• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Integrasi Pasar Udang Indonesia – Importir Utama

DAFTAR LAMPIRAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Integrasi Pasar Udang Indonesia – Importir Utama

Analisa Data Deskriptif

Penelitian ini menggunakan data harga ekspor udang segar dan beku di Indonesia, harga impor udang segar di Malaysia, dan harga udang beku di Amerika Serikat. Data yang digunakan merupakan data bulanan dari Januari 2005 hingga Desember 2014. Adapun gambaran mengenai perkembangan harga udang antara Indonesia dan negara importir utama disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24.

Sumber: ITC 2015 (diolah)

Gambar 23 Perkembangan harga udang segar Indonesia dan Malaysia pada Januari 2005-Desember 2014

Berdasarkan Gambar 23, terlihat bahwa harga riil udang segar cenderung berfluktuasi baik di Indonesia maupun di Malaysia. Fluktuasi harga terbesar terjadi pada tahun 2012 hingga 2014. Rata-rata disparitas harga yang terjadi antara kedua negara sebesar US$ 1.55.

Pergerakan harga udang segar Indonesia cenderung mengikuti pergerakan harga di Malaysia. Sebagai negara importir utama udang segar dari Indonesia, Malaysia memiliki market power yang cukup tinggi untuk mempengaruhi pembentukan harga udang segar di Indonesia. Sehingga terlihat bahwa harga udang segar Malaysia dapat ditransmisikan dengan sempurna ke Indonesia.

Sumber: ITC 2015 (diolah)

Gambar 24 Perkembangan harga udang beku Indonesia dan Amerika Serikat pada Januari 2005-Desember 2014

Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa harga riil udang beku cenderung berfluktuasi baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Fluktuasi harga terbesar terjadi pada tahun 2011. Terjadi disparitas harga yang cukup besar dari tahun 2005 hingga 2008 dengan rata-rata perbedaan harga yang terjadi sebesar US$ 2.73. Sedangkan pada periode berikutnya 2009-2014 disparitas harga yang terjadi mengalami penurunan sebesar 32 persen yaitu US$ 1.86.

Harga udang beku lebih tinggi dibandingkan udang segar. Pergerakan harga udang beku Indonesia cenderung mengikuti pergerakan harga di Amerika Serikat. Sebagai negara importir utama udang beku dari Indonesia dan dunia, Amerika Serikat memiliki market power yang cukup tinggi untuk mempengaruhi pembentukan harga udang beku di Indonesia. Sehingga terlihat bahwa harga udang beku Amerika Serikat dapat ditransmisikan dengan sempurna ke Indonesia. Untuk lebih jelasnya dilakukan analisis mengenai integrasi pasar udang Indonesia dengan negara importir utama.

Data harga udang segar dan udang beku Indonesia dengan negara importir utama ditunjukkan dalam satuan US$ per kilogram. Rata-rata harga udang segar Indonesia sebesar US$ 1.27 per kilogram dan udang segar Malaysia sebesar US$

2.83 per kilogram. Rata-rata harga udang beku Indonesia sebesar US$ 7.97 per kilogram dan udang beku Amerika Serikat sebesar US$ 9.13 per kilogram. Tabel 4 Deskripsi statistik dari harga udang segar dan udang beku Indonesia-

importir utama, Januari 2005-Desember 2014

Variabel Obs Harga Udang Logaritma Natural

Mean SD CVa Mean SD CVa Segar Indonesia 120 1.27 1.02 80.29 0.74 0.39 52.78 Segar Malaysia 120 2.83 1.37 48.60 1.29 0.32 25.27 Beku Indonesia 120 7.97 1.90 23.88 2.05 0.21 10.42 Beku Amerika 120 9.13 2.15 23.58 2.19 0.21 9.65 a

koefisien varian (persen)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa harga udang segar lebih bervariasi dibandingkan harga udang beku. Harga udang segar Indonesia memiliki variasi lebih tinggi dibandingkan harga udang lainnya ditandai dengan nilai koefisien varian sebesar 52.78 persen. Hal ini disebabkan karena produksi udang segar yang dipengaruhi oleh musim melaut dan ancaman wabah penyakit. Uji Stasioneritas Data

Sebelum menguji integrasi pasar, terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas data menggunakan uji Augmented Dicky Fuller (ADF) dengan tingkat signifikasi 1 persen. Data dikatakan stasioner apabila nilai t-ADF kurang dari nilai kritis Mackinnon. Pengujian dilakukan hingga first difference. Adapun hasil uji stasioneritas disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji stationeritas data integrasi pasar udang indonesia-importir utama

Variabel Nilai ADF

Level First Difference

P_Segar_Indonesia 0.037 -14.364***

P_Segar_Malaysia -1.135 -14.653***

P_Beku_Indonesia -1.187 -7.978***

P_Beku_Amerika -1.295 -8.026***

***

Stationer pada taraf nyata 1%

Berdasarkan Tabel 5, hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel harga ekspor udang segar Indonesia, harga impor udang segar Malaysia, harga ekspor udang beku Indonesia, harga impor udang beku Amerika Serikat tidak stasioner pada level. Setelah dilakukan pengujian hingga first difference semua variabel yang digunakan telah stasioner maka metode analisis kointegrasi dapat dilanjutkan.

Penentuan Selang Optimal (Optimal Lag)

Penentuan selang optimal sangat penting dilakukan untuk menunjukkan lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya. Penentuan lag optimal juga digunakan untuk menghilangkan autokorelasi dalam sistem VAR. Penentuan lag

diuji berdasarkan beberapa informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-QuinnCriterion (HQ). Adapun hasil pengujian lag optimal disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6 Hasil pengujian lag optimal udang segar

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 -275.693 NA 0.488 4.959 5.007 4.978 1 -148.121 248.309 0.054 2.752 2.898 2.811 2 -132.223 30.378 0.043 2.540 2.782 2.638 3 -121.131 20.797 0.038 2.413 2.753* 2.551 4 -113.749 13.577* 0.036* 2.353* 2.790 2.530* 5 -111.795 3.524 0.037 2.389 2.923 2.606 6 -108.607 5.635 0.038 2.404 3.035 2.660 7 -105.545 5.305 0.039 2.420 3.149 2.716 8 -104.287 2.134 0.041 2.469 3.295 2.804

Ket: * lag optimal

Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa nilai SC terkecil terdapat pada lag ketiga dengan nilai sebesar 2.753. Sehingga lag optimal yang digunakan dalam model integrasi untuk udang segar ini adalah lag tiga.

Tabel 7 Hasil pengujian lag optimal udang beku

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -312.288 NA 0.939 5.612 5.661 5.632 1 -85.732 440.975 0.018 1.638 1.784 1.697 2 -72.977 24.371 0.015 1.482 1.724* 1.580* 3 -67.609 10.065* 0.015* 1.457* 1.797 1.595 4 -65.083 4.646 0.015 1.484 1.921 1.661 5 -61.836 5.857 0.015 1.497 2.031 1.714 6 -60.078 3.108 0.016 1.537 2.168 1.793 7 -60.055 0.038 0.017 1.608 2.336 1.904 8 -59.554 0.850 0.018 1.671 2.496 2.005

Ket: * lag optimal

Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa nilai SC terkecil terdapat pada lag kedua dengan nilai sebesar 1.724. Sehingga lag optimal yang digunakan dalam model integrasi untuk udang beku ini adalah lag dua.

Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan Johansen’s Trace Statistic digunakan untuk mengetahui banyaknya persamaan dalam sistem yang memiliki kointegrasi. Apabila nilai trace statistic lebih dari nilai critical value 5 persen maka terdapat hubungan kointegrasi. Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah kointegrasi diterima. Hasil uji kointegrasi model integrasi udang segar dan udang beku yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji cointegration rank (trace) udang segar Jenis Udang Hypothesized

No. of CE(s) Eigenvalue

Trace Statistic

0.05 Critical

Value Prob.** Udang Segar None ** 0.208 30.394 20.262 0.001

At most 1 0.029 3.377 9.165 0.513 Udang Beku None ** 0.242 32.844 12.321 0.000 At most 1 0.003 0.364 4.130 0.609

**Signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan uji kointegrasi terlihat bahwa model integrasi udang segar dan udang beku yang digunakan dalam penelitian ini juga memiliki satu persamaan kointegrasi. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel harga ekspor udang Indonesia dan harga udang di negara importir. Kointegrasi harga udang segar dan udang beku antara Indonesia dan negara importir tidak cukup untuk membuktikan bahwa pasar udang telah terintegrasi secara sempurna.

Pasar udang yang terintegrasi tidak menjamin terjadinya efisiensi dalam pemasaran. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya perdagangan udang internasional melibatkan kerja sama antara negara eksportir dan importir udang. Salah satunya kerja sama yang terjalin antara Indonesia-Amerika Serikat ditunjukkan dalam Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) (ITPC 2013). Oleh sebab itu, dilakukan analisis lebih lanjut pada transmisi harga. Dengan diketahuinya jumlah persamaan yang terkointegrasi maka tahapan analisis dapat dilanjutkan dengan analisis AECM untuk menguji transmisi harga.

Transmisi Harga Udang Indonesia – Importir Utama Uji Kausalitas

Uji kausalitas dalam transmisi harga digunakan untuk melihat hubungan antara harga udang segar Indonesia-Malaysia dan harga udang beku Indonesia- Amerika Serikat. Uji kausalitas Granger yang digunakan pada penelitian ini melihat perubahan harga udang di Indonesia akan memberikan efek transmisi harga yang berbeda akibat perubahan harga udang di negara importir.

Tabel 9 Hasil uji Granger Causality

Jenis Udang Jumlah Lag

Weak Exogeneity Keterangan Harga 1 Harga 2 H0: π1 = 0 H0: π2 = 0 Udang Segar 3 3.17** 3.81** Malaysia mempengaruhi Indonesia dan Indonesia mempengaruhi Malaysia (PMUSM P↓USI) -0.03 -0.01 Udang Beku 2 6.82*** 30.39*** Amerika mempengaruhi Indonesia dan Indonesia mempengaruhi Amerika

(PMUBA P↓UBI)

-0.00 0.00

Berdasarkan Tabel 9, uji Granger Causality menunjukkan adanya hubungan dua arah antara Indonesia dengan importir udang segar dan udang beku. Untuk udang segar menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada sisi permintaan di negara Malaysia mempengaruhi harga udang segar Indonesia begitu pula sebaliknya perubahan yang terjadi pada sisi penawaran di negara Indonesia juga mempengaruhi harga udang segar Malaysia. Meskipun Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan udang segar di pasar dunia tetapi posisinya cukup dominan bagi Malaysia. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan eksportir terbesar udang segar ke Malaysia setelah Thailand. Indonesia menguasai pasar Malaysia dengan rata-rata pangsa volume ekspor sebesar 24.46 persen dibandingkan dengan dunia selama 10 tahun terakhir. Selain itu, adanya wabah penyakit EMS yang melanda Thailand mendorong Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar akibat menurunnya ekspor udang segar ke Malaysia.

Hal serupa juga terjadi pada udang beku, perubahan sisi permintaan di Amerika Serikat mempengaruhi pembentukan harga udang beku di Indonesia begitu pula sebaliknya perubahan penawaran Indonesia juga mempengaruhi harga udang beku di Amerika Serikat. Indonesia merupakan salah satu eksportir utama udang beku di pasar dunia dan Amerika Serikat. Rata-rata pangsa ekspor udang beku Indonesia menurut volumenya sebesar 10.48 persen di pasar dunia sedangkan pangsanya di Amerika Serikat sebesar 12.68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu mempengaruhi harga udang di pasar internasional.

Hasil Estimasi Asymmetric Error Correction Model (AECM)

Setelah uji kausalitas, langkah selanjutnya adalah menguji asimetri harga yang terjadi pada udang segar dan udang beku antara Indonesia (eksportir) dengan negara importir. Estimasi model asimetri dilakukan dengan menggunakan pendekatan Von Cramon-Taubadel dan Loy. Pengujian menggunakan AECM, asimetri harga dilihat berdasarkan koefisien variabel bebasnya. Jika koefisiennya identik berarti asimetri harga tidak terjadi. Adapun hasilnya disajikan pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10 Hasil estimasi model AECM pada udang segar dan udang beku Indonesia dengan negara importir utama, Januari 2005 – Desember 2014

Udang Segar Udang Beku

P_Malaysia P_Indonesia P_Amerika P_Indonesia P_Indonesia P_Malaysia P_Indonesia P_Amerika

Intercept -0.031 0.110 -0.028 0.097 ∆P_Malaysiat¯ 0.491*** ∆P_Malaysiat-1¯ -0.199 0.063 ∆P_Malaysiat-2¯ -0.108 0.272 ∆P_Malaysiat-3¯ -0.524*** 0.483*** ∆P_Indonesiat¯ 0.809*** 0.419** ∆P_Indonesiat-1¯ 0.219 -0.572** -0.144 0.051 ∆P_Indonesiat-2¯ 0.100 0.041 -0.298 -0.084 ∆P_Indonesiat-3¯ 0.068 -0.646*** ∆P_Malaysiat⁺ 0.148 ∆P_Malaysia t-1⁺ -0.104 -0.017 ∆P_Malaysiat-2⁺ -0.203* -0.220 ∆P_Malaysiat-3⁺ 0.196* 0.094 ∆P_Indonesiat⁺ 0.318** 0.247 ∆P_Indonesiat-1⁺ -0.738*** 0.149 0.541** 0.016 ∆P_Indonesiat-2⁺ 0.097 -0.140 0.210 -0.074 ∆P_Indonesiat-3⁺ 0.482*** 0.004 ∆P_Amerikat¯ 0.483*** ∆P_Amerikat-1¯ 0.385*** 0.189 ∆P_Amerikat-2¯ 0.009 -0.117 ∆P_Amerikat⁺ 0.151 ∆P_Amerikat-1⁺ -0.023 0.260* ∆P_Amerikat-2⁺ -0.103 -0.196 ECT- -0.584*** 0.572** -0.315* 0.738*** ECT+ -0.219 0.540*** -0.289 0.492** R² 0.658 0.453 0.321 0.508 R²-adj 0.604 0.366 0.243 0.452 F-test 1.888 0.009 0.008 0.644 (0.172) (0.926) (0.930) (0.424)

***signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, *signifikan pada taraf nyata 10%

Berdasarkan Tabel 10, hubungan P_Malaysia P_Indonesia terlihat bahwa pada periode t dan t-3 penurunan harga udang segar Malaysia memiliki nilai signifikan pada taraf nyata yang berbeda. Pada periode t, penurunan harga udang segar Malaysia direspon dengan penurunan harga udang segar di Indonesia dengan lamanya penyesuaian harga selama tiga bulan. Sedangkan pada saat kenaikan harga udang segar Malaysia pada periode t direspon dengan kenaikan harga udang segar Malaysia dengan lama penyesuaian harga selama dua bulan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan respon (sign) tiap periode pada saat penurunan dan kenaikan harga udang segar Indonesia akibat perubahan harga yang terjadi di Malaysia.

Pada transmisi dalam jangka panjang hubungan antara P_Malaysia P_Indonesia ditunjukkan dari nilai ECT-nya. Untuk ECT+ dan ECT- bernilai negatif artinya adanya penyimpangan harga pada jangka pendek akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Nilai koefisien ECT+ adalah -0.219 menunjukkan penyimpangan berada di atas garis keseimbangan jangka panjangnya. Lama penyesuaian membutuhkan waktu sekitar 3 bulan berikutnya. Artinya penurunan harga udang segar Malaysia akan menyebabkan penurunan harga udang segar Indonesia setelah 3 bulan berikutnya. Meskipun demikian, nilai koefisien ECT+ tidak signifikan sehingga adanya penurunan harga udang segar Malaysia tidak akan mempengaruhi harga udang segar Indonesia.

Jika dilihat dari ECT- juga bernilai negatif sebesar 0.584 menunjukkan adanya penyimpangan harga berada di bawah garis keseimbangan pada periode tertentu akan kembali ke garis keseimbangan. Lama penyesuaiannya sekitar 7 bulan berikutnya dimana penyimpangan akibat kenaikan harga udang segar di Malaysia akan menyebabkan kenaikan harga udang segar di Indonesia. Penyimpangan harga direspon dengan arah (sign) yang sama menunjukkan adanya keidentikan dalam jangka panjang.

Pada P_Indonesia P_Malaysia terlihat bahwa pada periode t kenaikan dan penurunan harga udang segar Indonesia terhadap Malaysia signifikan pada level yang berbeda. Perubahan harga berupa kenaikan dan penurunan di Indonesia menyebabkan respon yang sama di Malaysia. Sedangkan pada periode sebelumnya, kenaikan harga udang segar di Indonesia tidak mempengaruhi penetapan harga di Malaysia. Tapi sebaliknya penurunan harga udang segar Indonesia periode sebelumnya menyebabkan kenaikan harga udang segar Malaysia. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan respon akibat perubahan harga udang segar Indonesia terhadap penurunan dan kenaikan harga udang segar Malaysia dalam jangka pendek.

Jika dilihat dari tanda dan signifikansi nilai koefisien ECT+ dan ECT- dimana keduanya bertanda positif artinya penyimpangan baik berupa penurunan maupun kenaikan harga udang segar Indonesia di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali menuju keseimbangan jangka panjangnya. Artinya pada saat harga udang segar Indonesia turun maka harga di Malaysia tidak akan ikut menyesuaikan turun begitu pula sebaliknya. Meskipun demikian, penyimpangan harga direspon dengan arah (sign) yang sama menunjukkan adanya keidentikan dalam jangka panjang.

Berbeda halnya dengan udang beku, hanya penurunan harga udang beku Amerika Serikat pada periode t dan periode sebelumnya (t-1) signifikan pada taraf nyata 1 persen. Hal ini menunjukkan penurunan harga udang beku Amerika Serikat mempengaruhi pembentukan harga di Indonesia. Dilihat dari nilai ECT- nya, antara ECT+ dan ECT- memiliki nilai negatif. Artinya penyimpangan yang terjadi pada jangka pendek akan terkoreksi kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Nilai koefisien ECT+ sebesar 0.289 menunjukkan adanya penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjangnya berupa penurunan harga udang beku Amerika Serikat dimana penyimpangan tersebut akan kembali ke keseimbangannya (harga udang beku Indonesia akan menyesuaikan turun). Lama penyesuaian menuju keseimbangan yaitu sekitar 3.5 bulan. Namun, karena

nilai ECT+ tidak signifikan maka penyimpangan tersebut tidak mempengaruhi harga udang beku di Indonesia.

Sedangkan koefisien ECT- bernilai negatif (0.315) menunjukkan adanya penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya berupa kenaikan harga udang beku Amerika Serikat menyebabkan harga udang beku di Indonesia juga akan ikut menyesuaikan naik. Lama penyesuaian tersebut kurang lebih 4 bulan artinya kenaikan harga udang beku Amerika Serikat akan menyebabkan kenaikan harga di Indonesia setelah 4 bulan berikutnya.

Pada P_Indonesia P_Amerika Serikat terlihat bahwa hanya penurunan harga udang beku Indonesia pada periode t yang signifikan mempengaruhi harga udang beku Amerika Serikat. Jika dilihat dari tanda dan signifikansi nilai koefisien ECT+ dan ECT- dimana keduanya bertanda positif artinya penyimpangan baik berupa penurunan maupun kenaikan harga udang segar Indonesia di jangka pendek tidak akan terkoreksi kembali menuju keseimbangan jangka panjangnya. Artinya pada saat harga udang segar Indonesia turun maka harga di Amerika Serikat tidak akan ikut menyesuaikan turun begitu pula sebaliknya. Meskipun demikian, karena penyimpangan harga direspon dengan arah (sign) yang sama menunjukkan adanya keidentikan dalam jangka panjang.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai transmisi harga baik jangka pendek maupun jangka panjang dilakukan wald test untuk menguji keidentikan koefisien dengan hasil pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11 Hasil wald test pada kesimetrisan harga udang segar dan udang beku

Wald Test F Statistik

Ho:P_Segar Malaysia - t = P_Segar Malaysia+t Ho:P_Segar Malaysia - t-1 = P_Segar Malaysia+t-1 Ho:P_Segar Malaysia - t-2 = P_Segar Malaysia+t-2 Ho:P_Segar Malaysia - t-3 = P_ Segar Malaysia+t-3 2.588 (0.111) 0.202 (0.654) 0.214 (0.645) 13.518 (0.000)*** Ho:P_Segar Indonesia - t = P_Segar Indonesia+t 2.569 (0.109) Ho:P_Segar Indonesia - t-1 = P_Segar Indonesia+ t-1 3.812 (0.054)* Ho:P_Segar Indonesia - t-2 = P_Segar Indonesia+ t-2 0.315 (0.576) Ho:P_Segar Indonesia - t-3 = P_Segar Indonesia+ t-3 4.211 (0.043)** Ho:P_Beku Amerika - t = P_Beku Amerika+ t 2.371 (0.124) Ho:P_Beku Amerika - t-1 = P_Beku Amerika+ t-1 3.452 (0.063)* Ho:P_Beku Amerika - t-2 = P_Beku Amerika+ t-2 0.237 (0.627) Ho:P_Beku Indonesia - t = P_Beku Indonesia + t 0.380 (0.539) Ho:P_Beku Indonesia - t-1 = P_Beku Indonesia + t-1 0.009 (0.923) Ho:P_Beku Indonesia - t-2 = P_Beku Indonesia + t-2 0.001 (0.976)

Ho: ECT-=ECT+ (Malaysia-Indonesia) 1.888 (0.172)

Ho: ECT- = ECT+ (Indonesia-Malaysia) 0.009 (0.926)

Ho: ECT- = ECT+ (AS-Indonesia) 0.008 (0.930)

Ho: ECT- = ECT+ (Indonesia-AS) 0.644 (0.424)

( )

menunjukan p-value, ***signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, *signifikan pada taraf nyata 10%

Berdasarkan Tabel 11 hasil wald test terlihat bahwa pada model P_Segar Malaysia P_Segar Indonesia, P_Segar Indonesia P_Segar Malaysia, P_Beku

Amerika P_Beku Indonesia terjadi perbedaan respon antara shock positif maupun negatif dimana secara statistik dinilai signifikan pada jangka pendek. Pada model AECM, baik udang segar maupun udang beku menunjukkan transmisi asimetri pada jangka pendek kecuali pada perubahan harga udang beku Indonesia menunjukkan keidentikan antara shock positif dan negatif.

Transmisi harga yang tidak sempurna (asimetri) terjadi karena lambatnya informasi pasar mengenai naik turunnya harga udang di negara importir yang ditransmisikan ke negara eksportir (Indonesia). Menurut Irawan (2007), adanya transmisi harga asimetri yang semakin besar menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen (negara importir) lebih tinggi dibandingkan dengan pasar produsen (negara eksportir) dengan perbedaan harga yang semakin besar. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya transmisi harga asimetri adalah adanya perbedaan market power diantara kedua pasar (Serra dan Goodwin 2002).

Dalam kasus ini, transmisi harga asimetri hanya terjadi pada jangka pendek saja sehingga market power tidak menjadi faktor yang turut mempengaruhi terjadinya asimetri. Karantininis, Katrakilidis, dan Persson (2011) mengungkapkan adanya transmisi harga asimetri dalam jangka pendek umumnya dipengaruhi oleh adanya biaya penyesuaian (adjustment cost) yang harus dikeluarkan pelaku usaha untuk menyesuaikan harga akibat terjadinya perubahan biaya tertentu. Dalam hal ini biaya penyesuaian dalam perdagangan udang dapat berupa biaya akibat penyimpanan, biaya promosi (iklan), biaya pembuatan label atau merek, serta biaya perubahan katalog harga setiap kali berlangsungnya transaksi.

Selain itu, perubahan harga antar negara juga dipengaruhi oleh kontrak yang terjalin antar pelaku usaha (eksportir dan importir) dimana dalam setiap penerapannya diperlukan penyesuaian harga sehingga membutuhkan biaya tambahan (adjustment cost). Biaya tersebut dibedakan menjadi biaya pencarian informasi, biaya pengambilan keputusan dan pembuatan kontrak dan biaya pengamanan kontrak. Hal ini dijumpai pada PT Wirontono Baru dimana perusahaan ini melakukan renegosiasi kontrak setelah 6 bulan sehingga mempengaruhi penyesuaian harga udang antar negara yang bermitra (Nurhayati 2002).

Juarno (2012) mengungkapkan semakin tinggi ketidakpastian dan semakin rumit mekanisme transaksi menyebabkan semakin besar biaya pencarian informasi, termasuk biaya pengamanan kontrak antar negara yang bermitra. Kontrak dengan jangka waktu relatif panjang berisiko merugikan salah satu pihak yang terlibat mengingat harga udang yang cenderung fluktuatif dari waktu ke waktu. Adanya kontrak akan menguntungkan bagi negara eksportir dan merugikan negara importir apabila terjadi penurunan harga udang di pasar internasional di bawah harga yang disepakati dalam kontrak. Akan tetapi, di sisi lain kenaikan harga udang di pasar internasional di atas harga yang disepakati dalam kontrak akan merugikan bagi negara eksportir tetapi menguntungkan negara importir udang.

Transmisi harga asimetri yang terjadi karena adjustment cost tanpa adanya pengaruh dari market power dari negara importir utama pada akhirnya akan menyesuaikan kembali menuju ke keseimbangan jangka panjangnya. Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan meskipun suatu pasar berada pada

persaingan sempurna, transmisi harga asimetri dapat pula terjadi karena adanya biaya transaksi yang cukup tinggi.

Pada jangka panjang adanya transmisi asimetri disebabkan karena adanya

market power. Sebagai negara tujuan ekspor udang Indonesia, Malaysia dan Amerika Serikat bahkan menguasai sekitar 52 persen udang ekspor Indonesia pada tahun 2011. Dengan kata lain negara importir memiliki market power

dalam mempengaruhi harga udang di Indonesia. Akan tetapi melihat dari signifikansi nilai ECT dari model transmisi harga udang membuktikan bahwa tidak terjadi penyalahgunaan market power dalam perdagangan udang. Antara Indonesia dengan negara importir utama saling mempengaruhi pembentukan harga udang. Perubahan harga yang terjadi di negara importir berupa kenaikan dan penurunan harga mampu ditransmisikan secara sempurna ke Indonesia begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi integrasi pasar udang antara Indonesia dan negara importir utama (Malaysia dan Amerika Serikat). Secara spasial, hal ini terkait dengan law of one price. Perubahan harga pada negara importir udang tidak langsung ditransmisikan ke negara Indonesia dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat menyesuaikan perubahan harga tersebut. Pada jangka pendek transmisi harga tidak berlangsung secara sempurna tetapi hal tersebut baru terjadi pada jangka panjang. Berdasarkan penelitian Vinuya (2007) menunjukkan bahwa integrasi pasar diinterpretasikan melalui pendekatan kointegrasi. Dua harga dari dua pasar bergerak bersama-sama dalam jangka panjang. Sehingga meskipun terjadi penyimpangan harga udang baik di Indonesia maupun negara importir dalam jangka pendek karena arbitrase spasial setelah beberapa waktu akan kembali ke keseimbangan jangka panjangnya.

Transmisi harga menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetri dari segi kecepatan waktu penyesuaian. Meyer dan Von Cramon (2004) mengungkapkan bahwa apabila terjadi transmisi harga asimetri dari segi besaran maka data tidak akan terkointegrasi. Karena pasar udang segar dan udang beku Indonesia dengan negara importir saling terkointegrasi (Tabel 8), maka dapat disimpulkan bahwa transmisi harga udang segar dan udang beku simetris dari segi besaran dan waktu dalam jangka panjang.

Tabel 12 Elastisitas transmisi udang segar dan udang beku dengan AECM, Januari 2005-Desember 2014

J. Udang Model Variabel Jangka Pendek Jangka Panjang Segar

Malaysia Indonesia ∆P_Malaysiat¯ 1.096 1.403

∆P_Malaysiat⁺ 0.331 0.190

Indonesia Malaysia ∆P_Indonesiat¯ 0.363 0.387

∆P_Indonesiat⁺ 0.143 0.140

Beku

Amerika Indonesia ∆P_Amerikat¯ 0.553 0.483

∆P_Amerikat⁺ 0.173 0.377

Indonesia Amerika ∆P_Indonesiat¯ 0.480 0.592

∆P_Indonesiat⁺ 0.283 0.383

Berdasarkan Tabel 12 elastisitas transmisi harga udang menggunakan AECM terlihat bahwa hanya transmisi harga udang segar Malaysia Indonesia memiliki nilai elastisitas lebih dari satu (>1) saat shock negative artinya

penurunan harga udang segar Malaysia bersifat elastis baik pada jangka pendek dan jangka panjang. Pada persamaan tersebut, respon Indonesia terhadap penurunan harga lebih besar dibandingkan saat kenaikan harga udang segar di Malaysia. Apabila terjadi penurunan harga udang segar Malaysia sebesar 10 persen maka akan menyebabkan penurunan harga udang segar Indonesia sebesar 10.96 persen dan setelah sebulan kemudian harga udang di Indonesia turun

Dokumen terkait