• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Zat Gizi Jamu

Kandungan zat gizi jamu yang dianalisis yaitu kadar protein,

lemak, karbohidrat, air, abu, zat besi (Fe), seng (Zn), dan β-karoten. Kadar besi pada jamu yang diperoleh dari hasil analisis yaitu sebesar 221 ppm (221 mg/kg atau 22,1 mg/100 gr) dan kadar seng pada jamu adalah sebesar 34 ppm (34 mg/kg atau 3.4 mg/100 gr), dan kadar β-karoten pada jamu galohgor sebesar 1.03 % atau 171 667 RE. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan vitamin A, besi, dan seng pada jamu jauh lebih besar bila dibandingkan dengan beberapa bahan pangan. Sebagaimana disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5 Kandungan zat gizi dalam jamu galohgor

Zat Gizi Kadar

Karbohidrat (%) 61.89 Protein (%) 17.85 Air (%) 12.22 Lemak (%) 5.23 Abu(%) 2.81 Besi (Fe) (mg/100 g) 22.1 Seng (Zn) (mg/100 g) 3.4 β-karoten (RE) 171 667

Tabel 6 Kandungan zat gizi pada beberapa bahan pangan

Bahan pangan Zat besi (Fe)

(mg/100 g) Seng (Zn) (mg/100 g) Vitamin A (RE/100 g) Lemak (%) Karbohidrat (%) Protein (%) Bayam 0.5 0.8 450 0.6 3.7 1.2 Daun katuk 2.7 0.0 855 1.0 9.1 5.3 Daun singkong 2.0 0.5 1 650 0.6 4.8 3.7 Kangkung 3.5 0.2 459 0.6 3.1 2.5 Sawi 2.9 0.3 969 0.3 4.0 2.3 Wortel 0.6 0.0 1 500 0.5 6.3 0.7 Jagung kuning 0.7 0.0 51 1.3 33.1 4.7 Sumber : DKBM (2005)

34

Zat besi yang terdapat di dalam jamu galohgor berasal dari komponen jamu yang terdiri dari rempah-rempah (5,84 %), daun-daunan, batang dan buah (10,94 %), temu-temuan (7,62 %), serta kacang-kacangan (75,60 %). Kacang-kacangan yang memiliki persentase paling besar dimungkinkan menjadi penyumbang zat besi paling banyak, karena menurut Winarno (2002) mengungkapkan bahwa sumber besi dapat diperoleh dari hati, daging, kuning telur, kacang-kacangan, serta sayuran daun hijau. Kacang-kacangan yang terdapat dalam jamu galohgor di antaranya adalah kecipir, kacang hijau, kacang dadak, kacang kedelai dan kacang tanah.

Peranan zat besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi oksidasi dan reduksi. Zat besi dalam tubuh dapat ditemukan dalam mioglobin. Mioglobin merupakan protein pengikat oksigen yang relatif kecil (BM 16.700) yang ditemukan pada sel otot. Fungsinya adalah untuk menyimpan oksigen yang terikat dan untuk meningkatkan transport oksigen ke mitokondria, yang mempergunakan oksigen selama oksidasi nutrien sel. Mioglobin mengandung satu rantai polipeptida yang terdiri atas 153 residu asam amino dengan deret yang telah diketahui, dan satu forfirin-besi, atau gugus heme yang sama dengan hemoglobin, protein pengikat oksigen sel darah merah. Hemoglobin berukuran 4 kali lebih besar dari mioglobin atau hemoglobin terdiri atas 4 molekul mioglobin. Atom besi (Fero) pada pusat heme mempunyai dua ikatan koordinasi yang tegak lurus pada bidang heme. Salah satunya berikatan dengan gugus R residu histidin, sedangkan ikatan koordinasi yang lain berada pada sisi tempat pengikatan molekul O2

Secara kimia, zat besi merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mampu berinteraksi dengan oksigen. Besi dalam keadaan tereduksi akan kehilangan dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan positif (Fe

. Oksigen inilah yang berperan dalam proses reduksi-oksidasi (redoks) di dalam tubuh (Lehninger 1982).

2+ /fero), sedangkan dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga memiliki tiga sisa muatan positif (Fe3+/feri). Kondisi besi yang dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai

35

kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi (redoks) (Almatsier 2004).

Almatsier (2004) mengungkapkan bahwa besi dalam makanan yang terdapat dalam bentuk heme besi seperti dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, besi nonheme dalam makanan nabati, dapat diserap sampai 25 % sedangkan besi nonheme diserap hanya 5 %. Kadar besi yang terdapat dalam jamu galohgor yaitu 22.1 mg dalam 100 gram jamu atau 0.221 mg dalam setiap satu gram jamu, maka jamu yang terbuat dari 100 % bahan nabati hanya bisa memberikan sumbangan sebesar 0.0111 mg zat besi untuk setiap satu gram jamu. Apabila jamu yang dikonsumsi sebanyak 20 gram/hari, maka jamu galohgor dapat memberikan sumbangan sebesar 0.221 mg zat besi/hari.

Jamu galohgor secara empiris banyak dikonsumsi oleh ibu pada masa laktasi. Jamu galohgor dapat memberikan sumbangan zat besi sebanyak 0.221 mg, yang menunjukkan bahwa jamu galohgor belum dapat memenuhi kebutuhan zat besi tambahan pada masa laktasi yaitu 2 mg zat besi/hari sebagaimana yang ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) pada Tabel 7. Tabel 7 Anjuran angka kebutuhan kecukupan gizi rata-rata bagi ibu hamil dan

menyusui

Zat gizi Kebutuhan sebelum

hamil Kebutuhan selama hamil Kebutuhan selama menyusui Besi (mg) 26 +20 +2 Seng (mg) 15 +5 +10 Vitamin A (RE) 500 +200 +300

Daya absorpsi besi berbeda untuk bahan pangan satu dengan lainnya. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme dan besi nonheme. Besi heme biasanya terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin dalam daging dan ikan, sedangkan besi nonheme tedapat pada garam besi yang banyak ditemukan pada tumbuhan, produk susu, dan makanan yang difortifikasi besi (Bowman and Russel 2001).

36

Bowman dan Russel (2001) juga mengungkapkan bahwa absorpsi besi nonheme seperti yang terdapat dalam jamu sangat dipengaruhi oleh kelarutannya dalam usus dan kelarutannya pada makanan yang dikonsumsi. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan absorpsi besi nonheme di antaranya adanya vitamin C dan daging. Akan tetapi absopsinya akan terganggu apabila besi yang dikonsumsi bersama makanan yang banyak mengandung sereal atau legume.

Kandungan seng dalam jamu juga lebih besar dibandingkan dengan beberapa bahan pangan dalam Tabel 6. Seng merupakan komponen lebih dari 300 enzim yang berpartisipasi dalam sintesis dan degradasi karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Seng juga menstabilkan struktur molekul dari komponen seluler, membrane, serta berkontribusi dalam menjaga integrotas sel dan organ. Seng berperan dalam sintesis dan degradasi kolagen. Oleh karena itu, seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyembuhan luka. Di samping itu seng diperlukan dalam sintesis Retinol Binding Protein (RBP) yaitu protein pengikat retinol di hati (Almatsier 2004).

Ion Zn2+ merupakan komponen esensial pada hampir ratusan jenis enzim yang berbeda. Ion ini terdapat pada beberapa dehidrogenase yang berikatan dengan NAD dan NADP, yaitu enzim yang menyebabkan perpindahan ion hidrida dari molekul substrat ke koenzim NAD+ dan NADP+

Penyerapan seng akan terganggu oleh besi bila dikonsumsi dengan media larutan karena keduanya berkompetisi pada jalur penyerapan yang sama, namun keadaan ini tidak terjadi bila seng dikonsumsi bersama dengan makanan, karena seng akan diserap melalui jalur alternatif lainnya dengan bantuan ligan yang terbentuk selama pencernaan protein (Sandstrom et al. 2001). Selain antar

(Lehninger 1982). Kadar Zn dalam jamu galohgor adalah 3.4 mg/100 gram jamu atau 0.034 mg/1 gram jamu. Apabila daya serap seng 20-30 %, maka setiap gram jamu akan menyumbangkan 0.0068 mg seng. Apabila kebutuhan tambahan seng untuk ibu pada masa laktasi adalah 10 mg (Tabel 7), maka sumbangan seng dari jamu masih kurang. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan seng tambahan untuk ibu setelah melahirkan tidak cukup hanya mengkonsumsi jamu.

37

mineral, interaksi zat gizi pun dapat terjadi antara mineral dengan vitamin, misalnya besi dan seng akan mempengaruhi penyerapan vitamin A.

Daun-daunan yang terdapat pada jamu Galohgor dalam jumlah yang cukup banyak berkontribusi pada ketersediaan provitamin A, salah satunya adalah beta karoten, karena warna hijau yang dihasilkan oleh daun-daunan. Winarno (2002) mengungkapkan bahwa β-karoten merupakan provitamin A yang terdapat dalam tanaman hijau. Selain itu, sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati.

Kajian mengenai retinoid, β-karoten dan provitamin A yang lain saat ini mengalami perkembangan. Kajian tersebut dikaitkan dengan bagaimana ketiganya berhubungan dengan aktivitas vitamin A. Metabolisme sistem

pencernaan dan fase penyerapan β-karoten sangat bervariasi. (Bowman and Russel 2001).

Beta karoten sebagai provitamin A akan mempengaruhi status vitamin A pada tubuh. Provitamin A akan diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh. Akan tetapi, tidak semua provitamin akan diubah menjadi vitamin A. Separuh karoten yang terserap akan diubah menjadi vitamin A, sedangkan yang akhirnya akan dimanfaatkan oleh tubuh hanya 1/6 dari kandungan karoten dalam bahan makanan. Jamu galohgor mengandung 171 667, sehingga jamu galohgor dapat memberikan sumbangan vitamin A sebanyak 28 611 RE selama masa laktasi (Winarno 2002).

Vitamin A berperan dalam hematopoeiesis. Interaksi vitamin A dengan zat besi terlihat pada pemberian vitamin A yang dapat menurunkan prevalensi anemia dan memperbaiki utilisasi besi. Vitamin A terlibat di dalam kejadian anemia melalui berbagai mekanisme di antaranya gangguan pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor eritrosit, menurunnya imunitas terhadap infeksi dan menurunkan mobilisasi cadangan besi dan jaringan-jaringan. Kekurangan vitamin A dapat pula menyebabkan terganggunya transportasi besi dari hati dan atau penggabungan besi ke dalam eritrosit (Semba dan Blom 2002).

38

Seng mempengaruhi pembentukan vitamin A pada tingkat seluler. Pada kondisi kekurangan seng, sintesis retinol binding protein (RBP) di hati menjadi terganggu dan retinase reductase activity menurun. Enzim ini adalah enzim yang yang tergantung pada keberadaan seng, dan aktivitas enzim tersebut berhubungan dengan adaptasi terhadap gelap pada seseorang dengan kekurangan seng. Ditambahkan pula bahwa seng esensial untuk sintesis RBP di hati dan RBP esensial untuk mengangkut vitamin A dari hati ke jaringan feriferal. Seng juga terbukti efek vitamin A di dalam perbaikan penglihatan di malam hari (Christian

et al. 2001).

Apabila dibandingkan dengan bahan pangan yang lain, maka kadar lemak dalam jamu galohgor jauh lebih besar (Tabel 5). Ribaya Mercado (2007) mengungkapkan bahwa karoten yang berasal dari sayuran hijau yang dikonsumsi dengan sedikit lemak akan menaikkan kadar serum karoten total dan total cadangan vitamin A. hal tersebut dapat meningkatkan cadangan vitamin A dalam hati dari konsentrasi rendah menjadi normal.

Hasil Skrining Fitokimia Jamu Galohgor

Hasil pengujian skrining fitokimia menunjukkan bahwa jamu galohgor mengandung alkaloid (+++) positif kuat, triterpenoid (++++), dan glikosida (++++) positif kuat sekali sebagaimana yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 8 Hasil uji fitokimia jamu galohgor

Uji Hasil analisis

Alkaloid +++ Saponin - Tanin - Fenolik - Flavonoid - Triterpenoid ++++ Steroid - Glikosida ++++

Pembuatan alkaloid terjadi pada daun dimana proses fotosintesis terjadi. Selain pada daun, alkaloid juga didapati pada kuncup muda, akar, dan juga pada

39

getah yang diproduksi di tabung-tabung getah dalam epidermis, atau sel-sel yang langsung di bawah epidermis. Alkaloid pada tanaman berfungsi untuk mempertahankan diri dari serangan luar, misalnya alkaloid belladonna dengan beberapa daun saja telah berbahaya pada manusia, tetapi pada kelinci tidak berbahaya. Unsur nitrogen yang terdapat pada alkaloid, maka alkaloid memiliki hubungan dengan pembentukan asam-asam amino menjadi protein pada tanaman (Sirait 2007)

Alkaloid dapat berfungsi sebagai analgetika (menghilangkan rasa sakit), narkotika (menghilangkan rasa sakit sekaligus menidurkan dan membius), alkaloid jantung mengubah kerja jantung, alkaloid juga mempengaruhi peredaran darah dan pernapasan, sebagai kemoterapeutika dan antiparasit, sebagai stimulan uterus, dan sebagai midriatika (Sirait 2007).

Setiap tanaman mengandung banyak alkaloid. Jamu galohgor sebagai jamu yang terdiri dari 38 jenis tanaman, mengandung lebih dari satu jenis alkaloid. Begitu juga dengan triterpenoid dan glikosida. Triterpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, dan terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Triterpenoid merupakan bagian dari terpenoid yang dibangun dari molekul isoprene. Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprene. Triterpenoid pada umumnya merupakan senyawa yang larut dalam lipid, senyawa ini berada pada sitoplasma sel tumbuhan. Triterpenoid dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Sirait 2007).

Hasil uji fitokimia yang positif yang ditemukan juga pada jamu galohgor adalah glikosida. Glikosida adalah suatu senyawa, bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida yang glukosa disebut glukosida. Glikosida yang berkhasiat obat dapat digolongkan menjadi kardioaktif (glikosida jantung), antrakinon, saponin, sianofor, tiosianat, flavonol, alkohol, aldehid, lakton, fenol, dan lainnya. Bagi tanaman, glikosida berguna sebagai cadangan gula untuk sementara, menjaga diri terhadap hama dan penyakit, mencegah saingan dari tanaman lain, pengatur turgor, dan mencegah

40

keracunan. Sedangkan manfaat bagi manusia, glikosida bermanfaat sebagai obat jantung, diuretik, tonika, ekspektoran, sebagai prekursor hormone steroid, untuk racun ikan, dan sebagai bahan pencuci (Sirait 2007).

Gambaran Darah Tikus

Gambaran darah tikus meliputi jumlah eritrosit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht), Volume rataan darah merah (Mean Corpuscular Volume/MCV), dan rataan konsentrasi hemoglobin dalam darah merah (Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration/MCHC).

Darah adalah cairan tubuh yang sangat kompleks yang dibentuk oleh sel darah merah, sel darah putih, keping darah, serta cairan darah yang disebut plasma. Darah berperan dalam mendistribusikan zat-zat kehidupan ke setiap sel tubuh dan membawa sisa-sisa hasil metabolisme. Beberapa zat yang penting bagi kelangsungan hidup sel-sel tubuh dapat larut dalam plasma seperti vitamin, mineral, enzim, hormon, lemak, dan air (Hutapea 2006).

Sel darah merah adalah jenis sel darah terbanyak. Dalam 1 mm3

Eritrosit (x 10

(millimeter kubik) darah normal terdapat sekitar 5.000.000 sel darah merah. Sel darah putih berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan dari luar. Sel darah ini akan berkumpul pada bagian tubuh yang terluka untuk menjaga agar kuman penyakit tidak masuk melalui luka itu (Hutapea 2006). Gambaran darah tikus dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Gambaran hematologi tikus

6 5.00 - 12.00 /mm3) Hemoglobin (g/dl) 11.1 – 18.00 MCV (µ3) 44.5 – 69.00 MCH (µµg) 12.0 – 24.50 MCHC (%) 21.6 – 42.00 Hematokrit (PCV) (ml %) 36.0 – 52.00 Leukosit (WBC) (x 103/mm3) 3.00 - 15.00 Neutrofil (x 103/mm3) 1.10 – 4.00 Eosinofil (x 103/mm3) 0.00 – 0.08 Basofil (x 103/mm3) 0.00 – 4.00 Limfosit (x 103/mm3) 4.00 – 10.0 Monosit (x 103/mm3) 0.00 – 0.10

41

Tabel 14 menunjukkan hasil perhitungan rataan jumlah sel darah merah (eritrosit) tikus yang diberi jamu terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) berdasarkan kelompok hari. Sedangkan antara tikus yang diberi jamu dan kontrol tidak terdapat perbedaan yang nyata.

Tabel 14 Rataan jumlah eritrosit antara kelompok perlakuan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 6.89 ± 0.00b 7.00 ± 0.66b

7 6.86 ± 0.03b 6.68 ± 0.18b

12 5.93 ± 0.67a 6.12 ± 0.27a

a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p<0.05) dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Tabel 15 Rataan jumlah eritrosit tikus setelah mengalami perlukaan

pada taraf uji 0,05.

Efek perlukaan pada jumlah eritrosit tikus berpengaruh nyata (p<0.05) (Tabel 15) antara tikus yang diberi jamu dan kontrol. Sedangkan antar kelompok hari terdapat perbedaan yang nyata. Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan jumlah eritrosit tikus yang diberi jamu dan kontrol, akan tetapi terdapat kecenderungan tikus yang diberi jamu memiliki jumlah eritrosit yang lebih besar. Apabila melihat pada jumlah eritrosit tikus yang normal yaitu 5-12, maka antara semua kelompok perlakuan berada pada jumlah yang normal atau tidak mengalami anemia. Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian jamu galohgor tidak mengakibatkan adanya perubahan sel darah merah secara signifikan.

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 7.73 ± 0.23b 6.88 ± 0.88b

7 7.45 ± 0.03b 7.22 ± 0.00b

12 5.58 ± 0.71a 5.46 ± 0.63a

a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p<0.05) dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Kadar hemoglobin antara tikus yang diberi jamu dengan kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (Tabel 16). Kadar hemoglobin

42

pada tikus yang diberi jamu cenderung memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi. Kadar hemoglobin (Hb) dipengaruhi oleh penyerapan besi atau status besi tubuh. Zat besi merupakan mineral yang esensial bagi pembentukan Hb. Selain itu, keberadaan protein juga akan mempengaruhi kadar Hb dalam darah (Brody 1994)

Tabel 16 Rataan kadar hemoglobin antara kelompok perlakuan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 15.30 ± 0.00 11.40 ± 2.55

7 15.30 ± 0.28 14.75 ± 0.07

12 13.45 ± 1.91 13.30 ± 1.27

Efek perlukaan pada kadar hemoglobin tikus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05) (Tabel 17). Akan tetapi, kadar Hb pada tikus yang diberi jamu cenderung lebih tinggi dan terjadi peningkatan dari hari ke-3 hingga hari ke-12 yaitu setelah terjadinya perlukaan pada hari ke-3. Pada saat terjadinya perlukaan, adanya proses pengeluaran darah yang diertai pula dengaaka keluarnya Fe. Pada kondisi tubuh mengalami defisiensi Fe, maka penyerapan Fe dari dinding mukosa usus semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan Hb semakin besar (Sayuti 2002). Kadar hemoglobin normal pada tikus berada pada kisaran 11.1-18. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin (Hb) semua tikus percobaan berada pada nilai yang normal.

Tabel 17 Rataan kadar hemoglobin tikus setelah mengalami perlukaan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 12.30 ± 0.99 11.95 ± 0.92

7 12.85 ± 0.21 12.10 ± 0.00

12 13.55 ± 0.78 13.35 ± 0.78

Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pada sistem imunitas yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi dan patogen lain.

43

Banyaknya jumlah leukosit dalam darah sering menjadi indikator adanya suatu infeksi. Rataan jumlah leukosit dapat dilihat pada tabel 18. Tikus yang diberi jamu dan kontrol tidak berbeda nyata (p>0.05). Jumlah leukosit pada tikus yang normal adalah 3 000-15 000 /mm3

Hari Pengamatan

, sehingga semua tikus percobaan memiliki jumlah leukosit yang normal. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi homeostatis dan kemampuan tikus untuk beradaptasi terhadap perubahan fisiologis pada saat persalinan cukup tinggi (Roosita 2003).

Tabel 18 Rataan jumlah leukosit antara kelompok perlakuan

Kelompok

Jamu Kontrol

3 9500 ± 0.00 5400 ± 2.62

7 9900 ± 1.70 6150 ± 3.54

12 3550 ± 3.75 9850 ± 1.27

Efek perlukaan pada jumlah leukosit tikus yang diberi jamu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Jumlah leukosit yang tidak ada perbedaan antara semua kelompok perlakuan diduga karena sejak awal percobaan jumlah leukosit semua tikus dalam kisaran normal.

Tabel 19 Rataan jumlah leukosit tikus setelah mengalami perlukaan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 9025 ± 3.54 10475 ± 6.01

7 6675 ± 1.80 10300 ± 0.00

12 7325 ± 2.51 6725 ± 7.42

Jenis leukosit pada semua kelompok percobaan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel 20). Efek perlukaan terhadap jumlah jenis leukosit pun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tikus yang diberi jamu dengan kontrol (Tabel 21). Akan tetapi, jumlah limfosit yang terukur menunjukkan nilai yang sangat tinggi. Jauh di atas keadaan normal yaitu 4-10. Tabel 20 Jenis leukosit antar kelompok perlakuan

44 Hari pengamatan Jamu Kontrol B E L M B E L M 3 0.0±0.00 0.0±0.00 97.0±0.00 1.10±0.00 0.0±0.0 0.5±0.71 82.0±2.83 2.5±2.12 7 0.0±0.00 0.5±0.71 91.5±0.71 2.50±0.71 0.0±0.0 0.0±0.00 95.5±0.71 2.0±0.00 12 0.0±0.00 0.5±0.71 56.5±3.04 12.5±2.12 0.0±0.0 3.0±4.20 79.5±1.34 2.0±1.40

B : Basofil L : Limfosit E : Eosinofil M : Monosit

Hari pengamatan

Tabel 21 Jenis leukosit setelah perlukaan

Jamu Kontrol

B E L M B E L M

3 0.0±0.00 2.0±0.00 65.5±2.47 4.4±2.83 0.0±0.0 1.5±2.12 77.0±1.41 2.0±2.83 7 0.0±0.00 1.5±0.71 81.0±1.84 2.0±0141 0.0±0.0 3.0±0.00 79.0±0.00 2.0±0.00 12 0.0±0.00 1.5±2.12 84.0±0.00 1.5±2.12 0.0±0.0 0.5±0.71 86.0±0.00 1.5±0.71

B : Basofil L : Limfosit E : Eosinofil M : Monosit

Hari Pengamatan

Kadar hematokrit menunjukkan jumlah sel darah terhadap volume darah. Kadar hematokrit antara tikus yang diberi jamu dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Tabel 22). Kadar hematokrit pada hari ke-3 dan ke-7 berada pada kisaran normal, yaitu 36-52. Sedangkan kontrol pada hari ke-3 di bawah normal. Pada hari ke-12, tikus yang diberi jamu memiliki rataan kadar hematokrit yang di bawah normal, sedangkan pada kontrol tidak.

Tabel 22 Rataan kadar hematokrit antara kelompok perlakuan

Kelompok

Jamu Kontrol

3 39.00 ± 0.00 34.88 ± 6.20

7 38.00 ± 1.41 36.50 ± 0.71

12 34.50 ± 4.95 37.50 ± 3.54

Efek perlukaan pada kadar hematokrit tikus juga tidak berpengaruh nyata pada kadar hematokrit tikus yang diberi jamu dan kontrol. Pada hari ke-3, tikus yang diberi jamu memiliki kadar hematokrit (Ht) yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Tetapi setelah tikus mengalami perlukaan, kadar Ht pada tikus yang diberi jamu lebih tinggi dibandingkan kontrol.

45

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 37.13 ± 3.71 37.38 ± 2.65

7 38.00 ± 2.12 37.25 ± 0.00

12 37.88 ± 5.48 37.25 ± 0.35

Jumlah MCV menunjukkan volume rataan satu sel darah merah. Pada tikus, MCV semua tikus percobaan berada pada angka normal. Karena MCV normal berada pada kisaran 44.5-69. Jumlah MCV pada tikus yang diberi jamu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 24). Efek perlukaan pada kadar MCV tikus yang diberi jamu menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Tabel 25).

Tabel 24 Rataan kadar MCV antara kelompok perlakuan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 56.60 ± 0.00 49.63 ± 4.12

7 55.35 ± 1.63 54.50 ± 0.99

12 58.00 ± 1.70 62.05 ± 1.02

Tabel 25 Rataan kadar MCV tikus setelah mengalami perlukaan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 48.16 ± 1.70 54.57 ± 3.16

7 51.01 ± 3.04 51.59 ± 0.00

12 67.87 ± 1.14 68.78 ±8.58

Jumlah MCHC menggambarkan konsentrasi rataan hemoglobin dalam satu satuan volume tertentu dari sel darah merah. Pada tikus, jumlah MCHC normal berada pada kisaran 21.6-42. Sehingga semua tikus percobaan memiliki

46

nilai MCHC yang normal. Jumlah MCHC pada tikus diberi jamu tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel 26).

Tabel 26 Rataan kadar MCHC antara kelompok perlakuan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 39.20 ± 0.00 32.64 ± 1.45

7 40.20 ± 0.28 40.50 ± 0.14

12 39.00 ± 0.00 35.25 ± 0.26

Efek perlukaan pada kadar MCHC tikus yang diberi jamu dengan control menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Akan tetapi, tikus yang diberi jamu cenderung memiliki kadar MCHC yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Tabel 27 Rataan kadar MCHC tikus setelah mengalami perlukaan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 33.25 ± 0.66 32.04 ± 0.16

7 33.89 ± 1.27 32.59 ± 0.00

12 35.89 ± 3.12 35.88 ± 2.43

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara kadar feritin pada serum, kadar hemoglobin, MCV dan MCHC (P<0.01). Akan tetapi pada saat tikus mengalami perlukaan, keempat parameter tersebut tidak memiliki hubungan yang nyata.

Tabel 28 Rataan berat badan tikus berdasarkan kelompok perlakuan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 205.0 ± 9.90 156.1 ± 1.94

7 189.0 ± 6.40 173.4 ± 1.57

12 220.0 ± 0.00 205.3 ± 2.12

Berat badan tikus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tikus yang diberi jamu dengan kontrol (Tabel 28). Efek perlukaan terhadap

berat badan tikus antar kelompok hari menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Berdasarkan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara berat badan dengan kadar Hb tikus (P<0.05) setelah tikus mengalami perlukaan.

Tabel 29 Rataan berat badan tikus setelah mengalami perlukaan

Hari Pengamatan Kelompok

Jamu Kontrol

3 195.8 ± 1.13a 205.0 ± 0.99a

7 198.3 ± 1.74ab 203.8 ± 0.00ab

12 215.8 ± 0.98b 222.4 ± 0.34b

a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p<0.05) dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Sebanyak 6 µg β-karoten dibutuhkan untuk menghasilkan vitamin A yang mempunyai aktivitas 1 µg retinol. Beberapa retinal dioksidasi menjadi asam retinoat yang tidak reversible. Tidak seperti retinol, asam retinoat diambil oleh pembuluh darah dan dipindahkan dalam plasma terikat kuat dengan albumin

pada taraf uji 0,05.

Berat badan tikus yang diberi jamu cenderung meningkat dari hari ke-3 hingga hari 12. Sedangkan pada tikus kontrol, terjadi penurunan pada hari ke-7, yaitu hari setelah tikus mengalami perlukaan. Kemudian naik kembali berat badannya pada hari ke-12. Hal tersebut menunjukkan bahwa tikus yang diberi jamu mampu mempertahankan berat badannya setelah mengalami perlukaan dibandingkan tikus kontrol.

Kadar beta karoten dan retinol pada serum tikus

Beta karoten akan mengalami perubahan di dalam tubuh. β-karoten akan

diubah menjadi retinal oleh enzim β-karoten 15-15’ dioksigenase dalam sel mukosa, dan kemudian oleh retinal reduktase yakni enzim yang membutuhkan NADH/NADPH membentuk retinal yang kemudian diesterifikasi. Secara teori, 1

molekul β-karoten dapat menghasilkan 2 mol retinol, tetapi secara in vivo, tidak

Dokumen terkait