• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Waktu Pematahan Dormansi (hari)

Data pengamatan waktu pematahan dormansi (lama waktu bertunas) umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 3-4. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap waktu pematahan dormansi umbi benih kentang.

Rataan waktu pematahan dormansi umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin terhadap waktu pematahan dormansi umbi benih kentang

Bobot Umbi

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa waktu pematahan dormansi yang paling cepat adalah pada perlakukan bobot umbi 115-125 g (B4), yaitu 60,67 hari, lebih cepat 14,06 hari dari perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), yaitu 74,73 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot umbi, maka waktu

27

pematahan dormansi semakin cepat. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi di dalam umbi untuk perkecambahan.

Waktu perlakuan perendaman umbi benih kentang dengan sitokinin pada 45 HSP (W4) menunjukkan waktu pematahan dormansi tercepat, yaitu 62,08 hari, lebih cepat 11,75 hari dari umbi yang tidak direndam (W0), yaitu 73,83 hari, dan lebih cepat 5,25 hari dari perlakuan perendaman umbi 1 HSP (W1), yaitu 68,58 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman setelah panen, maka waktu pematahan dormansi semakin cepat. Hal ini berhubungan dengan proses fisiologis di dalam benih, dimana benih membutuhkan waktu tertentu untuk berkecambah.

Interaksi perlakuan yang menghasilkan waktu pematahan dormansi tercepat adalah B4W4, yaitu 55 hari yang berbeda nyata dengan pelakuan lainnya.

Waktu pematahan dormansi pada B4W4 lebih cepat 25 hari dari B1W0 (80 hari).

Dengan demikian semakin tinggi bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin yang cukup lama setelah dipanen, memberikan waktu pematahan dormansi tercepat.

Persentase Perkecambahan (%)

Data pengamatan persentase perkecambahan umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin pada pengamatan umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari serta sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 5-19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap persentase perkecambahan umbi benih kentang.

28

Rataan persentase perkecambahan umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata persentase perkecambahan umbi benih kentang pada setiap waktu pengamatan akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

29

Data pengamatan pada hari ke 7 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 42,00% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 33,33% yang berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1, W2 dan W3. Interaksi bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada pelakuan bobot benih 115-125 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B4W4) yaitu 76,67% yang berbeda nyata dengan perlakuan 4W0, 4W1, 3W2, 2W3 dan B1-2W4, dimana belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 14 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu, 70,00% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 57,50% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan W3 dan berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1 dan W2. Interaksi perlakuan B4W3 dan B4W4 sudah mencapai persentase perkecambahan 100%, sedangkan pada perlakuan B1-4W0, B1-2W1, B1W2, B1W3 dan B1W4 masih belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 21 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu, 92,67% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase

30

perkecambahan tertinggi yaitu 80,00% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan W3 namun berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1 dan W3. Interaksi perlakuan B3W1, B4W1, B4W2, B3W3, B4W3, B3W4 dan B4W4 sudah mencapai persentase perkecambahan 100%, namun pada perlakuan B1W0 dan B2W0 masih belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 28 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 85-95 g (B3) dan 115-125 g (B4) sudah mencapai persentase perkecambahan 100% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1 dan B2. Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 99,17% yang berbeda nyata dengan interaksi perlakuan lainnya. Hampir semua interaksi perlakuan sudah menghasilkan perkecambahan.

Data pengamatan hari ke 35 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 85-95 g (B3) dan 115-125 g (B4) sudah mencapai persentase perkecambahan 100% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan B2 namun berbeda nyata dengan perlakuan B1. Waktu perlakuan perendaman sitokinin W1, W2, W3 dan W4 menghasilkan persentase perkecambahan mencapai 100%, berbeda dengan tanpa perlakuan perendaman sitokinin (W0) yaitu 91,67%. Hampir semua interaksi perlakuan menghasilkan persentase perkecambahan sebesar 100%, kecuali perlakuan B2W0 sebesar 86,67% dan B1W0 sebesar 80%.

Perkembangan persentase perkecambahan pada setiap umur pengamatan akibat perlakuan bobot umbi digambarkan sebagai berikut.

31

Gambar 1. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Umbi Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Gambar 1 memperlihatkan persentase perkecambahan terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Khusus pada perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), perkecambahan dimulai setelah pengamatan umur 7 hari setelah perlakuan (HSP), selanjutnya pada perlakuan B3 dan B4, perkecambahan telah mencapai 100 % pada pengamatan 28 hari.

Gambar 2. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Kentang akibat Perlakuan Waktu Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

0

32

Gambar 2 menunjukkan perkecambahan benih terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Pada perlakuan W1, W2, W3, dan W4, perkecambahan sudah mencapai 100% pada pengataman 35 hari. Jumlah tunas pada umbi yang paling sedikit pada setiap pengamatan adalah pada umbi yang tidak direndam dengan sitokinin (W0).

Laju Perkecambahan (hari)

Data pengamatan laju perkecambahan benih kentang hingga pengamatan umur 35 hari akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Lampiran 20. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap laju perkecambahan benih umbi kentang.

Rataan laju perkecambahan benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata laju perkecambahan benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Bobot Umbi

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

33

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa perlakukan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan laju perkecambahan tercepat, yaitu 6,33 hari, lebih cepat 0,67 hari dari perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), yaitu 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju perkecambahan benih semakin tinggi dengan bertambahnya bobot umbi. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi didalam umbi untuk kebutuhan pertumbuhan tunas.

Perendaman umbi dengan sitokinin pada 45 HSP (W4) menghasilkan laju perkecambahan tertinggi, yaitu 6,60 hari, lebih cepat 0,16 hari dari umbi yang tidak direndam (W0), yaitu 6,76 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh laju perkecambahan yang lebih cepat melalui perlakuan perendaman umbi dengan sitokinin, memberikan hasil terbaik jika umbi direndam 45 hari setelah panen.

Interaksi perlakuan yang menghasilkan laju perkecambahan tertinggi adalah B4W4, yaitu 6,14 hari, berbeda tidak nyata dengan laju perkecambahan pada perlakuan B4W3 (6,29 hari) dan perlakuan B4W2 (6,24 hari).

Jumlah Tunas (tunas)

Data pengamatan jumlah tunas kentang pada pengamatan umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 22-34. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin, serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap jumlah tunas kentang pada setiap pengamatan.

Rataan jumlah tunas pada setiap pengamatan akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 4.

34

Tabel 4. Rata-rata jumlah tunas kentang pada setiap waktu pengamatan akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Hari

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

Data Tabel 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan bobot umbi, jumlah tunas terbanyak pada setiap pengamatan adalah pada umbi dengan bobot 115-125 g (B4), signifikan terhadap perlakuan bobot umbi lainnya. Jumlah tunas terendah

35

terdapat pada bobot umbi 25-35 g (B1). Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan bobot umbi, juga meningkatkan jumlah tunas. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi di dalam umbi untuk mendukung pertumbuhan tunas. Pada pengamatan umur 35 hari, terdapat peningkatan jumlah tunas sebanyak 1,90 tunas (58,64%) pada bobot umbi 115-125 g (B4) dari jumlah tunas pada bobot umbi 25-35 g (B1).

Data Tabel 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan waktu perendaman sitokinin setelah panen umbi (W), jumlah tunas terbanyak hingga pengamatan umur 35 hari terdapat pada perlakuan perendaman sitokinin 45 hari setelah panen (W4) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada pengamatan umur 35 hari, terdapat peningkatan jumlah tunas 30,89% pada perlakuan perendaman sitokinin 45 hari setelah panen (W4) dari jumlah tunas pada umbi yang tidak direndam dengan sitokinin (W0). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tunas semakin banyak dengan semakin lamanya waktu perendaman setelah panen.

Hal ini berhubungan dengan proses fisiologis di dalam benih, dimana semakin lama dari waktu panen, semakin mendekati waktu berkecambah secara normal.

Interaksi perlakuan yang menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada pengamatan umur 35 hari adalah B4W4, yaitu 3,71 tunas tetapi berbeda tidak nyata dengan interaksi perlakuan lainnya. Dengan demikian setelah umur 35 hari, pada beberapa umbi yang telah bertunas sebelumnya, tidak terjadi pertambahan tunas lagi, tetapi menjadi perkembangan tunas (pembesaran dan perpanjangan).

Perkembangan jumlah tunas pada setiap umur pengamatan akibat perlakuan bobot umbi digambarkan pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan jumlah tunas terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap

36

perlakuan. Khusus pada perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), tunas baru terbentuk setelah pengamatan umur 21 HSP.

Gambar 3. Perkembangan Jumlah Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Gambar 4. Perkembangan Jumlah Tunas Kentang akibat Perlakuan Waktu Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Gambar 4 memperlihatkan jumlah tunas terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Jumlah tunas yang paling sedikit pada setiap

0

37

Panjang Tunas (mm)

Data pengamatan panjang tunas kentang pada pengamatan umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 35-47. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin, serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap panjang tunas kentang pada setiap pengamatan.

Rataan panjang tunas pada setiap pengamatan akibat perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata panjang tunas kentang pada setiap waktu pengamatan akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Hari

38

Sambungan Tabel 5

35

B1 (25-35 g) 2,12 j 2,75 hi 2,99 fgh 2,79 ghi 3,04 fgh 2,74 d B2 (55-65 g) 2,37 ij 2,73 hi 3,58 de 3,58 de 3,94 bcd 3,24 c B3 (85-95 g) 2,70 hi 3,27 ef 3,82 cd 4,17 bc 4,24 bc 3,64 b B4 (115-125 g) 2,74 hi 3,24 efg 4,31 b 4,74 a 4,13 bc 3,83 a

Rataan 2,48 c 3,00 b 3,68 a 3,82 a 3,84 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

Data Tabel 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan bobot umbi, tunas terpanjang pada setiap pengamatan terdapat pada bobot umbi 115-125 g (B4), sedangkan tunas terpendek terdapat pada perlakuan bobot umbi 25-35 g (B1).

Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan bobot umbi, juga meningkatkan panjang tunas. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi didalam umbi untuk mendukung pertumbuhan tunas. Pada pengamatan umur 35 hari, terdapat peningkatan panjang tunas 1,09 mm (28,46%) pada bobot umbi 115-125 g (B4) dari panjang tunas pada bobot umbi 25-35 g (B1).

Data Tabel 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan waktu perendaman sitokinin setelah panen umbi (W), tunas terpanjang pada setiap pengamatan terdapat pada perlakuan perendaman sitokinin 45 hari setelah panen (W4). Pada pengamatan umur 35 hari, terdapat peningkatan panjang tunas 1,36 mm (35,42%) pada perlakuan W4 dari panjang tunas pada umbi yang tidak direndam dengan sitokinin (W0).

Interaksi perlakuan yang menghasilkan tunas terpanjang pada pengamatan umur 35 hari adalah B4W3, yaitu 4,74 mm dan berbeda nyata dengan panjang tunas pada semua interaksi perlakuan lainnya.

Perkembangan panjang tunas pada setiap umur pengamatan akibat perlakuan bobot umbi digambarkan sebagai berikut.

39

Gambar 5. Perkembangan Panjang Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Gambar 5 memperlihatkan panjang tunas terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Pada perlakuan B3 dan B4 menunjukkan bahwa peningkatan panjang umbi cukup konstan setiap minggu, tetapi pada perlakuan B1 dan B2, peningkatan panjang tunas lebih tinggi pada awal pertumbuhan.

Gambar 6. Perkembangan Panjang Tunas Kentang akibat Perlakuan Waktu

0

40

Gambar 6 memperlihatkan panjang tunas terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Jumlah tunas yang paling sedikit pada setiap pengamatan adalah pada umbi yang tidak direndam dengan sitokinin (W0), dan hingga pengamatan hari ke 21 menunjukkan pertumbuhan yang melambat.

Bobot Tunas (mg)

Data pengamatan bobot tunas kentang pada pengamatan umur 35 hari akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Lampiran 48. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 49) menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap bobot tunas kentang. Rataan bobot tunas kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata bobot tunas kentang umur 35 hari akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Bobot Umbi

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan =5%.

HSP = hari setelah panen

Data Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakukan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan tunas terberat, yaitu 27,41 mg, lebih berat 19,17 mg dari perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), yaitu 8,24 mg. Hasil penelitian

41

menunjukkan bahwa bobot tunas semakin tinggi dengan bertambahnya bobot umbi. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi di dalam umbi untuk mendukung pertumbuhan tunas.

Perendaman umbi dengan sitokinin pada 45 HSP (W4) menghasilkan bobot tunas tertinggi, yaitu 21,52 mg, lebih berat 7,19 mg dari umbi yang tidak direndam (W0), yaitu 14,33 mg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot tunas semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu perendaman setelah panen. Hal ini berhubungan dengan jumlah tunas yang semakin banyak.

Interaksi perlakuan yang menghasilkan bobot tunas tertinggi adalah B4W4, yaitu 32,04 mg dan berbeda nyata dengan bobot tunas pada semua interaksi perlakuan lainnya.

Analisis Aktivitas Enzim α amylase

Data analisis aktivitas enzim α amylase akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Aktivitas enzim α amilase akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Perlakuan Aktivitas α amilase (u/ml)

± Std. Deviasi Bobot Umbi (B)

B1W0 42,77 ± 0,15

B1W4 45,40 ± 0,26

B2W0 42,50 ± 0,20

B2W4 45,23 ± 0,25

B3W0 60,17 ± 0,25

B3W4 65,83 ± 2,46

B4W0 66,33 ± 2,78

B4W4 78,13 ± 0,70

Keterangan : B1 = 25-35 g; B2 = 55-65 g; B3 = 85-95 g; B4 = 115-125 g W0 = kontrol; W4 = waktu perlakuan perendaman 45 HSP

42

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa aktivitas enzim α amilase lebih tinggi pada umbi kentang yang direndam sitokinin dibandingkan dengan tanpa direndam sitokinin (kontrol). Aktivitas enzim α amilase tertinggi terdapat pada perlakuan bobot umbi 115-125 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B4W4), sedangkan aktivitas enzim α amilase terendah terdapat pada perlakuan bobot umbi 55-65 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B2W4). Perendaman dengan sitokinin memicu terjadinya pematahan dormansi umbi kentang melalui diferensiasi sel yang mengakibatkan munculnya tunas, selanjutnya aktivitas enzim amilase menjadi lebih aktif setelah pematahan dormansi. Enzim ini berperan memecah cadangan makanan berupa amilum menjadi glukosa. Glukosa digunakan sebagai energi untuk pertumbuhan.

Analisis Protein

Data analisis protein akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Konsentrasi protein akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Perlakuan Konsentrasi protein (mg/g)

± Std. Deviasi Bobot Umbi (B)

B1W0 8,83 ± 0,37

B1W4 10,95 ± 0,56

B2W0 8,57 ± 0,33

B2W4 10,42 ± 0,41

B3W0 10,43 ± 0,40

B3W4 11,77 ± 0,40

B4W0 11,38 ± 0,13

B4W4 12,24 ± 0,23

Keterangan : B1 = 25-35 g; B2 = 55-65 g; B3 = 85-95 g; B4 = 115-125 g W0 = kontrol; W4 = waktu perlakuan perendaman 45 HSP

43

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa konsentrasi protein lebih tinggi pada umbi kentang yang direndam sitokinin dibandingkan dengan tanpa direndam sitokinin (kontrol). Konsentrasi protein tertinggi terdapat pada perlakuan bobot umbi 115-125 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B4W4), sedangkan konsentrasi protein terendah terdapat pada perlakuan bobot umbi 55-65 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B2W4). Hal ini sejalan dengan aktivitas enzim α amilase, dimana enzim tersebut merupakan protein yang berfungsi sebagai katalis yang mempercepat proses pemecahan amilum menjadi glukosa. Konsentrasi protein secara langsung mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik, dimana laju reaksi meningkat dengan bertambahnya konsentrasi protein.

Pembahasan

Pengaruh Bobot Umbi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi berpengaruh nyata terhadap waktu pematahan dormansi, persentase perkecambahan, jumlah tunas, panjang tunas dan bobot tunas. Waktu pematahan dormansi tercepat, jumlah tunas dan bobot tunas tertinggi terdapat pada perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4). Ukuran umbi diduga berkorelasi positif dengan kandungan cadangan energi yang lebih besar sehingga pematahan dormansi dapat lebih cepat. Arifin et al (2014) menyatakan bahwa umbi dengan ukuran yang lebih besar mempunyai jumlah cadangan makanan (karbohidrat) yang lebih tinggi sehingga umbi memiliki tunas yang besar dan kuat. Kecukupan jumlah karbohidrat mendorong translokasi karbohidrat ke tunas menjadi lebih besar sehingga pertumbuhan organ-organ vegetatif tunas lebih maksimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan bobot

44

tunas yang lebih tinggi pada bobot umbi yang lebih tinggi. Lidinilah (2017), ukuran umbi benih berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah tunas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat awal pengamatan (7 HSP), bobot umbi yang lebih besar sudah menghasilkan persentase perkecambahan lebih tinggi dibandingkan bobot umbi yang kecil. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi didalam umbi untuk perkecambahan. Meskipun pertumbuhan umbi dan akumulasi pati adalah proses independen, dan umbi dapat terbentuk bahkan tanpa adanya pati. Menurut Kloosterman dan Bachem (2014), peningkatan ukuran umbi dipengaruhi oleh akumulasi pati. Selain itu, menurut Aksenova et al (2012) bahwa karbohidrat impor (misalnya sukrosa) tidak hanya menyediakan substrat untuk biosintesis pati tetapi juga berperan dalam morfogenesis umbi. Hasil penelitian Akoumianakis et al (2016) menunjukkan bahwa pati terdeteksi dari tahap pertama pembengkakan dan inisiasi umbi.

Berbagai hasil penelitian yang dilaporkan oleh King’ori (1984) menunjukkan bahwa jumlah kecambah meningkat dengan meningkatnya ukuran umbi biji, rata-rata panjang kecambah adalah fungsi dari ukuran umbi. Kecepatan munculnya tunas, jumlah batang dan cabang utama, mulainya inisiasi umbi, laju bulking umbi, jumlah dan ukuran distribusi umbi-umbian semuanya dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran kecambah pada umbi induk pada saat penanaman.

Peningkatan jumlah kecambah pada gilirannya menentukan kemunculan, jumlah batang, inisiasi umbi, jumlah dan ukuran umbi dan hasil akhir. Kecambah memperoleh energi dan nutrisi untuk pertumbuhan dari umbi induk. Umbi benih besar memiliki lebih banyak cadangan makanan dan karenanya menghasilkan lebih banyak kecambah dibandingkan dengan benih kecil. Umbi benih besar

45

memiliki lebih banyak cadangan makanan sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan relatif yang lebih tinggi daripada umbi benih kecil selama periode pra-kemunculan dan awal pasca-kemunculan tunas. Fakta bahwa umbi besar menghasilkan tanaman yang lebih besar bila dibandingkan dengan umbi kecil, juga berarti bahwa instrumen fotosintesis dapat menjebak lebih banyak radiasi daripada tanaman umbi kecil. Sepanjang periode kemunculannya, tanaman bergantung pada cadangan karbohidrat dalam umbi induk. Setelah muncul, ekspansi daun, tanaman menjadi autotrofik.

Hasil analisis aktivitas enzim amilase menunjukkan bahwa pada bobot umbi yang lebih besar terdapat aktivitas amilase yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan kecukupan cadangan energi berupa karbohidrat pada umbi yang digunakan oleh enzim selama proses perkecambahan, dimana aktivitas amilase selama pengembangan umbi terkait dengan siklus pati. Aktivitas β-amilase berkurang dengan timbulnya dormansi dan kemudian meningkat lagi setelah inisiasi kecambah (Sergeeva et al, 2012). Selain itu, aktivitas β-amilase meningkat di daerah sub-mata umbi setelah mulai tumbuh, tetapi tidak dalam parenkim (Biemelt et al, 2000).

Menurut Akoumianakis et al (2016), perubahan anatomi dan morfologi dalam umbi berhubungan dengan perubahan aktivitas enzim, karena menurut Aksenova et al (2013) metabolisme karbohidrat memainkan peran penting dalam pengaturan dormansi umbi, perubahan metabolisme karbohidrat selama pengembangan umbi dapat berhubungan dengan induksi dan durasi dormansi umbi.

46

Hasil analisis protein menunjukkan bahwa pada bobot umbi yang lebih besar menunjukkan konsentrasi protein yang lebih tinggi. Tingginya konsentrasi protein ini mempengaruhi aktivitas enzim-enzim lain yang terlibat dalam pertumbuhan umbi. Menurut Zeeman et al (2010), bahwa aktivitas enzim AGPase secara signifikan mempengaruhi tahapan awal biosintesis pati. Selama perkembangan umbi, lebih banyak pati yang berada di dalam sel-sel parenkim kortikal, yang memiliki fungsi penyimpanan, daripada di empulur. Kehadiran pati dalam empulur pada tahap awal dan penurunan berikutnya menunjukkan bahwa pati digunakan dalam proses metabolisme lain yang terlibat dalam pertumbuhan umbi. Hasil ini sejalan dengan pengamatan bahwa sintesis pati dan degradasi pati terjadi selama pengembangan umbi (Sergeeva et al, 2012).

Menurut Aksenova et al (2013), perubahan metabolisme pati dan metabolisme karbohidrat secara keseluruhan, tampaknya berhubungan langsung dengan dormansi umbi karena selama pertumbuhan umbi dan pengenaan progresif dormansi pada tunas terjadi akumulasi pati, kecuali pada sel-sel tepat di bawah kuncup. Liu et al (2015) melaporkan bahwa beberapa protein yang terlibat dalam

Menurut Aksenova et al (2013), perubahan metabolisme pati dan metabolisme karbohidrat secara keseluruhan, tampaknya berhubungan langsung dengan dormansi umbi karena selama pertumbuhan umbi dan pengenaan progresif dormansi pada tunas terjadi akumulasi pati, kecuali pada sel-sel tepat di bawah kuncup. Liu et al (2015) melaporkan bahwa beberapa protein yang terlibat dalam

Dokumen terkait