• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Pitojo (2004), tanaman kentang dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Subdivisi : Angiospermae;

Kelas : Dicotyledonae; Ordo : Tubiflorae; Famili : Solanaceae; Genus : Solanum;

Sub-genus : Pachystemonum; Seksi : Tuberarium; Sub-seksi : Hyperbasarthum;

Speesies : Solanum tuberosum L.

Tanaman kentang merupakan tanaman setahun, bentuk sesungguhnya menyemak dan bersifat menjalar. Tanaman kentang merupakan tanaman berbiji belah. Pada umumnya tanaman kentang berasal dari umbi, termasuk tanaman kentang yang dibudidayakan di Indonesia. Namun untuk tujuan penelitian dan permuliaan tanaman biasanya dilakukan penanaman kentang dari biji (Setiadi dan Nurulhuda, 2000).

Perakaran tanaman kentang berada pada tanah lapisan atas, berpautan dengan partikel tanah untuk memperkokoh berdirinya tanaman. Tanaman kentang yang berasal dari biji memiliki akar tunggang yang berasal dari radiculae yang tumbuh ke arah bawah dan dapat mencapai kedalaman 45 cm. Tanaman kentang yang berasal dari umbi hanya memiliki akar serabut, berukuran kecil dan berwarna keputih-putihan. Batang tanaman kentang berada di permukaan tanah dan berwarna hijau, kemerahan dan ungu tua. Daun pertama tanaman kentang baik tanaman yang berasal dari biji maupun umbi, berupa daun tunggal. Ukuran daun dinayatakan dengan perbandingan lebar terhadap panjang bervariasi antara 3/5 hingga 2/3, tergantung kultivarnya (Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2014).

8

Bunganya berejenis kelamin dua (bunga sempurna), ukurannya kecil (kira-kira 3 cm), berwarna putih kekuning-kuningan atau ungu kemerah-merahan, tumbuh di ketiak daun teratas. Benang sari bunga kentang berwarna kekuning-kuningan dan melingkari tangkai putik. Kedudukan kepala putik bisa lebih rendah, bisa sama tinggi atau lebih tinggi atau lebih tinggi dari cone kepala sari.

Buah berwarna hijau tua sampai keungu-unguan, berbentuk bulat, berukuran kira-kira 2,5 cm dan berongga dua. Buah mengandung 500 bakal biji yang nantinya menjadi biji hanya 10-300 biji. Buah biasanya dipanen pada umur 6-8 minggu setelah penyerbukan (Setiadi, 2009).

Stolon atau bakal umbi terletak pada batang di bawah permukaan tanah.

Umbi terbentuk dari pembesaran bagian ujung stolon yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Bentuk umbi umumnya mencirikan varietas kentang yang ditanam. Semua bagian tanaman kentang mengandung racun solanin begitu juga umbinya, yaitu ketika sedang memasuki masa bertunas. Namun, bagian umbi ini bila telah berusia tua atau telah dipanen, racun ini bisa berkurang bahkan bisa hilang sehingga aman untuk dimakan (Setiadi, 2009).

Syarat Tumbuh

Kentang adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan. Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Tanaman kentang memiliki umur yang pendek (semusim). Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 1.000-1.300 meter diatas permukaan laut, suhu rata-rata harian 18-21ºC, kelembaban udara 80-90% dan curah hujan 1.500 mm/tahun (Mailangkay, 2012).

9

Menurut Martodireso dan Suryanto (2001), tanah yang cocok untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman kentang adalah tanah yang subur, berdrainase baik, tekstur sedang, dan gembur dengan pH 6-6,5. Suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal berkisar antara 15-18o C.

Benih Kentang

Produktivitas kentang di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas di beberapa negara Eropa seperti Belgia yang bisa mencapai rerata 44,3 ton/ha dan Belanda 42,5 ton/ha (Supit et al, 2010). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah kurangnya ketersediaan benih yang bermutu dan bersertifikat. Produktivitas kentang umumnya lebih tinggi jika menggunakan benih dari kelas yang lebih tinggi, akan tetapi mutu dari benih yang digunakan juga sangat menentukan tingkat produktivitas (Afifah, 2011).

Umbi kentang merupakan umbi batang yang bebrbentuk dari pembesaran ujung stolon, mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air.

Air merupakan bagian terbesar dari komposisi tersebut, dapat mencapai sekitar 80%. Bentuk umbi, mata tunas, warna kulit, dan warna daging umbi bervariasi menurut varietas kentang. Umbi kentang bebrbentuk bulat, lonjong, meruncing, atau mirip ginjal, dengan ukuran kecil hingga besar. Mata tunas tersusun secara spriral pada bagian luar dan dekat kulit umbi. Mata tunas tertua terletak pada pangkal umbi. Jumlah mata tunas berkisar antara 2-14 tergantung pada besar kecilnya umbi (Pitojo, 2004).

Arifin et al (2014) menyatakan bahwa ubi benih ukuran 55-70 g/ubi mempunyai jumlah cadangan makanan (karbohidrat) yang lebih besar sehingga ubi memiliki tunas yang besar dan kuat, selain itu translokasi karbohidrat ke tunas akan lebih besar yang mengakibatkan pertumbuhan organ-organ vegetatif

10

tanaman seperti daun, batang lebih maksimal. Dalam Direktorat Perbenihan Hortikultura (2014) menyatakan bahwa beberapa ukuran benih bila di grading yaitu: Large (L)/besar (>90g-120g), Medium (M)/sedang (40g-90g), Small (S)/kecil (<40g).

Sistem perbenihan kentang di Indonesia yang ada saat ini terdiri dari lima kelas benih, yaitu G0, G1, G2, G3, dan G4. Kelas benih G0 sampai G3 merupakan kelas benih sumber, sedangkan kelas benih G4 merupakan benih sebar. Dalam sertifikasi kentang, Direktorat Perbenihan Hortikultura (2007) mengklasifikasikan benih kentang dengan urutan sebagai berikut: kelas benih G0 setara dengan Benih Penjenis/BS, kelas benih G1 setara dengan Benih Dasar Satu (BD1)/FS1, kelas benih G2 setara dengan Benih Dasar Dua (BD2)/FS2, kelas benih G3 setara dengan Benih Pokok/SS, dan kelas benih G4 setara dengan Benih Benih Sebar/ES. Kelas benih G4 digunakan petani untuk memproduksi umbi konsumsi.

Produktivitas kentang umumnya lebih tinggi jika menggunakan benih dari kelas yang lebih tinggi, akan tetapi mutu dari benih yang digunakan juga sangat menentukan tingkat produktivitas. Sampai pada saat ini banyak para penangkar, petani maupun stakeholder lainnya yang berpendapat bahwa proses produksi benih sumber kentang mulai dari kelas G0 sampai G3 memerlukan waktu yang cukup lama sehingga penyediaan benih sebar (G4) untuk kentang konsumsi sebenarnya tidak harus berasal dari benih kentang kelas G4 tetapi dapat menggunakan kelas benih yang lebih tinggi asalkan benihnya tersedia dalam jumlah cukup dan harga terjangkau. Panjangnya rantai sistem perbenihan kentang mulai dari G0 sampai dengan G4 ini perlu dikaji dan dievaluasi kembali agar waktu penyediaan benih kentang dapat dipercepat dengan memperpendek rantai sistem perbenihannya (Hilman et al, 2010).

11

Direktorat Perbenihan Hortikultura (2014) mengklasifikasikan benih kentang bermutu dimulai dari kelas Benis Penjenis (BS), Benih Dasar (BD/G0), Benih Pokok (BP/G1) dan Benih Sebar (BR/G2), dengan klasifikasi sebagai berikut:

a. BS yaitu benih generasi awal yang diproduksi dari benih inti. Benih Penjenis berupa planlet, stek dari planlet dan umbi mikro yang terjamin kebenaran varietasnya berdasarkan rekomendasi dari pemilik varietas dan bebas dari patogen.

b. BD atau G0 merupakan hasil perbanyakan dari kelas BS. Perbanyakan G0

harus dilaksanakan di rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.

c. BP atau G1 merupakan hasil perbanyakan dari G0 atau diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G1 dilaksanakan di dalam rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM

d. BR atau G2 merupakan hasil perbanyakan dari G1 atau diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G2 dilaksanakan di lapangan dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.

Di Indonesia, pada umumnya benih sumber yang digunakan dalam bentuk planlet maupun umbi G0 (Generasi nol). Umbi mikro merupakan umbi yang dihasilkan planlet in vitro. Umbi mikro lebih mudah ditangani selama proses pengiriman, distribusi, serta penyimpanan karena ukurannya yang relatif kecil (Perez-Alonso et al, 2010). Dengan demikian, umbi mikro merupakan alternatif terbaik sebagai benih sumber. Namun karena kurangnya informasi potensi umbi mikro dalam produksi benih sumber, pengujian potensi umbi mikro dari berbagai

12

varietas kentang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk keperluan diseminasi varietas unggul nasional dalam upaya mempercepat proses adopsi varietas (Hidayat, 2011). Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi umbi mikro antara lain genotip (Nistor et al, 2010) dan tanpa atau dengan kombinasi zat pengatur tumbuh sitokinin (Aslam dan Iqbal, 2010).

Salah satu usaha untuk mendapatkan benih yang tahan terhadap genangan, toleransi ataupun peka terhadap genangan, adalah dengan cara in vitro misalnya dengan kultur meristem yang ditujukan untuk membantu perkecambahan dan diharapkan dapat mempertahankan integritasnya dan tumbuh menjadi tanaman lengkap. Secara umum kegiatan kultur jaringan berjalan baik dan bahan tanaman dapat tumbuh berkembang seperti yang diharapkan maka pada tahap inkubasi diruang kultur pengendalian temperature, cahaya, kelembaban,wadah kultur dan faktor lingkungan. Kultur jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetik. Teknik in vitro merupakan metoda yang efektif dan efisien untuk perbanyakan tanaman dalam kondisi lingkungan aseptic dan dapat dikendalikan (Widoretno et al, 2003).

Dormansi

Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami organisme hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi merupakan suatu reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Pemicu dormansi dapat bersifat fisik, kimiawi dan biologi. Lama dormansi tergantung varietas, cuaca, keadaan bibit, umur umbi ketika panen dan kondisi gudang penyimpanan, kondisi gudang penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan selama umbi

13

mengalami masa dormansi. Faktor - faktor yang perlu diperhatikan selama penyimpanan umbi yaitu suhu, kelembaban dan sirkulasi udara pada gudang.

Dormansi pada umbi kentang yaitu umbi tidak akan bertunas sampai waktu tertentu walaupun telah diberikan kondisi pertumbuhan tunas yang paling optimum. Dormansi pada umbi kentang dipengaruhi oleh varietas, umur umbi ketika panen, keadaan lingkungan saat tanam, dan kondisi simpan umbi (Beukema dan Zaag, 2007 cit. Jufri, 2011).

Umbi bibit kentang jika ditanam masih dalam masa dormansi, pertumbuhannya akan lambat dan produktivitasnya akan rendah, bahkan jika penanaman dilakukan pada musim hujan, maka umbi bibit bisa membusuk sebelum bertunas. Demikian juga, umbi bibit yang disimpan terlalu lama sampai tunasnya sudah panjang sekali sebaiknya tidak digunakan sebagai bibit (Samadi, 2007).

Umbi bibit yang mempunyai panjang tunas lebih pendek memiliki kondisi yang kuat dan tidak rawan patah saat penanaman, berbeda dengan panjang tunas yang lebih panjang diduga kondisinya lebih rentan dan rawan patah saat penanaman, sehingga tanaman justru memerlukan waktu yang lebih lama untuk muncul ke permukaan (Senjayani, 2001 cit. Arifin et al, 2014).

Dormansi umbi kentang disebabkan oleh faktor internal dan ekternal umbi yang berpengaruh pada kandungan relatif hormon-hormon dalam kuncup atau mata tunas yang menentukan pembentukan dan mengakhiri masa dormansi (Zelleke dan Kliwer, 1989 cit. Gosal et al, 2008). Penyebab utama dormansi adalah inhibitor-ß kompleks. Komponen yang paling banyak pada inhibitor-ß kompleks adalah asam absisi (ABA). Masa dormansi kentang dapat dihubungkan

14

dengan rendahnya kandungan gibberellin dalam umbi. Hasil penelitian yang yang didasarkan pada analisis cairan xylem tanaman Peach dan tunas-tunas Appel, konsentrasi asam absisi (ABA) dalam cairan xylem 10 kali lebih tinggi selama dormansi daripada selama periode pertumbuhan (Wattimena, 1988). Sebaliknya apabila inhibitor-ß konsentrasinya rendah atau konsentrasi giberellin tinggi dalam umbi kentang maka akan terjadi pertumbuhan tunas. Peningkatan asam giberellin menyebabkan terjadinya pertumbuhan karena pengaruh asam absisi (ABA) ditutupi oleh nisbah giberellin dengan asam absici (ABA) tinggi (Gardner et al, 1985 cit. Gosal et al, 2008).

Varietas kentang yang berbeda akan mempengaruhi umur dormansi dan perkembangan fisiologi. Ada 5 tahap perkembangan fisiologi umbi kentang mulai dari umbi bertunas, membentuk tanaman, induksi dan pertumbuhan stolon, pembentukan umbi dan pemasakan umbi. Varietas kentang yang berbeda akan mempengaruhi umur dormansi dan perkembangan fisiologi. Ada 5 tahap perkembangan fisiologi umbi kentang mulai dari umbi bertunas, membentuk tanaman, induksi dan pertumbuhan setolon, pembentukan umbi dan pemasakan umbi. Masa pemasakan umbi akan mempengaruhi waktu panen umbi (Rowe, 1993 cit. Jufri, 2011).

Dormansi memiliki keuntungan dan kekurangan dalam musim tanam.

Dormansi dapat mempertahankan umur umbi lebih lama, dapat mencegah pertunasan di lapangan dan merupakan mekanisme untuk mempertahankan hidup.

Kekurangan dari dormansi yaitu umbi kentang tidak dapat ditanam sepanjang tahun, dan membutuhkan waktu yang lama untuk bertunas sehingga dibutuhkan

15

cara untuk mematahkan sifat dormansi pada umbi kentang (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Umbi kentang memiliki masa dormansi dan membutuhkan waktu untuk bertunas. Lama dormansi tergantung varietas, cuaca, keadaan saat tanam, umur umbi ketika panen dan kondisi gudang penyimpanan. Kondisi gudang penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan selama umbi mengalami masa dormansi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama penyimpanan umbi yaitu suhu, kelembaban dan sirkulasi udara pada gudang.

Suhu yang rendah selama penyimpanan dapat memperpanjang umur fisiologis dan meningkatkan produksi (Sahat et al, 1989).

Penyimpanan bibit kentang dengan suhu di bawah 20oC akan merusak pertumbuhan tunas sedangkan penyimpanan umbi pada suhu tinggi (18o-25oC) dapat mempercepat pertunasan. Kelembaban gudang yang baik untuk pembibitan yaitu sekitar 75-90%. Kelembaban yang terlalu kering akan menyebabkan besarnya kehilangan bobot pada umbi, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi dapat mempermudah pengembunan yang menyebabkan umbi lembab dan akan mengalami pembusukan. Sirkulasi udara gudang yang baik akan mencegah infeksi hama dan penyakit pada umbi. Sirkulasi udara pada gudang dapat dijaga dengan tidak menumpuk umbi terlalu padat (Jufri, 2011).

Sitokinin

Secara alami Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam organ tubuh tanaman telah ada dalam jumlah sedikit dan ZPT yang aktif dalam jaringan tanaman akan ditransformasikan ke dalam seluruh bagian tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan atau proses-proses fisiologis tanaman (Djamhari, 2010). Salah satu

16

jenis hormon yang sering digunakan adalah sitokinin. Sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Karjadi dan Buchory, 2008).

Peranan sitokinin terutama pada pertumbuhan sel dan diferensiasi sel, juga berperan pada dominansi apikal, pertumbuhan tunas, mengaktifkan gen serta aktifitas metabolis secara umum, mendorong perkecambahan dan proses penguningan daun. Sitokinin diketahui juga berperan dalam banyak metabolisme tanaman. Sitokinin banyak diaplikasikan ke tanaman untuk meningkatkan produksi tanaman (Zein, 2016). Dalam Samanhudi (2008), mengemukakan bahwa dormansi umbi dapat dipatahkan dengan aplikasi hormone secara eksogen. Salah satu hormon yang dapat mematahkan dormansi tersebut adalah sitokinin.

Dalam proses perkecambahan, fase awal yang terjadi adalah adanya imbibisi air yang selanjutnya diikuti dengan reaktivasi hormon dan enzim yaitu enzim-enzim hidrolisis seperti α-amilase, protease, ribonuklease, β-glukonase, dan fosfatase. Enzim-enzim ini akan berdifusi ke dalam endosperma dan mengakatalisis bahan makanan cadangan di dalam endosperma menjadi gula terlarut, asam amino, dan nukleosida yang mendukung tumbuhnya embrio selama perkecambahan dan pertumbuhan kecambah, maka berlangsunglah proses perombakan di dalam jaringan cadangan makanan. Hormon sitokinin akan membantu mempercepat penguraian karbohidrat menjadi gula terlarut.

Peningkatan aktivitas sitokinin endogen ini akan disertai dengan menurunnya asam absisat (ABA) sebagai penghambat perkecambahan benih. Hasil perombakan tersebut ditranslokasikan ke titik tumbuh daerah meristematik yang dapat merangsang pembelahan, pembesaran dan pertumbuhan sel-sel baru. Selanjutnya

17

muncullah radikel dan plumula. Salah satu indikator pertumbuhan pada tanaman yang mengalami fase dormansi adalah tanaman tidak aktif melakukan pembelahan (Adi et al, 2014). Selama penyimpanan terjadi, pematahan efek dormansi menyebabkan pertunasan yang disebabkan oleh penguraian karbohidrat menjadi gula terlarut (Kazami et al, 2000). Hasil metabolisme digunakan untuk aktivitas meristem yang menyebabkan munculnya tunas.

Penggunaan zat pengatur tumbuh tanaman pada umumnya ditujukan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Benzil amino purin berbahan aktif sitokinin sintetik. Benzil adenin merupakan salah satu regulator pertumbuhan alami penting yang digunakan untuk menginduksi karakter pertumbuhan dan komposisi kimia (Santosa et al, 2013). Jenis sitokinin Benzil Amino Purin (BAP) merupakan hormone sitokinin yang paling sering digunakan karena sangat aktif dalam jaringan tanaman seperti pembentukan tunas, merangsang pembelahan sel, mempertahankan degradasi klorofil. Selain itu pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dengan konsentrasi tertentu dapat meningkatkan pembungaan (persentase tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel), viabilitas, dan jumlah serbuk sari, serta persentase benih bernas. Konsentrasi BAP yang optimum untuk menghasilkan produksi benih ialah 37,5 ppm (Rosliani et al, 2012).

18

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait