• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak terletak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Rumah Potong Hewan Bubulak milik pemerintah Kota Bogor ini menampung sapi potong asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pemeliharaan, Bogor sebagai wakil Jawa Barat, Boyolali sebagai wakil Jawa Tengah, dan Gresik sebagai wakil Jawa Timur.

Kadar Timbal

Sampel dari sapi potong yang berasal dari tiga daerah menunjukkan kadar timbal sebesar 1.001 - 1.68 ppm (Tabel 1). Kadar timbal tertinggi terdapat pada sampel organ hati yang berasal dari Boyolali sebesar 1.68 ppm. Kadar timbal terendah terdapat pada sampel organ ginjal dari Boyolali sebesar 1.001 ppm. Semua sampel berada di atas ambang batas yang ditetapkan oleh SNI maupun CAC.

Pola Sebaran Akumulasi Timbal

Akumulasi timbal pada daging ditemukan pada pembuluh darah di jaringan ikat (Gambar 1). Akumulasi timbal pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga portal (Gambar 2). Akumulasi timbal pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla (Gambar 3).

6

Tabel 1 Kadar timbal (rataan ± SD) sampel daging, hati, dan ginjal segar sapi dari RPH Bubulak

Daerah asal sapi Kadar timbal (rataan ± SD) (ppm)

Daging Hati Ginjal

Bogor 1.03 ± 0.42 1.59 ± 0.64 1.18 ± 0.38

Boyolali 1.45 ± 0.21 1.68 ± 0.48 1.001 ± 0.18

Gresik 1.25 ± 0.37 1.52 ± 0.71 1.16 ± 0.06

Standar SNI 1 1 1

Standar CAC 0.1 0.5 0.5

Keterangan: SNI (Standard Nasional Indonesia) 2009 CAC (Codex Allimentarius Commission) 2011

dengan mencelupkan 3 kali dalam alkohol konsentrasi bertingkat selama 1 menit, dan silol selama 1 menit. Permukaan preparat ditetesi entellan® dan ditutup dengan cover glass. Setelah kering preparat diamati dan difoto menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera.

Prosedur Analisis Data

Kadar dan sebaran timbal dianalisis secara deskriptif terhadap penyebab keberadaan timbal dan membandingkan dengan ambang batas yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak terletak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Rumah Potong Hewan Bubulak milik pemerintah Kota Bogor ini menampung sapi potong asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pemeliharaan, Bogor sebagai wakil Jawa Barat, Boyolali sebagai wakil Jawa Tengah, dan Gresik sebagai wakil Jawa Timur.

Kadar Timbal

Sampel dari sapi potong yang berasal dari tiga daerah menunjukkan kadar timbal sebesar 1.001 - 1.68 ppm (Tabel 1). Kadar timbal tertinggi terdapat pada sampel organ hati yang berasal dari Boyolali sebesar 1.68 ppm. Kadar timbal terendah terdapat pada sampel organ ginjal dari Boyolali sebesar 1.001 ppm. Semua sampel berada di atas ambang batas yang ditetapkan oleh SNI maupun CAC.

Pola Sebaran Akumulasi Timbal

Akumulasi timbal pada daging ditemukan pada pembuluh darah di jaringan ikat (Gambar 1). Akumulasi timbal pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga portal (Gambar 2). Akumulasi timbal pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla (Gambar 3).

7

Daging

Hati

Gambar 1 Gambaran histologis pembuluh darah di jaringan ikat otot (daging) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B), dinding pembuluh darah (dp), lumen (l), sel lemak (sl), jaringan ikat (j), sel otot (o). Pewarnaan HE (A) dan pewarnaan Rhodizonate (B).

Gambar 2 Gambaran histologis lobulus hati (A, B) dan segitiga Kiernan (C, D) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B, D), Vena sentralis (vs), segitiga Kiernan (sk), duktus empedu (e), pembuluh darah (p), hepatosit (h), sinusoid (s). Pewarnaan HE (A, C) dan pewarnaan Rhodizonate (B, D).

8

Ginjal

Pembahasan Kadar Timbal

Berdasarkan pengukuran kadar timbal didapatkan bahwa kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Bogor berturut-turut adalah 1.03 ppm, 1.59 ppm, dan 1.18 ppm. Kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Boyolali berturut-turut adalah 1.45 ppm, 1.68 ppm, dan 1.001 ppm. Kadar timbal

Gambar 3 Gambaran histologis ginjal (A, B) glomerulus, (C, D) tubulus proksimalis, dan (E, F) medulla ginjal sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B, D, F), glomerulus (g), tubulus distalis (td), tubulus proksimalis (tp), inti sel (is), medulla (m). Pewarnaan HE (A, C, E) dan pewarnaan Rhodizonate (B, D, F).

9 daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Gresik berturut-turut adalah 1.25 ppm, 1.52 ppm, dan 1.16 ppm. Kadar timbal tersebut menunjukkan angka di atas 1 ppm melebihi batas maksimum residu (BMR). Kadar timbal pada daging terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.45 ppm. Kadar timbal pada hati terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.68 ppm sedangkan kadar timbal pada ginjal terbanyak berasal dari Bogor yaitu 1.18 ppm. Apabila kadar timbal diurutkan dari ketiga jaringan sampel yang diambil maka hati memiliki tingkat akumulasi timbal paling tinggi kemudian diikuti oleh daging dan ginjal (urutannya adalah hati > daging > ginjal). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Sofos (2005) bahwa kadar timbal pada hati memiliki level tertinggi dibandingkan daging dan ginjal.

Perbedaan kadar akumulasi timbal pada setiap jaringan ditentukan oleh sifat jaringan dan sifat logam berat tersebut. Akumulasi timbal dalam jumlah besar pada hati terjadi karena hati merupakan jaringan pertahanan pertama dari toksikan yang masuk dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa hati memiliki peran sebagai organ pertama untuk detoksifikasi racun di dalam tubuh. Akumulasi timbal pada ginjal juga terjadi karena adanya aktivitas absorpsi aktif dalam ginjal. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) bahwa sekitar 85% natrium dan air diserap kembali sehingga timbal yang terlarut dalam air ikut terserap. Pernyataan ini diperkuat oleh Wardhayani (2006) bahwa akumulasi logam tertinggi terjadi dalam hati (organ detoksifikasi) dan ginjal (organ ekskresi). Di dalam kedua organ tersebut, logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalothionin.

Besarnya kadar timbal yang terukur menunjukkan bahwa akumulasi timbal berlebihan pada daging, hati, dan ginjal sapi. Hal ini dapat menyebabkan keracunan timbal pada manusia yang mengonsumsi apabila melebihi BMR karena timbal bersifat bioakumulasi dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiloka et al. (2006) bahwa 5 - 10% timbal yang masuk melalui makanan akan terserap oleh tubuh dan 15% dari jumlah yang terserap itu akan mengendap di jaringan tubuh. Menurut Suyanto et al. (2010), dampak negatif yang terjadi akibat akumulasi timbal adalah keracunan timbal.

Kadar timbal yang berlebihan ini dapat dimungkinkan karena adanya pencemaran timbal di pakan dan lingkungan. Pencemaran timbal pada udara, air, dan tanah di Bogor adalah 0.15 µg/m3 di udara, 0.05 - 0.16 ppm di air, dan 1.5 - 1.7 ppm di tanah (Athena et al. 1996; Dariah 2011; Rachmawati 2005). Pencemaran timbal di Boyolali adalah 2 - 4 µg/Nm3 di udara, 0.07 - 0.1 ppm di air, dan 8.13 - 28.06 ppm di tanah (Pramono dan Wahyuni 2008; Sunoko et al. 2011). Pencemaran timbal di Gresik adalah 0.2 µg/m3 di udara, 0.21 ppm di air (BLH 2011; Purnomo dan Muchyiddin 2007), dan data kadar timbal di tanah Gresik belum ada yang melaporkan. Perbedaan kadar timbal dapat terjadi karena adanya selang waktu akumulasi timbal dalam tubuh masing-masing sapi atau tingkat cemaran timbal di masing-masing daerah.

Ambang batas konsumsi timbal dalam tubuh manusia di Indonesia menurut Suhendrayatna (2001) yaitu 2.8 - 3.5 mg/kgBB/minggu. Berbeda dengan ambang batas konsumsi timbal dalam tubuh manusia menurut WHO (1993) adalah 0.025 mg/kgBB/minggu (apabila berat badan seseorang 70 kg maka ambang batas konsumsi timbal dalam satu minggu adalah 1.75 mg). Data konsumsi daging sapi/kapita/minggu tahun 2011 adalah 0.009 kg (Deptan 2012). Apabila seseorang mengonsumsi daging sapi sebanyak 0.009 kg/minggu dengan nilai rataan kadar

10

timbal dalam daging sapi sebesar 1.45 ppm maka jumlah timbal yang termakan adalah 0.013 ppm. Hal ini berarti seseorang yang mengonsumsi daging sapi sebanyak 0.009 kg/minggu tidak melebihi ambang batas konsumsi timbal yang dapat menyebabkan akumulasi dan keracunan. Akumulasi tersebut belum termasuk pemasukan dari polusi udara, air, dan pangan lain yang tercemar timbal.

Pola Sebaran Akumulasi Timbal

Akumulasi timbal tidak terjadi di otot (daging) (Gambar 1). Timbal hanya ditemukan di pembuluh darah pada jaringan ikat. Timbal tetap berada di dalam pembuluh darah karena tidak ada ikatan antara timbal dengan otot. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa timbal tidak terakumulasi dalam otot tetapi hanya beredar di pembuluh darah saja karena otot tidak memiliki fungsi sebagai penyaring atau pun detoksifikasi.

Akumulasi timbal di hati terjadi pada hepatosit di perifer lobulus dan segitiga Kiernan (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Banks (1993) bahwa aliran darah di lobulus hati berasal dari perifer menuju vena sentral sehingga timbal banyak terakumulasi dan tersebar lebih banyak di daerah perifer. Menurut Pearce (2009), pada segitiga Kiernan terdapat pembuluh darah yang mengandung timbal dalam jumlah besar sehingga akumulasi timbal terjadi di sekitar pembuluh darah.

Akumulasi timbal di ginjal terjadi pada korteks yaitu pada glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla (Gambar 3). Kadar timbal terbanyak di ginjal berada pada tubulus proksimalis. Menurut Banks (1993), tubulus proksimalis mudah dipengaruhi oleh zat beracun karena proses absorpsi aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) sekitar 85% natrium dan air diserap kembali ke dalam darah sehingga kadar toksikan tinggi di dalam tubulus proksimalis.

Akumulasi timbal di glomerulus terjadi karena adanya proses ultrafiltrasi dengan molekul besar tertinggal dan molekul kecil terlewati. Timbal dapat melewati proses ultrafiltrasi karena timbal berikatan dengan metalothionin. Tidak semua timbal lolos dari proses ultrafiltrasi sehingga beberapa tetap tinggal di dalam protein darah. Protein darah yang tertinggal di dalam glomerulus menyebabkan timbal ikut tertinggal dan berikatan dengan protein (berakumulasi) dalam glomerulus, selebihnya ikut larut dalam plasma filtrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardhayani (2006) bahwa timbal berikatan dengan protein darah setelah diabsorbsi dan dalam organ hati dan ginjal timbal berikatan dengan metalothionin. Haschek dan Rousseaux (1998) berpendapat bahwa glomerulus adalah unit penyaringan darah pertama di ginjal dengan molekul besar (sel darah, protein darah) tersaring sedangkan molekul kecil tidak tersaring menjadi plasma filtrat, sehingga akumulasi timbal dalam glomerulus terjadi dengan kadar yang tidak begitu banyak. Akumulasi timbal di medulla dapat terjadi karena adanya proses reabsorpsi NaCl dan air. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellmann dan Brown (1992) bahwa medulla memiliki fungsi sebagai reabsorpsi NaCl dan air dan memekatkan urin, sehingga akumulasi timbal dalam medulla terjadi dengan kadar sedikit.

11

Dampak Timbal

Dampak akibat akumulasi timbal terjadi jika jumlah timbal dalam tubuh telah melebihi ambang batas. Dampak yang timbul pada hewan dan manusia adalah keracunan timbal. Gejala klinis keracunan timbal pada hewan meliputi gastroenteritis, anemia, dan ensefalopati (Wardhayani 2006).

Gejala klinis keracunan timbal pada manusia dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala klinis akut meliputi shock, sakit kepala, irritabilitas, dan keluhan kolik (D’Mello 2003). Gejala klinis kronis meliputi kolik, konstipasi, anemia, pucat, ensefalopati, reproduksi terganggu, efek perkembangan saraf janin, gangguan berbagai organ tubuh, penurunan kecerdasan, dan autisme (Suyanto et al. 2010). Wardhayani (2006) menyatakan bahwa gejala lain jika terjadi keracunan timbal adalah garis-garis berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi.

Solusi dan Pencegahan

Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan sapi secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan sapi (Godish 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan mengenai kadar timbal di pakan, tanah, udara, dan air yang berada di RPH dan peternakan.

11

Dampak Timbal

Dampak akibat akumulasi timbal terjadi jika jumlah timbal dalam tubuh telah melebihi ambang batas. Dampak yang timbul pada hewan dan manusia adalah keracunan timbal. Gejala klinis keracunan timbal pada hewan meliputi gastroenteritis, anemia, dan ensefalopati (Wardhayani 2006).

Gejala klinis keracunan timbal pada manusia dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala klinis akut meliputi shock, sakit kepala, irritabilitas, dan keluhan kolik (D’Mello 2003). Gejala klinis kronis meliputi kolik, konstipasi, anemia, pucat, ensefalopati, reproduksi terganggu, efek perkembangan saraf janin, gangguan berbagai organ tubuh, penurunan kecerdasan, dan autisme (Suyanto et al. 2010). Wardhayani (2006) menyatakan bahwa gejala lain jika terjadi keracunan timbal adalah garis-garis berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi.

Solusi dan Pencegahan

Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan sapi secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan sapi (Godish 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan mengenai kadar timbal di pakan, tanah, udara, dan air yang berada di RPH dan peternakan.

KAJIAN KADAR DAN SEBARAN LOGAM BERAT TIMBAL

Dokumen terkait