghijauan jalur

jalan. Berbeda dengan sampel tipe C dan D yang memiliki kelebihan luas ruang hijau secara berurut adalah 27 661.4 m2 dan 87 235 m2. Tingginya ruang hijau pada titik sampel C dikarenakan sebagian besar merupakan area vegetasi pohon baik yang ditanam pada pekarangan rumah maupun kebun budidaya milik masyarakat dan belum ditetapkan sebagai RTH publik sehingga berpotensi beralih fungsi. Tidak berbeda pada titik sampel D yang berlokasi tidak jauh dari kebun raya bogor (KRB). Status kepemilikan privat dari KRB membuat perlunya penyediaan RTH pendukung yang dapat diakses oleh publik dan menyediakan ruang rekreasi bagi masyarakat kota.

Tabel 10 Perbandingan Kebutuhan RTH terhadap eksistingnya Jenis

sampel

Kebutuhan ruang hijau berdasaran RTRW (m2) Ruang hijau eksisting (m2) Selisih (m2) Tipe A 54 590 23 172.6 - (31 417.4) Tipe B 71 800.6 68 376.48 - (2 470.6) Tipe C 69 527.7 97 189.1 + 27 661.4 Tipe D 25 355.35 112 590.47 + 87 235

Setelah membandingkan nilai kebutuhan RTH terhadap ruang hijau eksistingnya, pada keempat titik sampel kemudian ditentukan lokasi spesifik untuk dijadikan tapak pocket park. Pemilihan ruang sebagai pocket park

difokuskan pada tersedianya ruang kosong yang memenuhi standar pocket park

menurut Visalia City Council (2005). Hasil pemilihan tapak pada keempat titik sampel dapat dirincikan sebagai berikut:

Titik Sampel Tipe A

Pada titik sampel tipe A dengan nilai selisih negatif (-), tidak memungkinkan penambahan RTH selain melalui upaya pembebasan lahan dan alihfungsi. Proses alihfungsi ini dinilai sebagai bentuk penerapan kebijakan standar minimum ruang hijau pada kawasan terbangun untuk meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan sekitarnya. Sehingga pertimbangan alihfungsi menjadi pocket park dinilai lebih baik untuk meningkatkan kualitas ekologi kawasan. Tapak pocket park yang dipilih berada di pertigaan antara Jl. Siliwangi, Jl. Gang Aut dan Jl. Ular Ban. Tapak memiliki luas 3 168 m2 dengan kondisi eksisting tapak berupa bangunan pertokoan, rumah dan sungai (Gambar 22).

Pemilihan tapak ini mempertimbangkan beberapa hal, seperti lokasi strategis dan unik di pertigaan yang mudah diakses dan menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas visual, mengingat area tersebut kurang tertata dengan baik. Selain tiu, pilihan lokasi tersebut juga bertujuan untuk akomodasi ruang berinteraksi mengingat terdapat banyak pejalan kaki dan aktivitas sosial disekitarnya. Adapun rincian batas-batas tapak, yaitu:

 Utara : Jl. Siliwangi dan Jl. Gang Aut;  Timur : Jl. Siliwangi;

 Barat : Jl. Ular Ban;

 Selatan : Bangunan pertokoan. Titik Sampel Tipe B

Memiliki nilai selisih negatif seperti halnya sampel tipe A, pada titik sampel B juga memerlukan proses alihfungsi. Namun, proses tersebut tidak melibatkan upaya pembebasan terhadap bangunan, karena masih tersedia area terbuka bervegetasi di bawah kepemilikan Kementerian Kehutanan. Lokasi tersebut juga dinilai sangat potensial karena berada berdampingan dengan akses terhadap kawasan industri PT. Surya Kabel Kencana (SKC), sehingga menjadi peluang untuk mengakomodasi ruang istirahat bagi pekerja dan sebagai buffer terhadap permukiman disekitarnya sekaligus untuk meningkatkan daya dukung dan resapan

air hujan dari kawasan industri. Walapun demikian, luas lahan yang tersedia untuk dikembangkan hanya seluas 1 365 m2, padahal kebutuhan RTH pada titik sampel ini terbilang cukup rendah, yaitu 2 470.6 m2 (Gambar 23). Batas-batas penggunaan lahan pada tapak ini diantaranya:

 Utara : Bangunan toko dan rumah  Timur : Permukiman

 Barat : Jl. Raya Bogor  Selatan : PT. SKC Titik Sampel Tipe C

Pada titik sampel tipe C, selisih kebutuhan RTH dan eksistingnya bernilai positif. Hal ini membuat pertimbangan dalam proses pemilihan tapak berfokus pada tingkat sebaran aktivitas masyarakatnya. Tapak yang dipilih pada titik sampel ini berada pada lingkungan perumahan Vila Citra Drupada IV RT 07 RW 05. Lokasinya yang strategis, yaitu berada tepat di pintu masuk menuju perumahan serta eksisting tapak yang berupa lahan kosong bervegetasi dan beberapa bangunan memiliki peluang untuk digunakan sebagai taman dan mudah diakses baik oleh warga perumahan, maupun warga umum dari kawasan komersial. Tapak ini memiliki luas 1 453.6 m2 dan masih memerlukan upaya pembebasan lahan dari bangunan untuk optimalisasi fungsi taman (Gambar 24). Batas-batas pada tapak ini dikelilingi oleh:

 Utara : Jalan masuk ke Perum. Villa Citra Drupada IV  Timur : Jl. Mandala Raya

 Barat : Jalan perumahan dan kawasan perumahan  Selatan : Bangunan pertokoan dan rumah

Titik Sampel Tipe D

Titik sampel tipe D juga memiliki nilai selisih positif karena masih berada pada lingkungan Kebun Raya Bogor. Sama halnya dengan titik sampel tipe C, pada titik ini pemilihan lokasi berfokus pada sebaran aktivitas masyarakat. Tapak yang dipilih menempati taman di halaman gedung Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah I (BKPPW I) dan Kejaksaan Negeri Bogor dengan luas 2 720 m2 yang terbagi menjadi 1 605 m2 di halaman gedung Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah I dan 1 115 m2 di halaman Kejaksaan Negeri Bogor. Pertimbangan pemilihan luas fungsional dari total luas taman sebesar 7 087 m2 ini dilakukan selain terkait cukup tingginya intensitas masyarakat yang melintasi tapak pada titik tersebut, juga untuk menjaga keamanan area gedung pemerintahan. Eksisting tapak ini berupa jalur pejalan kaki, lawn/area rumput dengan beberapa penanaman vegetasi dan fasilitas signage

(Gambar 25). Rincian batas tapak adalah:

 Utara : Gedung BKPPW I dan Kejaksaan Negeri Bogor  Timur : Area gedung BKPPW I

 Barat : Jl. Gedong Sawah  Selatan : Jl. Ir. H. Juanda

Ga mbar 24 Kondisi umu m sampe l A

Ga mbar 25 Kondisi umu m sampe l B

Ga mbar 2 6 Kondisi umu m sampe l C

Ga mbar 27 Kondisi umu m sampe l D

Analisis Tapak Pocket Park

Setelah didapatkan keempat lokasi sampel yang mewakili masing-masing tipe hasil klasifikasi fungsi kawasan, dilakukan proses analisis skala tapak untuk mengetahui secara spesifik potensi dan kendala pada tapak, sehingga dapat diupayakan alternatif solusinya untuk menghasilkan pocket park yang berfungsi optimal baik sebagai ruang interaksi publik, maupun sebagai ruang resapan air hujan. Melihat beberapa tapak memiliki persamaan kondisi fisik, maka analisis tapak sampel secara umum dijabarkan sebagai berikut:

Analisis Sirkulasi

Jalur pejalan kaki merupakan sebuah fasilitas yang berfungsi khusus untuk mengamankan dan memisahkan mobilitas pejalan kaki dari bahaya konflik dengan mobilitas kendaraan. Kota Bogor secara umum telah memfasilitasi jalur pejalan kaki hampir pada setiap jalur jalan raya, namun beberapa kendala yang sering ditemui adalah ketidaksesuaian aplikasi standar ukuran lebar jalur pejalan kaki. Dampaknya adalah ketidakmampuan jalur untuk mengakomodasi intensitas pejalan kaki. Standar lebar jalur pejalan kaki pada setiap kawasan cenderung berbeda-beda dan dipengaruhi oleh intensitas pejalan kaki pada kawasan itu sendiri. Intensitas pejalan kaki juga dipengaruhi oleh fungsi kawasan sekitarnya. sebagai contoh, lebar jalur dan intensitas pejalan kaki pada kawasan komersil akan lebih besar dibandingkan dengan pada kawasan perumahan. Berdasarkan Harris dan Dines (1998) ukuran minimum lebar dua orang pejalan kaki jalan bersamaan adalah 1.4 m (Gambar 28). Selain itu, minimnya fasilitas penunjang jalur pejalan kaki berupa penerangan juga menjadi permasalahan

Gambar 28 Kebutuhan lebar minimum jalur pejalan kaki (sumber : Harris dan Dines 1998)

Permasalahan lain yang sering timbul pada jalur pejalan kaki adalah aktivitas menyeberang dan parkirnya kendaraan angkutan umum sehingga mengakibatkan gangguan pada mobilitas pengguna jalan lain dan memicu kemacetan. Rendahnya etika penggunaan jalan baik oleh pejalan kaki maupun penggemudi angkutan umum dapat dikontrol melalui pemasangan pembatas (border) berupa vegetasi atau pagar sebagai pengarah sirkulasi pejalan kaki dan mengendalikan konflik dengan kendaraan. Pemasangan border berupa vegetasi juga berpeluang untuk menyediakan ruang teduh bagi pejalan kaki (Gambar 29).

Gambar 29 Perbandingan barier vegetasi dan pagar pada jalur pejalan kaki

Analisis Ruang

Secara umum ruang pada setiap tapak sampel dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu ruang yang berbatasan langsung dengan bangunan yang berada diluar lingkup tapak dan ruang pada sudut simpangan jalur jalan. Pada area berbatasan bangunan sekitar perlu sterilisasi tersendiri dari aktivitas pengguna taman. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari perilaku vandal dan menjaga keamanan bangunan. Upaya sterilisasi dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi. Hal ini dinilai efektif karena juga mampu menciptakan ruang resapan bagi limpasan air dari atap bangunan, juga membantu menciptakan suhu mikro yang lebih nyaman. Area batas langsung dengan bangunan juga dapat menghadirkan potensi tersendiri dalam menciptakan ruang semi open space. Ruang tersebut dapat dimanfaatkan dengan penambahan water features sebagai focal point taman dan menjadikan dinding bangunan luar sebagai latarnya (Gambar 30).

Sedangkan pada area sudut simpangan, merupakan area yang memerlukan pengendalian secara visual untuk kenyamanan pengguna jalan. Area tersebut umumnya merupakan area bebas pandang dan terhindar dari aktivitas pengguna taman (Gambar 31). Penggunaan planter box sebagai pembatas diperlukan untuk sterilisasi area tersebut. Walaupun demikian, pemilihan vegetasi perlu dipertimbangkan tinggi dan tingkat kerapatannya untuk menghidari pemblokiran visual.

Gambar 31 Intersection sight triangle

Analisis Vegetasi

Secara umum, vegetasi yang berada pada setiap tapak sampel merupakan

Dokumen terkait