• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Minyak Atsiri

Minyak atsiri daun zodia diisolasi menggunakan metode destilasi uap. Rendemen yang dihasilkan adalah 1% berdasarkan bobot kering dengan kadar air 11%. Komponen minyak atsiri dianalisis dengan metode GC-MS.

Gambar 4 Spektra GC-MS minyak atsiri daun zodia

Spektra GC-MS menampakkan 26 puncak yang menunjukkan adanya 26 komponen penyusun minyak atsiri. Total persentase komponen penyusun adalah 100% dengan komponen utama adalah evodone dengan kadar 72.32%, diikuti dengan menthofuran sebesar 7.52%, limonene 4.73%, curcumene 4.28% dan fonenol 1.66%, sedangkan sisanya merupakan komponen-komponen berkadar rendah (Tabel 3).

Evodone dan mentofuran termasuk dalam golongan monoterpena yang terbentuk dari dua unit isoprena, terdiri dari 10 atom karbon. Evodone merupakan furanomonoterpena. Komponen ini secara alami dapat diisolasi dari tumbuhan

Evodia hortensis (Lee et al. 2002). Dilaporkan bahwa evodone mampu menghambat pertumbuhan biji Schizachyrium scoparium. Sifat allelopati tersebut

juga ditunjukkan terhadap Rudbeckia hirta (Weidenhamer, 1994). Seperti halnya evodone, monoterpene golongan mentofuran juga memiliki efek allelopati (Weidenhamer, 1994).

Tabel 3 Komponen minyak atsiri daun zodia

No. Nama komponen Kadar (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Limonene Menthofuran α-Copaene 2,4,6-trimetilpiridin Trans-kariophilen Β- Salinene α-Humulen β-Himachalene Delta-Cadinene AR-Curcumene l-carveol Evodone Cariophylene oksida p-Mentha-1(7),8(10)-dien-9-ol Fonenol Epiglobulol 4-aminostirene 2-asetil-4,5-dimetilfenol Mint furanon 3-Aminothieno(2,3-B)pirazine-2-car 1-Methoxycarbonyl-2-vinyl-1,2-dihidropiridin Asam 2-propenoat 2-Etil-trans-2-butenal Xanthorizol Asam 3-(3-thienil)prop-2-enoat Asam heksadekanoat 4.73 7.52 0.61 0.21 0.56 0.27 0.29 0.57 0.30 4.28 0.89 72.32 0.34 0.49 1.66 0.32 0.16 0.20 0.94 0.27 0.62 0.84 0.43 0.20 0.67 0.31 limonene O O evodone curcumene

Gambar 5 Struktur senyawa terpena yang memiliki kemiripan dengan komponen utama minyak atsiri daun zodia

Curcumene terbentuk dari tiga unit isoprena. Komponen yang termasuk dalam golongan sesquiterpena ini telah banyak diteliti akan aktivitas biologisnya, diantaranya adalah sebagai antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antibakteri dan hepatoprotektor (Saiki (2008); Hwang et al (2008); Sidik (2008)).

Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk menentukan potensi minyak atsiri dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Uji dilakukan terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Dengan demikian spektrum antibakteri minyak atsiri dapat ditentukan. Hasil uji aktivitas antibakteri dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Aktivitas antibakteri minyak atsiri Contoh yang

diuji

Bakteri uji/ Diameter zona hambat (mm)

S. aureus S. epidermidis Salmonela enteritidis E.coli Minyak Atsiri 15 11 10 9 Ampisilin 30 40 0 26 Kloramfenikol 24 30 30 30 Neomisin 16 18 16 12 Metisilin 20 18 0 0

Minyak atsiri mampu menghambat bahkan membunuh pertumbuhan S. aureus, S epidermidis, Salmonella enteritidis maupun E. coli. Aktivitasnya berspektrum luas dan bersifat bakterisida. Aktivitas dimungkinkan berasal dari senyawa-senyawa golongan terpenoid yang terkandung dalam minyak atsiri. Karena sifatnya yang lipofilik, senyawa golongan terpenoid mampu berinteraksi dengan membran biologis (Brehm-Strecher & Johnson, 2003). Akumulasi senyawa-senyawa tersebut mempengaruhi struktur dan sifat fungsional membran.

Dibandingkan beberapa antibiotik komersial, aktivitas minyak atsiri terhadap bakteri S. aureus mencapai 95% aktivitas neomisin. Aktivitas sebesar 61% aktivitas antibiotik neomisin dan metisilin dihasilkan dari uji terhadap bakteri S. epidermidis. Untuk Salmonella enteritidis dan E. coli, aktivitasnya juga cukup baik dibandingkan antibiotik neomisin (62,5% untuk Salmonella enteritidis

dan 75% E. Coli). Ampisilin dan kloramfenikol menghasilkan aktivitas sangat kuat. Aktivitas antibakteri minyak atsiri dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan kedua jenis antibiotik ini.

Salmonella enteritidis merupakan bakteri penyebab infeksi akut (Winarno, 2004). Bakteri ini mampu bertahan hidup pada kondisi pH 3.7-9.5 dan suhu 0-45.6oC. Dalam penelitian ini, bakteri Salmonella entritidis diisolasi dari karkas ayam. Uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa bakteri telah resisten terhadap antibiotik ampisilin (Tabel 5). Resistensi mungkin disebabkan oleh pemberian antibiotik terus menerus untuk meningkatkan produksi ternak ayam. Terhadap bakteri resisten ini, minyak atsiri daun zodia mampu menghasilkan penghambatan pertumbuhan dengan pembentukan zona hambat sebesar 10 mm (Tabel 4).

Tabel 5 Sensitifitas antibiotik (Simmons & Craven, 1980)

Obat Potensi

Disc

Zona hambat (mm)

Resisten Intermediet Suseptibel

ampisilin 10 μg 20 atau kurang 21-28 29 atau lebih kloramfenikol 30 μg 12 atau kurang 13-17 18 atau lebih neomisin 30 μg 12 atau kurang 13-16 17 atau lebih metisilin 5 μg 9 atau kurang 10-13 14 atau lebih

Merujuk pada sensitifitas antibiotik dalam tabel 5, bakteri E. Coli juga telah mengalami resistensi terhadap neomisin. Zona hambat yang terbentuk hanya 12 mm. Terhadap E. Coli resisten ini, minyak atsiri daun zodia mampu menghasilkan penghambatan sebesar 9 mm.

David Stount mengelompokkan aktivitas antibakteri ke dalam tiga golongan, yaitu rendah, sedang dan besar. Berdasarkan klasifikasi tersebut (Tabel 6), aktivitas antibakteri minyak atsiri daun zodia termasuk dalam golongan sedang untuk bakteri Gram negatif dan besar untuk bakteri Gram positif.

Tabel 6 Klasifikasi aktivitas antibakteri menurut David Stount (Suryawiria, 1978) Aktivitas Diameter zona hambat (mm)

Rendah < 5

Sedang 5 – 10

Besar >10

Bakteri Gram positif lebih peka terhadap minyak atsiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh karekteristik membran sel yang berbeda antara bakteri Gram positif dan Gram negatif.

Bakteri Gram negatif memiliki pembatas permeabilitas tambahan yang terdapat dari struktur membran luar (Brehm-Stecher & Johnson (2003). Dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Perbedaan utama terletak pada adanya lapisan lipopolisakarida pada lapisan membran luar sel bakteri Gram negatif. Lapisan inilah yang berperan sebagai barrier (Gambar 6).

Hipotesis lain yang dikemukakan oleh McBroom & Kuehn (2007) menjelaskan bahwa kemampuan bakteri Gram negatif untuk bertahan hidup berhubungan dengan kemampuan bakteri Gram negatif dalam memanajemen stress. Faktor stress dapat berupa temperatur, ketersediaan nutrisi, paparan toksikan, salah satunya adalah antibiotik. Peningkatan jumlah vesikel merupakan bentuk manajemen stress yang dimiliki bakteri

Vesikel berasal dari tonjolan membran luar yang melingkungi komponen periplasma. Tonjolan membran tersebut mengalami fisi kemudian memisah membentuk vesikel. Vesikel dapat bertindak sebagai sarana transport intraselular. Vesikel yang berasosiasi dengan komponen berperan dalam pencernaan nutrisi dan eliminasi organisme kompetitor (McBroom & Kuehn, 2005, dalam McBroom& Kuehn (2007)).

Lepasnya vesikel membran luar menghasilkan mekanisme efektif bagi sel untuk membuang materi seperti makromolekul kompleks, memungkinkan sel membuang materi tersebut atau mengubah selubung bakteri yang menguntungkan bagi keberadaan bakteri itu sendiri. Produksi vesikel menjadi merupakan

mekanisme perlindungan diri bakteri. Senyawa-senyawa antimikroba dapat terikat pada vesikel kemudian terperangkap dalam lingkungan sel atau terikat pada membran luar dan terlepas bersamaan dengan dibentuknya vesikel (McBroom & Kuehn, 2007).

Gambar 6 Struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif

Nilai MIC Minyak Atsiri Daun Zodia

Nilai MIC menunjukkan konsentrsi terendah komponen antimikroba dimana tidak terjadi pertumbuhan mikroba pada masa inkubasi 24 jam. Dalam penelitian ini, konsentrasi minyak atsiri yang dicoba 0.2-1.25, bervariasi untuk setiap jenis bakteri berdasarkan range yang dipersempit dari hasil uji pendahuluan.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa nilai MIC minyak atsiri daun zodia berbeda-beda untuk setiap jenis bakteri. Bakteri yang paling sensitif adalah S. epidermidis. Salmonella enteritidis mempunyai ketahanan paling besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai MIC yang dimiliki adalah tertinggi, yaitu 1,25.

Gambar 7 Kurva penetapan MIC minyak atsiri daun zodia terhadap bakteri S. aureus (a) S. epidermidis (b) Salmonella enteritidis (c) dan E. col i(d)

Penetapan Waktu Kontak Minyak Atsiri

Kecepatan efek bakterisida atau durasi efek bakteriostatik dapat ditentukan dengan analisis “time-killing” (Burt, 2004). Survival curve plot sebagai hasil analisis menggambarkan hubungan antara jumlah sel yang hidup setelah berinteraksi dengan minyak atsiri terhadap waktu.

Gambar 8 Penetapan waktu kontak minyak atsiri

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 0 1 2 3 5 7 9 13 15 16 17 19 20 22 23 24 Jam ke-L o g1 0c fu m l-1 0 5 10 15 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.25 % minyak atsiri L og10c fu m l-1 0 2 4 6 8 0.4 0.6 0.8 1 1.2 % minyak atsiri L og1 0c fu m l-1 (c) (d) 0 5 10 15 20 25 30 0.7 0.8 0.9 1 % minyak atsiri L o g10c fu m l-1 0 5 10 15 20 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 % minyak atsiri L og1 0 c fu m l-1 (a) (b)

Bakteri S. aureus mulai mati pada jam ke-3, akan tetapi sebagian besar bakteri dapat bertahan dan masih dapat berkembang biak hingga jam ke-5. Jumlah bakteri hidup menurun tajam mulai jam 7 hingga mati semuanya pada jam ke-24.

Penurunan jumlah viabel sel dalam jumlah besar berada pada fase stasioner bakteri. Menurut Pelczar & Chan (1986) dan Thiel (1999), pada fase stasioner ini bakteri tumbuh dan membelah dalam kecepatan tetap. Nutrisi yang tersedia mulai terbatas. Bakteri lebih sensitif terhadap stress (Carson et al. 2002).

Gambar 9 Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus

Analisis Perubahan Morfologi Sel

Kerusakan dinding sel dan hilangnya material seluler dapat diamati menggunakan scanning electron microscope. Prototip mikroskop ini pertama kali dibuat oleh Ruska dan Knell dari Jerman pada tahun 1931, digunakan pertama kali pada tahun 1940 serta dikomerialisasikan sekitar tahun 1965 (Suryanto, 1997). Pada dasarnya peralatan terbagi dalam tiga komponen utama, yaitu sistem lensa elektromagnetik, sistem pelarikan dan sistem deteksi. Sistem lensa berfungi menfokuskan cahaya yang berupa berkas–berkas elektron dari filamen yang dipanaskan. Pada sistem pelarikan, berkas elektron melarik obyek yang diamati. Hasil interaksi berkas elektron menghasilkan elektron sekunder dan terhambur balik dimana elektron-lelektron tersebut dikumpulkan dan diolah oleh detektor. Detektor elektron sekunder kemudian mengolah dan memberikan informasi tentang topografi dan morfologi permukaan sampel.

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 0.25 1 5 15 20 23 Jam ke-Abs o rba ns

Analisis mikroskop elektron menunjukkan terjadinya kerusakan pada membran sel bakteri S. aureus (Gambar 10 b, c dan d) karena berinteraksi dengan minyak atsiri daun zodia. Permukaan sel mengkerut, kasar sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan (Gambar 10b). Ukuran sel menjadi lebih besar 3 sampai 5 kali lipat ukuran normal yang berkisar 1 µm (Gambar 10a). Respon yang sama dihasilkan oleh bakteri P. aeruginosa dan E. coli yang terpapar antibiotik ciprofloksaxin (Wojnicz et al. (2007). Dalam Clinkenbeard et al. (1989), keadaan sel yang demikian dikatakan sedang mengalami swelling.

Masuknya toksin ke dalam plasma membran menyebabkan terbentuknya pori transmembran (Bernheimer (1947) dalam Clinkenbeard et al. (1989)). Sel yang menurut Cook (1965) mengalami “kebocoran” (Gambar 10c) memungkinkan pergerakan ion secara pasif lebih cepat daripada yang berlangsung melalui transport aktif. Dijelaskan dalam Clinkenbeard et al. (1989)) bahwa ion-ion K+ keluar dari dalam sel melalui pori, sedangan komponen sitoplasma yang

(d) (c)

Gambar 10 Mikrograf elektron bakteri S. aureus

Ket: tanpa perlakuan (a) dan setelah perlakuan dengan minyak atsiri daun zodia (b, c, d) dengan pembesaran 10.000x (a, b, c,) dan 750x (d)

berukuran lebih besar seperti protein tetap berada dalam sel. Tekanan osmotik dalam sel menjadi lebih besar daripada tekanan osmosis media sehingga sel mengalami swelling.

Setelah mengalami swelling, komponen-komponen sitoplama yang berukuran besar dapat keluar ke lingkungannya (Clinkenbeard et al. (1989)). Sel tidak lagi memiliki nukleus atau organel lainnya. Kini sel hanya terdiri dari membran sel yang kosong tanpa isi. Sel demikian disebut sebagai sel “ghost” (Gambar 10d).

Nilai Toksisitas Minyak Atsiri terhadap Artemia salina

Uji toksisitas larva udang merupakan salah satu metode uji yang paling banyak digunakan untuk memprediksi adanya aktivitas farmakologis suatu senyawa. Menurut Olila et al (2001), beberapa kelebihan yang dimiliki oleh metode ini adalah sederhana, tidak memerlukan sterilitas, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat (24 jam).

Dalam uji toksisitas minyak atsiri daun zodia ini dicoba empat vaiasi konsentrasi minyak atsiri, yaitu 0, 100, 500, dan 1000 ppm. Jumlah larva yang mati diamati dihitung setelah larva berinteraksi dengan contoh selama 24 jam. Dengan cara memplotkan jumlah larva yang mati dan konsentrasi minyak atsiri dalam sebuah kurva regresi (Latha et al, 2007) maka didapatkan nilai toksisitas minyak atsiri sebesar 376.7 ppm.

Gambar 11 Kurva regresi penentuan toksisitas minyak atsiri y = 0.1081x + 9.2742 0 20 40 60 80 100 0 200 400 600 800 1000

konsentrasi minyak atsiri (ppm)

% l

et

Uji toksisitas menunjukkan bahwa minyak atsiri daun zodia memiliki potensi bioaktif farmakologis. Berdasarkan klasifikasi toksisitas menurut Tonkes (Verma, 2008), toksisitas minyak atsiri daun zodia termasuk dalam golongan sedang. Dengan demikian minyak atsiri tersebut tidak disarankan digunakan secara oral, melainkan baik untuk penggunaan secara topikal. Meski demikian perlu dilakukan analisis toksisitas lebih lanjut untuk melihat efeknya toksiknya.

Tabel 7 Hubungan Antara LC50, LD50 and EC50 dan Klasifikasi Toksisitas Tonkes (Vema, 2008) LD50 LC50 EC30 Klasifikasi toksisitas > 5000 > 100 > 100 Relatif tidak toksik 500 – 5000 10 – 100 10 – 100% Toksisitas rendah 50 – 500 1 - 10 1 – 10% Toksisitas sedang <50 < 1 < 1% Sangat Toksik

Pemisahan Komponen Minyak Atsiri Dengan Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode sederhana dan efisien untuk memisahkan komponen yang jumlahnya sangat sedikit. Minyak atsiri bersifat hidrofobik. Menurut Stahl (1969), semua jenis adsorben anorganik, kecuali kieselguhr baik digunakan untuk memisahkan komponen yang bersifat lipofilik. Silika gel dan alumina umum digunakan dalam pemisahan komponen minyak atsiri.

Berdasarkan analisis menggunakan KLT diperoleh eluen terbaik yang terdiri dari campuran heksan : dietileter dengan perbandingan 8 : 2 menggunakan plat silika gel 60F254. Pemisahan menggunakan eluen tersebut menghasilkan 11 bercak dengan nilai hRf (100 x Rf) seperti yang tercantum dalam Tabel 8.

Gambar 12 Kromatogram minyak atsiri dalam pelarut heksan:dietileter (8:2) pada plat silika gel 60F254

Tabel 8 Nilai hRf kromatogram minyak atsiri No. komponen hRf 1 5 2 16 3 30 4 35 5 40 6 48 7 58 8 59 9 71 10 80 11 90

Isolasi Senyawa Aktif Antibakteri

Dalam penelitian ini isolasi senyawa aktif dilakukan dengan metode kristalisasi menggunakan temperatur dingin. Adapun tempertur yang digunakan adalah 180C. Dari proses ini didapatkan kristal berwarna putih yang bersifat tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam etanol dan pelarut organik semipolar seperti etil asetat dan aseton dan pelarut nonpolar benzena. Dengan pelarut heksan, kristal tidak dapat larut sempurna, ada sebagian yang larut dan ada pula yang bertahan bentuknya sebagai kristal. Diperkirakan bahwa kristal terdiri dari komponen yang bersifat semipolar dan nonpolar.

Kristal kasar hasil proses kristalisasi kemudian dipartisi. Pertama-tama kristal dicuci menggunakan akuades untuk membersihkan pengotor. Selanjutnya kristal dilarutkan dalam pelarut heksan. Fraksi heksan diambil kemudian dikeringudarakan. Pencucian dengan heksan dilakukan berulang kali hingga didapat fraksi heksan dan kristal sisa pelarutan dengan heksan. Kristal sisa dilarutkan dalam etil asetat. Selanjutnya dilakukan uji antibakteri terhadap fraksi heksan, etil asetat dan kristal kasar dalam aseton.

Gambar 13 Kristal hasil isolasi dari minyak atsiri daun zodia (mikroskop BHS Olympus pembesaran 10.000 x)

Gambar 14 Uji kelarutan kristal dalam air (1) heksan (2), aseton (3), etil asetat (4) dan benzene (5)

1

4

5 2

Tabel 9 Aktivitas antibakteri fraksi heksan, etil asetat dan fraksi air terhadap bakteri S. aureus

Jenis fraksi Diameter zona hambat (cm)

Fraksi heksan 7

Fraksi etil asetat 6

Kristal kasar dalam aseton 10

Uji aktivitas fraksi menunjukkan bahwa aktivitas fraksi lebih kecil jika dibandingkan dengan aktivitas kristal kasar maupun aktivitas minyak atsiri (Tabel 9). Aktivitas antibakteri kristal kasar ternyata merupakan hasil kerja sinergi antara komponen-komponen penyusun kristal kasar tersebut. Demikian juga dengan aktivitas antibakteri minyak atsiri yang meruakan efek sinergi komponen-komponennya.

Gambar 15 Aktivitas antibakteri fraksi heksan (1), etil asetat (2) dan kristal kasar (3)

Untuk menguji kemurnian kristal hasil isolasi, kristal yang berasal dari fraksi heksan dilarutkan kembali dalam pelarut heksan, kristal yang larut dalam etil asetat dilarutkan dalam etil asetat, kemudian dianalisis dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan eluen heksan:dietileter (8:2).

Gambar 16 Kromatogram fraksi heksan (a) dan fraksi etil asetat (b) de- ngan pelarut heksan:dietileter (8:2) pada plat silika gel 60 F254

Kromatogram fraksi-fraksi hasil isolasi menggambarkan bahwa fraksi etil asetat masih mengandung beberapa komponen, sedangkan fraksi heksan hanya mengandung satu jenis komponen saja dengan hRf 70. Bercak hasil pemisahan fraksi etil asetat memiliki hRf 42 dan 75. Dengan membandingkan nilai hRf fraksi heksan dan etil asetat dengan nilai–nilai hRf minyak atsiri dalam Tabel 8, hRf fraksi heksan mendekati hRf komponen ke-9, sedangkan hRf fraksi etil asetat mendekati hRf komponen ke-5 dan ke-9.

Gambar17 mempresentasikan gambar satu dimensi kristal yang diamati menggunakan mikroskop optik Olympus model BHS dengan pembesaran 10.000 kali. Kristal didapatkan dengan menguapkan terlebih dahulu pelarut yang digunakan dengan cara dikeringudarakan .

Gambar 17 Bentuk dua dimensi fraksi heksan (a) dan fraksi etilasetat (b) (a) (b)

Gambar 18 Spektra GC-MS kistal hasil kristalisasi fraksi etil asetat

Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa kristal hasil kristalisasi fraksi etil asetat mengandung komponen evodone (77.97%) dan (10.21%) sebagai komponen utama dengan waktu retensi 10.5 dan 10.7. Komponen lain ditemukan dalam jumlah kecil, yaitu mentofuran (3.06%) asam palmitat (5.52%). Kristal hasil kristalisasi frksi heksan merupakan komponen murni dengan struktur menyerupai evodone dengan waktu retensi 10.5.

Dokumen terkait