• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sifat Kimia Tanah

Analisis kimia tanah penting untuk mengetahui sifat dan ciri tanah pada lokasi penelitian. Keberadaan fungi di dalam tanah dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia tanah pasak bumi (Eurycoma longifolia) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Sumber Tanah kedalaman, diperoleh nilai dengan kriteria yang sama yaitu berada pada kriteria sangat masam (4,0-4,4). Tingkat kemasaman tertinggi terdapat pada lereng atas yaitu 4,0 pada (kedalaman 0-5 cm) dan 4,1 (kedalaman 5-20 cm), sedangkan pH terendah pada lereng tengah dan bawah yaitu 4,4. Menurut Soewandita (2008) nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah.

Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut.

Jumlah ion H+ yang tinggi menyebabkan hara terikat semakin tinggi serta diikuti pula dengan penurunan pH. Penurunan pH akan diikuti kejenuhan basa yang rendah. Hal ini juga berarti ketersediaan hara yang semakin kecil.

Kandungan C-organik merupakan indikator tinggi rendahnya jumlah bahan organik tanah yang tersedia dalam tanah. Nilai C-organik pada tanah pasak bumi di tiga kelerengan dengan dua kedalaman berada pada kriteria rendah (1,34%-1,95%) dan sedang (2,01%). Rendahnya nilai C-organik pada tanah tegakan pasak bumi disebabkan oleh kurangnya bahan organik atau proses dekomposisi yang cukup lama. Menurut Munawar (2011) pada ekosistem hutan,

keberadaan bahan organik tanah menjadi kunci keberlangsungan ekosistem dan produktivitas hutan. Bahan organik yang berada dipermukaan tanah sebagai lantai hutan dengan berbagai tingkat dekomposisinya merupakan sumber utama hara tegakan hutan.

Hasil analisis KTK tanah pasak bumi pada tiga kelerengan dengan dua kedalaman berada pada kriteria rendah (5,93 m.e/100g-7,38 m.e/100g), tinggi rendahnya nilai KTK tanah pasak bumi tergantung pada sifat dan ciri tanah dilokasi penelitian. Rendahnya nilai KTK tanah tersebut dapat disebabkan karena rendahnya kandungan bahan organik tanah sebagian akibat dari kegiatan fisik di badan tanah dan kondisi tanah yang sangat masam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tufaila dan Alam (2014), bahwa keadaan tanah yang sangat masam menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar karena perkembangan muatan positif.

Fosfat merupakan salah satu unsur makro esensial, tidak hanya bagi kehidupan tumbuhan tetapi juga bagi biota tanah. Kadar P-tersedia tanah pasak bumi pada tiga kelerengan dengan dua kedalaman berada pada kriteria memiliki kriteria sangat rendah dan rendah yaitu 2,69 ppm-8,96 ppm. Rendahnya ketersediaan unsur P tersebut diduga selain karena rata-rata pH di daerah penelitian tergolong masam, juga sumber unsur P dari ketersediaan bahan organik yang juga rendah. Kadar hara P-tersedia yang tinggi akan menguntungkan bagi tanaman sehingga tanah-tanah demikian cenderung subur. Jumlah P tersedia dalam tanah ditentukan oleh besarnya P dalam jerapan yang mekanisme ketersediaannya diatur oleh pH dan jumlah bahan organik tanah (Susanto, 2005).

Kandungan bahan organik berhubungan dengan keadaan P-tersedia serta hubungan antara bahan organik dengan pH tanah. Bahan organik mengandung berbagai hara, termasuk fosfat yang akan terlepas selama dekomposisi baik dalam bentuk P-terikat ataupun P-tersedia. Besarnya bahan organik yang terdekomposisi dipengaruhi pH tanah karena besarnya pH mempengaruhi jumlah mikroba pendekomposer. Jika pH mendukung, jumlah dan aktivitas dekomposer akan meningkat sehingga semakin besar hara yang dilepaskan dalam tanah (Telaumbanua, 2011).

Fungi Pelarut Fosfat

Jumlah Total Fungi Pelarut Fosfat

Jumlah total fungi pelarut fosfat menggambarkan banyaknya populasi fungi pelarut fosfat pada lokasi pengambilan sampel tanah, populasi fungi pelarut fosfat setiap kelerengan berbeda, perbedaan jumlah ini disebabkan sumber tanah yang berbeda pula. Rataan hasil populasi fungi pelarut fosfat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Hasil Populasi Fungi Pelarut Fosfat (…x 104 SPK/ml) Sumber Tanah terhadap populasi fungi pelarut fosfat. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil rataan total populasi fungi pelarut fosfat tertingi terdapat pada sumber tanah yang berada pada kelerengan tengah kedalaman 0-5 cm (10,30 x 104 SPK/ml) sedangkan populasi fungi pelarut fosfat terendah terdapat pada sumber tanah yang berada pada kelerengan bawah kedalaman 0-5 cm (3,03 x 104 SPK/ml).

Jumlah koloni pada kelerengan tengah 0-5 cm lebih banyak ditemukan.

Hal ini disebabkan oleh kondisi pH tanah yang semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman tanah yang juga dinyatakan oleh Irfan (2014) bahwa kedalaman tanah mempengaruhi pH. Kondisi pH kemudian mempengaruhi ketersediaan P di dalam tanah. Menurut Sagala (2013) semakin banyak P-tersedia dalam tanah semakin banyak pula aktivitas mikroorganisme dalam tanah itu.

Kadar P-tersedia pada lereng tengah kedalaman 0-5 cm adalah 8,96 ppm. Jumlah ini termasuk dalam kategori rendah dibandingkan dengan tanah pada kelerengan atas yang memiliki kadar P-tersedia sangat rendah, sedangkan tanah pada kelerengan bawah juga memiliki kadar P-tersedia sangat rendah.

pH yang asam merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan fungi sehingga pada kedalaman 0-5 cm jumlah populasi fungi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedalaman 5-20 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar et al. (2006) bahwa kebanyakan fungi dapat tumbuh pada kisaran pH

yang luas yaitu pH 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. pH rendah umumnya didominasi oleh fungi. Jumlah populasi fungi pelarut fosfat dari dua kedalaman lebih banyak pada kedalaman 0-5 cm dibandingkan kedalaman 5-20 cm karena pada daerah top soil umumnya fungi dijumpai. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Rao (1994) yang menyatakan bahwa fungi umumnya dijumpai pada tanah yang lebih dangkal dan jarang ditemukan di bagian tanah yang lebih dalam. Menurut Hanafiah (2005) umumnya semakin masuk ke dalam tanah konsentrasi oksigen semakin menipis sehingga menjadi salah satu faktor yang membatasi perkembangan mikroorganisme.

Populasi fungi pelarut pada lereng tengah lebih tinggi jika dibandingkan lereng atas maupun bawah (Tabel 2), hal ini disebabkan oleh Perbedaan dalam komposisi batuan dasar dan iklim. Menurut Sahara et al. (2019) komposisi batuan dasar dan iklim merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan tanah pada ketinggian yang berbeda di atas gunung, selain itu kemiringan lereng dan keterbukaan vegetasi penutup juga merupakan faktor-faktor yang penting.

Indeks Pelarutan (IP) Fosfat

Fungi yang tumbuh pada media akan melarutkan P yang ditandai dengan terbentuknya zona bening yang mengelilingi fungi pelarut fosfat. Menurut Elfiati et al. (2016) bahwa untuk melihat kemampuan suatu fungi dalam melarutkan fosfat salah satunya dapat dilakukan secara kualitatif yaitu dengan membandingkan antara diameter zona bening yang dihasilkan oleh fungi dengan diameter koloni nya. Semakin besar nilai indeks pelarutan, maka semakin besar kemampuannya dalam melepaskan P. Hasil isolasi fungi pelarut fosfat yang diperoleh disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Isolat Fungi Pelarut Fosfat yang Diperoleh Sumber Tanah

Untuk mengetahui kemampuan fungi pelarut fosfat dilakukan pengukuran diameter zona bening yang di sekeliling koloni. Cara ini umum dilakukan, namun karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan koloni, sering menghasilkan

hubungan korelasi yang rendah antara lebar zona bening dengan jumlah P-terlarut secara kualitatif. Menurut Premono (1994) hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan nilai indeks pelarutan yaitu nisbah antara diameter zona bening terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif. Hasil pengukuran indeks pelarutan fosfat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Indeks Pelarutan (IP) Fosfat Kode Isolat Diameter Koloni

(cm)

LA : Fungi dari tanah lereng atas LT : Fungi dari tanah lereng tengah LB : Fungi dari tanah lereng bawah

Hasil pengamatan menunjukkan indeks pelarutan fosfat tertinggi yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat diperoleh dari isolat fungi LA U1 10-5 (0-5 cm) dengan nilai 2,42 dan indeks pelarutan fosfat terendah terdapat pada isloat fungi LT U3 10-4 (0-5 cm). besarnya nilai IS menggambarkan besarnya daya degradasi selulosa fungi pada media spesifik yang digunakan. Tingginya nilai indeks pelarutan fosfat pada isolat fungi LA U1 10-5 (0-5 cm) diduga karena pH yang sangat masam sehingga fungi dapat tumbuh dengan baik, menurut Soewandita (2008) jumlah ion H+ yang tinggi menyebabkan hara yang terikat semakin tinggi serta diikuti dengan penurunan pH, yang berarti semakin rendah pH maka P akan semakin banyak terlarut atau terikat oleh fungi. Menurut Goenadi dan Saraswati (1994) diameter zona bening di sekitar koloni menjelaskan kemampuan fungi secara kualitatif dalam melarutkan P bervariasi tergantung sifat genetik dari masing-masing fungi dalam memproduksi asam organik yang berperan dalam menentukan kemampuan pelarutan P.

Identifikasi Fungi Pelarut Fosfat

Identifikasi dilakukan pada fungi pelarut fosfat yang mampu membentuk zona bening. Identifikasi fungi dilakukan secara makroskopis yaitu dengan mengamati warna spora, permukaan atas, permukaan bawah dan diameter koloni pada media biakan, serta pengamatan secara mikroskopis dengan melihat hifa, konidia, bentuk spora dan warna spora yang dilakukan dengan bantuan alat mikroskop. Hasil identifikasi fungi pelarut fosfat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis Fungi Pelarut Fosfat Jenis

Terdapat lima jenis fungi pelarut fosfat yang ditemukan yaitu Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Fusarium, dan Mucor yang dilihat dari ciri-ciri umum berdasarkan pengamatan makroskopis dan mikroskopis (Tabel 5). Ciri-ciri umum masing-masing jenis fungi pelarut fosfat hasil identifikasi adalah sebagai berikut:

Aspergillus sp.

Berdasarkan hasil identifikasi fungi pelarut fosfat ditemukan jenis Aspergillus sp. sebanyak 2 jenis yang terdapat di lereng tengah dan lereng bawah pada kedalaman 0-5 cm. Secara makroskopis jenis tersebut ditemukan dengan diameter koloni 0,9-2,5 cm dan koloni berwarna hijau hingga hijau tua.

Sedangkan secara mikroskopis Aspergillus sp. memiliki konidia berwarna hitam keabu-abuan yang berbentuk oval dengan konidiofor yang bening. Menurut Gillman (1971) ciri-ciri Aspergillus sp. meliputi koloni terdiri dari lapisan padat yang terbentuk oleh konidiofor berwarna coklat kekuningan yang semakin gelap dengan bertambanya umur koloni. Konidiofor bening, berdinding tebal dan menyolok. Konidia berbentuk kolumnar, kemudian merekah menjadi kolom-kolom yang terpisah. Vesikula berbentuk bulat hingga oval, dan berdiameter 25-50 μm. Fialid terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula (pada kepala konidia yang besar), dan berukuran (10-15) × (4-8) μm. Metula berukuran (7-10)

× (4-6) μm. Konidia berbentuk bulat hingga oval, berdiameter 5-6,5 μm, berwarna hitam. Aspergillus sp. tergolong mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 35ºC-37ºC (optimum), 6ºC-8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum).

Pengamatan Aspergillus disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Aspergillus sp.

Keterangan:

Gambar 4. (A) Koloni Aspergillus sp. secara makroskopis dan (B) Pengamatan Aspergillus sp. di bawah mikroskop (a. konidia, b. konidiofor)

Penicillium sp.

Sebanyak 2 jenis Penicillium sp. ditemukan di lereng atas pada kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm. Secara makroskopis jenis tersebut ditemukan dengan diameter koloni berdiameter 1-1,6 cm dan koloni berwarna hijau tua. Sedangkan secara mikroskopis Penicillium sp. memiliki konidia yang bercabang berwarna hitam keabu-abuan yang berbentuk semi bulat dengan konidiofor yang bening.

Menurut Gillman (1971) Penicillium sp. memiliki ciri-ciri konidiofor berukuran (400-500) × (3,0-4,0) μm, khususnya tepi koloni, berdinding tipis, berwarna bening, vertisil tidak teratur dan terdiri atas 3-4 tingkat serta mempunyai cabang yang berkumpul. Fialid berbentuk agak silindris dengan leher pendek yang tidak mencolok dan berukuran (4,5-6,5) × (2,2-2,5) μm. Konidia berbentuk elips, kadang-kadang berbentuk oval, warna bening hingga hijau dan berdinding halus.

Pengamatan mikroskopis Penicillium disajikan pada Gambar 6.

a

b

A B

Gambar 6. Penicillium sp.

Keterangan:

Gambar 6. (A) Koloni Penicillium sp. secara makroskopis dan (B) Pengamatan Penicillium sp. di bawah mikroskop (a. konidia, b. konidiofor)

Rhizopus sp.

Sebanyak 4 jenis Rhizopus sp. ditemukan di lereng atas pada kedalaman 0-5 cm satu jenis, 2 jenis di lereng tengah pada kedalaman 0-5-20 cm, dan satu jenis di lereng tengah pada kedalaman 0-5 cm. Secara makroskopis jenis tersebut ditemukan dengan diameter koloni berdiameter 0,8-1,5 cm dan koloni berwarna hijau. Sedangkan secara mikroskopis Rhizopus sp. memiliki konidia berwarna hitam keabu-abuan yang berbentuk bulat dengan konidiofor berwarna coklat keabu-abuan. Menurut Gandjar et al. (1999) Rhizopus sp. ditandai dengan warna koloni putih dan menjadi abu-abu kecoklatan, konidiofor dapat tunggal atau berkelompok, berdinding halus atau agak kasar, panjang hingga 1000 μm dan berdiameter 10-18 μm. Konidia berbentuk bulat, oval, atau berbentuk elips, berwarna hitam kecoklatan, dan berdiameter 100-180 μm. Vesikula berbentuk bulat hingga oval dengan bentuk apofise. Rhizopus sp. ini memiliki suhu pertumbuhan optimum 25ºC-35ºC, minimum 5ºC-12ºC, dan maksimum 35ºC–

44ºC. Pengamatan mikroskopis Rhizopus disajikan pada Gambar 7.

a

b

A B

Gambar 7. Rhizopus sp.

Keterangan:

Gambar 7. (A) Koloni Rhizopus sp. secara makroskopis dan (B) Pengamatan Rhizopus sp. di bawah mikroskop (a. konidia, b. konidiofor)

Fusarium sp.

Hanya satu jenis Fusarium sp. yang terdapat di lereng atas pada kedalaman 5-20 cm. Secara makroskopis jenis tersebut ditemukan dengan diameter koloni berdiameter 1,5-2 cm dan koloni berwarna hijau muda.

Sedangkan secara mikroskopis Fusarium sp. memiliki konidia berwarna hitam keabu-abuan yang berbentuk semi bulat dengan konidiofor yang bening. Menurut Gandjar et al. (1999) Fusarium sp. ditandai dengan warna koloni merah-carmine, atau coklat muda agak jingga. Miselia seperti kapas, semula berwarna putih kemudian menjadi kuning, atau merah agak merah muda hingga ungu dan akhirnya menjadi coklat. Konidiofor bercabang atau tidak bercabang, dengan monofialid atau polifialid. Konidia bersel tunggal, tidak bersekat, tidak berwarna, berdinding tipis, berbentuk elips hingga lurus dengan ukuran (9-12) × (2,5-3,5) μm. Pengamatan mikroskopis Fusarium sp. disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Fusarium sp.

Keterangan:

Gambar 8. (A) Koloni Fusarium sp. secara makroskopis dan (B) Pengamatan Fusarium sp. di bawah mikroskop (a. konidia, b. konidiofor)

a

b

A B

b

a

A B

Mucor sp.

Sebanyak 2 jenis Mucor sp. yang terdapat di lereng tengah pada kedalaman 0-5 cm dan lereng atas pada kedalaman 5-20. Secara makroskopis jenis tersebut ditemukan dengan diameter koloni berdiameter 1,5-2 cm, koloni berwarna hijau muda, konidia berbentuk bulat semu, dan berwarna coklat keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopis Mucor sp. memiliki konidia berwarna hitam keabu-abuan yang berbentuk semi bulat dengan konidiofor yang bening.

Menurut Gandjar et al. (1999) Mucor sp. ditandai dengan koloni berwarna abu-abu atau abu-abu-abu-abu kehijauan, berbentuk semi bulat, dan terlihat kasar. Konidiofor berdinding agak keras, bercabang (secara simpodial atau monopodial), berdiameter hingga 20 μm, serta menyempit. Konidia berwarna kuning agak krem kemudian menjadi coklat atau coklat keabu-abuan. Vesikula berbentuk elips hingga elips silindris, berdiameter 25-50 μm, semula berwarna hialin kemudian menjadi coklat hingga abu-abu, berdinding halus atau kasar dengan sejumlah tonjolan, dan memiliki kerah. Mucor sp. ini kosmopolit dan dapat tumbuh dan bersporulasi pada suhu 5ºC-20ºC tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 37ºC.

Pengamatan mikroskopis Mucor dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Mucor sp.

Keterangan:

Gambar 9. (A) Koloni Mucor sp. secara makroskopis dan (B) Pengamatan Mucor sp. di bawah mikroskop (a. konidia, b. konidiofor)

a b

A B

Hasil identifikasi yang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis masing-masing isolat dan karakteristiknya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik Isolat Fungi Pelarut Fosfat Jenis Fungi Pengamatan koloni berwarna hijau, konidia berbentuk oval, dan berwarna hitam keabu-abuan. koloni berwarna hijau, konidia berbentuk semi bulat, dan berwarna coklat keabu-abuan.

Rhizopus sp. 1

Koloni berdiameter 0,3-1 cm, koloni berwarna hijau tua, konidia berbentuk bulat, dan berwarna hitam keabu-abuan.

Rhizopus sp. 2

Koloni berdiameter 0,8-1,5 cm, koloni berwarna hijau, konidia berbentuk bulat, dan berwarna coklat.

Rhizopus sp. 3

Koloni berdiameter 1,5-2 cm, koloni berwarna hijau, konidia berbentuk oval, dan berwarna hitam.

Lanjutan Tabel 6. Karakteristik Isolat Fungi Pelarut Fosfat

Rhizopus sp. 4

Koloni berdiameter 0,6-1,2 cm, koloni berwarna hijau, konidia berbentuk oval, dan berwarna coklat keabu-abuan. koloni berwarna hijau, konidia berbentuk semi bulat, dan berwarna hitam kecoklatan.

Mucor sp. 2

Koloni berdiameter 2,5-3 cm, koloni berwarna hijau, konidia berbentuk oval, dan berwarna coklat.

Peranan Fungi Pelarut Fosfat

Ketersediaan unsur hara mempenga ruhi pertumbuhan pada tanah masam.

Rendahnya ketersediaan unsur hara dalam tanah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesuburan tanah. Fosfor (P) adalah salah satu unsur hara yang essential untuk pertumbuhan tanaman. Fosfor akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada pembentukan sel-sel baru di jaringan meristematik tanaman, sehingga dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Tania et al., 2012).

Kadar P-tersedia pada tanah di bawah tegakan pasak bumi tergolong sangat rendah hingga rendah, ketersediaan P pada tanah dapat mengganggu kesuburan tanah. Menurut Ritonga et al. (2015) salah satu upaya untuk mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme pelarut fosfat dan bahan organik. Mikroorganisme dan bahan organik, masing-masing dapat menghasilkan asam organik yang mengkhelat logam dalam tanah sehingga fosfat menjadi tersedia bagi tanaman. Pemanfaatan mikroorganisme pelarut fosfat dan bahan organik diharapkan dapat mengatasi masalah P pada tanah masam yang diperlukan untuk mempertahankan kesuburan

tanah dengan menjaga dan meningkatkan fungsi mikroorganisme tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hara.

Mikroba pelarut fosfat juga dapat digunakan sebagai pupuk hayati yang memiliki keunggulan antara lain hemat energi, tidak mencemari lingkungan, serta mampu membantu meningkatkan kelarutan P yang terjerap. Pada jenis-jenis tertentu, mikroba ini dapat memacu pertumbuhan tanaman karena menghasilkan zat pengatur tumbuh, serta menahan penetrasi patogen akar karena sifat mikroba

yang cepat mengkolonisasi akar dan menghasilkan senyawa antibiotik (Elfiati, 2005). Jumlah fungi pelarut fosfat di dalam tanah berkorelasi positif

terhadap kandungan P-tersedia di dalam tanah. Semakin banyak fungi pelarut fosfat di dalam tanah, P-tersedia juga semakin meningkat. Peranan fungi pelarut fosfat di dalam tanah adalah membantu melarutkan P yang umumnya dalam

bentuk tidak larut menjadi bentuk terlarut sehingga dapat digunakan oleh tanaman (Niswaty et al., 2008).

Fungi Selulolitik

Jumlah Total Fungi Selulolitik

Jumlah total fungi selulolitik menggambarkan banyaknya fungi selulolitik pada lokasi pengambilan sampel tanah, yang membantu proses dekomposisi selulosa menjadi mineral dan unsur hara yang dapat digunakan pasak bumi kembali. Rataan hasil populasi fungi selulolitik disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Hasil Populasi Fungi Selulolitik (…x 103 SPK/ml) Sumber Tanah

Sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tanah dibawah tegakan pasak bumi dengan tiga kelerengan dan dua kedalaman berpengaruh tidak nyata terhadap populasi fungi selulolitik. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil rataan total populasi fungi selulolitik tertinggi terdapat pada sumber tanah yang berada pada kelerengan tengah kedalaman 0-5 cm sebanyak 13,16 x 103 SPK/ml sedangkan populasi fungi selulolitik terendah terdapat pada sumber tanah

yang berada pada kelerengan bawah kedalaman 0-5 cm sebanyak 4,12 x 103 SPK/ml.

Tabel 7 menunjukan bahwa tanah pada kelerengan bawah kedalaman 0-5 cm jumlah populasi fungi selulolitik rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan reproduksi fungi. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi fungi adalah suhu, kelembaban, dan cahaya. Menurut BIS (2010) keragaman fungsional dan aktivitas organisme tanah sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik setempat. Faktor biotik meliputi kondisi vegetasi, sedangkan faktor abiotik meliputi kondisi iklim dan kondisi tanah. Kandungan C-Organik juga memepengaruhi keberadaan mikroba perombak selulosa.

Rataan hasil total fungi selulolitik pada kedalaman 0-5 cm lebih tinggi daripada kedalaman 5-20 cm (Tabel 7). Menurut Yulnafatmawita et al. (2011) bahan organik tanah bersifat dinamik, hal ini bukan saja dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh sebagai penghasil bahan organik, tetapi juga kondisi tanah yang akan menyimpan bahan organik dan faktor-faktor yang dapat mempercepat proses perpindahannya.

Indeks Selulolitik (IS)

Fungi selulolitik merupakan fungi yang mampu merombak selulosa pada media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) yang ditambahkan kongo red 0,1%.

Fungi selulolitik ditandai dengan adanya zona bening disekitar koloni. Isolasi fungi selulolitik menunjukkan bahwa 17 fungi selulolitik yang diperoleh, hanya 10 fungi selulolitik diantaranya yang mampu mendegradasi selulosa. Isolat fungi selulolitik yang diperoleh dari tahapan isolasi selanjutnya diukur diameter koloni dan diameter zona beningnya juga dihitung indeks selulolitik setiap isolat. Hasil isolasi fungi pelarut fosfat yang diperoleh disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Isolat Fungi Selulolitik yang Diperoleh Sumber Tanah

Pada kedalaman tanah 0-5 cm diperoleh 4 fungi selulolitik dan kedalaman tanah 5-20 cm diperoleh 6 fungi selulolitik. Seluruh fungi diukur diameter koloni dan zona beningnya juga dihitung indeks selulolitik setiap isolat. Hasil perhitungan indeks selulolitik tersebut disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Pengukuran Indeks Selulolitik (IS) Kode Isolat Diameter Koloni

(cm)

LA : Fungi dari tanah lereng atas LT : Fungi dari tanah lereng tengah LB : Fungi dari tanah lereng bawah

Indeks selulolitik (IS) tertinggi terdapat pada isolat LA U2 10-4 (5-20 cm) dengan nilai 0,68 berkategori rendah dan IS terendah terdapat pada isolat LT U1 10-3 (0-5 cm) dengan nilai 0,25 berkategori rendah, besarnya nilai IS menggambarkan besarnya daya degradasi selulosa fungi pada media spesifik yang digunakan. Menurut Nur et al. (2008) mikroba selulolitik adalah mikroba yang mampu menghasilkan enzim untuk merombak atau menghidrolisis selulosa dan kristalin selulosa.

Zona bening yang terbentuk disekitar koloni fungi selulolitik merupakan hasil degradasi media CMC oleh enzim selulase. Koloni fungi yang membentuk zona bening menunjukkan bahwa fungi tersebut menghasilkan enzim selulase.

Besar kecilnya daerah zona bening juga merupakan indikasi awal besar kecilnya aktifitas enzim selulase yang dihasilkan, semakin besar daerah zona bening yang dihasilkan kemungkinan aktifitas enzim selulase yang dihasilkan oleh fungi selulolitik semakin besar pula (Subowo, 2012).

Identifikasi Fungi Selulolitik

Identifikasi dilakukan pada fungi selulolitik yang mampu membentuk zona bening (holozone). Identifikasi fungi dilakukan secara makroskopis yaitu dengan

mengamati warna spora, permukaan atas, permukaan bawah dan diameter koloni pada media biakan, serta pengamatan secara mikroskopis dengan melihat hifa, konidia, bentuk spora dan warna spora yang dilakukan dengan bantuan alat mikroskop. Hasil identifikasi fungi selulolitik disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis Fungi Selulolitik

Berdasarkan Tabel 10 terdapat 5 jenis fungi selulolitik yang ditemukan yaitu Aspergillus, Cladosporium, Penicillium, Rhizopus, dan Mucor yang dilihat

Berdasarkan Tabel 10 terdapat 5 jenis fungi selulolitik yang ditemukan yaitu Aspergillus, Cladosporium, Penicillium, Rhizopus, dan Mucor yang dilihat

Dokumen terkait