• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Produk Olahan Suweg

Pengolahan umbi suweg menjadi produk olahan yang dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan metode pengolahan yang umum dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal oleh masyarakat adalah pengukusan dan perebusan, namun pada penelitian ini dilakukan pula dengan metode penggorengan. Sebelum pembuatan produk olahan, umbi suweg dicuci, dikupas dan dipotong dadu 2 x 2 cm terlebih dahulu agar diperoleh ukuran yang homogen dan merata. Pengolahan umbi suweg dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengolahan yang berbeda, yaitu: perebusan (suweg rebus), pengukusan (suweg kukus), dan penggorengan (suweg goreng). Berikut gambar produk olahan umbi suweg:

Gambar 3 Berbagai produk olahan suweg

Perbedaan metode pengolahan pada produk suweg membuat terjadinya proses fisiko kimia yang berbeda pula pada masing-masing produk olahan. Pengolahan menggunakan metode perebusan dengan bahan pangan yang direndam air dalam jumlah yang relatif banyak dan mengalami pemanasan menggunakan suhu yang tinggi (mendidih). Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan suweg dimasukkan ke dalam air saat air sudah mendidih. Proses perebusan untuk umbi suweg ini dilakukan selama 23 menit. Waktu ini merupakan waktu yang diperlukan agar suweg

Suweg Mentah Suweg Rebus

benar-benar matang dengan kriteria warna umbi menjadi bkuning muda dan memiliki tekstur yang lebih lunak.

Metode pengukusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan air panas atau uap air panas sebagai media penghantar panas. Bahan pangan tidak dimasukkan ke dalam air. Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Dalam proses pengukusan sebisa mungkin diupayakan agar tidak terjadi penumpukan bahan. Bila bahan pangan tertumpuk akan mengalami proses pematangan yang kurang merata. Pada bagian luar tumpukan akan mengalami pematangan lebih dahulu dibandingkan bagian dalam, sehingga mengakibatkan perbedaan dalam tekstur pangan olahan. Proses pengukusan pada bahan pangan umbi suweg dilakukan selama 22 menit. Ciri-ciri suweg kukus yang telah matang antara lain suweg berubah warna menjadi kuning pucat dan warna kemerahan tak lagi Nampak dan memiliki tekstur yang lunak.

Prinsip pengolahan dengan metode penggorengan adalah proses pamasakan bahan yang direndam dalam minyak dan menggunakan suhu yang relatif tinggi. Minyak yang digunakan adalah sebanyak 200 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak saat minyak sudah benar-benar memiliki suhu yang cukup panas. Bila minyak belum cukup panas dapat mengakibat bahan menyerap minyak lebih banyak karena memerlukan waktu pamasakan yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi karena semakin luas permukaan suweg yang berhadapan dengan minyak sawit. Suweg goreng memiliki cita rasa yang lebih gurih dan mengandung kalori yang lebih tinggi. Proses penggorengan pada suweg dilakukan selama 5 menit. Suweg goreng yang telah matang memiliki warna kuning keemasan menyerupain kentang goreng dan memiliki tekstur yang lunak.

Komposisi Zat Gizi Produk Olahan Suweg

Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), proses pengolahan dapat mengubah struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan analisis komposisi zat gizi umbi suweg mentah dan produk olahan umbi suweg, antara lain uji proksimat, total serat pangan dan karbohidrat by difference (melalui perhitungan). Hasil analisis komposisi zat gizi suweg mentah dan ketiga produk olahan umbi suweg yang menggambarkan pengaruh proses pengolahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji proksimat dan serat pangan total pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng.

Sampel Basis

Kadar

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

by difference Total Serat pangan KH tersedia Suweg mentah %b/b 79.32 2.03 1.00 0.23 17.43 9.04 8.40 %b/k 9.83 4.81 1.11 84.28 43.69 Suweg kukus %b/b 73.61 1.77 1.42 0.07 23.08 7.66 15.43 %b/k 6.70 5.38 0.27 87.47 29.02 Suweg rebus %b/b 80.25 1.24 1.12 0.08 17.35 6.91 10.44 %b/k 6.27 5.67 0.39 87.87 34.99 Suweg goreng %b/b 55.92 2.49 1.73 5.03 34.83 11.28 23.56 %b/k 5.65 3.92 11.41 79.03 25.58

Keterangan: b/b= basis basah b/k= basis kering Kadar Air

Tabel 4 menunjukkan hasil analisis proksimat air merupakan komponen terbesar yang ada pada masing-masing sampel. Terjadi perubahan kadar air dari suweg mentah menjadi suweg yang telah mengalami tahap pengolahan. Hasil analisis kandungan air suweg mentah dan ketiga produk olahan suweg disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kadar air (%b/b) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng

Suweg yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar air yang lebih rendah dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi serta penggunaan minyak sebagai media penghantar panas yang memungkinkan banyak kandungan air dari bahan pangan yang menguap. Sebaliknya terjadi pada suweg dengan metode pengolahan direbus. Suweg rebus memiliki kadar air yang lebih tinggi dari suweg mentah, karena suweg rebus dihasilkan melalui pemasakan dengan menggunakan media penghantar panas adalah air. Hal ini memungkinkan air terserap lebih banyak oleh suweg yang direbus. Kandungan air tertinggi pada suweg rebus yaitu sebesar 80.25%, dan terendah pada suweg goreng dengan nilai 55.92%. Hal serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2010) pada produk olahan sukun dengan kadar air sukun rebus sebesar 79.91%, sukun kukus 71.75%, dan sukun goreng sebesar 54.01%.

Kadar Abu

Abu merupakan zat anorganik dari sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral yang terkandung pada suatu bahan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral suatu bahan tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya. Hasil analisis kadar abu pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kadar abu (% b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui proses pengolahan mengakibatkan kecenderungan berubahnya kadar abu. Berkurangnya kadar abu terbesar terjadi pada suweg yang diolah dengan metode penggorengan yaitu dengan kadar abu sebesar 5.65%, yang pada mulanya suweg mentah memiliki kadar abu sebesar 9.83%. Kadar abu menggambarkan banyaknya zat anorganik atau mineral dalam bahan pangan tersebut.

Kadar Protein

Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl. Metode ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Hasil analisis tersebut dikali dengan angka konversi 6.25 untuk memperoleh kadar protein dalam bahan makanan tersebut. Angka 6.25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Namun cara ini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein (Winarno 1997).

Protein merupakan zat gizi yang digunakan sebagai zat pembangun dan disamping itu juga sebagai sumber energi bagi tubuh. Kandungan protein dalam bahan pangan berbeda-beda. Hasil analisis kadar protein suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kadar Protein (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Kandungan protein dalam basis kering dari keempat produk berkisar 3.92%- 23.11%. Hasil analisis produk olahan suweg menunjukkan kadar yang

cenderung lebih tinggi pada produk olahan suweg kukus dan suweg rebus, sedangkan pada suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah. Menurut Palupi et.al (2007), proses pemanasan bahan pangan kacang-kacangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.

Kadar protein tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan yaitu sebesar 5.67%. Suweg goreng memiliki kadar protein terendah sebesar 3.92%. Suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah karena penggunaan suhu yang lebih tinggi dibandingkan produk olahan yang lain diduga menyebabkan terjadi denaturasi protein selama proses pengolahan. Demikian pula seperti hasil penelitian Rasdiyanti (2011) pada produk olahan sukun, kadar protein sukun rebus yang tertinggi (3.20%), kemudian sukun kukus (2,11), dan sukun goreng dengan kadar protein terendah (1.22%). Hasil penelitian Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa kadar protein jagung manis rebus lebih tinggi (19.69%) daripada jagung manis tumis (15.16%).

Kadar Lemak

Lemak merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan degan kandungan yang berbeda-beda. Hasil analisis kadar lemak pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kadar Lemak (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Hasil analisis kandungan lemak pada empat produk olahan suweg menunjukkan perubahan kadar lemak dari suweg mentah menjadi suweg yang telah melalui tahap pengolahan. Suweg kukus dan suweg rebus memiliki kadar lemak yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah, karena lemak yang terdapat pada bahan ke luar selama proses pemanasan.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Palupi et.al (2007), bahwa pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin besar. Suweg goreng memiliki kadar lemak yang cenderung lebih tinggi dari suweg mentah karena penggunaan minyak sebagai media penghantar panas, yang memungkinkan terjadi penyerapan minyak ke dalam suweg yang digoreng. Kadar lemak tertinggi terdapat pada suweg goreng yaitu sebesar 11.41%. suweg kukus memiliki kadar lemak terendah yaitu sebesar 1.11%. Kecenderungan serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2011) yang menunjukkan bahwa sukun goreng memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (20.07%) dibandingkan dengan produk olahan sukun lainnya yaitu sukun rebus (0.73%) dan sukun kukus (0.61%). Selanjutnya penelitian Wijayanti (2010) memberikan data bahwa jagung manis tumis memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (40.41%) daripada jagung manis rebus (9.89%). Pada penelitian Rasdiyanti (2011) dan Wijayanti (2010) tersebut dapat dilihat bahwa pada bahan yang diolah dengan menggunakan minyak sebagai penghantar panas memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi.

Kadar Karbohidrat (by difference)

Analisis kadar karbohidrat suatu bahan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satu metode yang sering digunakan adalah pengukuran karbohidrat by difference. Metode ini merupakan pengukuran kadar karbohidrat dengan menggunakan perhitungan. Winarno (1997) menyatakan bahwa karbohidrat by difference merupakan penentuan karbohidrat secara kasar dan di dalamnya masih termasuk kandungan kadar serat kasar bahan pangan. Kadar karbohidrat by difference merupakan pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar karbohidrat sangat dipengaruhi

oleh kadar zat gizi lainnya. Berikut adalah perhitungan metode analisis karbohidrat by difference:

Hasil analisis karbohidrat by difference suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Kadar karbohidrat by difference (%bk) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Hasil analisis kadar karbohidrat by difference menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar karbohidrat by difference dari masing-masing pengolahan. Suweg kukus (87.47%) memiliki kadar karbohidrat by difference yang relatif lebih tinggi dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan berkurangnya kadar air, abu, dan lemak akibat proses pengolahan dengan metode pengukusan. Kadar karbohidrat

by difference pada suweg rebus paling tinggi, karena memiliki kadar abu dan lemak yang lebih rendah. Kadar karbohidrat by difference terendah pada suweg goreng yang diperkirakan karena memiliki kadar lemak yang sangat tinggi akibat dari penyerapan minyak oleh bahan pangan tersebut. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar karbohidrat paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan.

Kadar Serat Pangan Total

Serat pangan (dietary fiber) merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat

pangan berbeda dengan serat kasar. Serat kasar merupakan fraksi dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam kuat dan basa kuat dengan pemanasan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida. Serat kasar juga merupakan kumpulan dari semua serat yang tidak bisa dicerna oleh tubuh, komponen dari serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin dan komponen-komponen lainnya.

Serat pangan total (TDF atau Total Dietary Fiber) terdiri atas komponen serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air: etanol dengan perbandingan 1:4. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah non komponen struktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berupa gum dan pelitin (misalnya pelitin kulit jeruk dan apel) (Sudarmadji et al. 1996). Hasil analisis serat suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Kadar serat pangan (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Kadar serat pangan total merupakan penjumlahan dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Hasil analisis kadar serat pangan menunjukkan

kecenderungan perubahan kadar serat setelah pengolahan bila dibandingkan dengan suweg yang masih mentah (43.69%). Semua produk olahan memiliki kadar yang relatif lebih rendah dari suweg mentah walaupun dalam jumlah yang berbeda-beda. Kadar serat pangan total tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan. Kadar serat pangan tidak larut untuk berbagai produk olahan suweg berkisar antara 19.47% hingga 27.06%, sedangkan serat pangan larut berkisar antara 6.12% hingga 11.72%. Kadar serat pangan tidak larut dan larut tertinggi terdapat pada suweg rebus. Hal serupa diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar serat (16.5%) paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan (30.47%) dan pengukusan (25.76%).

Derajat Gelatinisasi Pati Produk Olahan Suweg

Selain analisis proksimat dan kadar serat, dilakukan pula analisis derajat gelatinisasi pati. Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik seperti yang disampaikan oleh Rimbawan dan Siagian (2004). Hasil analisis derajat gelatinisasi pada produk suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Derajat gelatinisasi pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng

Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan metode IRRI (1978). Prinsip metode tersebut adalah reduksi pati oleh iod dalam suasana asam yang ditandai dengan warna nila. Penggunaan NaOH dalam metode ini ditujukan untuk menghidrolisis pati menjadi gula sederhana. HCl berfungsi untuk membuat suasana menjadi asam agar terjadi proses reduksi dari KI menjadi HI (Fardiaz 1984).

Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1999). Granula pati disuspensikan dalam air kemudian dipanaskan, granula akan menyerap air, jika dipanaskan secara kontinyu maka ikatan hidrogen granula akan melemah dan secara bertahap granula pati mulai mengembang. Pengembangan granula pati terjadi secara terus menerus sampai pecah sehingga terjadi perubahan yang tak dapat balik (irreversible). Granula pati kehilangan sifat-sifat yang dimilikinya dan terjadi proses gelatinisasi. Tingkat atau derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati.

Hasil analisis derajat gelatinisasi menunjukkan adanya perubahan derajat gelatinisasi pada masing-masing metode pengolahan. Suweg kukus memiliki nilai derajat gelatinisasi sebesar 68.87%. Suweg rebus memiliki derajat gelatinisasi cenderung lebih tinggi yaitu 83.38%. Hal ini mungkin disebabkan karena selama pemasakan digunakan air sebagai penghantar panas, sehingga air dan panas mengakibatkan perbesaran granula pati. Suweg goreng memiliki derajat gelatinisasi yang paling kecil diantara semua produk, karena proses pemasakannya yang lebih singkat dan karena penggunaan minyak sebagai penghantar panas sehingga air yang dapat digunakan untuk proses gelatinisasi hanya terbatas pada kandungan air yang terdapat pada suweg itu sendiri. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki derajat gelatinisasi paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan.

Pati dalam pangan mentah berada dalam bentuk granula yang tersusun rapat, hal ini yang mengakibatkan pangan mentah sulit dicerna. Oleh karena itu diperlukan pemasakan sebelum dikonsumsi, agar terjadi pembesaran granula

pati. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah untuk dicerna karena anzim pencerna pati dalam usus halus memperoleh permukaan lebih luas untuk kontak dengan molekul pati. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan dan Siagian 2004).

Kadar Amilosa dan Amilopektin

Pati tersusun dari dua molekul yang berbeda karakter yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin dalam pati akan menentukan sifat pati secara keseluruhan. Amilosa yang merupakan rantai lurus polimer glukosa berkontribusi terhadap sifat pembentukan gel sistem pati yang dipanaskan dan didinginkan, sedangkan amilopektin yang rantainya bercabang lebih berpengaruh terhadap kekentalan (Parker 2003).

Kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar <10%, kadar amilosa rendah 10-20%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003). Kandungan amilosa dalam bahan pangan sumber karbohidrat menentukan karakter produk hasil olahannya, salah satunya adalah beras. Kadar amilosa pada beras akan menentukan sifat kepulenan yang dihasilkan, beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang lebih pulen dibandingkan beras beramilosa tinggi. Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Kadar total pati, amilosa, amilopektin (%b/k) pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.

Total pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Pada produk olahan suweg memiliki total pati 49.37%- 51.59%. Suweg goreng memiliki total pati terendah dan suweg rebus tertinggi. Menurut data dan perhitungan hasil analisis kadar amilosa pada suweg kukus 2.95% pati, suweg rebus 4.74% pati, dan suweg goreng 0.62% pati. Suweg goreng memiliki kadar amilosa terendah dan suweg rebus memiliki kadar amilosa tertinggi. Berdasarkan data yang diperoleh suweg termasuk dalam kategori kadar amilosa sangat rendah. Hal ini kurang sesuai dengan data yang diperoleh Mukhis (2003) bahwa kadar amilosa suweg sebesar 8.38% pati dan hasil penelitian Utami (2008) sebesar 15.92% pati, yang tergolong sebagai bahan pangan berkadar amilosa rendah. Setelah dikonversi menjadi kadar amilosa umbi segar dapat dilihat pada Gambar 11, diperoleh hasil kadar amilosa suweg kukus sebesar 1.5%, suweg rebus 2.44%, dan suweg goreng sebesar 0.30%. hal ini sesuai dengan hasil penelitian Utami (2008) bahwa kadar amilosa umbi suweg sebesar 1.49%.

Kadar amilopektin masing-masing jenis ditentukan secara by difference,

yaitu mengurangi nilai 100% dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin produk olahan suweg kukus sebesar 97.05% pati, suweg rebus 95.26% pati, dan suweg goreng sebesar 99.38% pati. Selanjutnya hasil konversi umbi segar diperoleh kadar amilopektin suweg kukus sebesar 49.32%, suweg rebus 49.10%, dan suweg goreng sebesar 49.06%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2008) diperoleh kadar amilopektin umbi suweg sebesar 84.08% pati, sedangkan kadar amilopektin umbi suweg segar sebesar 7.87%. Terdapat perbedaan kadar amilosa dan amilopektin pada hasil analisis dan penelitian sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan varietas umbi suweg yang digunakan.

Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg Subjek Penelitian

Perekrutan subjek penelitian dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi kepada beberapa mahasiswa Departement Gizi Masyarakat, IPB. Kemudian subjek yang berminat diberikan kuesioner untuk diisi dan dilakukan wawancara mengenai riwayat kesehatan individu maupun keluarganya. Calon subjek penelitian diukur berat badan, tinggi badan dan tekanan darah pada saat wawancara.

Nilai indeks glikemik diperoleh melalui perhitungan rata-rata respon kenaikan kadar glukosa darah dari sekurang-kurangnya 10 orang (FAO/ WHO

dalam Udani et.al 2009). Sebanyak sepuluh orang subjek yang diikutsertakan dalam penelitian terdiri dari lima orang laki-laki dan lima orang perempuan. Pemilihan jumlah subjek penelitian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias akibat jenis kelamin. Subjek penelitian kemudian memperoleh intervensi makanan berupa pangan acuan dan pangan uji. Jarak dari setiap pemberian pangan yaitu minimal lima hari. Hal ini bertujuan untuk proses pemulihan kondisi subjek.

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh ini memiliki variasi kadar glukosa darah antar subjek yang lebih kecil dibandingkan dengan diambil dari pembuluh darah vena (Ragnhild et al. 2004). Teknik dalam pengambilan darah prick-test perlu diperhatikan. Menurut Snell (2006) dalam Maulana (2012), secara anatomi aliran darah arteri ulnaris mengalir pada jari kelingking dan arteri radialis mengalir pada ibu jari. Proses pengambilan darah disarankan tidak dilakukan pada jari kelingking dan ibu jari

Dokumen terkait