• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecernaan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas pakan, karena merupakan gambaran nilai gizi yang tersedia bagi ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan level pemakaian fermentasi pelepah sawit dengan P. chrysosporium dalam ransum ternak ruminansia nyata menurunkan (P<0.05) kecernaan bahan kering dan bahan organik. Rata-rata kecernaan berkisar 55.06-71.27% untuk kecernaan bahan kering dan 54.15- 69.66% untuk kecernaan bahan organik

Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 40% rumput gajah+20% pelepah sawit ferementasi, (R2), 20% rumput gajah+40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang menggandung 60% pelepah sawit fermentasi memberikan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling rendah (Tabel 18)

Kecernaan bahan kering dari ransum yang mengandung 20% pelepah sawit memiliki perbedaan kecernaan hanya 6.73% lebih rendah dari ransum yang menggandung 60% rumput gajah. Sementara ransum yang menggandung 40% dan 60% pelepah sawit menghasilkan perbedaan 18.15% dan 22.74% lebih rendah dari ransum yang menggandung 60% rumput gajah. Kecernaan bahan organik dalam ransum dengan 20% pelepah sawit fermentasi 7.00% lebih rendah dari ransum yang mengandung 60% rumput gajah. Sementara ransum yang mengandung 40% dan 60% pelepah sawit fermentasi kecernaan bahan organiknya masing-masing 17.18% dan 22.26% lebih rendah dari ransum dengan kandungan 60% rumput gajah. Ransum yang mengandung 60% rumput gajah menghasilkan tingkat kecernaan bahan organik yang lebih tinggi.

Tabel 18. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan fraksi serat pada tingkat pemakaian pelepah sawit yang berbeda dalam ransum

Kecernaan (%) Ransum R1 R2 R3 R4 Bahan kering 71.27a+1.53 66.47b+0.51 58.34c+2.15 55.06d+2.02 Bahan organik 69.66a+1.24 64.78b+0.95 57.69c+1.48 54.15d+2.01 NDF 55.90a+0.48 48.78b+0.43 41.24b+1.37 35.99c+2.09 ADF 58.58a+0.36 52.15b+0.35 44.52c+0.71 41.02c+1.19 Serat Kasar 57.43a+5.60 48.98b+6.75 38.58c+8.51 32.87c+5.28 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05), R1: 60% rumput gajah, R2: 40% rumput gajah+20% pelepah sawit fermentasi, R3: 20% rumput gajah+40% pelepah sawit fermentasi, R4: 60% pelepah sawit fermentasi

Terjadinya penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan adanya perbedaan kandungan serat kasar dari setiap perlakuan. Ada korelasi negatif antara tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan kandungan NDF dan ADF dalam ransum Cherdthon et al. (2010) sementara Davidson et al (2003) menyatakan bahwa tingginya kandungan serat kasar memberikan kontribusi pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Dahia et al. (2004) menyatakan bahwa terjadi penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan tingkat kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum. Griswold et al. (2003) melaporkan bahwa kecenderungan peningkatan kecernaan bahan organik berhubungan dengan kecernaan bahan kering, perbedaannya hanya pada kandungan kadar abu.

Ransum yang mengandung pelepah sawit fermentasi menghasilkan Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan ransum yang mengandung pelepah sawit tanpa fermentasi. Suryadi et al. (2009) melaporkan bahwa pemakaian 42% pelepah sawit tanpa fermentasi dalam ransum menghasilkan tingkat kecernaan bahan kering 30.77% dan kecernaan bahan organik 30.91%, sementara Syarief (2010) mendapatkan kecernaan bahan kering dari ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi adalah 39.28%, dan kecernaan bahan organik 44.35%. Menurut Islam

et al (2000) pemanfaatan 60% pelepah sawit segar dengan 40% konsentrat

memberikan tingkat degradasi bahan kering 30.85% secara in sacco, sementara secara in vivo diperoleh tingkat kecernaan bahan kering 52%, kecernaan bahan organik 56% dan kecernaan ADF 26%.

Peningkatan level pemakaian pelepah sawit fermentasi dengan

P.chryosporium dalam ransum ternak ruminansia memberikan pengaruh yang

berbeda nyata (P<0.05) dalam menurunkan tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Rata-rata kecernaan NDF yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu 35.99-55.90%. sementara tingkat kecernaan ADF 41.02-58.68% dan 32.87- 57.43% untuk tingkat kecernaan serat kasar (Tabel 18). Semakin meningkatnya level pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum menurunkan kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar dari ransum yang menggandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dari ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi dan ( R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4), sementara ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi memiliki kecernaan NDF, ADF dan serat kasar yang paling rendah. Ini menunjukkan bahwa meskipun biodegradasi dari pelepah sawit dengan menggunakan P.crhysosporium mampu menurunkan kandungan lignin namun nilai gizi yang dihasilkan dengan proses fermentasi belum mampu mencapai nilai gizi dari rumput gajah.

Biodegradasi pelepah sawit fermentasi dengan dosis inokulan

P.crhysosporium 107cfu/mL dan diinkubasi selama 10 hari menunjukkan

degradasi lignin yang terbaik. Kandungan lignin pelepah sawit tanpa fermentasi adalah 25.42%. sementara pelepah sawit fermentasi mengandung kadar lignin 13,27%. Ini menunjukkan bahwa meskipun kandungan lignin mampu diturunkan dengan proses fermentasi namun kandungan lignin yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan lignin pada rumput gajah yaitu 11.42%. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum maka tingkat kecernaan juga masih rendah.

Lignin dalam ransum dapat menurunkan tingkat kecernaan, seperti yang dilaporkan oleh Lynd et al. (2002) bahwa ransum dengan kandungan lignoselulosa umumnya memiliki kandungan karbohidrat struktural yang tinggi dengan tingkat kristalisasi dan membuat ikatan yang kuat dengan lignin sehingga ransum sulit untuk dicerna. Kecernaan ransum dengan tingkat serat yang tinggi bisa ditingkatkan dengan memecah ikatan lignin dengan karbohidrat struktural (Annison et al, 2002). Mikroba rumen mampu mencerna zat makanan dalam ransum lebih mudah apabila kandungan lignin diturunkan. Van Soest (2002) menyatakan bahwa lignin pada dinding sel tanaman merupakan faktor penting yang membatasi kecernaan zat makanan. Suatu hubungan yang positif antara total kehilangan lignin dengan kecernaan bahan kering secara in vitro telah dilaporkan

dalam banyak penelitian, terutama untuk bagase tebu yang difermentasi dengan L.

edodes dan C. subvermispora selama 16 minggu (Okano et al., 2006). Hubungan

positif yang sama antara kehilangan lignin dengan kecernaan bahan kering secra

in vitro juga telah dilaporkan untuk substrat dan kapang yang lain seperti, bagase

tebu yang difermentasi P. eryngii (Okano et al., 2007). Hubungan negatif yang terlihat antara konsentrasi lignin dan kecernaan hijauan telah diketahui selama bertahun-tahun, karena lignin merupakan komponen dari dinding sel, pengaruh lignin pada kecernaan hijauan diduga berpengaruh langsung pada kecernaan dinding sel dibandingkan dengan kecernaan total dari bahan organik (Van Soest, 2002).

Lignin terlihat memberikan pengaruh negatif pada polisakarida dinding sel karena lignin tersebut melindungi polisakarida dari hidrolisis enzimatis. (Jung and Deetz, 2003). Hal ini nampaknya menjadi kendala karena polisakarida tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan baik untuk dikenali sebagai substrat oleh enzim yang akan menghidrolisis untuk itu diperlukan perlakuan agar mampu memecah komplek lignoselulosa (Tripathi et al. 2008). Dalam penelitian ini, berdasarkan nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF, ADF dan serat kasar secara in

vitro menunjukkan korelasi negatif dengan kandungan lignin.

Konsentrasi N-NH3, TVFA, Bakteri Selulolitik dan JumLah Protozoa rumen

Konsentrasi N-NH3 dan TVFA serta jumLah bakteri selulolitik dalam

penelitian ini menunjukkan penurunan (P<0.05) dengan adanya peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi didalam ransum namun tidak mempengaruhi (P>0.05) total protozoa rumen. Rataan konsentrasi N-NH3 yang diperoleh berkisar

antara 9.10-12.19 mg N/dl atau 6.5-8.71mM, rataan konsentrasi TVFA berkisar 150.06-163.47mM dan jumLah bakteri selulolitik berkisar 106-108cfu/mL sementara total protozoa berkisar 105cfu/mL. Konsentrasi N-NH3, TVFA dan

jumLah bakteri selulolitik dari ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi menghasilkan konsentrasi N-NH3, TVFA dan jumLah bakteri selulolitik yang

paling rendah (Table 19).

Semakin menurunnya konsentrasi N-NH3 dengan semakin meningkatnya

pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum sejalan dengan kemungkinan rendahnya kecernaan protein yang terjadi yang tergambar dari kecernaan bahan organik yang juga semakin menurun. Dari hasil penelitian diperoleh penurunan kecernaan bahan organik 22.26%, 17.18% dan 7%, antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) juga menghasilkan penurunan konsentrasi N-NH3 3.09 mg N/dl, 2.11

mg N/dl , dan 1.38mg N/dl masing-masingnya. McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 – 300

mg/l atau 6-21 mM. Konsentrasi NH3 yang tinggi dapat menunjukkan proses

degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen. Orskov (1982) menyatakan bahwa pada ternak ruminansia sebagian protein yang masuk ke dalam rumen akan mengalami perombakan/degradasi menjadi amonia oleh

enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Produksi amonia tergantung pada kelarutan protein ransum, jumLah protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen dan pH rumen.

Rataan konsentrasi N-NH3 yang diperoleh dari penelitian ini sudah

mencukupi kebutuhan N-NH3 untuk pertumbuhan optimum. Konsentrasi N-NH3

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum sekitar 10-15 mg N/dl cairan rumen (Alcaide et al. 2003). Cherdthong et al. (2011) menyatakan bahwa konsentrasi N-NH3 rumen adalah 15.7 mg N/dl, sementara Tripathi et al. (2008)

mendapatkan konsentrasi N-NH3 20.34mg N/dl dari pemberian Mustard (Brassica

compestris) dalam ransum secara in vitro. Penelitian yang dilakukan Nagadi et al

(2000) mendapatkan bahwa laju fermentasi NDF meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi N-NH3, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan, dimana kecernaan NDF menurun seiring dengan menurunnya konsentrasi N-NH3. Detman (2009) melaporkan bahwa konsentrasi N-NH3 rumen

optimum untuk degradasi dan konsumsi NDF berkisar antara 8-15mg N/dl, sementara Islam et al (2000) mendapatkan konsentrasi N-NH3 6.4 mg N/dl cairan

rumen dari ransum yang mengandung 60% pelepah sawit dan 40% kosentrat. Tabel 19. Bakteri selulolitik, total protozoa, konsentrasi N-NH3 dan total VFA

rumen pada tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi yang berbeda dalam ransum

Ransum Bakteri selulolitik (cfu/mL) Total protozoa (cfu/mL) N-NH3 (mM) Total VFA (mM) R1 2.92±0.58 x108a 2.55± 0.25x105 8.71a±0.72 163.47a±0.65 R2 3.13±0.44x107ab 4.8± 0.33x105 7.72b±0.31 159.82b±2.53 R3 2.11±0.29x107b 1.47± 0.06x105 7.20bc±0.47 153.42c±2.93 R4 5.91±0.94x106c 2.60± 0.23x105 6.50c±0.72 150.06d±2.10

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)

Penurunan konsentrasi N-NH3 diikuti juga dengan semakin menurunnya

jumLah bakteri selulolitik, namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Hal ini disebabkan karena amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba. Sintesis mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh ketersediaan N-NH3 rumen. Menurunnya konsentrasi N-NH3 dirumen akan

merefleksikan rendahnya sintesis bakteri rumen (Karabulut et al. 2007; Kongmun

et al. 2010; Cutrignelli et al. 2010). Pada saat terjadi penurunan mikoba rumen,

kecernaan serat pakan juga akan menurun sehingga mengurangi konsumsi. Sebagian besar amonia akan dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan mikroba rumen. Konsentrasi 5.9-9.4 mg N/dl mencukupi untuk pertumbuhan bakteri rumen (Jalc et al. 2009).

Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi

degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Hal ini disebabkan karena amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba. Seperti yang disampaikan oleh Chedthong dan Wanapat (2013) bahwa

konsentrasi N-NH3 rumen akan berkaitan erat dengan total bakteri dirumen

disebabkan karena nitrogen merupakan sumber pembentuk dari protein mikroba. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa dengan konsentrasi N-NH3 6.50-

8.71mM menghasilkan jumLah bakteri selulolitik 5.91x106-2.92x108cfu/mL jumLah bakteri selulolitik yang dihasilkan masih dalam kisaran normal, seperti yang dinyatakan oleh Fiorentini et al (2013) bahwa jumLah bakteri selulotik dalam rumen yang mendapat pakan hijauan kosentrat 60:40 berkisar antara 105- 108 cfu/mL cairan rumen Konsentrasi N-NH3 yang effisien untuk pembentukan

mikroba rumen adalah 14.4-25.3mg N/dl pada perbandingan hijauan dan kosentrat 70:30. Konsentrasi N-NH3 5.68mM akan menghasilkan bakteri fibrolitik 11.62

log 10cfu/l dan total protozoa 5.62 log 10 cfu/l (Martin et al. 2013) ditambahkan oleh Eugene et al. (2004) yang menyatakan bahwa jumLah bakteri dalam rumen berpengaruh pada konsentrasi N-NH3 rumen, proses defaunasi akan meningkatkan

konsentrasi N-NH3 5.03 mgN/dl. Pada saat terjadi penurunan mikoba rumen,

kecernaan serat pakan juga akan menurun sehingga mengurangi konsumsi. Komposisi dan jumLah bakteri dalam rumen tergantung pada jenis dan komposisi hijauan yang digunakan dalam ransum (Pitta et al. 2010)

Fiorentini et al. (2013) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba rumen akan rendah pada hijauan yang berkualitas rendah karena degradasi karbohidrat yang lebih lambat, karbohidrat digunakan untuk menghasilkan ATP yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini juga yang menjadi penyebab semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi maka jumLah total bakteri selulolitik juga semakin menurun.

Asam lemak terbang (VFA) merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat oleh mikroba dalam rumen. Konsentrasi TVFA yang diperoleh dalam penelitian ini sudah mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen, seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1982) bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80-160 mM, sementara dalam penelitian ini konsentrasi TVFA berkisar 150.06-163.47mM

Penurunan konsentrasi VFA dengan semakin meningkatnya pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum pada penelitian ini sejalan dengan terjadinya juga penurunan kecernaan serat. Semakin rendah kecernaan serat maka akan semakin rendah konsentrasi VFA yang dihasilkan. Berdasarkan persentase penurunan kecernaan NDF antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) yang diperoleh yaitu 16.68%, 9.88% dan 6.44%, maka akan diikuti dengan penurunan konsentrasi TVFA yaitu 13.41mM, 10.05mM dan 3.65mM. Liu et al. (2002) menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara kecernaan bahan organik dan bahan kering terhadap produksi total VFA. Tingginya tingkat kecernaan in-vitro bahan organik dan serat kasar akan meningkatkan produksi total VFA rumen (Sudekum et al.

2006). Tingkat lignifikasi yang tinggi pada bahan pakan yang digunakan membatasi mikroorganisme rumen dalam memfermentasi selulosa dan hemiselulosa untuk menghasilkan energi sebagai asam lemak terbang (Tripathi et al. 2008). Peningkatan akses enzim hidrolisis selulosa dan hemiselulosa harus didahului dengan memutus ikatan lignoselulosa dinding sel. Proses degradasi serta dalam rumen membutuhkan ketersediaan protein yang menjamin untuk pertumbuhan optimum mikroba (Alcaide et al. 2003).

Konsentrasi TVFA yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari konsentrasi TVFA yang dihasilkan oleh silase jagung yang menghasilkan

konsentrasi TVA 94.3 mM dengan tingkat kecernaan serat kasar yang tinggi (Martin et al. 2013) sementara hasil penelitian Fiorentini et al. (2013) mendapatkan konsentrasi total VFA 113.2mM dan konsentrasi N-NH3 37.9 mg N/dl dengan ransum yang berbahan dasar jerami padi.

Aktivitas dan Konsentrasi Antioksidan

Proses biodegradasi lignoselulosa pelepah sawit dengan menggunakan

P.chrysosporium menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Antioksidan yang

dihasilkan berasal dari degradasi lignin yang menghasilkan senyawa fenolik seperti yang terdapat pada penelitian tahap 1. Pada pemanfaatan biodegradasi pelepah sawit fermentasi didalam ransum diperoleh data bahwa peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi meningkatkan (P<0.05) konsentrasi dan aktiviatas antioksidan pada awal masa inkubasi (0 jam) in vitro begitu juga pada inkubasi 72 jam in vitro. Peningkatan konsentrasi dan aktivitas antioksidan yang dihasilkan dengan peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum disebabkan tingginya kandungan senyawa fenolik sebagai hasil dari degradasi lignin.

Tabel 20. Konsentrasi dan aktivitas antioksidan awal dan 72 jam inkubasi in vitro

pada level pemakaian pelepah sawit fermentasi yang berbeda dalam ransum

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antar perlakuan

Rata-rata konsentrasi antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi in

vitro adalah 73.67-249.80µg/mL setelah inkubasi in vitro 72 jam maka terjadi

penurunan konsentrasi antioksidan dengan rata-rata 25.00-148.71 µg/mL. Hal yang sama juga terjadi pada nilai aktivitas antioksidan, rata-rata aktivitas antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi adalah 56.33-68.17% sementara pada inkubasi 72 jam in vitro rata-rata aktivitas antioksidan yang dhasilkan adalah 53.00-61.38% (Tabel 19 dan 20).

Penurunan konsentrasi antioksidan pada inkubasi 72 jam in vitro

kemungkinan disebabkan ada senyawa fenol yang dihidrolisis oleh enzim mikroba rumen. Baurhoo et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa jenis mikroba rumen mampu mereduksi, mengabsorbsi dan memetabolisasi senyawa fenol seperti

phenolic benzoic, ferulic acid dan coumaric acid. Terjadinya metabolisasi

beberapa senyawa fenol dalam rumen menyebabkan konsentrasi dari antioksidan menurun. Penurunan konsentrasi antioksidan akan diiukuti oleh penurunan aktivitas antioksidan. Nenkova et al. (2011) tingginya aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh jumLah dan jenis senyawa fenol yang dihasilkan Menurut beberapa hasil penelitian ( Yu et al. 2002; Gorinstein et al. 2004) ada korelasi

Perlakuan Kadar antioksidan (µg/mL) Inhibisi (%)

Awal inkubasi 72 jam inkubasi Awal inkubasi 72 jam inkubasi

R1 73.67a ± 59.71 25b ± 0.47 56.33a ± 4.01 53b ± 0.03

R2 115.68ab ± 35.53 79.77b ± 4.81 59.16ab ± 2.39 56.74b ± 0.32

R3 161.49b ± 49.81 135.72ab ± 33.35 62.24b ± 3.35 60.51ab ± 2.24

langsung antara kandungan total senyawa antioksidan (total polyphenol) dengan total potensial antioksidan namun ini tidaklah mutlak.

Beberapa penelitian telah melihat pengaruh antioksidan didalam rumen. Cattani et al. (2012) menyatakan bahwa penambahan additive antioksidan dalam rumen dapat menurunkan tingkat konsentrasi ammonia namun meningkatkan nitrogen mikroba dan jumLah mikroba rumen. Antioksidan yang berasal dari tanaman memegang peranan penting dalam mengeliminasi stress lingkungan dalam ekosistem mikroba rumen (Holovska et al. 2002).

SIMPULAN

Fermentasi pelepah sawit dengan Phanerochaete Chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sampai 47.79%, namun peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi didalam ransum menurunkkan kecernaan zat makanan, konsentrasi N-NH3, total VFA dan jumLah bakteri selulolitik. Peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum meningkatkan konsentrasi dan aktivitas antioksidan pada awal inkubasi in vitro. Terjadi penurunan konsentrasi dan aktivitas antioksidan setelah diinkubasi selama 72 jam secara in vitro. Pelepah sawit fermentasi dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah sampai level 20% dalam ransum ruminansia