• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI. Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan I KETUT MUDITE ADNYANE.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kadar timbal dan menerangkan pola sebaran akumulasi timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong. Metode pengukuran kadar timbal menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dan metode histologis dengan pewarnaan Rhodizonate pada daging, hati, dan ginjal sapi potong. Hasil pengukuran kadar timbal pada daging, hati, dan ginjal dari Bogor berturut-turut adalah 1.03 ppm, 1.59 ppm, 1.18 ppm, dari Boyolali adalah 1.45 ppm, 1.68 ppm, 1.001 ppm, dan dari Gresik adalah 1.25 ppm, 1.52 ppm, 1.16 ppm. Hasil sebaran timbal pada daging terdapat di pembuluh darah jaringan ikat, hati di hepatosit dan segitiga Kiernan, dan ginjal terdapat di glomerulus dan tubulus proksimalis. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus dan tubulus proksimalis. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Kata kunci: timbal, logam berat, jaringan sapi, SSA, Rhodizonate

ABSTRACT

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI. Study Levels and Distribution of Heavy Metals Lead on Meat, Liver, and Kidney of Cows. Supervised by ADI WINARTO and I KETUT MUDITE ADNYANE.

The purpose of this research was to examine the lead levels and to explain the histological lead pattern distribution in meat, liver and kidney tissues of cows. Lead content was measured usingAtomic Absorption Spectrophotometry (AAS) and Rhodizonate histological staining method. Result showed the lead levels in the cow’s meat, liver, and kidneys tissues were respectively 1.03 ppm, 1.59 ppm, 1.18 ppm in cows from Bogor; 1.45 ppm, 1.68 ppm, 1.001 ppm in cows from Boyolali; 1.25 ppm, 1.52 ppm, 1.16 ppm in cows from Gresik. Lead distribution was found in the connective tissue of the meat, in the hepatosit and portal triad of the liver, and in glomerular and proximal tubules of the kidney. It could be concluded that the lead levels has exceeded the threshold, with the highest levels found in cow’s liver from Boyolali. Lead pattern distribution was found in the connective tissue of the meat, in the hepatosit and portal triad of the liver, and in glomerular and proximal tubules of the kidney. Lead pattern distribution has no relation with the value measured as happened to meat.

(2)

KAJIAN KADAR DAN SEBARAN LOGAM BERAT TIMBAL

PADA DAGING, HATI, DAN GINJAL SAPI POTONG

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(5)

ABSTRAK

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI. Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan I KETUT MUDITE ADNYANE.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kadar timbal dan menerangkan pola sebaran akumulasi timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong. Metode pengukuran kadar timbal menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dan metode histologis dengan pewarnaan Rhodizonate pada daging, hati, dan ginjal sapi potong. Hasil pengukuran kadar timbal pada daging, hati, dan ginjal dari Bogor berturut-turut adalah 1.03 ppm, 1.59 ppm, 1.18 ppm, dari Boyolali adalah 1.45 ppm, 1.68 ppm, 1.001 ppm, dan dari Gresik adalah 1.25 ppm, 1.52 ppm, 1.16 ppm. Hasil sebaran timbal pada daging terdapat di pembuluh darah jaringan ikat, hati di hepatosit dan segitiga Kiernan, dan ginjal terdapat di glomerulus dan tubulus proksimalis. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus dan tubulus proksimalis. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Kata kunci: timbal, logam berat, jaringan sapi, SSA, Rhodizonate

ABSTRACT

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI. Study Levels and Distribution of Heavy Metals Lead on Meat, Liver, and Kidney of Cows. Supervised by ADI WINARTO and I KETUT MUDITE ADNYANE.

The purpose of this research was to examine the lead levels and to explain the histological lead pattern distribution in meat, liver and kidney tissues of cows. Lead content was measured usingAtomic Absorption Spectrophotometry (AAS) and Rhodizonate histological staining method. Result showed the lead levels in the cow’s meat, liver, and kidneys tissues were respectively 1.03 ppm, 1.59 ppm, 1.18 ppm in cows from Bogor; 1.45 ppm, 1.68 ppm, 1.001 ppm in cows from Boyolali; 1.25 ppm, 1.52 ppm, 1.16 ppm in cows from Gresik. Lead distribution was found in the connective tissue of the meat, in the hepatosit and portal triad of the liver, and in glomerular and proximal tubules of the kidney. It could be concluded that the lead levels has exceeded the threshold, with the highest levels found in cow’s liver from Boyolali. Lead pattern distribution was found in the connective tissue of the meat, in the hepatosit and portal triad of the liver, and in glomerular and proximal tubules of the kidney. Lead pattern distribution has no relation with the value measured as happened to meat.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KAJIAN KADAR DAN SEBARAN LOGAM BERAT TIMBAL

PADA DAGING, HATI, DAN GINJAL SAPI POTONG

YOHANA PAULA PRIHATMI PAMUNGKASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong

Nama : Yohana Paula Prihatmi Pamungkasari NIM : B04080182

Disetujui oleh

Drh. Adi Winarto, Ph.D, PAVet Pembimbing I

Dr. Drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si, PAVet Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet (K) Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah kadar dan sebaran timbal, dengan judul Kajian Kadar dan Sebaran Logam Berat Timbal pada Daging, Hati, dan Ginjal Sapi Potong.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini:

1. Drh. Adi Winarto, Ph.D, PAVet dan Dr. Drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si, PAVet, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, saran, kritik, dan arahan selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Drh. Ekowati Handharyani, MS, APVet, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat selama penulis berada di FKH IPB.

3. Pegawai laboran (Pak Iwan, Pak Wawan, Bu Dian, dan Pak Kas), dan pegawai RPH (Pak Didong dan pegawai yang bertugas).

4. Mama, papa, kakak-kakak, sanak keluarga, dan Ignatius Widiatmoko Setiawan yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan, dan kasih sayangnya.

5. Teman sepenelitian (Olivita Priyono) atas kerjasamanya dan sahabat-sahabat (Tere, Juju FEM 45, Kak Tata, Moniq, Irin, Lynn, Hana, Pika, Maysakh) yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga masih membutuhkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Daging 2

Hati 2

Ginjal 3

Spektrofotometer Serapan Atom 3

Timbal 3

METODE 4

Bahan 4

Alat 4

Prosedur Penelitian 4

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 8

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 15

(11)

DAFTAR TABEL

1 Kadar timbal (rataan ± SD) sampel daging, hati, dan ginjal segar sapi

dari RPH Bubulak 6

DAFTAR GAMBAR

1 Gambaran histologis pembuluh darah di jaringan ikat otot (daging) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B), dinding pembuluh darah (dp), lumen (l), sel lemak (sl), jaringan ikat (j), sel otot (o). Pewarnaan HE (A) dan pewarnaan Rhodizonate

(B). 7

2 Gambaran histologis lobulus hati (A, B) dan segitiga Kiernan (C, D) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B, D), Vena sentralis (vs), segitiga Kiernan (sk), duktus empedu (e), pembuluh darah (p), hepatosit (h), sinusoid (s). Pewarnaan HE (A, C)

dan pewarnaan Rhodizonate (B, D). 7

3 Gambaran histologis ginjal (A, B) glomerulus, (C, D) tubulus proksimalis, dan (E, F) medulla ginjal sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B, D, F), glomerulus (g), tubulus distalis (td), tubulus proksimalis (tp), inti sel (is), medulla (m). Pewarnaan HE (A, C, E) dan pewarnaan Rhodizonate (B, D, F). 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kadar timbal di Bogor 15

2 Kadar timbal di Boyolali 16

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia, hewan, dan tumbuhan tinggal di lingkungan yang sama dan membentuk sistem rantai makanan. Pencemaran lingkungan memiliki efek negatif terhadap makhluk hidup, diantaranya adalah cemaran logam berat yang berasal dari limbah industri dan gas buangan kendaraan. Logam berat, khususnya timbal (Pb2+), menjadi bahan pencemar berbahaya karena tidak mudah dihancurkan di dalam tubuh dan di lingkungan sehingga cenderung berakumulasi (Harteman 2011). Ciri-ciri logam berat timbal adalah memiliki berat jenis 11.3, nomor atom 82, bersifat toksik dan akumulatif dalam tubuh, serta urutan toksisitas Hg2+ > Cd2+ > Ag2+> Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+ (Darmono 1995; Oxtoby et al. 2001; Ruwanto 2007; Suciani 2007). Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa timbal merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan karena sifat toksisitas yang tinggi. Akumulasi terjadi karena penyimpanan timbal lebih tinggi dibanding pelepasannya di dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan keberadaan timbal di dalam tubuh semakin tinggi dan memberikan dampak yang merusak organ tubuh (Rochyatun dan Abdul 2007). Selain itu, penyebaran logam berat timbal dalam tubuh dipengaruhi oleh sirkulasi darah (Harteman 2011).

Sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sebagian besar daging sapi yang dikonsumsi berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH), tetapi belum diketahui kadar timbal pada daging, hati, dan ginjal sapi yang berasal dari RPH. Keberadaan timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi dapat menjadi sumber akumulasi timbal dalam tubuh manusia yang mengonsumsinya (Suyanto et al. 2010). Akumulasi timbal yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan keracunan (D’Mello 2003; Suyanto et al. 2010).

Timbal dapat diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dan keberadaan pada organ dapat diketahui dengan menggunakan pewarnaan Rhodizonate (Kiernan 1990; Supriyanto et al. 2007). Kombinasi SSA dan pewarnaan Rhodizonate dapat menunjukkan pola sebaran timbal pada daging, hati, dan ginjal sapi potong sehingga dapat dijadikan bahan acuan dalam memahami bahaya timbal terhadap kesehatan.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah adanya timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong yang dapat menyebabkan keracunan timbal pada manusia.

Tujuan Penelitian

(13)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai bahaya pencemaran timbal sehingga masyarakat lebih berhati-hati dalam mengolah pangan, terutama pangan yang berasal dari sapi dan masyarakat dapat mengetahui cara pencegahan dan solusi penanggulangan apabila terjadi keracunan timbal.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian meliputi pengukuran kadar timbal dan pola penyebarannya dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong. Pembahasan hasil penelitian meliputi faktor yang mempengaruhi kadar timbal, keracunan timbal, solusi, dan pencegahan keracunan timbal.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging adalah otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia (FDA 2009). Otot skeletal/rangka berbentuk serabut silindris dan memiliki banyak inti sel yang terletak di tepi (Soeparno 2005). Susunan serabut otot rangka ditunjang oleh jaringan ikat dalam membentuk otot (Bloom dan Fawcett 2002). Tiap serabut otot dibalut oleh endomisium. Endomisium adalah jaringan ikat halus dengan serabut retikuler dan kapiler. Beberapa serabut otot membentuk fasikulus. Fasikulus dibalut oleh perimisium. Perimisium adalah jaringan ikat padat yang mengandung kolagen (Soeparno 2005). Beberapa fasikulus membentuk bundel otot. Bundel otot dibalut oleh epimisium. Epimisium adalah jaringan ikat padat (Sloane 2004). Fungsi otot meliputi pergerakan, penopang tubuh, mempertahankan postur, dan produksi panas (Sloane 2004). Daging mengandung protein, mineral (Fe dan Ca), vitamin B12, dan lemak yang berguna bagi tubuh (Lawrie 2003).

Hati

(14)

3 memberi darah bersih ke sel-sel hati yang membawa oksigen. Fungsi utama hati adalah detoksifikasi toksin dan obat, mensintesis glukosa, memetabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, serta mensekresi empedu (Lu 1995).

Ginjal

Bentuk anatomi ginjal pada sapi adalah multilobular (Dellmann dan Brown 1992). Ginjal terdapat dua bagian yaitu bagian korteks dan medula. Bagian korteks ditemukan korpuskulus renalis, tubulus proksimalis, dan tubulus distalis. Bagian medula ditemukan ansa Henle dan collecting tubulus. Tubulus proksimalis memiliki segmen paling panjang yang membentuk sebagian besar dari korteks. Tubulus proksimalis dipengaruhi oleh proses penyakit dan zat-zat beracun (Banks 1993). Sekitar 85% natrium dan air diserap kembali ke dalam darah sehingga kadar toksikan lebih tinggi di tubuli proksimalis (Dellmann dan Brown 1992).

Ansa Henle terdiri dari epitel pipih selapis dengan inti menonjol ke arah lumen saluran dan memiliki mikrovili pendek. Ansa Henle bertugas reabsorbsi NaCl dan memekatkan urin (Dellmann dan Brown 1992). Tubulus distalis memiliki segmen yang pendek, ukurannya lebih kecil, lumen lebih besar dari tubuli proksimalis (Banks 1993). Tubulus distalis berfungsi mengencerkan urin. Collecting tubulus terdiri dari epitel cuboidal dengan sel berukuran besar, bulat, dan inti berwarna gelap (Banks 1993). Fungsinya menyalurkan urin dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang diperngaruhi hormon antidiuretik (ADH). Ginjal berfungsi mengeluarkan produk limbah dan racun dari tubuh, menyeimbangkan cairan tubuh, merilis hormon yang mengatur tekanan darah, menghasilkan bentuk aktif vitamin D yang memperkuat tulang, dan mengontrol produksi sel darah merah (Sloane 2004).

Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) digunakan untuk mengukur unsur logam karena SSA memiliki sensitifitas tinggi, mudah, murah, sederhana, cepat, dan sampel yang dibutuhkan sedikit (Supriyanto et al. 2007). Spektrofotometer Serapan Atom merupakan radiasi dari sumber cahaya dengan energi yang sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom-atom dari unsur yang diperiksa untuk melakukan transisi elektronik, dipancarkan melalui cahaya (Harmita 2009). Atom-atom dari zat yang diperiksa akan diabsorpsi radiasi tadi sesuai dengan konsentrasi zat tersebut yaitu sesuai dengan populasi atom-atom pada level energi terendah (Harmita 2009). Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang gelombang cahaya yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam cahaya (Riyanto 2009).

Timbal

(15)

4

industri dan polusi udara dari gas buang kendaraan. Limbah industri mengalir pada jalur-jalur perairan yang dapat digunakan untuk minum sapi potong dan dapat mencemari tanah sehingga tumbuhan di sekitarnya ikut tercemar. Makanan adalah sumber utama asupan timbal dalam kehidupan sehari-hari (Lu 1995). Makanan menyumbang timbal sebanyak 100 - 300 µg/hari tetapi hanya 5 - 10% dari jumlah yang tertelan akan diabsorpsi dalam tubuh (Fardiaz 1992; Lu 1995). Sapi, anjing, dan hewan lainnya mungkin terpapar pada tingkat yang lebih tinggi karena kebiasaannya menjilat, mengunyah, atau memakan benda asing misalnya tanah (saat merumput merupakan rute paparan timbal utama), dan cat dinding (Sofos 2005).

Umumnya timbal masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan sistem pernapasan. Suciani (2007) menyatakan bahwa waktu paruh logam timbal dalam tubuh 5 - 6 minggu tetapi dibutuhkan waktu 25 - 30 tahun untuk menghilangkan separuh kandungan timbal yang tersisa dalam tubuh. Timbal diekskresikan dalam urin (75 - 80%), feses (15%), keringat (8%), dan susu (Suciani 2007). Timbal dapat menyebabkan keracunan apabila jumlahnya melebihi ambang batas.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2012 hingga Oktober 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium bersama Departemen Kimia FMIPA IPB, dan Laboratorium Histologi Departemen AFF FKH IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging, ginjal, dan hati sapi potong, Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, larutan standar Pb konsentrasi 1000 ppm, bahan bakar asetilen, alkohol, silol, aquades, Rhodizonate, Hematoksilin Eosin (HE), parafin, dan entellan®.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah tissue cassatte, tissue embedding consule Sakura®, automatic tissue processor, mikrotom, object glass, cover glass, inkubator, hot plate, mikroskop cahaya Olympus Ch-20®, digital eye piece camera microscope, dan satu set peralatan SSA Shimadzu AA-7000.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel

(16)

5 semuanya dari RPH Bubulak, Bogor. Setiap sapi diambil 3 potongan sampel yaitu daging, hati, dan ginjal. Total 27 sampel masing-masing di bagi dua, bagian pertama dimasukkan dalam cooling box dengan suhu 0 - 5oC untuk pengukuran kadar timbal dengan SSA dan bagian kedua difiksasi dengan BNF 10% untuk pembuatan preparat histologis.

Pengukuran Kadar Timbal

Pengukuran kadar timbal menggunakan metode Wet Ashing. Sampel ditimbang sebanyak 5 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml. Sebanyak 10 ml HNO3 ditambahkan pada erlenmeyer dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Erlenmeyer dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama 4 - 6 jam (dalam ruang asam) dan dibiarkan semalam (dalam keadaan tertutup). Sebanyak 0.8 ml H2SO4 ditambahkan pada erlenmeyer lalu dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama ± 1 jam sampai larutan berkurang dan menjadi lebih pekat. Campuran larutan HClO4 : HNO3 (2:1) ditambahkan sebanyak 6 tetes pada erlenmeyer. Sampel dibiarkan tetap di atas hot plate selama ± 1 jam sampai terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning tua, lalu menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan warna, pemanasan dilanjutkan selama 10 - 15 menit. Sampel didinginkan dan ditambahkan 4 ml aquades dan 1.2 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit agar sampel larut, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan diencerkan dengan aquades. Apabila ada endapan, maka sampel disaring dengan kertas saring. Sampel siap dianalisis menggunakan SSA dan dibaca absorbansi pada λ 217 nm. Larutan standar menggunakan aquades sebagai pembanding (kontrol) pada saat pengukuran sampel.

Pembuatan Preparat Histologis

Sampel organ yang telah difiksasi dalam larutan BNF 10% dipotong dan dimasukkan ke dalam tissue cassatte untuk dilakukan proses rehidrasi dengan cara merendam tissue cassatte dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat 70% - absolut. Proses selanjutnya yaitu clearing dengan menggunakan silol, lalu dilakukan perendaman dalam parafin cair sebelum dibuat bentuk blok. Seluruh proses rehidrasi, clearing, dan infiltrasi dilakukan secara manual.

Setelah ketiga tahapan selesai, maka dilanjutkan dengan embedding dalam parafin dan didinginkan pada suhu kamar membentuk blok parafin dan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 µm. Hasil pemotongan diletakkan sebentar di air hangat bersuhu 37oC agar tidak terjadi pengerutan, kemudian diambil dan diletakkan di atas object glass. Preparat dikeringkan di atas hot plate suhu 40 - 45°C selama 20 menit. Preparat disimpan semalam di inkubator suhu 37oC sebelum diwarnai Rhodizonate dan HE. Pewarnaan Rhodizonate digunakan untuk melihat pola sebaran akumulasi timbal sedangkan pewarnaan HE sebagai pembanding gambaran morfologi organ.

Pewarnaan Rhodizonate

(17)

6

Tabel 1 Kadar timbal (rataan ± SD) sampel daging, hati, dan ginjal segar sapi dari RPH Bubulak

Keterangan: SNI (Standard Nasional Indonesia) 2009 CAC (Codex Allimentarius Commission) 2011

dengan mencelupkan 3 kali dalam alkohol konsentrasi bertingkat selama 1 menit, dan silol selama 1 menit. Permukaan preparat ditetesi entellan® dan ditutup dengan cover glass. Setelah kering preparat diamati dan difoto menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera.

Prosedur Analisis Data

Kadar dan sebaran timbal dianalisis secara deskriptif terhadap penyebab keberadaan timbal dan membandingkan dengan ambang batas yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak terletak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Rumah Potong Hewan Bubulak milik pemerintah Kota Bogor ini menampung sapi potong asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pemeliharaan, Bogor sebagai wakil Jawa Barat, Boyolali sebagai wakil Jawa Tengah, dan Gresik sebagai wakil Jawa Timur.

Kadar Timbal

(18)

7

Daging

Hati

Gambar 1 Gambaran histologis pembuluh darah di jaringan ikat otot (daging) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B), dinding pembuluh darah (dp), lumen (l), sel lemak (sl), jaringan ikat (j), sel otot (o). Pewarnaan HE (A) dan pewarnaan Rhodizonate (B).

(19)

8

Ginjal

Pembahasan

Kadar Timbal

Berdasarkan pengukuran kadar timbal didapatkan bahwa kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Bogor berturut-turut adalah 1.03 ppm, 1.59 ppm, dan 1.18 ppm. Kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Boyolali berturut-turut adalah 1.45 ppm, 1.68 ppm, dan 1.001 ppm. Kadar timbal

(20)

9 daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Gresik berturut-turut adalah 1.25 ppm, 1.52 ppm, dan 1.16 ppm. Kadar timbal tersebut menunjukkan angka di atas 1 ppm melebihi batas maksimum residu (BMR). Kadar timbal pada daging terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.45 ppm. Kadar timbal pada hati terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.68 ppm sedangkan kadar timbal pada ginjal terbanyak berasal dari Bogor yaitu 1.18 ppm. Apabila kadar timbal diurutkan dari ketiga jaringan sampel yang diambil maka hati memiliki tingkat akumulasi timbal paling tinggi kemudian diikuti oleh daging dan ginjal (urutannya adalah hati > daging > ginjal). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Sofos (2005) bahwa kadar timbal pada hati memiliki level tertinggi dibandingkan daging dan ginjal.

Perbedaan kadar akumulasi timbal pada setiap jaringan ditentukan oleh sifat jaringan dan sifat logam berat tersebut. Akumulasi timbal dalam jumlah besar pada hati terjadi karena hati merupakan jaringan pertahanan pertama dari toksikan yang masuk dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa hati memiliki peran sebagai organ pertama untuk detoksifikasi racun di dalam tubuh. Akumulasi timbal pada ginjal juga terjadi karena adanya aktivitas absorpsi aktif dalam ginjal. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) bahwa sekitar 85% natrium dan air diserap kembali sehingga timbal yang terlarut dalam air ikut terserap. Pernyataan ini diperkuat oleh Wardhayani (2006) bahwa akumulasi logam tertinggi terjadi dalam hati (organ detoksifikasi) dan ginjal (organ ekskresi). Di dalam kedua organ tersebut, logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalothionin.

Besarnya kadar timbal yang terukur menunjukkan bahwa akumulasi timbal berlebihan pada daging, hati, dan ginjal sapi. Hal ini dapat menyebabkan keracunan timbal pada manusia yang mengonsumsi apabila melebihi BMR karena timbal bersifat bioakumulasi dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiloka et al. (2006) bahwa 5 - 10% timbal yang masuk melalui makanan akan terserap oleh tubuh dan 15% dari jumlah yang terserap itu akan mengendap di jaringan tubuh. Menurut Suyanto et al. (2010), dampak negatif yang terjadi akibat akumulasi timbal adalah keracunan timbal.

Kadar timbal yang berlebihan ini dapat dimungkinkan karena adanya pencemaran timbal di pakan dan lingkungan. Pencemaran timbal pada udara, air, dan tanah di Bogor adalah 0.15 µg/m3 di udara, 0.05 - 0.16 ppm di air, dan 1.5 - 1.7 ppm di tanah (Athena et al. 1996; Dariah 2011; Rachmawati 2005). Pencemaran timbal di Boyolali adalah 2 - 4 µg/Nm3 di udara, 0.07 - 0.1 ppm di air, dan 8.13 - 28.06 ppm di tanah (Pramono dan Wahyuni 2008; Sunoko et al. 2011). Pencemaran timbal di Gresik adalah 0.2 µg/m3 di udara, 0.21 ppm di air (BLH 2011; Purnomo dan Muchyiddin 2007), dan data kadar timbal di tanah Gresik belum ada yang melaporkan. Perbedaan kadar timbal dapat terjadi karena adanya selang waktu akumulasi timbal dalam tubuh masing-masing sapi atau tingkat cemaran timbal di masing-masing daerah.

(21)

10

timbal dalam daging sapi sebesar 1.45 ppm maka jumlah timbal yang termakan adalah 0.013 ppm. Hal ini berarti seseorang yang mengonsumsi daging sapi sebanyak 0.009 kg/minggu tidak melebihi ambang batas konsumsi timbal yang dapat menyebabkan akumulasi dan keracunan. Akumulasi tersebut belum termasuk pemasukan dari polusi udara, air, dan pangan lain yang tercemar timbal.

Pola Sebaran Akumulasi Timbal

Akumulasi timbal tidak terjadi di otot (daging) (Gambar 1). Timbal hanya ditemukan di pembuluh darah pada jaringan ikat. Timbal tetap berada di dalam pembuluh darah karena tidak ada ikatan antara timbal dengan otot. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa timbal tidak terakumulasi dalam otot tetapi hanya beredar di pembuluh darah saja karena otot tidak memiliki fungsi sebagai penyaring atau pun detoksifikasi.

Akumulasi timbal di hati terjadi pada hepatosit di perifer lobulus dan segitiga Kiernan (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Banks (1993) bahwa aliran darah di lobulus hati berasal dari perifer menuju vena sentral sehingga timbal banyak terakumulasi dan tersebar lebih banyak di daerah perifer. Menurut Pearce (2009), pada segitiga Kiernan terdapat pembuluh darah yang mengandung timbal dalam jumlah besar sehingga akumulasi timbal terjadi di sekitar pembuluh darah.

Akumulasi timbal di ginjal terjadi pada korteks yaitu pada glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla (Gambar 3). Kadar timbal terbanyak di ginjal berada pada tubulus proksimalis. Menurut Banks (1993), tubulus proksimalis mudah dipengaruhi oleh zat beracun karena proses absorpsi aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) sekitar 85% natrium dan air diserap kembali ke dalam darah sehingga kadar toksikan tinggi di dalam tubulus proksimalis.

(22)

11

Dampak Timbal

Dampak akibat akumulasi timbal terjadi jika jumlah timbal dalam tubuh telah melebihi ambang batas. Dampak yang timbul pada hewan dan manusia adalah keracunan timbal. Gejala klinis keracunan timbal pada hewan meliputi gastroenteritis, anemia, dan ensefalopati (Wardhayani 2006).

Gejala klinis keracunan timbal pada manusia dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala klinis akut meliputi shock, sakit kepala, irritabilitas, dan keluhan kolik (D’Mello 2003). Gejala klinis kronis meliputi kolik, konstipasi, anemia, pucat, ensefalopati, reproduksi terganggu, efek perkembangan saraf janin, gangguan berbagai organ tubuh, penurunan kecerdasan, dan autisme (Suyanto et al. 2010). Wardhayani (2006) menyatakan bahwa gejala lain jika terjadi keracunan timbal adalah garis-garis berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi.

Solusi dan Pencegahan

Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan sapi secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan sapi (Godish 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Saran

(23)

12

DAFTAR PUSTAKA

Athena, Tugaswati T, Sukar. 1996. Kandungan logam berat (Hg, Cd, dan Pb) dalam air tanah pada perumahan tipe kecil di Jabodetabek. Bul Penelit Kesehat 24(4):18-27.

Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Edisi ke-3. Texas: Mosby Inc. [BLH] Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. 2011. Laporan status

lingkungan hidup daerah Provinsi Jawa Timur. Surabaya: BLH.

Bloom, Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Tambayong J, penerjemah; Hartanto H, editor. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: A Textbook of Histology.

[CAC] Codex Allimentarius Commission. 2011. Working document for information and use in discussions related to contaminants and toxins in the GSCTFF. Netherlands: Codex Allimentarius Commission.

Dariah A. 2011. Pengembangan pembenah tanah diperkaya senyawa humat > 10% untuk meningkatkan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah dan produktivitas tanaman 30% pada lahan kering (masam dan netral alkalin) terdegradasi [Internet]. [Diacu 2012 November 20]. Tersedia dari: http://balittanah.litbang. deptan.go.id/ dokumentasi/ristek2011/lap%20ristek%20ai.pdf.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI Pr. Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Edisi ke-3.

Hartono, Penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Konsumsi rata-rata per kapita per minggu beberapa bahan [Internet]. [Diacu 2012 September 22]. Tersedia dari: www.deptan.go.id/Indikator/tabel-15a-konsumsi-rata.pdf.

D’Mello JPF. 2003. Food Safety Contaminants and Toxins. London: CABI

Publishing.

Dwiloka, Rasana’e, Rianto. 2006. Kandungan logam berat pada hati dan usus sapi yang dipelihara di TPA Jatibarang Semarang setelah direbus dengan daun kumis kucing (Orthosophon stamineus Benth). [Waktu pertemuan dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Semarang (ID): Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. hlm 33-42.

Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.

[FDA] Food and Drug Administration. 2009. Food code. US: Departement of Health and Human Services.

Flora SJS, Pachauri V. 2010. Chelation in metal intoxication. Int J Environ Res Public Health 1(7):2745-2788.

Godish T. 2004. Air Quality. New York: Lewis Publishers.

Harmita. 2009. Analisis fisiko kimia spektrofotometer serapan atom (SSA). [Internet]. [Diacu 2012 Mei 22]. Tersedia dari: http://staff.ui.ac.id/internal/ 130804826/material/ANFISKIMSSAatauAASDr.Harmita.pdf.

(24)

13 (Plotosus canius Web&Bia) di muara Sungai Kahayan serta Katingan, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 268 hlm. Haschek WM, Rousseaux CG. 1998. Fundamentals of Toxicologic Pathology. San

Diego: Academic Pr.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. 2nd ed. Canada: Pergamen Pr.

Lawrie. 2003. Ilmu Daging. Jakarta: UI Pr.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. penerjemah; Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology for Paramedic.

Pramono A, Wahyuni S. 2008. Kandungan logam berat pada sistem integrasi tanaman ternak di Das Serang. [Internet]. [Diacu 2012 November 19]. Yogyakarta (ID): Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. hlm 1-9. Tersedia dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/8289/ Ali%20Pramono.pdf?sequence=1.

Purnomo T, Muchyiddin. 2007. Analisis kandungan timbal pada ikan bandeng di tambak Kecamatan Gresik. Neptunus 14(1):68-77.

Rachmawati DS. 2005. Peranan hutan kota dalam menjerap dan menyerap timbal di udara ambient. [Internet] [Diacu 20 November 2012]. Tersedia dari: http:// endesdahlan.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/Dwi-Santi-Rachmawati-E03400042. pdf.

Riyanto. 2009. Spektrofotometer serapan atom. [Internet]. [Diacu 2012 Mei 22]. Tersedia dari: http://lab.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view& id=42& Itemid=80.

Rochyatun E, Abdul R. 2007. Pemantauan kadar logam berat dalam sediman di perairan Teluk Jakarta. Makara Sains 11(1):28-36.

Ruwanto B. 2007. Asas-Asas Fisika 2B. Edisi ke-2. Jakarta: Yudhistira.

Sloane E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Veldman J, penerjemah; Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology: an Easy Learner.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 7387:2009. 2009. Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Badan Standarisasi Nasional.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Pr.

Sofos JN. 2005. Improving The Safety of Fresh Meat. England: CRC Pr dan Woodhead Publishing Ltd.

(25)

14

Sudiyono. 2011. Upaya eliminasi residu logam berat pada sapi potong yang berasal dari lokasi tempat pembuangan akhir sampah dengan pemeliharaan secara konvensional. Sains Peternakan 9(1):1-7.

Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan microorganisme: suatu kajian kepustakaan. Sinergy Forum - PPI Tokyo Institute of Technology; 2001 Februari 1-14; Kagoshima (JPN): ISTECS. hlm 1-9.

Sunoko HR, Hadiyarto A, Santoso B. 2011. Dampak aktivitas transportasi terhadap kandungan timbal dalam udara ambient di Kota Semarang. Bioma 1(2):105-112.

Supriyanto C, Samin, Kamal Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom (SSA). Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir; 2007 November 21-22; Yogyakarta (ID): Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir–BATAN. hlm 147-152. Suyanto A, Kusmiyati S, Retnaningsih. 2010. Residu logam berat dalam daging

sapi yang diperlihara di tempat pembuangan sampah akhir. J Pangan dan Gizi 1(1):15-23.

Wardhayani S. 2006. Analisis risiko pencemaran bahan toksik timbal (Pb) pada sapi potong di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Jatibarang Semarang [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.75 hlm.

[WHO] World Health Organization. 1993. Guidelines for drinking-water quality, 2nd ed, recommendations chemical aspects-volume 1. [Internet]. [Diacu 2012 November 27]. Tersedia dari: http://www.who.int/water_sanitation_health/ dwq/ 2edvol1c.pdf.

(26)

15 Lampiran 1 Kadar timbal di Bogor

Tabel 1 Kadar timbal di Bogor (ppm)

No. Nama Sampel Kadar Timbal rataan standar deviasi

1 Hati 1 0.8575

2 Hati 4 1.8900 1.5914 0.6393

3 Hati 7 2.0268

4 Otot 1 0.7777

5 Otot 4 0.7913 1.0280 0.4218

6 Otot 7 1.5150

7 Ginjal 1 0.7773

8 Ginjal 4 1.5439 1.1777 0.3844

9 Ginjal 7 1.2119

Tabel 2 Kadar timbal rataan ± standar deviasi di Bogor (ppm) No. Nama Sampel Kadar timbal rataan ± standar deviasi

1 Hati 1.5914 ± 0.6393

2 Otot 1.0280 ± 0.4218

(27)

16

Lampiran 2 Kadar timbal di Boyolali

Tabel 1 Kadar timbal di Boyolali (ppm)

No. Nama Sampel Kadar Timbal rataan standar deviasi

1 Hati 2 1.1234

2 Hati 5 2.0065 1.6776 0.4827

3 Hati 8 1.9029

4 Otot 2 1.5205

5 Otot 5 1.2128 1.4522 0.2136

6 Otot 8 1.6233

7 Ginjal 2 0.7978

8 Ginjal 5 1.1181 1.0007 0.1764

9 Ginjal 8 1.0861

Tabel 2 Kadar timbal rataan ± standar deviasi di Boyolali (ppm) No. Nama Sampel Kadar timbal rataan ± standar deviasi

1 Hati 1.6776 ± 0.4827

2 Otot 1.4522 ± 0.2136

(28)

17 Lampiran 3 Kadar timbal di Gresik

Tabel 1 Kadar timbal di Gresik (ppm)

No. Nama Sampel Kadar Timbal rataan standar deviasi

1 Hati 3 0.7221

2 Hati 6 1.7960 1.5241 0.7064

3 Hati 9 2.0542

4 Otot 3 0.8311

5 Otot 6 1.3627 1.2482 0.3733

6 Otot 9 1.5508

7 Ginjal 3 1.1671

8 Ginjal 6 1.0968 1.1640 0.0657

9 Ginjal 9 1.2281

Tabel 2 Kadar timbal rataan ± standar deviasi di Gresik (ppm) No. Nama Sampel Kadar timbal rataan ± standar deviasi

1 Hati 1.5241 ± 0.7064

2 Otot 1.2482 ± 0.3733

(29)

18

RIWAYAT HIDUP

(30)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia, hewan, dan tumbuhan tinggal di lingkungan yang sama dan membentuk sistem rantai makanan. Pencemaran lingkungan memiliki efek negatif terhadap makhluk hidup, diantaranya adalah cemaran logam berat yang berasal dari limbah industri dan gas buangan kendaraan. Logam berat, khususnya timbal (Pb2+), menjadi bahan pencemar berbahaya karena tidak mudah dihancurkan di dalam tubuh dan di lingkungan sehingga cenderung berakumulasi (Harteman 2011). Ciri-ciri logam berat timbal adalah memiliki berat jenis 11.3, nomor atom 82, bersifat toksik dan akumulatif dalam tubuh, serta urutan toksisitas Hg2+ > Cd2+ > Ag2+> Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+ (Darmono 1995; Oxtoby et al. 2001; Ruwanto 2007; Suciani 2007). Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa timbal merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan karena sifat toksisitas yang tinggi. Akumulasi terjadi karena penyimpanan timbal lebih tinggi dibanding pelepasannya di dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan keberadaan timbal di dalam tubuh semakin tinggi dan memberikan dampak yang merusak organ tubuh (Rochyatun dan Abdul 2007). Selain itu, penyebaran logam berat timbal dalam tubuh dipengaruhi oleh sirkulasi darah (Harteman 2011).

Sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sebagian besar daging sapi yang dikonsumsi berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH), tetapi belum diketahui kadar timbal pada daging, hati, dan ginjal sapi yang berasal dari RPH. Keberadaan timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi dapat menjadi sumber akumulasi timbal dalam tubuh manusia yang mengonsumsinya (Suyanto et al. 2010). Akumulasi timbal yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan keracunan (D’Mello 2003; Suyanto et al. 2010).

Timbal dapat diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dan keberadaan pada organ dapat diketahui dengan menggunakan pewarnaan Rhodizonate (Kiernan 1990; Supriyanto et al. 2007). Kombinasi SSA dan pewarnaan Rhodizonate dapat menunjukkan pola sebaran timbal pada daging, hati, dan ginjal sapi potong sehingga dapat dijadikan bahan acuan dalam memahami bahaya timbal terhadap kesehatan.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah adanya timbal dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong yang dapat menyebabkan keracunan timbal pada manusia.

Tujuan Penelitian

(31)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai bahaya pencemaran timbal sehingga masyarakat lebih berhati-hati dalam mengolah pangan, terutama pangan yang berasal dari sapi dan masyarakat dapat mengetahui cara pencegahan dan solusi penanggulangan apabila terjadi keracunan timbal.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian meliputi pengukuran kadar timbal dan pola penyebarannya dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong. Pembahasan hasil penelitian meliputi faktor yang mempengaruhi kadar timbal, keracunan timbal, solusi, dan pencegahan keracunan timbal.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging adalah otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia (FDA 2009). Otot skeletal/rangka berbentuk serabut silindris dan memiliki banyak inti sel yang terletak di tepi (Soeparno 2005). Susunan serabut otot rangka ditunjang oleh jaringan ikat dalam membentuk otot (Bloom dan Fawcett 2002). Tiap serabut otot dibalut oleh endomisium. Endomisium adalah jaringan ikat halus dengan serabut retikuler dan kapiler. Beberapa serabut otot membentuk fasikulus. Fasikulus dibalut oleh perimisium. Perimisium adalah jaringan ikat padat yang mengandung kolagen (Soeparno 2005). Beberapa fasikulus membentuk bundel otot. Bundel otot dibalut oleh epimisium. Epimisium adalah jaringan ikat padat (Sloane 2004). Fungsi otot meliputi pergerakan, penopang tubuh, mempertahankan postur, dan produksi panas (Sloane 2004). Daging mengandung protein, mineral (Fe dan Ca), vitamin B12, dan lemak yang berguna bagi tubuh (Lawrie 2003).

Hati

(32)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai bahaya pencemaran timbal sehingga masyarakat lebih berhati-hati dalam mengolah pangan, terutama pangan yang berasal dari sapi dan masyarakat dapat mengetahui cara pencegahan dan solusi penanggulangan apabila terjadi keracunan timbal.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian meliputi pengukuran kadar timbal dan pola penyebarannya dalam daging, hati, dan ginjal sapi potong. Pembahasan hasil penelitian meliputi faktor yang mempengaruhi kadar timbal, keracunan timbal, solusi, dan pencegahan keracunan timbal.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging adalah otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia (FDA 2009). Otot skeletal/rangka berbentuk serabut silindris dan memiliki banyak inti sel yang terletak di tepi (Soeparno 2005). Susunan serabut otot rangka ditunjang oleh jaringan ikat dalam membentuk otot (Bloom dan Fawcett 2002). Tiap serabut otot dibalut oleh endomisium. Endomisium adalah jaringan ikat halus dengan serabut retikuler dan kapiler. Beberapa serabut otot membentuk fasikulus. Fasikulus dibalut oleh perimisium. Perimisium adalah jaringan ikat padat yang mengandung kolagen (Soeparno 2005). Beberapa fasikulus membentuk bundel otot. Bundel otot dibalut oleh epimisium. Epimisium adalah jaringan ikat padat (Sloane 2004). Fungsi otot meliputi pergerakan, penopang tubuh, mempertahankan postur, dan produksi panas (Sloane 2004). Daging mengandung protein, mineral (Fe dan Ca), vitamin B12, dan lemak yang berguna bagi tubuh (Lawrie 2003).

Hati

(33)

3 memberi darah bersih ke sel-sel hati yang membawa oksigen. Fungsi utama hati adalah detoksifikasi toksin dan obat, mensintesis glukosa, memetabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, serta mensekresi empedu (Lu 1995).

Ginjal

Bentuk anatomi ginjal pada sapi adalah multilobular (Dellmann dan Brown 1992). Ginjal terdapat dua bagian yaitu bagian korteks dan medula. Bagian korteks ditemukan korpuskulus renalis, tubulus proksimalis, dan tubulus distalis. Bagian medula ditemukan ansa Henle dan collecting tubulus. Tubulus proksimalis memiliki segmen paling panjang yang membentuk sebagian besar dari korteks. Tubulus proksimalis dipengaruhi oleh proses penyakit dan zat-zat beracun (Banks 1993). Sekitar 85% natrium dan air diserap kembali ke dalam darah sehingga kadar toksikan lebih tinggi di tubuli proksimalis (Dellmann dan Brown 1992).

Ansa Henle terdiri dari epitel pipih selapis dengan inti menonjol ke arah lumen saluran dan memiliki mikrovili pendek. Ansa Henle bertugas reabsorbsi NaCl dan memekatkan urin (Dellmann dan Brown 1992). Tubulus distalis memiliki segmen yang pendek, ukurannya lebih kecil, lumen lebih besar dari tubuli proksimalis (Banks 1993). Tubulus distalis berfungsi mengencerkan urin. Collecting tubulus terdiri dari epitel cuboidal dengan sel berukuran besar, bulat, dan inti berwarna gelap (Banks 1993). Fungsinya menyalurkan urin dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang diperngaruhi hormon antidiuretik (ADH). Ginjal berfungsi mengeluarkan produk limbah dan racun dari tubuh, menyeimbangkan cairan tubuh, merilis hormon yang mengatur tekanan darah, menghasilkan bentuk aktif vitamin D yang memperkuat tulang, dan mengontrol produksi sel darah merah (Sloane 2004).

Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) digunakan untuk mengukur unsur logam karena SSA memiliki sensitifitas tinggi, mudah, murah, sederhana, cepat, dan sampel yang dibutuhkan sedikit (Supriyanto et al. 2007). Spektrofotometer Serapan Atom merupakan radiasi dari sumber cahaya dengan energi yang sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom-atom dari unsur yang diperiksa untuk melakukan transisi elektronik, dipancarkan melalui cahaya (Harmita 2009). Atom-atom dari zat yang diperiksa akan diabsorpsi radiasi tadi sesuai dengan konsentrasi zat tersebut yaitu sesuai dengan populasi atom-atom pada level energi terendah (Harmita 2009). Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang gelombang cahaya yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam cahaya (Riyanto 2009).

Timbal

(34)

4

industri dan polusi udara dari gas buang kendaraan. Limbah industri mengalir pada jalur-jalur perairan yang dapat digunakan untuk minum sapi potong dan dapat mencemari tanah sehingga tumbuhan di sekitarnya ikut tercemar. Makanan adalah sumber utama asupan timbal dalam kehidupan sehari-hari (Lu 1995). Makanan menyumbang timbal sebanyak 100 - 300 µg/hari tetapi hanya 5 - 10% dari jumlah yang tertelan akan diabsorpsi dalam tubuh (Fardiaz 1992; Lu 1995). Sapi, anjing, dan hewan lainnya mungkin terpapar pada tingkat yang lebih tinggi karena kebiasaannya menjilat, mengunyah, atau memakan benda asing misalnya tanah (saat merumput merupakan rute paparan timbal utama), dan cat dinding (Sofos 2005).

Umumnya timbal masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan sistem pernapasan. Suciani (2007) menyatakan bahwa waktu paruh logam timbal dalam tubuh 5 - 6 minggu tetapi dibutuhkan waktu 25 - 30 tahun untuk menghilangkan separuh kandungan timbal yang tersisa dalam tubuh. Timbal diekskresikan dalam urin (75 - 80%), feses (15%), keringat (8%), dan susu (Suciani 2007). Timbal dapat menyebabkan keracunan apabila jumlahnya melebihi ambang batas.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2012 hingga Oktober 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium bersama Departemen Kimia FMIPA IPB, dan Laboratorium Histologi Departemen AFF FKH IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging, ginjal, dan hati sapi potong, Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, larutan standar Pb konsentrasi 1000 ppm, bahan bakar asetilen, alkohol, silol, aquades, Rhodizonate, Hematoksilin Eosin (HE), parafin, dan entellan®.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah tissue cassatte, tissue embedding consule Sakura®, automatic tissue processor, mikrotom, object glass, cover glass, inkubator, hot plate, mikroskop cahaya Olympus Ch-20®, digital eye piece camera microscope, dan satu set peralatan SSA Shimadzu AA-7000.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel

(35)

4

industri dan polusi udara dari gas buang kendaraan. Limbah industri mengalir pada jalur-jalur perairan yang dapat digunakan untuk minum sapi potong dan dapat mencemari tanah sehingga tumbuhan di sekitarnya ikut tercemar. Makanan adalah sumber utama asupan timbal dalam kehidupan sehari-hari (Lu 1995). Makanan menyumbang timbal sebanyak 100 - 300 µg/hari tetapi hanya 5 - 10% dari jumlah yang tertelan akan diabsorpsi dalam tubuh (Fardiaz 1992; Lu 1995). Sapi, anjing, dan hewan lainnya mungkin terpapar pada tingkat yang lebih tinggi karena kebiasaannya menjilat, mengunyah, atau memakan benda asing misalnya tanah (saat merumput merupakan rute paparan timbal utama), dan cat dinding (Sofos 2005).

Umumnya timbal masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan sistem pernapasan. Suciani (2007) menyatakan bahwa waktu paruh logam timbal dalam tubuh 5 - 6 minggu tetapi dibutuhkan waktu 25 - 30 tahun untuk menghilangkan separuh kandungan timbal yang tersisa dalam tubuh. Timbal diekskresikan dalam urin (75 - 80%), feses (15%), keringat (8%), dan susu (Suciani 2007). Timbal dapat menyebabkan keracunan apabila jumlahnya melebihi ambang batas.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2012 hingga Oktober 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium bersama Departemen Kimia FMIPA IPB, dan Laboratorium Histologi Departemen AFF FKH IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging, ginjal, dan hati sapi potong, Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, larutan standar Pb konsentrasi 1000 ppm, bahan bakar asetilen, alkohol, silol, aquades, Rhodizonate, Hematoksilin Eosin (HE), parafin, dan entellan®.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah tissue cassatte, tissue embedding consule Sakura®, automatic tissue processor, mikrotom, object glass, cover glass, inkubator, hot plate, mikroskop cahaya Olympus Ch-20®, digital eye piece camera microscope, dan satu set peralatan SSA Shimadzu AA-7000.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel

(36)

5 semuanya dari RPH Bubulak, Bogor. Setiap sapi diambil 3 potongan sampel yaitu daging, hati, dan ginjal. Total 27 sampel masing-masing di bagi dua, bagian pertama dimasukkan dalam cooling box dengan suhu 0 - 5oC untuk pengukuran kadar timbal dengan SSA dan bagian kedua difiksasi dengan BNF 10% untuk pembuatan preparat histologis.

Pengukuran Kadar Timbal

Pengukuran kadar timbal menggunakan metode Wet Ashing. Sampel ditimbang sebanyak 5 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml. Sebanyak 10 ml HNO3 ditambahkan pada erlenmeyer dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Erlenmeyer dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama 4 - 6 jam (dalam ruang asam) dan dibiarkan semalam (dalam keadaan tertutup). Sebanyak 0.8 ml H2SO4 ditambahkan pada erlenmeyer lalu dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama ± 1 jam sampai larutan berkurang dan menjadi lebih pekat. Campuran larutan HClO4 : HNO3 (2:1) ditambahkan sebanyak 6 tetes pada erlenmeyer. Sampel dibiarkan tetap di atas hot plate selama ± 1 jam sampai terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning tua, lalu menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan warna, pemanasan dilanjutkan selama 10 - 15 menit. Sampel didinginkan dan ditambahkan 4 ml aquades dan 1.2 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit agar sampel larut, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan diencerkan dengan aquades. Apabila ada endapan, maka sampel disaring dengan kertas saring. Sampel siap dianalisis menggunakan SSA dan dibaca absorbansi pada λ 217 nm. Larutan standar menggunakan aquades sebagai pembanding (kontrol) pada saat pengukuran sampel.

Pembuatan Preparat Histologis

Sampel organ yang telah difiksasi dalam larutan BNF 10% dipotong dan dimasukkan ke dalam tissue cassatte untuk dilakukan proses rehidrasi dengan cara merendam tissue cassatte dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat 70% - absolut. Proses selanjutnya yaitu clearing dengan menggunakan silol, lalu dilakukan perendaman dalam parafin cair sebelum dibuat bentuk blok. Seluruh proses rehidrasi, clearing, dan infiltrasi dilakukan secara manual.

Setelah ketiga tahapan selesai, maka dilanjutkan dengan embedding dalam parafin dan didinginkan pada suhu kamar membentuk blok parafin dan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 µm. Hasil pemotongan diletakkan sebentar di air hangat bersuhu 37oC agar tidak terjadi pengerutan, kemudian diambil dan diletakkan di atas object glass. Preparat dikeringkan di atas hot plate suhu 40 - 45°C selama 20 menit. Preparat disimpan semalam di inkubator suhu 37oC sebelum diwarnai Rhodizonate dan HE. Pewarnaan Rhodizonate digunakan untuk melihat pola sebaran akumulasi timbal sedangkan pewarnaan HE sebagai pembanding gambaran morfologi organ.

Pewarnaan Rhodizonate

(37)

6

Tabel 1 Kadar timbal (rataan ± SD) sampel daging, hati, dan ginjal segar sapi dari RPH Bubulak

Keterangan: SNI (Standard Nasional Indonesia) 2009 CAC (Codex Allimentarius Commission) 2011

dengan mencelupkan 3 kali dalam alkohol konsentrasi bertingkat selama 1 menit, dan silol selama 1 menit. Permukaan preparat ditetesi entellan® dan ditutup dengan cover glass. Setelah kering preparat diamati dan difoto menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera.

Prosedur Analisis Data

Kadar dan sebaran timbal dianalisis secara deskriptif terhadap penyebab keberadaan timbal dan membandingkan dengan ambang batas yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak terletak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Rumah Potong Hewan Bubulak milik pemerintah Kota Bogor ini menampung sapi potong asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pemeliharaan, Bogor sebagai wakil Jawa Barat, Boyolali sebagai wakil Jawa Tengah, dan Gresik sebagai wakil Jawa Timur.

Kadar Timbal

(38)

6

Tabel 1 Kadar timbal (rataan ± SD) sampel daging, hati, dan ginjal segar sapi dari RPH Bubulak

Keterangan: SNI (Standard Nasional Indonesia) 2009 CAC (Codex Allimentarius Commission) 2011

dengan mencelupkan 3 kali dalam alkohol konsentrasi bertingkat selama 1 menit, dan silol selama 1 menit. Permukaan preparat ditetesi entellan® dan ditutup dengan cover glass. Setelah kering preparat diamati dan difoto menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera.

Prosedur Analisis Data

Kadar dan sebaran timbal dianalisis secara deskriptif terhadap penyebab keberadaan timbal dan membandingkan dengan ambang batas yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak terletak di Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Rumah Potong Hewan Bubulak milik pemerintah Kota Bogor ini menampung sapi potong asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pemeliharaan, Bogor sebagai wakil Jawa Barat, Boyolali sebagai wakil Jawa Tengah, dan Gresik sebagai wakil Jawa Timur.

Kadar Timbal

(39)

7

Daging

Hati

Gambar 1 Gambaran histologis pembuluh darah di jaringan ikat otot (daging) sapi asal Boyolali. Terlihat sebaran akumulasi timbal (anak panah) (B), dinding pembuluh darah (dp), lumen (l), sel lemak (sl), jaringan ikat (j), sel otot (o). Pewarnaan HE (A) dan pewarnaan Rhodizonate (B).

(40)

8

Ginjal

Pembahasan

Kadar Timbal

Berdasarkan pengukuran kadar timbal didapatkan bahwa kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Bogor berturut-turut adalah 1.03 ppm, 1.59 ppm, dan 1.18 ppm. Kadar timbal daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Boyolali berturut-turut adalah 1.45 ppm, 1.68 ppm, dan 1.001 ppm. Kadar timbal

(41)

9 daging, hati, dan ginjal sapi potong dari Gresik berturut-turut adalah 1.25 ppm, 1.52 ppm, dan 1.16 ppm. Kadar timbal tersebut menunjukkan angka di atas 1 ppm melebihi batas maksimum residu (BMR). Kadar timbal pada daging terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.45 ppm. Kadar timbal pada hati terbanyak berasal dari Boyolali yaitu 1.68 ppm sedangkan kadar timbal pada ginjal terbanyak berasal dari Bogor yaitu 1.18 ppm. Apabila kadar timbal diurutkan dari ketiga jaringan sampel yang diambil maka hati memiliki tingkat akumulasi timbal paling tinggi kemudian diikuti oleh daging dan ginjal (urutannya adalah hati > daging > ginjal). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Sofos (2005) bahwa kadar timbal pada hati memiliki level tertinggi dibandingkan daging dan ginjal.

Perbedaan kadar akumulasi timbal pada setiap jaringan ditentukan oleh sifat jaringan dan sifat logam berat tersebut. Akumulasi timbal dalam jumlah besar pada hati terjadi karena hati merupakan jaringan pertahanan pertama dari toksikan yang masuk dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa hati memiliki peran sebagai organ pertama untuk detoksifikasi racun di dalam tubuh. Akumulasi timbal pada ginjal juga terjadi karena adanya aktivitas absorpsi aktif dalam ginjal. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) bahwa sekitar 85% natrium dan air diserap kembali sehingga timbal yang terlarut dalam air ikut terserap. Pernyataan ini diperkuat oleh Wardhayani (2006) bahwa akumulasi logam tertinggi terjadi dalam hati (organ detoksifikasi) dan ginjal (organ ekskresi). Di dalam kedua organ tersebut, logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalothionin.

Besarnya kadar timbal yang terukur menunjukkan bahwa akumulasi timbal berlebihan pada daging, hati, dan ginjal sapi. Hal ini dapat menyebabkan keracunan timbal pada manusia yang mengonsumsi apabila melebihi BMR karena timbal bersifat bioakumulasi dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiloka et al. (2006) bahwa 5 - 10% timbal yang masuk melalui makanan akan terserap oleh tubuh dan 15% dari jumlah yang terserap itu akan mengendap di jaringan tubuh. Menurut Suyanto et al. (2010), dampak negatif yang terjadi akibat akumulasi timbal adalah keracunan timbal.

Kadar timbal yang berlebihan ini dapat dimungkinkan karena adanya pencemaran timbal di pakan dan lingkungan. Pencemaran timbal pada udara, air, dan tanah di Bogor adalah 0.15 µg/m3 di udara, 0.05 - 0.16 ppm di air, dan 1.5 - 1.7 ppm di tanah (Athena et al. 1996; Dariah 2011; Rachmawati 2005). Pencemaran timbal di Boyolali adalah 2 - 4 µg/Nm3 di udara, 0.07 - 0.1 ppm di air, dan 8.13 - 28.06 ppm di tanah (Pramono dan Wahyuni 2008; Sunoko et al. 2011). Pencemaran timbal di Gresik adalah 0.2 µg/m3 di udara, 0.21 ppm di air (BLH 2011; Purnomo dan Muchyiddin 2007), dan data kadar timbal di tanah Gresik belum ada yang melaporkan. Perbedaan kadar timbal dapat terjadi karena adanya selang waktu akumulasi timbal dalam tubuh masing-masing sapi atau tingkat cemaran timbal di masing-masing daerah.

(42)

10

timbal dalam daging sapi sebesar 1.45 ppm maka jumlah timbal yang termakan adalah 0.013 ppm. Hal ini berarti seseorang yang mengonsumsi daging sapi sebanyak 0.009 kg/minggu tidak melebihi ambang batas konsumsi timbal yang dapat menyebabkan akumulasi dan keracunan. Akumulasi tersebut belum termasuk pemasukan dari polusi udara, air, dan pangan lain yang tercemar timbal.

Pola Sebaran Akumulasi Timbal

Akumulasi timbal tidak terjadi di otot (daging) (Gambar 1). Timbal hanya ditemukan di pembuluh darah pada jaringan ikat. Timbal tetap berada di dalam pembuluh darah karena tidak ada ikatan antara timbal dengan otot. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto et al. (2010) bahwa timbal tidak terakumulasi dalam otot tetapi hanya beredar di pembuluh darah saja karena otot tidak memiliki fungsi sebagai penyaring atau pun detoksifikasi.

Akumulasi timbal di hati terjadi pada hepatosit di perifer lobulus dan segitiga Kiernan (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Banks (1993) bahwa aliran darah di lobulus hati berasal dari perifer menuju vena sentral sehingga timbal banyak terakumulasi dan tersebar lebih banyak di daerah perifer. Menurut Pearce (2009), pada segitiga Kiernan terdapat pembuluh darah yang mengandung timbal dalam jumlah besar sehingga akumulasi timbal terjadi di sekitar pembuluh darah.

Akumulasi timbal di ginjal terjadi pada korteks yaitu pada glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla (Gambar 3). Kadar timbal terbanyak di ginjal berada pada tubulus proksimalis. Menurut Banks (1993), tubulus proksimalis mudah dipengaruhi oleh zat beracun karena proses absorpsi aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1992) sekitar 85% natrium dan air diserap kembali ke dalam darah sehingga kadar toksikan tinggi di dalam tubulus proksimalis.

(43)

11

Dampak Timbal

Dampak akibat akumulasi timbal terjadi jika jumlah timbal dalam tubuh telah melebihi ambang batas. Dampak yang timbul pada hewan dan manusia adalah keracunan timbal. Gejala klinis keracunan timbal pada hewan meliputi gastroenteritis, anemia, dan ensefalopati (Wardhayani 2006).

Gejala klinis keracunan timbal pada manusia dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala klinis akut meliputi shock, sakit kepala, irritabilitas, dan keluhan kolik (D’Mello 2003). Gejala klinis kronis meliputi kolik, konstipasi, anemia, pucat, ensefalopati, reproduksi terganggu, efek perkembangan saraf janin, gangguan berbagai organ tubuh, penurunan kecerdasan, dan autisme (Suyanto et al. 2010). Wardhayani (2006) menyatakan bahwa gejala lain jika terjadi keracunan timbal adalah garis-garis berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi.

Solusi dan Pencegahan

Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan sapi secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan sapi (Godish 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Saran

(44)

11

Dampak Timbal

Dampak akibat akumulasi timbal terjadi jika jumlah timbal dalam tubuh telah melebihi ambang batas. Dampak yang timbul pada hewan dan manusia adalah keracunan timbal. Gejala klinis keracunan timbal pada hewan meliputi gastroenteritis, anemia, dan ensefalopati (Wardhayani 2006).

Gejala klinis keracunan timbal pada manusia dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala klinis akut meliputi shock, sakit kepala, irritabilitas, dan keluhan kolik (D’Mello 2003). Gejala klinis kronis meliputi kolik, konstipasi, anemia, pucat, ensefalopati, reproduksi terganggu, efek perkembangan saraf janin, gangguan berbagai organ tubuh, penurunan kecerdasan, dan autisme (Suyanto et al. 2010). Wardhayani (2006) menyatakan bahwa gejala lain jika terjadi keracunan timbal adalah garis-garis berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi.

Solusi dan Pencegahan

Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan sapi secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan sapi (Godish 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar timbal menunjukkan di atas ambang batas residu, dengan kadar terbanyak terdapat pada hati sapi potong asal Boyolali. Pola sebaran akumulasi timbal pada daging ditemukan di pembuluh darah jaringan ikat, pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur seperti yang terjadi pada daging.

Saran

Gambar

Gambar 2 Gambaran histologis lobulus hati (A, B) dan segitiga Kiernan (C, D) sapi asal Boyolali
Gambar 3 Gambaran histologis ginjal (A, B) glomerulus, (C, D) tubulus
Tabel 2 Kadar timbal rataan ± standar deviasi di Bogor (ppm)
Tabel 1 Kadar timbal di Boyolali (ppm)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Efek Ekstrak Metanol Daun Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis.) terhadap Glukosa Darah Pada Mencit Model Diabetes Melitus.. Jurnal Medika Planta

1) Ketentuan penggunaan helm berstandar nasional Indonesia sesuai dengan rumusan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Jalan Raya cukup memberi angin segar

Yet the Brig hadn’t actually said anything, even though he’d patted him on the back in a sort of a well ‐ done sort of way; and Maggie, in spite of what she’d said on the

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola akuntabilitas organisasi sektor publik di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan melakukan studi kasus pada

Kondisi itu dapat menggerakkan perempuan untuk turut mencari penghasilan keluarganya (Suman, 2007). Program Secercah Hati dirancang untuk dilaksanakan selama tiga tahun, mulai

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ekstrak biji kesumba keling ( Bixa orellana ) yang diekstrak dengan menggunakan lima perbandingan pelarut dapat mewarnai kayu

Abstrak — Pembacaan akan karya Aristoteles, Etika Nikomaxeia akan menghantar kita pada pembahasan Aristoteles tentang kemanusiaan, meliputi kodratnya, pola lakunya, serta apa