• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah

Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada Tabel 4, analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 1-2. Kemampuan makan bondol peking (L. punctulata) dan bondol jawa (L. leucogastroides) pada pengujian individu menggunakan pakan gabah menunjukkan bahwa konsumsi bondol jawa terhadap gabah lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol peking.

Tabel 4 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu

Jenis burung Bobot tubuh (g)

Konsumsi (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,812a 2,099b

Bondol jawa 10,395b 2,561a

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Berdasarkan hasil perhitungan bobot tubuh, bondol peking memiliki nilai rerata bobot sebesar 11,812 gram dan berbeda nyata dengan bobot bondol jawa yaitu 10,395 gram. Konsumsi rerata bondol jawa relatif lebih besar dari pada bondol peking, apalagi ditambah dengan rerata bobot tubuh yang lebih ringan.

Persentase konsumsi bondol jawa terhadap gabah (25,61 %) mencapai ¼ dari bobot tubuhnya, sementara itu untuk bondol peking (20,99 %) hanya mencapai 1/5 dari bobot tubuhnya.

Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa terhadap Gabah

Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu disajikan pada Gambar 9. Konsumsi harian bondol jawa lebih tinggi dibandingkan bondol peking. Bondol jawa lebih banyak dijual dipasar burung karena bondol jawa lebih banyak dijumpai di lapangan. Bondol jawa dapat berbiak sepanjang tahun dengan 4-5 butir telur setiap kali peneluran (MacKinnon 1990). Dengan demikian, bondol jawa memiliki peran yang lebih penting sebagai hama padi karena kemampuan reproduksi dan konsumsi yang

tinggi sehingga memiliki kemampuan merusak lebih besar dibandingkan bondol peking. Selain itu faktor lama waktu adaptasi kemungkinan menjadi pembeda dari hasil tersebut. Adaptasi bondol jawa sebelum percobaan yaitu selama 2-3 hari di laboratorium diduga sudah cukup.

Gambar 9 Konsumsi harian terhadap gabah (g/ 10 g bobot tubuh)

Konsumsi harian bondol jawa berfluktuatif yaitu terjadi penurunan pada hari pertama sampai ketiga kemudian meningkat pada hari keempat dan menurun kembali pada hari berikutnya. Konsumsi harian pada bondol peking mengalami penigkatan sejak hari pertama sampai hari keempat, kemudian mengalami penurunan pada hari kelima dan keenam.

Pengujian Individu terhadap Konsumsi Beras Merah

Kemampuan makan beras merah terhadap 12 ekor bondol peking dan 12 ekor bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 5 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 3-4.

Tabel 5 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap beras merah pada pengujian individu

Jenis burung Bobot Tubuh (g)

Konsumsi (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,728a 2,508a Bondol jawa 10,240b 2,842a

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Pada perlakuan pakan beras merah menunjukkan bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bobot tubuh bondol jawa. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada kemampuan makan menggunakan gabah. Namun, tingkat konsumsi pakan terhadap beras merah antara bondol peking dan bondol jawa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

Konsumsi rerata bondol jawa terhadap beras merah relatif sama dibandingkan dengan bondol peking, sehingga pada saat dilakukan konversi ke 10

gram bobot tubuh didapat hasil yang tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 5 %).

Secara umum dapat disebutkan bahwa bobot tubuh bondol peking relatif lebih besar daripada bondol jawa. Persentase konsumsi terhadap beras merah dari bondol jawa (28,42 %) dan bondol peking (25,08 %) relatif lebih besar dan berbeda nyata terhadap gabah pada bondol peking dan tidak berbeda nyata pada bondol jawa.

Tabel 6 Konsumsi terhadap gabah dan beras merah pada bondol peking serta bondol jawa pada pengujian individu

Jenis pakan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh)

Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Beras merah 2,508a 2,842a

Gabah 2,099b 2,561a

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Perbandingan Jenis Kelamin Burung terhadap Konsumsi

Perbandingan jenis kelamin burung terhadap konsumsi gabah dan beras merah pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 7 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 7-10. Konsumsi pakan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hewan jantan dan betina bondol peking dan bondol jawa mengonsumsi gabah dan beras merah dalam jumlah yang sama.

Tabel 7 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dan beras merah berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin

Gabah (g/10 g bobot tubuh) Beras merah (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking Bondol jawa Bondol peking Bondol jawa Jantan 2,062a 2,650a 2,338a 2,772a Betina 2,179a 2,426a 2,747a 2,939a Rerata 2,099 2,561 2,508 2,842

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Pengujian Populasi Terhadap Gabah

Hasil yang diperoleh dari perlakuan konsumsi makan bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 11-12.

Tabel 8 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi

Jenis burung Bobot tubuh (g)

Konsumsi gabah (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,270a 2,015a Bondol jawa 9,974b 2,270a

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Pada Tabel 8 di atas, dapat diketahui bahwa rerata bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol jawa. Hal ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti yang ditunjukkan pada pengujian individu (Tabel 4 dan 5). Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian menunjukkan hasil tidak berbeda nyata

Dari pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa bondol jawa memiliki kemampuan mengonsumsi pakan lebih besar dibandingkan bondol peking dan bondol peking memiliki rerata bobot tubuh lebih besar dibandingkan bondol jawa.

Preferensi Pakan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu

Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi preferensi pakan (beras merah, gabah, jewawut, milet, jagung, dan pelet ) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking

Jenis pakan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh)

Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh)

Beras merah 1,150a 0,648b 1,197a 0,025c 0,024c 0,069c 0,012c Gabah 0,567b Jewawut 0,189c Milet 0,114c Jagung pipil 0,064c Pelet 0,003c

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 9 dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi bondol peking terhadap beras merah lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan gabah. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada perlakuan kemepuan makan gabah dan beras merah. Lebih rendahnya konsumsi gabah dapat disebabkan karena gabah masih dilindungi oleh sekam sehingga burung memerlukan usaha yang lebih banyak untuk mengupas kulit padi agar dapat mengkonsumsi biji padi tersebut. Berbeda dengan pakan beras merah yang sudah tidak dilindungi oleh sekam sehingga memudahkan untuk dikonsumsi (Soemadi dan Abdul 2003).

Konsumsi pakan tertinggi pada bondol peking setelah beras merah dan gabah adalah jewawut dan tidak berbeda nyata dengan ketiga jenis pakan lainnya (milet, jagung pipil, dan pelet). Selain menyerang pertanaman padi, di alam burung bondol sering menyerang pertanaman jewawut dan milet. Serangan bondol terlihat pada malai yang meranggas karena bulir jewawut dan milet sudah habis dimakan (Andoko, 2001). Jewawut, milet dan jagung pipil merupakan sumber karbohidrat. Milet memiliki kandungan karbohidrat cukup tinggi yaitu 66% dari 100 gram bobot yang dapat dimakan. Karbohidrat dalam tubuh burung berfungsi sebagai sumber energi, membakar lemak, membentuk dan memperkecil

oksidasi protein menjadi energi, serta memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan optimal (Soemadi dan Abdul, 2003).

Pada bondol jawa konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan berbeda nyata dengan lima jenis pakan lainnya. Konsumsi pakan terbesar setelah gabah adalah beras merah. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan hasil dengan perlakuan kemampuan makan gabah dan beras merah dimana konsumsi terhadap beras merah lebih tinggi dibandingkan pada gabah. Hal ini dapat disebabkan karena bondol jawa lebih menyukai pakan dalam bentuk yang mudah ditemui di alam. Urutan konsumsi pakan setelah gabah dam beras merah adalah jagung pipil dan tidak berbeda nyata dengan konsumsi terhadap jewawut, milet, dan pelet.

Pelet merupakan jenis pakan terendah yang dikonsumsi bondol peking dan bondol jawa dari kelima jenis pakan lain yang diuji meskipun tidak berbeda nyata dengan jewawut, milet, dan jagung pipil. Rendahnya konsumsi pelet dapat disebabkan kerena pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaannya tidak ditemui di alam. Pelet dibuat untuk melengkapi kebutuhan pakan burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Hal ini memungkinkan burung hanya memakan pelet sebagai pelengkap makanan utama.

Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa

Konsumsi bondol peking terhadap beras merah mengalami peningkatan setiap harinya (gambar 10) berbeda dengan konsumsi terhadap gabah yang mengalami penurunan setiap harinya. Konsumsi terhadap beras merah dan gabah lebih tinggi dibandingkan keempat pakan jenis lainnya. Jenis pakan jewawut, milet dan jagung pipil cukup berfluktuatif walaupun dalam jumlah yang rendah sedangkan konsumsi terhadap pelet relatif konstan dengan tingkat konsumsi yang rendah.

Konsumsi harian bondol jawa pada perlakuan preferensi pakan menunjukkan grafik yang berfluktuatif. Tingkat konsumsi tertinggi adalah gabah setelah itu beras merah. Sedangkan konsumsi terhadap jewawut, milet, jagung pipil dan pelet menunjukkan rata-rata harian yang hampir sama. Konsumsi bondol jawa pada awal pengamatan mengalami peningkatan dengan konsumsi tetinggi terjadi pada hari ketiga kemudian menurun pengamatan hari ke 4 kecuali

pada jagung pipil yang mengalami peningkatan sedangkan pada milet, jewawut dan pelet relatif konstan.

Gambar 10 Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap berbagai jenis pakan.

Tingginya konsumsi pakan pada hari ketiga menyebabkan burung memiliki cadangan makanan yang disimpan dalam temboloknya sehingga menyebabkan menurunnya konsumsi pakan pada hari keempat. Burung pemakan biji umumnya memiliki tembolok sebagai penampung sementara biji yang telah ditelan (Soemadi & Abdul 2003). Konsumsi meningkat kembali pada hari kelima pengamatan.

Pengujian Populasi

Hasil yang diperoleh dari pengujian populasi bondol peking dan bondol jawa terhadap enam jenis pakan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Pakan Bondol peking

(g/10 g bobot tubuh)

Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh)

Beras merah 0,666a 0,676a 0,397ab 0,099b 0,069b 0,057b 0,649a Gabah 0,659a Jewawut 0,183bc Milet 0,349b Jagung pipil 0,009c Pelet 0,009c

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Pada pengujian populasi, konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan tidak berbeda nyata dengan beras merah. Hasil ini berbeda pada pengujian individu dimana konsumsi tertinggi terjadi pada beras merah dan berbeda nyata dengan konsumsi terhadap gabah dan pakan yang lain. Menurut Mackinnon (1995) jenis burung bondol umumnya dikenal sebagai hama padi dan memakan bulir padi yang sedang menguning.

Urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah pada bondol peking adalah jewawut namun tidak berbeda nyata dengan gabah dan beras merah serta ke tiga jenis pakan lainnya yaitu milet, jagung pipil dan pelet. Pada pengujian individu, pakan jewawut cukup disukai oleh bondol peking selain itu bondol peking merupakan jenis burung yang hidup berkelompok (MacKinnon 1990). Dengan demikian, faktor peletakan pakan juga dapat mempengaruhi meningkatnya konsumsi pakan dimana dalam pengujian peletakan pakan jewawut berdekatan dengan pakan utama yaitu beras merah.

Konsumsi bondol peking terhadap pakan milet, jagung pipil dan pelet merupakan jenis pakan terendah dan berbeda nyata terhadap gabah dan beras merah. Hasil pengamatan ini sama dengan pengujian individu. Konsumsi pada pakan selain padi kurang disukai karena bukan merupakan pakan utama dan umumnya jarang ditemukan di habitat bondol.

Pada konsumsi pakan bondol jawa, urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah adalah milet dan jewawut. Pada hasil pengamatan (Tabel 10) menunjukkan konsumsi milet berbeda nyata dengan jagung pipil dan pelet. Jagung pipil dan pelet merupakan pakan terendah yang dikonsumsi karena kedua jenis pakan ini merupakan pakan yang melalui proses olahan terlebih dahulu yaitu jagung pipil merupakan jagung yang telah dipecah dengan ukuran yang lebih kecil sedangkan pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaan kedua jenis pakan ini tidak ditemui di alam.

Dari hasil pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi pakan bondol peking dan bondol jawa pada jenis pakan alami (biji- bijian) lebih tinggi dari pada pakan buatan (pelet). Hal ini karena biji-bijian merupakan jenis bahan makanan yang secara alami dapat diperoleh burung dengan bebas di alam. Biji-bijian merupakan sumber protein sebagai salah satu komponen dari makanan penguat bagi burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Selain itu, kulit biji-bijian sangat baik dalam membantu burung pemakan biji untuk mencerna makanannya, walaupun dalam pengamatan di laboratorium semua bondol jawa dan bondol peking mengupas kulit biji gabah sebelum dikonsumsi.

Pengujian Racun terhadap Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu

Hasil pengujian beberapa jenis racun terhadap bondol jawa dan bondol peking disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian individu

Perlakuan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh)

Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh)

Gabah 0.672a 0.606a

Gabah + Bromadiolon 0.278b 0.529a Gabah + Kumatetralil 0.197b 0.082b Gabah + Seng fosfida 0.063b 0.042b

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Konsumsi bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi gabah tidak berbeda nyata dengan gabah dicampur racun bromadiolon dan berbeda nyata terhadap racun seng fosfida dan kumatetralil. Hal ini dapat disebabkan bau gabah dengan dicampur bromadiolon tidak menimbulkan bau menyengat dibandingkan dengan dua jenis racun lainnya.

Konsumsi racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil pada bondol jawa percobaan individu berbeda nyata dengan konsumsi gabah dan racun bromadiolon. Racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil memberikan warna yang sangat berbeda dibandingkan dengan warna gabah tanpa dicampur racun. Oleh karena itu, diduga warna memberikan pengaruh terhadap konsumsi. Selain itu, kedua racun tersebut memberikan bau yang khas terhadap gabah, sehingga menimbulkan rasa curiga burung terhadap umpan sehingga mengonsumsi dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan gabah tanpa racun.

Konsumsi racun pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 12. Konsumsi bondol terhadap racun seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain (bromadiolon dan kumatetralil). Seng fosfida memiliki konsentrasi racun yang tinggi yaitu 80% dengan pencampuran racun sebesar 1/100

dari jumlah umpan sementara untuk bromadiolon 0,25% dan 1/40 dan untuk

kumatetralil 0,75% dan 1/20. Hal ini menyebabkan konsentrasi racun seng fosfida

lebih besar dibandingkan kedua jenis racun lainnya, sehingga jumlah racun yang dikonsumsi pada jumlah umpan yang sama akan lebih tinggi. Tingginya konsumsi seng fosfida menyebabkan tingginya kematian bondol pada pengamatan hari pertama sampai hari ketiga.

Tabel 12 Konsumsi racun pada pengujian individu Jenis Racun Bondol peking

(mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 1,738 3,306 Seng fosfida 50,400 33,600 Kumatetralil 3,694 3,075

Konsumsi Harian Racun dan Kematian Burung pada Pengujian Individu

Besar konsumsi racun bondol peking dan bondol jawa setiap hari pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan jumlah kematiannya dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11 Konsumsi harian racun pengujian individu

Konsumsi harian bondol peking terhadap gabah lebih disukai dari pada umpan beracun (Gambar 11). Konsumsi racun paling tinggi pada hari pertama kemudian mulai menurun sampai hari berikutnya. Pada konsumsi umpan beracun bromadiolon konsumsi tertinggi pada hari kelima dan menurun pada akhir pengamatan. Pada konsumsi umpan beracun kumatetralil konsumsi berfluktuatif. Berbeda dengan umpan beracun seng fosfida yang terjadi penurunan konsumsi

setiap harinya. Konsumsi gabah bondol peking pada hari kelima mengalami penurunan karena diikuti tingginya konsumsi burung terhadap bromadiolon.

Konsumsi racun pada bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi pada hari pertama tertinggi adalah gabah kemudian umpan beracun bromadiolon. Konsumsi umpan beracun bromadiolon mulai menurun sampai pengamatan hari ketiga dan mulai meningkat kembali pada pengamatan keempat dan selanjutnya mengalami penurunan kembali. Konsumsi gabah mulai meningkat pada hari ketiga kemudian menurun kembali pada hari keempat dan mencapai konsumsi tertinggi pada hari kelima. Konsumsi gabah yang fluktuatif menunjukkan rerata konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan umpan beracun. Konsumsi harian bondol jawa terhadap umpan beracun kumatetralil dan seng fosfida relatif konstan.

Tingginya konsumsi racun bondol peking pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian pada hari pertama (Gambar 12). Kematian menurun pada hari ketiga dan keempat karena pada hari pengamatan tersebut konsumsi burung terhadap gabah lebih banyak sedangkan konsumsi terhadap racun relatif sedikit sehingga burung masih dapat bertahan hidup. Pada akhir pengamatan tersisa satu ekor burung yang dapat bertahan hidup dan mati pada satu hari setelah pengamtan terakhir (hari ke-7).

Pada bondol jawa tingginya konsumsi umpan beracun bromadiolon dari pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian burung pada hari pertama. Pada akhir pengamatan tersisa dua ekor burung yang hidup. Dapat bertahannya satu ekor bondol peking dalam pengamatan dapat disebabkan daya tahan tubuh burung yang lebih bagus dari burung lainnya. Selain itu diduga burung lebih banyak mengkonsumsi gabah dan mengonsumsi umpan beracun dalam jumlah relatif sedikit. Namun, konsumsi umpan beracun telah terakumulasi dalam tubuh sehingga burung menjadi kurang lincah dan akhirnya mati pada hari setelah pengamatan terakhir (hari ke-7 & 8).

Pengujian Populasi

Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap racun dapat dilihat pada Tabel 12. Pada pengujian populasi, hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi tertinggi tetap pada gabah baik pada bondol peking maupun bondol jawa. Konsumsi tertinggi setelah gabah pada bondol peking adalah bromadiolon dan berbeda nyata terhadap konsumsi racun kumatetralil. Konsumsi tertinggi setelah bromadiolon adalah seng fosfida dan tidak berbeda nyata dengan racun kumatetralil.

Tabel 13 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian populasi

Perlakuan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh)

Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Gabah 0,563a 0,561a

Gabah + Bromadiolon 0,358ab 0,304b Gabah + Seng fosfida 0,124bc 0,053c Gabah + Kumatetralil 0,039c 0,116c

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

Pada bondol jawa konsumsi tertinggi setelah gabah adalah bromadiolon dan berbeda nyata dengan dua jenis umpan beracun lainnya yaitu seng fosfida dan kumatetralil. Rasa curiga burung terhadap umpan beracun seng fosfida dan kumatetralil menyebabkan konsumsi terhadap kedua jenis racun tersebut lebih sedikit daripada umpan dengan racun bromadiolon.

Konsumsi racun pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 14. Konsumsi bondol terhadap racun pada pengujian populasi menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada pengujian individu yaitu konsumsi seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain. Seng fosfida merupakan jenis racun akut yang biasa digunakan dalam usaha pengendalian pada populasi tinggi sedangkan racun bromadiolon dan kumatetralil (racun kronis) digunakan dalam pengendalian pada populasi rendah.

Tabel 14 Konsumsi racun pada pengujian populasi Jenis racun Bondol peking

(mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 2,238 1,900 Seng fosfida 99,200 42,400 Kumatetralil 0,731 4,350

Kematian Burung pada PengujianPopulasi

Jumlah kematian burung terhadap konsumsi racun dapat dilihat pada Gambar 13. Kematian bondol peking tertinggi pada hari pertama dan kedua yaitu sebanyak 11 ekor. Setelah hari kedua jumlah burung yang mati mengalami penurunan sampai akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan burung yang dapat bertahan hidup hanya satu ekor.

Gambar 13 Jumlah individu yang mati terhadap konsumsi racun dalam pengujian populasi

Pada bondol jawa kematian tertinggi terjadi pada hari pertama pengamatan yaitu sebanyak 18 ekor, kemudian menurun pada hari berikutnya. Pada pengamatan keempat jumlah burung yang mati mengalami peningkatan yaitu sebanyak meningkat 11 ekor burung mati. Pada akhir pengamatan jumlah burung yang masih hidup sebanyak 9 ekor burung.

Persentase lama hidup bondol peking sebesar 2,5 % sementara itu bondol peking sebesar 18 %. Dengan demikian bondol jawa lebih berpeluang sebagai hama pertanian padi dibandingkan bondol peking.

Gejala Keracunan pada Pengujian Racun Individu dan Populasi

Gejala keracunan yang terlihat pada saat pengamatan pengujian racun individu menggunakan empat jenis umpan pada bondol peking dan bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Gejala keracunan pada bondol peking dan bondol jawa pada pengujian individu dan populasi

Gejala keracunan

Pengujian individu Pengujian populasi Bondol peking Bondol jawa Bondol peking Bondol jawa Tidak menampakkan gejala 7 8 28 28

Kotoran berwarna hitam 2 2 4 5 Keluar darah dari mulut 2 1 - 1

Kotoran berdarah 1 2 6 5

Anus berdarah - - 1 2

Burung hidup 1 2 1 9

Total individu 13 15 40 50 Kematian tertinggi pada bondol peking dan bondol jawa menunjukkan bondol mati tanpa menunjukkan gejala. Konsumsi racun telah terakumulasi dalam jaringan organ tubuh burung yaitu hati atau ginjal namun tidak memecah pembuluh kapiler atau dapat pula memecah pembuluh kapiler namun tidak keluar

Dokumen terkait