• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BOBOT UMBI DAN WAKTU PERLAKUAN PERENDAMAN SITOKININ TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH KENTANG (Solanum tuberosum L) TESIS OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH BOBOT UMBI DAN WAKTU PERLAKUAN PERENDAMAN SITOKININ TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH KENTANG (Solanum tuberosum L) TESIS OLEH:"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BOBOT UMBI DAN WAKTU PERLAKUAN PERENDAMAN SITOKININ TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH

KENTANG (Solanum tuberosum L)

TESIS

OLEH:

LAMBOK TURNIP / 167001027 AGROTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH BOBOT UMBI DAN WAKTU PERLAKUAN PERENDAMAN SITOKININ TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH

KENTANG (Solanum tuberosum L)

TESIS

OLEH:

LAMBOK TURNIP / 167001027 AGROTEKNOLOGI

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Magister di Program Studi Magister Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Penelitian : Pengaruh Bobot Umbi dan Waktu Perlakuan Perendaman Sitokinin Terhadap Pematahan Dormansi Benih Kentang (Solanum tuberosum L)

Nama : Lambok Turnip

NIM : 167001027

Program Studi : Agroteknologi

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 12 Nopember 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Luthfi A.M. Siregar, SP, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Ir. Revandy I.M. Damanik, M.Sc, Ph.D

2. Dr. Diana Sofia Hanafiah, SP, MP.

3. Dr. Nini Rahmawati, SP, MP.

4. Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

PENGARUH BOBOT UMBI DAN WAKTU PERLAKUAN PERENDAMAN SITOKININ TERHADAP PEMATAHAN DORMANSI BENIH

KENTANG (Solanum tuberosum L)

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Agroteknologi pada Program Studi Magister Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata seluruh atau sebagian Tesis ini bukan

hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,

penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis

sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku.

(6)

ABSTRACT

LambokTurnip. 2019. “The effect of the weight of potato tuber seeds and the duration of cytokinin application on potato tuber (Solanum tuberosum L.) dormancy release”, guided by Luthfi A. M. Siregar and Revandy I. M.

Damanik. This study aims to determine the effect of tuber weight and cytokinin immersion treatment time on breaking the dormancy period of potato tuber. This research was carried out at the seed warehouse of UPT Benih Induk Hortikultura Kutagadung Berastagi, Dinas Tanaman Pangan and Hortikultura, Sumatera Utara. This research was conducted using factorial completely randomized design, with 2 factors. The first factor, the weight of potato tubers of 4 levels, ie: 25-35 g, 55-65 g, 85-95 g and 115-125 g. The second factor, cytokinin immersion time of 5 levels, ie: without cytokinin immersion, 1 days after harvest (DAH), 15 DAH, 30 DAH and 45 DAH. The results showed that the fastest time of dormancy release was on potato tuber weight 115-125 g (15.67 days), 14.06 days faster than tuber weight 25-35 g. The fastest time of dormancy release was on cytokinin immersion time of 45 DAH (17.08 days), 11.75 days faster than without cytokinin immersion, or 5,25 days faster than cytokinin immersion time of 1 DAH. The fastest dormancy release was at tuber weight 115-125 g and cytokinin immersion time of 45 HSP (10 days). The number and weight of sprouts increases with increasing tuber weight and cytokinin immersion time.

Key words : potato tuber seeds, tuber weights, cytokinin, dormancy release

(7)

ABSTRAK

LambokTurnip. 2019. “Pengaruh bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin terhadap pematahan dormansi benih kentang (Solanum tuberosum L), dibimbing oleh Luthfi A. M. Siregar dan Revandy I. M. Damanik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman dengan sitokinin terhadap pematahan masa dormansi benih kentang. Penelitian ini dilaksanakan di Gudang benih UPT. Benih Induk Hortikultura Kutagadung Berastagi, Dinas Tanaman Pangan and Hortikultura, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan 2 faktor. Faktor pertama, bobot benih kentang, terdiri dari 4 taraf, yaitu: B1 = 25-35 g, B2 = 55-65 g, B3 = 85-95g, dan B4 = 115-125 g. Faktor kedua, waktu perendaman sitokinin, terdiri dari 5 taraf, yaitu:

W0 = kontrol, W1 = 1 hari setelah panen (HSP), W2 = 15 HSP, W3 = 30 HSP, dan W4 = 45 HSP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pematahan dormansi yang paling cepat adalah pada benih dengan bobot 115-125 g (60,67 hari), lebih cepat 14,06 hari dari benih dengan bobot 25-35 g. Pematahan dormansi yang paling cepat adalah pada perendaman 45 HSP yaitu 62,08 hari, lebih cepat 11,75 hari dari tanpa perendaman, atau lebih cepat 5,25 hari dari perlakuan perendaman 1 HSP. Pematahan dormansi yang paling cepat adalah pada perlakuan B4W4, yaitu: 55 hari. Jumlah dan bobot tunas semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu perendaman, dan dengan semakin bertambahnya bobot umbi.

Kata kunci : benih umbi kentang, bobot umbi, sitokinin, pematahan dormansi.

umbi.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Lambok Turnip, dilahirkan di Simanindo pada tanggal 23 Juli 1970 anak dari ayahanda Aller Turnip dan ibunda Beteria Br Malau. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SD Inpres Simanindo lulus pada tahun 1981, SMP Negeri Simarmata lulus tahun 1987, tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri Stabat dan pada tahun yang sama Penulis mengikuti pendidikan strata S1 di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Khatolik St. Thomas Medan Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1994.

Pada tahun 2016 penulis melanjutkan studi S2 di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada saat kuliah S2, penulis telah mengikuti seminar International

Conference on Agriculture, Environment and Food Security (AEFS) pada

tanggal 10 Oktober 2019 sebagai oral presenter.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari tesis ini adalah “Pengaruh Bobot Umbi dan Waktu Perlakuan Perendaman Sitokinin Terhadap Pematahan Dormansi Benih Kentang (Solanum tuberosum L)” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu Luthfi A. M. Siregar, SP. M.Sc., Ph.D., sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Revandy I.M. Damanik, M.Sc., Ph.D., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman Magister Agroteknologi yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta kepada seluruh staf pengajar, pegawai serta kerabat di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah berkontribusi dalam kelancaran studi dan penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Desember 2019

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Botani Tanaman ... 7

Syarat Tumbuh ... 8

Benih Kentang ... 9

Dormansi.. ... 12

Sitokinin… ... 15

METODE PENELITIAN ... 18

Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 18

Metode Penelitian ... 18

Pelaksanaan Penelitian... 20

Sterilisasi Gudang Benih ... 20

Persiapan Umbi Kentang ... 20

Perendaman Benih dengan Sitokinin ... 20

Parameter Pengamatan... 21

Waktu Pematahan Dormansi (hari) ... 21

Persentase Perkecambahan (%) ... 21

Laju Perkecambahan (hari) ... 21

Jumlah Tunas (tunas) ... 21

Panjang Tunas (mm) ... 21

Bobot Tunas (mg) ... 22

Analisis Aktivitas Enzim α Amilase(u/ml)... 22

Analisis Protein (mg/g) ... 24

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Hasil…… ... 25

Waktu Pematahan Dormansi (hari) ... 26

Persentase Perkecambahan (%)... 27

Laju Perkecambahan (hari) ... 32

Jumlah Tunas (tunas) ... 33

Panjang Tunas (mm) ... 37

Bobot Tunas (mg) ... 40

Analisis Aktivitas Enzim α Amilase (u/ml)... 41

Analisis Protein (mg/g) ... 42

Pembahasan ... 43

Pengaruh bobot umbi ... 43

Pengaruh perendaman benih dengan sitokinin ... 47

Pengaruh interkasi perlakuan bobot umbi dan perendaman benih dengan sitokinin ... 53

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

Kesimpulan ... 57

Saran….. ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN ... 64

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Pengaruh bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin terhadap waktu pematahan dormansi umbi benih kentang ... 26 2. Rata-rata persentase perkecambahan umbi benih kentang pada setiap

waktu pengamatan akibat perlakuan bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin ... 28 3. Rata-rata laju perkecambahan benih kentang akibat perlakuan bobot

umbi dan waktu perendaman sitokinin ... 32 4. Rata-rata jumlah tunas kentang pada setiap waktu pengamatan akibat

perlakuan bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin ... 34 5. Rata-rata panjang tunas kentang pada setiap waktu pengamatan akibat

perlakuan bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin ... 37 6. Rata-rata bobot tunas kentang umur 35 hari akibat perlakuan bobot

umbi dan waktu perendaman sitokinin ... 40 7. Aktivitas enzim α amilase akibat perlakuan bobot umbi dan waktu

perendaman sitokinin ... 41 8. Konsentrasi protein akibat perlakuan bobot umbi dan waktu perendaman

sitokinin ... 42 9. Korelasi antar parameter pengamatan akibat perbedaan bobot umbi .... 47 10. Korelasi antar parameter pengamatan akibat perbedaan waktu perlakuan

perendaman umbi dengan sitokinin ... 50 11. Korelasi antar parameter pengamatan akibat interaksi perbedaan bobot

umbi dan waktu perlakuan perendaman umbi dengan sitokinin ... 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Umbi Kentang akibat

Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari ... 31 2. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Kentang akibat

Perlakuan Waktu Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7s/d 35 hari 31 3. Perkembangan Jumlah Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi

pada Pengamatan 7 s/d 35 hari ... 36 4. Perkembangan Jumlah Tunas Kentang akibat Perlakuan Waktu

Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7 s/d 35 hari ... 36 5. Perkembangan Panjang Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi

pada Pengamatan 7 s/d 35 hari ... 39 6. Perkembangan Panjang Tunas Kentang akibat Perlakuan Waktu

Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7 s/d 35 hari ... 39

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Deskripsi Tanaman Kentang Varietas Granola L ... 64

2. Bagan Penelitian ... 65

3. Pengamatan Waktu Pematahan Dormansi (hari) ... 66

4. Sidik Ragam Waktu Pematahan Dormansi ... 66

5. Data Pengamatan Persentase Perkecambahan (%) umur 7 Hari ... 67

6. Data Transformasi Arcsin Persentase Perkecambahan Umur 7 Hari .... 68

7. Sidik Ragam Persentase Perkecambahan Umur 7 Hari ... 68

8. Data Pengamatan Persentase Perkecambahan (%) umur 14 Hari ... 69

9. Data Transformasi Arcsin Persentase Perkecambahan Umur 14 Hari .. 70

10. Sidik Ragam Persentase Perkecambahan Umur 14 Hari ... 70

11. Data Pengamatan Persentase Perkecambahan (%) umur 21 Hari ... 71

12. Data Transformasi Arcsin Persentase Perkecambahan Umur 21 Hari . 72 13. Sidik Ragam Persentase Perkecambahan Umur 21 Hari ... 72

14. Data Pengamatan Persentase Perkecambahan (%) umur 28 Hari ... 73

15. Data Transformasi Arcsin Persentase Perkecambahan Umur 21 Hari .. 74

16. Sidik Ragam Persentase Perkecambahan Umur 21 Hari ... 74

17. Data Pengamatan Persentase Perkecambahan (%) umur 35 Hari ... 75

18. Data Transformasi Arcsin Persentase Perkecambahan Umur 35 Hari .. 76

19. Sidik Ragam Persentase Perkecambahan Umur 35 Hari ... 76

20. Data Pengamatan Laju Perkecambahan Benih (hari) ... 77

21. Sidik Ragam Laju Perkecambahan Benih ... 77

22. Data Pengamatan Jumlah Tunas (tunas) Umur 7 Hari ... 78

23. Data Transformasi √ Jumlah Tunas Umur 7 Hari ... 79

24. Sidik Ragam Jumlah Tunas Umur 7 Hari ... 79

(15)

25. Data Pengamatan Jumlah Tunas (tunas) Umur 14 Hari ... 80

26. Data Transformasi √ Jumlah Tunas Umur 14 Hari ... 81

27. Sidik Ragam Jumlah Tunas Umur 14 Hari ... 81

28. Data Pengamatan Jumlah Tunas (tunas) Umur 21 Hari ... 82

29. Data Transformasi √ Jumlah Tunas Umur 21 Hari ... 83

30. Sidik Ragam Jumlah Tunas Umur 21 Hari ... 83

31. Data Pengamatan Jumlah Tunas (tunas) Umur 28 Hari ... 84

32. Sidik Ragam Jumlah Tunas Umur 28 Hari ... 84

33. Data Pengamatan Jumlah Tunas (tunas) Umur 35 Hari ... 85

34. Sidik Ragam Jumlah Tunas Umur 35 Hari ... 85

35. Data Pengamatan Panjang Tunas (mm) Umur 7 Hari... 86

36. Data Transformasi √ Panjang Tunas Umur 7 Hari ... 87

37. Sidik Ragam Panjang Tunas Umur 7 Hari ... 87

38. Data Pengamatan Panjang Tunas (mm) Umur 14 Hari... 88

39. Data Transformasi √ Panjang Tunas Umur 14 Hari ... 89

40. Sidik Ragam Panjang Tunas Umur 14 Hari ... 89

41. Data Pengamatan Panjang Tunas (mm) Umur 21 Hari... 90

42. Data Transformasi √ Panjang Tunas Umur 21 Hari ... 91

43. Sidik Ragam Panjang Tunas Umur 21 Hari ... 91

44. Data Pengamatan Panjang Tunas (mm) Umur 28 Hari... 92

45. Sidik Ragam Panjang Tunas Umur 28 Hari ... 92

46. Data Pengamatan Panjang Tunas (mm) Umur 35 Hari... 93

48. Sidik Ragam Panjang Tunas Umur 35 Hari ... 93

49. Data Pengamatan Bobot Tunas (mg) Umur 35 Hari ... 94

50. Sidik Ragam Bobot Tunas Umur 35 Hari ... 94

(16)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki rerata produksi cukup besar jika dibandingkan dengan komoditas sayuran lain, meskipun produksinya berfluktuasi setiap tahunnya.

Selain digunakan sebagai sayuran, kentang juga merupakan sumber karbohidrat alternatif yang dapat mendukung diversifikasi pangan (Haris 2010; Utami et al, 2012). Umbi kentang juga dapat digunakan sebagai pengganti nasi mengingat kandungan nutrisi utama berupa karbohidrat sekitar 18%, protein 2,4%, dan lemak 0,1%, serta total energi sekitar 80 kkal/100 g dengan kandungan vitamin C sebesar 31 mg/100 (Broto et al, 2017).

Menurut data Direktorat Jenderal Hortikultura (2018), produktivitas kentang di Sumatera Utara cukup berfluktuasi, dimana dari tahun 2012 (17,24 ton/ha) mengalami peningkatan pada tahun 2013 (17,88 ton/ha) sekitar 3,57%, selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2014 (17,58 ton/ha) sekitar 1,73%.

Kemudian mengalami peningkatan lagi pada tahun 2015 (18,00 ton/ha) sekitar 2,33%, dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2016 (16,71 ton/ha) sekitar 7,7%, pada tahun 2017 (15,67ton/ha) sekitar 6,23%, akan tetapi kembali meningkat pada tahun 2018 (15,91 ton/ha) sekitar 1,52%.

Kemampuan produksi kentang Indonesia hanya dapat memenuhi 10%

konsumsi kentang nasional, yaitu 8,9 juta ton per tahun (Wattimena, 2000).

Disamping produksi yang belum cukup, volume dan nilai ekspor kentang tahun

1998 (31.204 ton, 5.887.000 US$) mengalami penurunan dari tahun 1997 (36.758

ton, 8.431.065 US$). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa produksi kentang

(17)

2

produksi kentang hanya baru mencukupi 20% dari kebutuhan Indonesia. Bahkan produksi cenderung menurun dari tahun ketahun salah satunya disebabkan oleh penggunaan umbi yang kurang tepat (Lidinilah, 2014).

Selain itu, rendahnya produktivitas tanaman kentang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a) benih mengalami dormansi (b) adanya degradasi hasil setelah generasi kelima akibat dari penggunaan benih kentang secara terus menerus (c) rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang (d) kurangnya pengetahuan petani tentang pentingnya mutu benih (e) pengadaan dan distribusi benih kentang berkualitas belum kontiniu dan memadai (f) teknis budidaya yang masih konvensional (Kuntjoro, 2000).

Kebutuhan benih kentang saat ini rata-rata per tahun sebanyak 108 ribu ton untuk area budidaya kentang seluas 72.000 hektar. Sedangkan ketersediaan benih kentang bersertifikat nasional saat ini baru mencapai 15% sehingga masih terbuka untuk memenuhi kebutuhan benih kentang dalam negeri (Ibrahim, 2017).

Kebutuhan tersebut sebagian besar masih disuplai oleh benih dengan kualitas rendah. Hal ini menyebabkan produktivitas petani kentang di Indonesia masih rendah yakni hanya 15-17 ton per hektar. Sebagai pembanding di Eropa bisa mencapai 50 ton per hektar (Jannah, 2016).

Benih menjadi salah satu faktor penting dalam budidaya kentang, karena

dengan umbi yang mempunyai mutu baik dapat membantu meningkatkan

produktivitas kentang (Wulandari et al, 2014). Benih kentang diklasifikasikan

berdasarkan berat benih yaitu: S (10 gr- 30 gr), M (31 gr – 60 gr), L (61 gr – 120

gr), XL ( Lebih besar 120 gr). Ukuran umbi bibit yang digunakan petani dalam

budidaya tanaman kentang yaitu 30-80 g/umbi, sedangkan menurut Setiadi (2009)

(18)

3

ukuran umbi bibit yang baik adalah 30-60 g/umbi. Pada dasarnya semua berat umbi bibit kentang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai bibit. Ukuran umbi untuk dijadikan bibit mempunyai berat per umbi 30-80 g. Apabila memilih bibit yang beratnya kurang dari 30 g bahkan dibawah 20 g produksinya akan rendah (Arifin et al, 2014).

Menurut Schmidt (2000), ukuran benih berkorelasi positif terhadap vigor benih. Benih yang relatif berat cenderung mempunyai vigor yang lebih baik.

Benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan benih yang berukuran kecil dan diduga bahwa ukuran embrionya juga lebih besar. Kandungan yang tersimpan dalam biji yaitu karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Bahan-bahan tersebut diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat proses perkecambahan berlangsung (Sutopo, 2002).

Selain bobot umbi, kendala lain dalam produksi kentang adalah adanya

fase dormansi pada masa pertumbuhan benih kentang. Lamanya masa dormansi

benih kentang yaitu 3-3,5 bulan. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan

benih kentang bagi para petani. Jika masa dormansi benih kentang dapat

dipercepat, diharapkan ketersediaan benih kentang dapat dipenuhi sesuai dengan

kebutuhan para petani. Benih yang baru dipanen biasanya harus disimpan di

gudang hingga masa dormansi benih berakhir. Lama dormansi pada kentang

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kultivar, keadaan cuaca, tempat

penanaman selama masa pertumbuhan, umur umbi di lapangan dan keadaan

tempat penyimpanan (Jufri, 2011). Masa dormansi juga berbanding terbalik

(19)

4

dengan umur panen umbi, semakin cepat umur panen umbi, maka semakin lama masa dormansinya.

Upaya mempercepat masa dormansi tanaman adalah dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT). Salah satu zat pengatur yang dapat membantu pematahan dormansi benih adalah sitokinin. Sitokinin merupakan senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Karjadi dan Buchory, 2008). Sitokinin digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas, berpengaruh dalam metabolisme sel, dan merangsang sel dorman serta aktivitas utamanya mendorong pembelahan sel (Ibrahim, 2015).

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh bobot umbi kentang dan waktu perendaman sitokinin terhadap pematahan dormansi benih kentang. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data hasil penelitian Nuraini et al (2016) yaitu aplikasi sitokinin untuk pematahan dormansi benih kentang G1 (Solanum tuberosum L.). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa benih kentang yang direndam selama 1 jam dalam BAP (Benzyl amino purine) 100 mgL

-1

menghasilkan waktu pematahan dormansi lebih cepat dibandingkan dengan kontrol.

Rumusan Masalah

Benih kentang merupakan sarana produksi utama dalam budidaya

tanaman, dimana penggunaan benih berkualitas mempunyai peranan yang sangat

menentukan dalam usaha meningkatkan produksi dan mutu hasil. Kebutuhan

benih kentang sebagian besar masih disuplai oleh benih dengan kualitas rendah

sehingga menyebabkan produktivitas petani kentang di Indonesia juga rendah.

(20)

5

Faktor benih kentang bermutu hingga saat ini masih menjadi kendala utama bagi usahatani kentang. Petani umumnya belum menggunakan benih kentang yang bersertifikat. Petani hanya menyisihkan sebagian umbi kentang panenannya yang berukuran kecil untuk digunakan sebagai benih pada pertanaman selanjutnya. Dengan cara tersebut, maka dapat dipastikan kualitas benih tersebut sangat rendah.

Kendala utama dalam penyediaan benih kentang yang berkualitas adalah lamanya masa dormansi benih kentang yaitu 3 – 3,5 bulan. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan benih kentang bagi para petani. Jika masa dormansi benih kentang dapat dipercepat, diharapkan ketersediaan benih kentang dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan para petani.

Salah satu ZPT yang dapat mempercepat pematahan dormansi adalah sitokinin. Sitokinin merupakan salah satu hormon pemacu pertumbuhan yang berperan dalam pembelahan sel (Nuraini et al, 2016). Dengan perlakuan perendaman benih kentang sesuai dengan bobotnya dan waktu perendaman sitokinin diharapkan dapat mematahkan masa dormansi benih kentang.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan terhadap pematahan dormansi benih kentang.

Hipotesis Penelitian

Bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi

kedua perlakuan berpengaruh terhadap pematahan dormansi benih kentang.

(21)

6

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bagi para petani kentang dan pihak yang membutuhkan dalam penyediaan benih kentang yang berkualitas.

2. Sebagai salah satu syarat untuk melakukan penelitian di Program Studi

Magister Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

(22)

7

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

Menurut Pitojo (2004), tanaman kentang dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Subdivisi : Angiospermae;

Kelas : Dicotyledonae; Ordo : Tubiflorae; Famili : Solanaceae; Genus : Solanum;

Sub-genus : Pachystemonum; Seksi : Tuberarium; Sub-seksi : Hyperbasarthum;

Speesies : Solanum tuberosum L.

Tanaman kentang merupakan tanaman setahun, bentuk sesungguhnya menyemak dan bersifat menjalar. Tanaman kentang merupakan tanaman berbiji belah. Pada umumnya tanaman kentang berasal dari umbi, termasuk tanaman kentang yang dibudidayakan di Indonesia. Namun untuk tujuan penelitian dan permuliaan tanaman biasanya dilakukan penanaman kentang dari biji (Setiadi dan Nurulhuda, 2000).

Perakaran tanaman kentang berada pada tanah lapisan atas, berpautan

dengan partikel tanah untuk memperkokoh berdirinya tanaman. Tanaman kentang

yang berasal dari biji memiliki akar tunggang yang berasal dari radiculae yang

tumbuh ke arah bawah dan dapat mencapai kedalaman 45 cm. Tanaman kentang

yang berasal dari umbi hanya memiliki akar serabut, berukuran kecil dan

berwarna keputih-putihan. Batang tanaman kentang berada di permukaan tanah

dan berwarna hijau, kemerahan dan ungu tua. Daun pertama tanaman kentang

baik tanaman yang berasal dari biji maupun umbi, berupa daun tunggal. Ukuran

daun dinayatakan dengan perbandingan lebar terhadap panjang bervariasi antara

3/5 hingga 2/3, tergantung kultivarnya (Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara,

2014).

(23)

8

Bunganya berejenis kelamin dua (bunga sempurna), ukurannya kecil (kira- kira 3 cm), berwarna putih kekuning-kuningan atau ungu kemerah-merahan, tumbuh di ketiak daun teratas. Benang sari bunga kentang berwarna kekuning- kuningan dan melingkari tangkai putik. Kedudukan kepala putik bisa lebih rendah, bisa sama tinggi atau lebih tinggi atau lebih tinggi dari cone kepala sari.

Buah berwarna hijau tua sampai keungu-unguan, berbentuk bulat, berukuran kira- kira 2,5 cm dan berongga dua. Buah mengandung 500 bakal biji yang nantinya menjadi biji hanya 10-300 biji. Buah biasanya dipanen pada umur 6-8 minggu setelah penyerbukan (Setiadi, 2009).

Stolon atau bakal umbi terletak pada batang di bawah permukaan tanah.

Umbi terbentuk dari pembesaran bagian ujung stolon yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Bentuk umbi umumnya mencirikan varietas kentang yang ditanam. Semua bagian tanaman kentang mengandung racun solanin begitu juga umbinya, yaitu ketika sedang memasuki masa bertunas. Namun, bagian umbi ini bila telah berusia tua atau telah dipanen, racun ini bisa berkurang bahkan bisa hilang sehingga aman untuk dimakan (Setiadi, 2009).

Syarat Tumbuh

Kentang adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang

yang dapat dimakan. Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran

tinggi Andes Amerika Utara. Tanaman kentang memiliki umur yang pendek

(semusim). Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 1.000-1.300 meter diatas

permukaan laut, suhu rata-rata harian 18-21ºC, kelembaban udara 80-90% dan

curah hujan 1.500 mm/tahun (Mailangkay, 2012).

(24)

9

Menurut Martodireso dan Suryanto (2001), tanah yang cocok untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman kentang adalah tanah yang subur, berdrainase baik, tekstur sedang, dan gembur dengan pH 6-6,5. Suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal berkisar antara 15-18

o

C.

Benih Kentang

Produktivitas kentang di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas di beberapa negara Eropa seperti Belgia yang bisa mencapai rerata 44,3 ton/ha dan Belanda 42,5 ton/ha (Supit et al, 2010). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah kurangnya ketersediaan benih yang bermutu dan bersertifikat. Produktivitas kentang umumnya lebih tinggi jika menggunakan benih dari kelas yang lebih tinggi, akan tetapi mutu dari benih yang digunakan juga sangat menentukan tingkat produktivitas (Afifah, 2011).

Umbi kentang merupakan umbi batang yang bebrbentuk dari pembesaran ujung stolon, mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air.

Air merupakan bagian terbesar dari komposisi tersebut, dapat mencapai sekitar 80%. Bentuk umbi, mata tunas, warna kulit, dan warna daging umbi bervariasi menurut varietas kentang. Umbi kentang bebrbentuk bulat, lonjong, meruncing, atau mirip ginjal, dengan ukuran kecil hingga besar. Mata tunas tersusun secara spriral pada bagian luar dan dekat kulit umbi. Mata tunas tertua terletak pada pangkal umbi. Jumlah mata tunas berkisar antara 2-14 tergantung pada besar kecilnya umbi (Pitojo, 2004).

Arifin et al (2014) menyatakan bahwa ubi benih ukuran 55-70 g/ubi

mempunyai jumlah cadangan makanan (karbohidrat) yang lebih besar sehingga

ubi memiliki tunas yang besar dan kuat, selain itu translokasi karbohidrat ke

tunas akan lebih besar yang mengakibatkan pertumbuhan organ-organ vegetatif

(25)

10

tanaman seperti daun, batang lebih maksimal. Dalam Direktorat Perbenihan Hortikultura (2014) menyatakan bahwa beberapa ukuran benih bila di grading yaitu: Large (L)/besar (>90g-120g), Medium (M)/sedang (40g-90g), Small (S)/kecil (<40g).

Sistem perbenihan kentang di Indonesia yang ada saat ini terdiri dari lima kelas benih, yaitu G

0

, G

1

, G

2

, G

3

, dan G

4

. Kelas benih G

0

sampai G

3

merupakan kelas benih sumber, sedangkan kelas benih G

4

merupakan benih sebar. Dalam sertifikasi kentang, Direktorat Perbenihan Hortikultura (2007) mengklasifikasikan benih kentang dengan urutan sebagai berikut: kelas benih G

0

setara dengan Benih Penjenis/BS, kelas benih G

1

setara dengan Benih Dasar Satu (BD1)/FS1, kelas benih G

2

setara dengan Benih Dasar Dua (BD2)/FS2, kelas benih G

3

setara dengan Benih Pokok/SS, dan kelas benih G

4

setara dengan Benih Benih Sebar/ES. Kelas benih G

4

digunakan petani untuk memproduksi umbi konsumsi.

Produktivitas kentang umumnya lebih tinggi jika menggunakan benih dari

kelas yang lebih tinggi, akan tetapi mutu dari benih yang digunakan juga sangat

menentukan tingkat produktivitas. Sampai pada saat ini banyak para penangkar,

petani maupun stakeholder lainnya yang berpendapat bahwa proses produksi

benih sumber kentang mulai dari kelas G

0

sampai G

3

memerlukan waktu yang

cukup lama sehingga penyediaan benih sebar (G

4

) untuk kentang konsumsi

sebenarnya tidak harus berasal dari benih kentang kelas G

4

tetapi dapat

menggunakan kelas benih yang lebih tinggi asalkan benihnya tersedia dalam

jumlah cukup dan harga terjangkau. Panjangnya rantai sistem perbenihan kentang

mulai dari G

0

sampai dengan G

4

ini perlu dikaji dan dievaluasi kembali agar waktu

penyediaan benih kentang dapat dipercepat dengan memperpendek rantai sistem

perbenihannya (Hilman et al, 2010).

(26)

11

Direktorat Perbenihan Hortikultura (2014) mengklasifikasikan benih kentang bermutu dimulai dari kelas Benis Penjenis (BS), Benih Dasar (BD/G

0

), Benih Pokok (BP/G

1

) dan Benih Sebar (BR/G

2

), dengan klasifikasi sebagai berikut:

a. BS yaitu benih generasi awal yang diproduksi dari benih inti. Benih Penjenis berupa planlet, stek dari planlet dan umbi mikro yang terjamin kebenaran varietasnya berdasarkan rekomendasi dari pemilik varietas dan bebas dari patogen.

b. BD atau G

0

merupakan hasil perbanyakan dari kelas BS. Perbanyakan G

0

harus dilaksanakan di rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.

c. BP atau G

1

merupakan hasil perbanyakan dari G

0

atau diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G

1

dilaksanakan di dalam rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM

d. BR atau G

2

merupakan hasil perbanyakan dari G

1

atau diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G

2

dilaksanakan di lapangan dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.

Di Indonesia, pada umumnya benih sumber yang digunakan dalam bentuk

planlet maupun umbi G

0

(Generasi nol). Umbi mikro merupakan umbi yang

dihasilkan planlet in vitro. Umbi mikro lebih mudah ditangani selama proses

pengiriman, distribusi, serta penyimpanan karena ukurannya yang relatif kecil

(Perez-Alonso et al, 2010). Dengan demikian, umbi mikro merupakan alternatif

terbaik sebagai benih sumber. Namun karena kurangnya informasi potensi umbi

mikro dalam produksi benih sumber, pengujian potensi umbi mikro dari berbagai

(27)

12

varietas kentang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk keperluan diseminasi varietas unggul nasional dalam upaya mempercepat proses adopsi varietas (Hidayat, 2011). Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi umbi mikro antara lain genotip (Nistor et al, 2010) dan tanpa atau dengan kombinasi zat pengatur tumbuh sitokinin (Aslam dan Iqbal, 2010).

Salah satu usaha untuk mendapatkan benih yang tahan terhadap genangan, toleransi ataupun peka terhadap genangan, adalah dengan cara in vitro misalnya dengan kultur meristem yang ditujukan untuk membantu perkecambahan dan diharapkan dapat mempertahankan integritasnya dan tumbuh menjadi tanaman lengkap. Secara umum kegiatan kultur jaringan berjalan baik dan bahan tanaman dapat tumbuh berkembang seperti yang diharapkan maka pada tahap inkubasi diruang kultur pengendalian temperature, cahaya, kelembaban,wadah kultur dan faktor lingkungan. Kultur jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetik. Teknik in vitro merupakan metoda yang efektif dan efisien untuk perbanyakan tanaman dalam kondisi lingkungan aseptic dan dapat dikendalikan (Widoretno et al, 2003).

Dormansi

Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami organisme

hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu keadaan yang tidak

mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi merupakan suatu

reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Pemicu dormansi dapat bersifat

fisik, kimiawi dan biologi. Lama dormansi tergantung varietas, cuaca, keadaan

bibit, umur umbi ketika panen dan kondisi gudang penyimpanan, kondisi gudang

penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan selama umbi

(28)

13

mengalami masa dormansi. Faktor - faktor yang perlu diperhatikan selama penyimpanan umbi yaitu suhu, kelembaban dan sirkulasi udara pada gudang.

Dormansi pada umbi kentang yaitu umbi tidak akan bertunas sampai waktu tertentu walaupun telah diberikan kondisi pertumbuhan tunas yang paling optimum. Dormansi pada umbi kentang dipengaruhi oleh varietas, umur umbi ketika panen, keadaan lingkungan saat tanam, dan kondisi simpan umbi (Beukema dan Zaag, 2007 cit. Jufri, 2011).

Umbi bibit kentang jika ditanam masih dalam masa dormansi, pertumbuhannya akan lambat dan produktivitasnya akan rendah, bahkan jika penanaman dilakukan pada musim hujan, maka umbi bibit bisa membusuk sebelum bertunas. Demikian juga, umbi bibit yang disimpan terlalu lama sampai tunasnya sudah panjang sekali sebaiknya tidak digunakan sebagai bibit (Samadi, 2007).

Umbi bibit yang mempunyai panjang tunas lebih pendek memiliki kondisi yang kuat dan tidak rawan patah saat penanaman, berbeda dengan panjang tunas yang lebih panjang diduga kondisinya lebih rentan dan rawan patah saat penanaman, sehingga tanaman justru memerlukan waktu yang lebih lama untuk muncul ke permukaan (Senjayani, 2001 cit. Arifin et al, 2014).

Dormansi umbi kentang disebabkan oleh faktor internal dan ekternal umbi

yang berpengaruh pada kandungan relatif hormon-hormon dalam kuncup atau

mata tunas yang menentukan pembentukan dan mengakhiri masa dormansi

(Zelleke dan Kliwer, 1989 cit. Gosal et al, 2008). Penyebab utama dormansi

adalah inhibitor-ß kompleks. Komponen yang paling banyak pada inhibitor-ß

kompleks adalah asam absisi (ABA). Masa dormansi kentang dapat dihubungkan

(29)

14

dengan rendahnya kandungan gibberellin dalam umbi. Hasil penelitian yang yang didasarkan pada analisis cairan xylem tanaman Peach dan tunas-tunas Appel, konsentrasi asam absisi (ABA) dalam cairan xylem 10 kali lebih tinggi selama dormansi daripada selama periode pertumbuhan (Wattimena, 1988). Sebaliknya apabila inhibitor-ß konsentrasinya rendah atau konsentrasi giberellin tinggi dalam umbi kentang maka akan terjadi pertumbuhan tunas. Peningkatan asam giberellin menyebabkan terjadinya pertumbuhan karena pengaruh asam absisi (ABA) ditutupi oleh nisbah giberellin dengan asam absici (ABA) tinggi (Gardner et al, 1985 cit. Gosal et al, 2008).

Varietas kentang yang berbeda akan mempengaruhi umur dormansi dan perkembangan fisiologi. Ada 5 tahap perkembangan fisiologi umbi kentang mulai dari umbi bertunas, membentuk tanaman, induksi dan pertumbuhan stolon, pembentukan umbi dan pemasakan umbi. Varietas kentang yang berbeda akan mempengaruhi umur dormansi dan perkembangan fisiologi. Ada 5 tahap perkembangan fisiologi umbi kentang mulai dari umbi bertunas, membentuk tanaman, induksi dan pertumbuhan setolon, pembentukan umbi dan pemasakan umbi. Masa pemasakan umbi akan mempengaruhi waktu panen umbi (Rowe, 1993 cit. Jufri, 2011).

Dormansi memiliki keuntungan dan kekurangan dalam musim tanam.

Dormansi dapat mempertahankan umur umbi lebih lama, dapat mencegah pertunasan di lapangan dan merupakan mekanisme untuk mempertahankan hidup.

Kekurangan dari dormansi yaitu umbi kentang tidak dapat ditanam sepanjang

tahun, dan membutuhkan waktu yang lama untuk bertunas sehingga dibutuhkan

(30)

15

cara untuk mematahkan sifat dormansi pada umbi kentang (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Umbi kentang memiliki masa dormansi dan membutuhkan waktu untuk bertunas. Lama dormansi tergantung varietas, cuaca, keadaan saat tanam, umur umbi ketika panen dan kondisi gudang penyimpanan. Kondisi gudang penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan selama umbi mengalami masa dormansi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama penyimpanan umbi yaitu suhu, kelembaban dan sirkulasi udara pada gudang.

Suhu yang rendah selama penyimpanan dapat memperpanjang umur fisiologis dan meningkatkan produksi (Sahat et al, 1989).

Penyimpanan bibit kentang dengan suhu di bawah 20

o

C akan merusak pertumbuhan tunas sedangkan penyimpanan umbi pada suhu tinggi (18

o

-25

o

C) dapat mempercepat pertunasan. Kelembaban gudang yang baik untuk pembibitan yaitu sekitar 75-90%. Kelembaban yang terlalu kering akan menyebabkan besarnya kehilangan bobot pada umbi, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi dapat mempermudah pengembunan yang menyebabkan umbi lembab dan akan mengalami pembusukan. Sirkulasi udara gudang yang baik akan mencegah infeksi hama dan penyakit pada umbi. Sirkulasi udara pada gudang dapat dijaga dengan tidak menumpuk umbi terlalu padat (Jufri, 2011).

Sitokinin

Secara alami Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam organ tubuh tanaman

telah ada dalam jumlah sedikit dan ZPT yang aktif dalam jaringan tanaman akan

ditransformasikan ke dalam seluruh bagian tanaman sehingga mempengaruhi

pertumbuhan atau proses-proses fisiologis tanaman (Djamhari, 2010). Salah satu

(31)

16

jenis hormon yang sering digunakan adalah sitokinin. Sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis (Karjadi dan Buchory, 2008).

Peranan sitokinin terutama pada pertumbuhan sel dan diferensiasi sel, juga berperan pada dominansi apikal, pertumbuhan tunas, mengaktifkan gen serta aktifitas metabolis secara umum, mendorong perkecambahan dan proses penguningan daun. Sitokinin diketahui juga berperan dalam banyak metabolisme tanaman. Sitokinin banyak diaplikasikan ke tanaman untuk meningkatkan produksi tanaman (Zein, 2016). Dalam Samanhudi (2008), mengemukakan bahwa dormansi umbi dapat dipatahkan dengan aplikasi hormone secara eksogen. Salah satu hormon yang dapat mematahkan dormansi tersebut adalah sitokinin.

Dalam proses perkecambahan, fase awal yang terjadi adalah adanya imbibisi air yang selanjutnya diikuti dengan reaktivasi hormon dan enzim yaitu enzim-enzim hidrolisis seperti α-amilase, protease, ribonuklease, β-glukonase, dan fosfatase. Enzim-enzim ini akan berdifusi ke dalam endosperma dan mengakatalisis bahan makanan cadangan di dalam endosperma menjadi gula terlarut, asam amino, dan nukleosida yang mendukung tumbuhnya embrio selama perkecambahan dan pertumbuhan kecambah, maka berlangsunglah proses perombakan di dalam jaringan cadangan makanan. Hormon sitokinin akan membantu mempercepat penguraian karbohidrat menjadi gula terlarut.

Peningkatan aktivitas sitokinin endogen ini akan disertai dengan menurunnya

asam absisat (ABA) sebagai penghambat perkecambahan benih. Hasil perombakan

tersebut ditranslokasikan ke titik tumbuh daerah meristematik yang dapat

merangsang pembelahan, pembesaran dan pertumbuhan sel-sel baru. Selanjutnya

(32)

17

muncullah radikel dan plumula. Salah satu indikator pertumbuhan pada tanaman yang mengalami fase dormansi adalah tanaman tidak aktif melakukan pembelahan (Adi et al, 2014). Selama penyimpanan terjadi, pematahan efek dormansi menyebabkan pertunasan yang disebabkan oleh penguraian karbohidrat menjadi gula terlarut (Kazami et al, 2000). Hasil metabolisme digunakan untuk aktivitas meristem yang menyebabkan munculnya tunas.

Penggunaan zat pengatur tumbuh tanaman pada umumnya ditujukan untuk

peningkatan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Benzil amino purin berbahan

aktif sitokinin sintetik. Benzil adenin merupakan salah satu regulator pertumbuhan

alami penting yang digunakan untuk menginduksi karakter pertumbuhan dan

komposisi kimia (Santosa et al, 2013). Jenis sitokinin Benzil Amino Purin

(BAP) merupakan hormone sitokinin yang paling sering digunakan karena sangat

aktif dalam jaringan tanaman seperti pembentukan tunas, merangsang pembelahan

sel, mempertahankan degradasi klorofil. Selain itu pemberian Benzil Amino Purin

(BAP) dengan konsentrasi tertentu dapat meningkatkan pembungaan (persentase

tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel), viabilitas, dan jumlah serbuk sari,

serta persentase benih bernas. Konsentrasi BAP yang optimum untuk

menghasilkan produksi benih ialah 37,5 ppm (Rosliani et al, 2012).

(33)

18

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gudang benih UPT. Benih Induk Hortikultura Kutagadung Berastagi, Dinas Tananaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Nopember 2018 sampai dengan Januari 2019.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Benzyl amino purine (BAP) sebagai sumber sitokinin, air, alkohol, fungisida, kertas koran dan benih kentang varietas Granola L kelas Benih Pokok (G1) yang baru dipanen.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, timbangan digital, ember, alat ukur panjang, hygrometer, thermometer, rak benih, alat tulis dan kamera.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, terdiri dari dua faktor yaitu:

Faktor 1: Bobot Benih Kentang (B) B

1

: 25 – 35 g

B

2

: 55 – 65 g B

3

: 85 – 95 g B

4

: 115 – 125 g

Faktor 2: Waktu Perlakuan Perendaman Sitokinin (W)

W

0

: Kontrol (tanpa perendaman sitokinin)

W

1

: 1 HSP (Hari Setelah Panen)

(34)

19

W

2

: 15 HSP W

3

: 30 HSP W

4

: 45 HSP

Konsentrasi sitokinin yang digunakan : 100 mgL

-1

Jumlah ulangan (blok) : 3

Jumlah plot/ulangan : 20

Jumlah plot seluruhnya : 60

Jarak antar blok : 50 cm

Jumlah umbi/plot : 10 umbi

Jumlah umbi/blok : 200 umbi

Jumlah umbi seluruhnya : 600 umbi

Jumlah sampel/plot : 10 umbi

Jumlah sampel seluruhnya : 600 umbi

Waktu perendaman : 1 jam

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model linier sebagai berikut:

Y ij = µ + ɑ i + β j + ( ɑβ )ij + Ԑ ijk i = 1, 2, …, a; j = 1, 2, …, b

Y ij : Hasil Pengamatan pada Blok ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke-i dari faktor perlakuan bobot benih taraf ke-j dari faktor waktu perendaman sitokinin.

µ : Nilai tengah

ɑi : Efek perlakuan bobot benih taraf ke-i

(35)

20

( ɑβ )jk : Interaksi antara perlakuan bobot benih taraf ke-i dan waktu perendaman sitokinin taraf ke-j

Ԑ ijk : Galat dari Blok ke-k, perlakuan bobot benih taraf ke-i dan waktu perendaman Sitonin taraf ke-j

Terhadap sidik ragam yang nyata, dilanjutkan analisi lanjutan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) dengan taraf 5% (Steel dan Torrie, 1995).

Pelaksanaan Penelitian Sterilisasi Gudang Benih

Gudang benih dibersihkan dengan cara disapu dan disiram dengan air bersih kemudian disemprot dengan insektisida jenis Curacron dengan bahan aktif profenofos 500g/l. Hal ini bertujuan mencegah serangan hama gudang.

Persiapan Umbi Kentang

Umbi kentang berasal dari panen benih kentang G1 varietas Granola L yang dipanen 90 hari setelah tanam (HST). Umbi kentang ditimbang dan dipisahkan sesuai dengan perlakuan. Kemudian dicuci dengan air bersih. Umbi kentang direndam selama 1 (satu) jam di dalam larutan sitokinin 100 mgL

-1

sesuai dengan waktu perlakuan. Umbi yang tidak dilakukan perlakuan disimpan dalam rak benih yang telah disesuaikan dengan nomor plot. Umbi kentang yang telah selesai direndam dengan sitokinin disimpan di dalam gudang benih yang telah disterilisasi.

Perendaman Benih dengan Sitokinin

Benih kentang direndam dengan sitokinin 100 mgL

-1

selama 1 (satu) jam

sesuai dengan waktu perlakuan (W).

(36)

21

Parameter Pengamatan

Waktu pematahan dormansi (hari)

Waktu pematahan dormansi ditandai dengan munculnya tunas sepanjang 2 mm pada umbi kentang. Pengamatan dilakukan berdasarkan Rossouw (2008), pematahan dormansi terjadi apabila 80% benih kentang telah tumbuh tunas.

Persentase perkecambahan (%)

Perhitungan persentase perkecambahan dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari setelah perlakuan, dengan menggunakan rumus berikut:

Laju perkecambahan (hari)

Laju perkecambahan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

N1T1 + N2T2 + ... + NxTx Laju perkecambahan =

Total benih yang berkecambah dimana:

N = Jumlah kecambah yang muncul pada satuan waktu tertentu

T = Jumlah waktu awal pengujian sampai dengan akhir dari interval tertentu Jumlah tunas (tunas)

Jumlah tunas dihitung berdasarkan jumlah tunas yang keluar dari setiap benih kentang pada umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari setelah perlakuan.

Panjang tunas (mm)

Panjang tunas dinyatakan dalam milimeter (mm), panjang tunas diukur dari pangkal batang sampai ujung batang pada umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari setelah perlakuan.

Σ benih yang berkecambah

Persentase perkecambahan = x 100%

Σ benih yang dikecambahkan

(37)

22

Bobot tunas (mg)

Bobot tunas diukur dengan alat timbang dan dinyatakan dalam satuan miligram (mg) pada umur 35 hari setelah perlakuan.

Analisis aktivitas enzim α amilase

Analisis aktivitas enzim α amilase dilakukan pada saat awal umbi berkecambah setelah perlakuan. Analisis dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Analisis α amilase diamati berdasarkan metode yang dilakukan oleh Yaldagard et al (2008) dengan beberapa modifikasi.

Dibuat buffer fosfat (BP) pH 7,6 100 mM yang terdiri dari larutan A:

KH

2

PO

4

sebanyak 1,3689 g + 80 ml akuades dan larutan B: K

2

HPO

4

sebanyak 1,7418 gr + 80 ml akuades, kemudian Larutan A + Larutan B lalu ditera menjadi 200 ml. Dibuat buffer ekstrak (BE) yang terdiri dari larutan EDTA 1 mM sebanyak 10 ml dicampurkan dengan buffer fosfat (BP) pH 7,6 sebanyak 50 ml.

Kemudian ditambahkan akuades hingga 100 ml.

Tahap analisis dimulai dengan memotong umbi kentang secara vertikal

sebanyak 3 bagian, selanjutnya yang digunakan sebagai sampel adalah bagian

tengahnya dengan mengiris tipis-tipis. Kemudian ditimbang sampel umbi

sebanyak 0,1 g dan digerus dengan N

2

cair sampai menjadi serbuk. Ditambahkan

PVP sebanyak 0,1 g dan digerus kembali. Kemudian ditambahkan bufer fosfat

(pH 7.6) dan diinkubasi selama 30 menit pada waterbath suhu 30

0

C, dimana

selang setiap 5 menit di vorteks. Selanjutnya disentrifuse pada kecepatan 10.000

rpm dengan suhu 40

0

C selama 20 menit. Supernatan yang didapat setelah proses

sentrifugasi dijadikan sebagai substrat sampel.

(38)

23

Substrat sampel berupa larutan pati dengan variasi konsentrasi 10 mg/mL dan 20 mg/mL masing-masing sebanyak 5 ml, dan dicampurkan. Kemudian diambil enzim α-amilase Liquozyme supra sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam 7 mL campuran sampel tadi. Larutan kemudian diinkubasikan dalam inkubator pada temperatur 37

o

C selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan HCl 1 N sebanyak 1 mL. Konsentrasi pati tersisa dalam larutan diukur secara tidak langsung melalui pengukuran nilai absorbansi larutan yang telah dicampur larutan iodin 1 mL. Larutan iodin disiapkan dengan melarutkan 5 gram KI dan 500 mg I dalam air 100 mL untuk diencerkan sebanyak 100 kali. Nilai absorbansi diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm. Konsentrasi yang terbaca kemudian ditentukan dari nilai absorbansi yang terbaca pada kurva kalibrasi. Jika nilai absorbansi tidak terbaca pada kurva kalibrasi, maka sampel diencerkan hingga nilai absorbansi terbaca pada kurva kalibrasi.

dimana:

OD

620

kontrol = nilai absorbansi dari larutan sampel tanpa penambahan enzim α- amilase Liquozyme

OD

620

sampel = nilai absorbansi sampel setelah penambahan enzim α-amilase Liquozyme

OD

620

mg pati = nilai absorbansi yang didapat dari kurva standar t = lamanya waktu inkubasi

V = jumlah volume enzim α-amilase Liquozyme yang digunakan (OD

620

kontrol – OD

620

sampel)

Aktivitas enzim (U/mL) = x 100%

OD

620

mg pati x t x V

(39)

24

Analisis protein

Analisis protein dilakukan pada saat awal umbi berkecambah setelah perlakuan. Analisis dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengujian analisa protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl.

Bahan dihaluskan dan ditimbang sebanyak 1 gram, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl (jika kandungan protein tinggi, misal kedelai, gunakan bahan kurang dari 1 g). Ditambahkan 7,5 g kalium sulfat dan 0,35 g raksa (II) oksida dan 15 ml asam sulfat pekat. Dipanaskan semua bahan dalam labu Kjeldahl dalam lemari asam sampai berhenti berasap dan teruskan pemanasan sampai mendidih hingga menjadi jernih. Ditambahkan pemanasan ± 30 menit, dan dibiarkan sampai dingin. Ditambahkan 100 ml aquadest ke dalam labu Kjeldahl yang didinginkan dalam air es dan beberapa lempeng Zn, ditambahkan 15 ml larutan kalium sulfat 4% (dalam air) dan terakhir tambahkan perlahan-lahan larutan NaOH 50% yang telah didinginkan dalam lemari es. Dipasang labu Kjeldahl dengan segera pada alat destilasi. Dipanaskan labu Kjeldahl perlahan-lahan sampai dua lapis cairan tercampur, kemudian dipanaskan dengan cepat hingga mendidih.

Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi larutan baku HCl 0,1 N sebanyak 50 ml dan ditambah indikator MR 0,1% b/v (dalam etanol 95%) sebanyak 5 tetes, ujung pipa kaca destilator dipastikan masuk ke dalam larutan HCl 0,1 N. Proses destilasi selesai apabila destilat yang ditampung ± 75 ml. Sisa larutan HCl 0,1 N yang tidak bereaksi dengan destilat dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N.

Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari merah menjadi

kuning. Dilakukan titrasi blanko.

(40)

25

Kadar protein dihitung dengan persamaan berikut :

dimana:

%N : 16

fk : faktor konversi

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi

(41)

26

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Waktu Pematahan Dormansi (hari)

Data pengamatan waktu pematahan dormansi (lama waktu bertunas) umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 3-4. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap waktu pematahan dormansi umbi benih kentang.

Rataan waktu pematahan dormansi umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin terhadap waktu pematahan dormansi umbi benih kentang

Bobot Umbi (B)

Waktu Perlakuan Perendaman Sitokinin (W)

Rataan W0

(Kontrol)

W1 (1 HSP)

W2 (15 HSP)

W3 (30 HSP)

W4 (45 HSP)

…………. …………. …hari… …………. ………….

B1 (25-35 g) 80,00 a 75,33 bc 74,67 c 74,00 c 69,67 d 74,73 a B2 (55-65 g) 77,67 ab 70,00 d 67,33 de 64,67 fg 64,33 fg 68,80 b B3 (85-95 g) 69,67 d 65,67 ef 62,33 g 57,67 h 59,33 h 62,93 c B4 (115-125 g) 68,00 de 63,33 fg 59,33 h 57,67 h 55,00 i 60,67 d Rataan 73,83 a 68,58 b 65,92 c 63,50 cd 62,08 d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa waktu pematahan dormansi yang paling cepat adalah pada perlakukan bobot umbi 115-125 g (B4), yaitu 60,67 hari, lebih cepat 14,06 hari dari perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), yaitu 74,73 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot umbi, maka waktu

(42)

27

pematahan dormansi semakin cepat. Hal ini berhubungan dengan kecukupan cadangan energi di dalam umbi untuk perkecambahan.

Waktu perlakuan perendaman umbi benih kentang dengan sitokinin pada 45 HSP (W4) menunjukkan waktu pematahan dormansi tercepat, yaitu 62,08 hari, lebih cepat 11,75 hari dari umbi yang tidak direndam (W0), yaitu 73,83 hari, dan lebih cepat 5,25 hari dari perlakuan perendaman umbi 1 HSP (W1), yaitu 68,58 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman setelah panen, maka waktu pematahan dormansi semakin cepat. Hal ini berhubungan dengan proses fisiologis di dalam benih, dimana benih membutuhkan waktu tertentu untuk berkecambah.

Interaksi perlakuan yang menghasilkan waktu pematahan dormansi tercepat adalah B4W4, yaitu 55 hari yang berbeda nyata dengan pelakuan lainnya.

Waktu pematahan dormansi pada B4W4 lebih cepat 25 hari dari B1W0 (80 hari).

Dengan demikian semakin tinggi bobot umbi dan waktu perendaman sitokinin yang cukup lama setelah dipanen, memberikan waktu pematahan dormansi tercepat.

Persentase Perkecambahan (%)

Data pengamatan persentase perkecambahan umbi benih kentang akibat

perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin pada

pengamatan umur 7, 14, 21, 28 dan 35 hari serta sidik ragamnya disajikan pada

Lampiran 5-19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan bobot

umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin serta interaksi kedua perlakuan

berpengaruh signifikan terhadap persentase perkecambahan umbi benih kentang.

(43)

28

Rataan persentase perkecambahan umbi benih kentang akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata persentase perkecambahan umbi benih kentang pada setiap waktu pengamatan akibat perbedaan bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin

Hari Setelah Perlakuan

Bobot (B)

Waktu Perlakuan Perendaman Sitokinin (W)

Rataan W0

(Kontrol)

W1 (1 HSP)

W2 (15 HSP)

W3 (30 HSP)

W4 (45 HSP)

………. ……… .…%….. ………. ……….

7

B1 (25-35 g) 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 c B2 (55-65 g) 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 c B3 (85-95 g) 0,00 d 0,00 d 0,00 d 46,67 c 56,67 bc 20,67 b B4 (115-125 g) 0,00 d 0,00 d 66,67 b 66,67 b 76,67 a 42,00 a Rataan 0,00 d 0,00 d 16,67 c 28,33 b 33,33 a

14

B1 (25-35 g) 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d 0,00 d B2 (55-65 g) 0,00 d 0,00 d 26,67 c 23,33 c 33,33 c 16,67 c B3 (85-95 g) 0,00 d 33,33 c 30,00 c 93,33 a 96,67 a 50,67 b B4 (115-125 g) 0,00 d 53,33 b 96,67 a 100,0 a 100,0 a 70,00 a Rataan 0,00 d 21,67 c 38,33 b 54,17 ab 57,50 a

21

B1 (25-35 g) 0,00 e 33,33 d 23,33 d 23,33 d 33,33 d 22,67 d B2 (55-65 g) 0,00 e 23,33 d 76,67 b 83,33 b 86,67 ab 54,00 c B3 (85-95 g) 33,33 d 100,0 a 86,67 ab 100,0 a 100,0 a 84,00 b B4 (115-125 g) 63,33 c 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 92,67 a Rataan 24,17 d 64,17 c 71,67 b 76,67 ab 80,00 a

28

B1 (25-35 g) 30,00 e 60,00 c 70,00 b 76,67 b 96,67 a 66,67 c B2 (55-65 g) 33,33 d 93,33 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 85,33 b B3 (85-95 g) 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a B4 (115-125 g) 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a Rataan 65,83 d 88,33 c 92,50 b 94,17 b 99,17 a

35

B1 (25-35 g) 80,00 c 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 96,00 b B2 (55-65 g) 86,67 b 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 97,33 b B3 (85-95 g) 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a B4 (115-125 g) 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a Rataan 91,67 b 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan yang sama berbeda tidak nyata oleh uji Beda Rata-rata Duncan pada =5%.

HSP = Hari Setelah Panen

(44)

29

Data pengamatan pada hari ke 7 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 42,00% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 33,33% yang berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1, W2 dan W3. Interaksi bobot umbi dan waktu perlakuan perendaman sitokinin menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada pelakuan bobot benih 115-125 g dan perendaman sitokinin 45 HSP (B4W4) yaitu 76,67% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1-4W0, B1-4W1, B1-3W2, B1-2W3 dan B1- 2W4, dimana belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 14 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu, 70,00% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 57,50% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan W3 dan berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1 dan W2. Interaksi perlakuan B4W3 dan B4W4 sudah mencapai persentase perkecambahan 100%, sedangkan pada perlakuan B1-4W0, B1-2W1, B1W2, B1W3 dan B1W4 masih belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 21 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 115-125 g (B4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu, 92,67% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2 dan B3.

Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase

(45)

30

perkecambahan tertinggi yaitu 80,00% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan W3 namun berbeda nyata dengan perlakuan W0, W1 dan W3. Interaksi perlakuan B3W1, B4W1, B4W2, B3W3, B4W3, B3W4 dan B4W4 sudah mencapai persentase perkecambahan 100%, namun pada perlakuan B1W0 dan B2W0 masih belum terdapat umbi yang berkecambah (persentase perkecambahan masih 0%).

Data pengamatan hari ke 28 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 85-95 g (B3) dan 115-125 g (B4) sudah mencapai persentase perkecambahan 100% yang berbeda nyata dengan perlakuan B1 dan B2. Waktu perlakuan perendaman sitokinin 45 HSP (W4) menghasilkan persentase perkecambahan tertinggi yaitu 99,17% yang berbeda nyata dengan interaksi perlakuan lainnya. Hampir semua interaksi perlakuan sudah menghasilkan perkecambahan.

Data pengamatan hari ke 35 setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan bobot umbi 85-95 g (B3) dan 115-125 g (B4) sudah mencapai persentase perkecambahan 100% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan B2 namun berbeda nyata dengan perlakuan B1. Waktu perlakuan perendaman sitokinin W1, W2, W3 dan W4 menghasilkan persentase perkecambahan mencapai 100%, berbeda dengan tanpa perlakuan perendaman sitokinin (W0) yaitu 91,67%. Hampir semua interaksi perlakuan menghasilkan persentase perkecambahan sebesar 100%, kecuali perlakuan B2W0 sebesar 86,67% dan B1W0 sebesar 80%.

Perkembangan persentase perkecambahan pada setiap umur pengamatan

akibat perlakuan bobot umbi digambarkan sebagai berikut.

(46)

31

Gambar 1. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Umbi Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Gambar 1 memperlihatkan persentase perkecambahan terus meningkat pada setiap umur pengamatan pada setiap perlakuan. Khusus pada perlakukan bobot umbi 25-35 g (B1), perkecambahan dimulai setelah pengamatan umur 7 hari setelah perlakuan (HSP), selanjutnya pada perlakuan B3 dan B4, perkecambahan telah mencapai 100 % pada pengamatan 28 hari.

Gambar 2. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Kentang akibat Perlakuan Waktu Perendaman Sitokinin pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

0 20 40 60 80 100 120

0 10 20 30 40

B1 (25-35 g) B2 (55-65 g) B3 (85-95 g) B4 (115-125 g)

0 20 40 60 80 100 120

0 10 20 30 40

W0 (Kontrol) W1 (1 HSP) W2 (15 HSP) W3 (30 HSP) W4 (45 HSP)

P er se n ta se P er k e ca m b ah an ( % )

Pengamatan (hari)

P er se n ta se P er k e ca m b ah an ( % )

Pengamatan (hari)

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Persentase Perkecambahan Benih Umbi Kentang akibat  Perlakuan Bobot Umbi pada Pengamatan 7 s/d 35 hari
Gambar 3. Perkembangan Jumlah Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi  pada Pengamatan 7 s/d 35 hari
Gambar 5. Perkembangan Panjang Tunas Kentang akibat Perlakuan Bobot Umbi  pada Pengamatan 7 s/d 35 hari

Referensi

Dokumen terkait

In control and hypercholesterolemic rabbits treated with 17b- estradiol, charybdotoxin alone or with apamin or glibenclamide suppressed this indomethacin- and L -

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Pemanfaatan Teknologi Informasi, Dan Pengendalian Intern Akuntansi Terhadap Nilai Informasi Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah (Studi

Terjadinya pendangkalan di kolam Pelabuhan Jetty Pertamina dan abrasi pantai di sekitar perairan Pertamina Balongan diakibatkan terganggunya gerak aliran arus sejajar pantai dan

Vitamin E juga melindungi β-kroten dari oksidasi (Gunawan, 2007), fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan hidrogen dari

Sebuah situs harus memiliki database yang dapat menjaga integritas keutuhan data sehingga bila terjadi sesuatu data tetap dapat diakses; (3) situs harus dapat mengembalikan

Standar biaya perolehan salinan informasi TNI di lingkungan Tentara Nasional Indonesia tersebut akan dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dan pembahasan pada pembelajaran IPA materi Perubahan Kenampakan Bumi dengan menggunakan model pembelajaran

Hal ini dikarenakan, pada diameter 10 mm, pitch atau spasi antar pin fin semakin besar sehingga menyebabkan interaksi perpindahan panas antar pin fin menjadi berkurang, akibatnya