• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Pengamatan Berat Paru-paru

Rata-rata berat organ paru-paru mencit kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan (P1 dan P2) dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Pengaruh Rokok Elektrik Terhadap Berat Paru-paru Mencit

antara Kelompok Kontrol (P0) dan Perlakuan (P1 dan P2). Huruf yang samamenyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

Dari hasil uji parametrik (Gambar 4.1) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Untuk kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan strawberry (P1) berat rata-rata paru-paru yaitu 0,2 g (ditimbang dengan neraca digital) sedangkan kelompok perlakuan gudang garam (P2) memiliki berat rata-rata 0,21 g. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan senyawa kimia yang lebih banyak pada asap rokok dengan kandungan rasa gudang garam. Asap rokok yang masuk ke dalam paru-paru akan menyebabkan gangguan

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 P0 P1 P2 B era t O r gan ( g) Kelompok Perlakuan a a a

pernapasan dan kerusakan jaringan paru-paru sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun dapat menyebabkan paru-paru perokok menjadi kolaps.

Menurut Amin (1996), rokok merupakan faktor resiko utama PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) yang utama. Asap rokok dapat mengganggu aktivitas bulu getar saluran pernapasan, fungsi makrofag, dan mengakibatkan hipertrofi kelenjar mukosa. Resiko PPOM yang diakibatkan oleh rokok empat kali lebih besar daripada bukan perokok. Rokok tidak hanya menimbulkan inflamasi tapi juga melemahkan pertahanan terhadap kerja elastase dan reparasi dari matriks ekstrasel. Mekanisme kerusakan paru akibat rokok melalui dua tahap yaitu peradangan yang disertai kerusakan matriks ekstrasel (jalur utama) dan jalur kedua adalah menghambat reparasi matriks ekstrasel. Mekanisme kerusakan paru-paru diakibatkan oleh rokok melalui radikal bebas yang dikeluarkan oleh asap rokok. Bahan utama perusak sel akibat proses di atas adalah protease, mieloperoksidase (MPO), oksigen dan radikal bebas. Sedangkan yang bertugas meredam bahan-bahan tersebut adalah AAT (alfa -1- antitrypsin).

Disamping gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara juga dapat diserap. Umumnya, partikel besar (> 10 µm) tidak memasuki saluran napas, dan kalaupun masuk, mereka akan diendapkan di hidung dan dihilangkan dengan mengusap, dan meniup. Partikel yang sangat kecil (< 0,01 µm) lebih mungkin terbuang ketika menghembuskan napas. Partikel berukuran 0,01-10 µm diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel yang lebih besar mungkin diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau lewat epitel saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir (Lu, 1994).

Menurut Corwin (2008), penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat penimbunan mucus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu. Setiap keadaan yang menyebabkan akumulasi mucus, seperti fibrosis kistik, pneumonia, atau bronchitis kronis, meningkatkan resiko atelektasia absorpsi (tidak adanya udara di dalam alveolus). Hal ini juga bisa menyebabkan kolapsnya paru atau alveolus. Alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta dalam pertukaran gas. Kondisi ini

mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang.

4.2 Data Hasil Pengamatan Bobot Badan

Hasil pengamatan perbandingan persentase perubahan bobot badan antara kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan (P1 dan P2) dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Pengaruh Rokok Elektrik Terhadap Perubahan Bobot Badan Mencit. P0 = Persentasi Kenaikan Bobot Badan

P1 & P2 = Persentase Penurunan Bobot Badan

Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa untuk kelompok kontrol terjadi peningkatan persentase berat badan dan untuk kelompok perlakuan (P1 dan P2) menunjukkan persentase penurunan berat badan. Dari hasil uji ANOVA untuk perubahan berat badan mencit menunjukkan bahwa kelompok P0 (kontrol) berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok P1 (strawberry) tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan kelompok P2 (gudang garam). Hal ini dikarenakan pada kelompok perlakuan yang dipapari dengan asap rokok mengalami gangguan metabolisme dalam tubuhnya. Penelitian dengan rokok putih oleh Chen et al., (2006), menunjukkan paparan selama 4 minggu menyebabkan anoreksia ringan yang berpengaruh pada bobot badan. Hal ini

0 2 4 6 8 10 12 14 P0 P1 P2 P e r ba ndi ng a n P ers en ta se P e r uba ha n B ob ot B ad an Kelompok Perlakuan a b ab

disebabkan paparan asap rokok menyebabkan penurunan enzim Neuropeptide Y Axis pada hipotalamus yang secara umum mengganggu sistem fisiologis tubuh dalam metabolisme.

Partikel gas CO yang terdapat di dalam asap rokok memiliki afinitas yang kuat terhadap Hb, sehingga O2 yang biasanya diikat oleh Hb diganti oleh CO dan menyebabkan O2 dalam jaringan berkurang. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa, menghisap udara yang tercemar oleh gas CO dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat yang kurang normal (Safrizal, 2003).

Efek yang ditimbulkan oleh asap rokok tergantung lamanya pemaparan, konsentrasi pemaparannya, dan imunitas suatu objek percobaannya (dalam hal ini objeknya yaitu mencit). Lebih singkat pemaparannya, tentu konsentrasinya lebih rendah, dan efeknya lebih ringan. Begitu juga jika lebih lama pemaparan asapnya, maka efeknya lebih berat. Menurut Syafrizal (2003), konsentrasi yang membahayakan kesehatan manusia menurut OSHA (Occupation Safety and Health Administration) dari Amerika Serikat, antara lain untuk respirable dust 5 mg/m3, total dust 15 mg/m3, monoksida karbon 50 ppm TWA, akrolein 0,1 ppm TWA dan hydrogen klorida 5 ppm.

Partikel-partikel yang terdapat di dalam asap menginfeksi saluran pernafasan, baik saluran pernafasan atas maupun saluran pernafasan bawah. Sistem pertahanan mukosiliar akan mencoba mengatasi partikel-partikel yang masuk untuk diendapkan pada dinding saluran nafas, hanya partikel aerodiameter antara 2-5 µm saja yang sampai ke alveoli. Tetapi, jika partikel dalam asap memiliki konsentrasi yang sangat banyak, maka akan melumpuhkan mekanisme pertahanan mukosiliar, sehingga banyak partikel pencemar yang sampai di alveolar paru. Sering juga partikel-partikel tersebut melekat pada beberapa jenis gas seperti SO2 dan NO2. Jika partikel tersebut diendapkan di saluran napas, maka akan bereaksi dengan H2O dan kedua gas tersebut dapat membentuk asam atau basa, yang sangat toksik terhadap mukosa saluras napas. Kadang-kadang terjadi iritasi pada bronkus, yang menyebabkan bronkospasme menyempit sehingga orang menjadi sesak napas seperti penderita asma. Konsentrasi tinggi gas SO2 akan menyebabkan konjungtiva dan kerusakan kornea mata, faringitis,

dan edema paru-paru. Efek dari gas SO2 dalam jangka yang lama menyebabkan terjadinya bronkhitis kronis dan emfisema paru (Safrizal, 2003).

Menurut Rahajoe et al., (1994) dalam Mengkidi (2006) menyatakan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosiler dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronkitis dan kanker paru. Dalam hal ini terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernapasan.

4.3 Hasil Gambaran Morfologi Paru-paru

Hasil pengamatan gambaran morfologi paru-paru kelompok kontrol (P0) dan perlakuan (P1 dan P2) dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.3. Morfologi Paru Mencit Akibat Pemberian Asap Rokok Elektrik. & Lobus Paru Berwarna Putih Kemerahan, Lobus Paru Berwarna Merah Agak Gelap.

Dari gambaran morfologi paru-paru (gambar 4.3) antara kelompok kontrol dan perlakuan memiliki berat yang tidak jauh berbeda. Gambar 4.3 menunjukkan bahwa warna paru-paru antara kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan pemaparan asap rokok kandungan rasa strawberry (P1) tidak jauh berbeda dimana lobus dari kedua paru-paru berwarna putih kemerahan serta memiliki struktur yang kenyal dan berat rata-rata yang sama yaitu 0,2 g. Tetapi, pada kelompok perlakuan pemaparan

asap rokok kandungan rasa gudang garam (P2) memiliki perbedaan warna dan berat rata-rata 0,21 g. Lobus paru-paru pada kelompok P2 ini memiliki warna putih kemerahan serta agak gelap. Hal ini dikarenakan adanya bercak-bercak hitam pada permukaan paru-paru.

Pada saat merokok, berbagai bahan kimia terserap masuk dan bila terjadi dalam jangka waktu lama akan terjadi penghambatan kerja paru, misalnya karbon monoksida, keberadaannya dalam paru akan mengurangi kemampuan darah untuk mengikat oksigen dari paru. Hal ini terjadi karena sel darah merah memiliki afinitas yang lebih kuat terhadap karbon monoksida dibandingkan dengan oksigen. Selain karbon monoksida, tar dan bahan-bahan kimia pengganggu lainnya juga akan menyelimuti paru-paru dan pada saat bersamaan akan terjadi pengurangan kekenyalan kantung udara di dalamnya. Hal ini menyebabkan hanya sejumlah kecil udara yang dapat dihirup, sehingga pertukaran udara tidak berjalan lancar. Keadaan ini menyebabkan sesak napas dan batuk hebat dalam waktu lama (Guyatt,1970 dalam Santoso et al., 2004).

Pada umumnya, merokok memiliki dampak yang sangat besar pada kehidupan manusia, dimana merokok biasanya telah dimulai dari usia sekolah atau remaja. Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan. Dampak asap rokok bukan hanya untuk si perokok aktif (Active smoker), tetapi juga bagi perokok pasif (Pasive smoker). Orang yang tidak merokok atau perokok pasif, tetapi terpapar asap rokok akan menghirup 2 kali lipat racun yang dihembuskan oleh perokok aktif. Asap rokok yang mengandung nikotin akan mengeluarkan racun karsinogenik yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Salah satunya yaitu penyakit kanker paru-paru. Sebatang rokok dikatakan menciptakan 3 triliun radikal bebas pada pembuluh darah. Saat seseorang merokok, nikotin dalam asap akan terhisap masuk ke paru-paru, kemudian ikut terserap oleh darah, dan selanjutnya akan menyebar ke seluruh tubuh (Palupi, 2006).

Rokok mengandung setidaknya 200 elemen yang berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan proses inflamasi, fibrosis, metaplasia sel goblet, hipertropi otot polos dan obstruksi jalan napas yang akhirnya mengakibatkan terganggunya faal

paru. (Gold, 2001 dalam Santoso et al., 2004). Asap rokok merupakan radikal bebas yang mengandung lebih dari 1500 bahan yang merupakan campuran kompleks. Asap rokok yang dihisap terdiri dari 2 komponen, yaitu yang cepat menguap berbentuk gas dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat, dengan demikian asap rokok yang terhisap dapat berupa gas sejumlah 85% dan sisanya berupa partikel dan zat yang menyebabkan penyakit paru. Asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan gangguan refleks saluran napas, gangguan fungsi silier (siliotoksik) dan meningkatkan produksi mukus. Pada perokok didapatkan pengurangan hantaran udara pada saluran pernapasan. Perokok berat jelas menunjukkan adanya bronkokonstriksi dibandingkan dengan perokok ringan atau bukan perokok. Demikian pula perokok yang menghisap rokok dalam-dalam, akan memperlihatkan respon bronkokonstriksi lebih jelas (Dastyawan, 2000 dalam Santoso et al., 2004).

Perbedaan insiden kanker paru pada orang non perokok di beberapa negara berbeda membuktikan bahwa lingkungan dapat mempengaruhi resiko. Polusi udara merupakan gabungan kompleks gas dan komponen partikel yang berperan sebagai faktor resiko sedang terhadap kanker paru. Polusi udara yang berasal dari lalu lintas padat, pembakaran minyak serta pabrik industri bertanggung jawab terhadap insiden kanker paru. Hubungan antara kanker paru dengan polusi udara telah dilaporkan dalam berbagai penelitian dari berbagai negara. Penduduk kota yang mengalami paparan yang tinggi mempunyai resiko kanker paru 1.5 lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk desa. Oleh karena paru mempunyai vulome respirasi yang besar (500-600 liter oksigen/jam), disertai dengan area yang luas (75-85 m2) dengan perfusi yang banyak terpapar oleh udara beracun disekitarnya akan mencetuskan keracunan paru dan pertumbuhan kanker paru walau dengan kadar yang rendah sekalipun (Aage & Steen, 2008).

4.4 Hasil Pemeriksaan Histopatologis

Setelah dilakukan pembuatan preparat histologi paru-paru dengan metode parafin, maka dilakukan pengamatan histologis pada sel paru-paru dengan menggunakan

mikroskop video micrometer dengan perbesaran 400x. Gambar 4.4 menunjukkan grafik rerata skor derajat kerusakan dari jaringan paru-paru.

Gambar 4.4 Pengaruh Rokok Elektrik terhadap Kerusakan Jaringan Paru Mencit. Huruf yang Sama Menyatakan Tidak Berbeda Nyata pada Taraf 5% (tn=p>0,05).

Untuk kerusakan jaringan paru-paru dilakukan dengan uji Kruskall-Wallis untuk melihat perbedaan dari ketiga perlakuan. Dari hasil uji analisa statistik menunjukkan bahwa untuk kerusakan membran, kerusakan lumen, serta hubungan antara alveolus memiliki skor derajat kerusakan yang tidak berbeda nyata yaitu skor 2, dimana keadaan membran alveolus masih utuh dengan sel-sel endotelium disekelilingnya, alveolus relatif masih utuh membulat, dan hubungan antar alveolus relatif masih rapat. Hal ini kemungkinan dikarenakan terlalu singkatnya waktu pemaparan dan kandungan nikotin yang rendah pada rokok elektrik. Epler (2000) menyatakan bahwa, berbagai faktor yang berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau gangguan pada saluran pernapasan yaitu faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk konsentrasi, daya larut serta sifat kimiawi dan faktor individual yang meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi saluran nafas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada manusia perlu dipertimbangkan antara lain sumber paparan, lamanya paparan, paparan dari sumber lain, aktifitas fisik dan faktor penyerta yang potensial seperti umur, gender, etnis, kebiasaan merokok, dan faktor alergen.

Gambaran kerusakan histologis paru-paru antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.5.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 P0 P1 P2 S k o r D era ja t K e r us a ka n P a ru -p a ru Kelompok Perlakuan a a a

Gambar 4.5 Efek Asap Rokok Elektrik terhadap Mikroanatomi Paru-paru Mencit (Mus musculus L.), P0 (kontrol), 1, 2, 3 (skor derajat kerusakan), Pewarnaan HE, Perbesaran 400x, 10 μm, (a) membran (b) lumen alveolus (c) hubungan antar alveolus

Dari hasil gambar mikroanatomi (Gambar 4.5) di atas dapat dilihat bahwa kerusakan yang terjadi antara kelompok perlakuan pemaparan asap rokok elektrik dengan kandungan rasa strawberry tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan kelompok perlakuan pemaparan asap rokok elektrik dengan kandungan rasa gudang garam. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisa statistik dari data kerusakan jaringan paru-paru. Untuk skor 1, alveolus tersusun atas sel-sel endotel lengkap dan berinti, bentuk alveolus utuh membulat dan struktur alveolus rapat. Pada skor 2, membran alveolus relatif masih utuh dengan endotelium disekelilingnya, bentuk alveolus masih relatif utuh membulat, dan alveolus relatif rapat. Sedangkan pada skor 3, sel membran alveolus tidak berinti dan sel-sel endotelium disekelilingnya tidak tampak, alveolus melebar, dan hubungan antar alveolus merenggang. Menurut Mansyur (2002), lamanya pemaparan untuk

P0 1

kronik, dan kronik. Tetapi pemahaman-pemahaman akut lebih biasa dengan toksikologi inhalasi dan pemahaman-pemahaman kronik adalah lebih biasa dengan toksikologi perilaku.

Hubungan antar alveolus yang rapat pada kelompok yang tidak dipapar asap rokok menunjukkan bahwa matriks ekstraseluler yang antara lain terdiri atas serabut kolagen dan elastin masih utuh. Lumen alveolus nampak normal tidak membesar yang umum terjadi apabila ada kelainan paru-paru. Hal ini disebabkan paru-paru tersebut tidak terpapar dengan toksikan yang terkandung dalam asap rokok, sehingga sel-selnya tidak mengalami kerusakan (Marianti, 2009). Keadaan ini tampak sedikit berbeda dengan paru-paru mencit yang dipapar dengan asap rokok elektrik secara kontinyu selama 2 minggu.

Pada mencit yang dipapar dengan asap rokok secara kontinyu, terlihat terjadinya kerusakan pada struktur mikroanatomi paru-parunya. Hal ini disebabkan telah terjadi perusakan sel-sel epitelium dan endotelium pada alveolus yang disebabkan oleh toksikan pada asap rokok. Menurut MacNee dan Rahman (1999) dalam Marianti (2009), asap rokok merupakan salah satu radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan akibat proses oksidasi pada lipoprotein membran sel. Hal ini terlihat pada kelompok perlakuan yang mengalami kerusakan membran alveolus berupa hilangnya sel-sel endotelium yang normalnya terdapat di sekeliling alveolus, sehingga menyebabkan kematian sel. Selain itu, hubungan antar alveolus juga merenggang akibat rusaknya jaringan ikat.

Safitri (2010) menyatakan bahwa, komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida, arsenik, aseton, sianida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol, dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi, dan diketahui dapat menyebabkan kanker (karsinogen) bagi perokok maupun perokok pasif. Westenberger (2009) juga menyatakan bahwa kandungan rasa tambahan pada rokok elektrik juga mengandung bahan karsinogen yang berbahaya bagi manusia, termasuk nitrosamine, bahan-bahan kimia toksik seperti dietilen glikol, dan komponen bahan spesifik tembakau anabasine, myosamine, dan beta-nicotyrine.

Umumnya bahan yang paling berbahaya pada asap rokok adalah tar. Biasanya, paru-paru orang perokok aktif memiliki penampakan luar yang berwarna hitam. Warna hitam ini merupakan penumpukan tar dalam organ paru-paru. Joel (2011), melakukan demonstrasi penelitian tentang bahaya tar pada rokok. Joel mendesain sebuah alat mesin rokok yang dapat menghisap rokok sebanyak 2000 batang perhari. Dalam 1 hari, mesin menghasilkan tar dari 2000 batang rokok sebanyak setengah botol. Kemudian tar ini diencerkan dan dioleskan ke permukaan kulit tikus. Dan sekitar 60% dari tikus percobaannya menderita kanker kulit dalam kurun waktu 1 tahun.

Selain menimbulkan penyakit pada paru-paru, merokok juga menyebabkan penyakit kardiovasculer. Orang yang merokok lebih dari 20 batang tembakau/hari memiliki resiko enam kali lebih besar terkena penyakit ini dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama dari kematian di negara – negara industri dan berkembang, yaitu sekitar 30% dari semua penyakit jantung berkaitan dengan tembakau (Gondodiputro, 2007).

Dokumen terkait