• Tidak ada hasil yang ditemukan

Burung Pemakan Biji-bijian

Burung pemakan biji memiliki ukuran tubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah, sehingga susah ditangkap. Beberapa jenis burung pemakan biji antara lain jenis bondol seperti bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cerukcuk (Pycnonotus goiaver), dan burung cabe (Dicaeum trochileum) (Suaskara, Ginatra, & Muksin 2010). Burung pemakan biji mengonsumsi biji sebanyak 10% dari berat tubuhnya. Karena kesukaannya memakan biji-bijian terdapat beberapa jenis burung yang menjadi hama tanaman. Burung- burung yang sering menjadi hama pertanian seperti bondol, pipit, kakatua, nuri, dan gagak (Soemadi & Abdul 2003). Burung pemakan biji umumnya mempunyai tembolok, yaitu bagian yang membesar di bagian esofagus. Tembolok berguna sebagai penampung sementara biji yang telah ditelan. Selain itu, burung pemakan biji memiliki paruh pendek, kuat, dan tebal dengan ujung paruh sedikit bengkok. Paruh bagian atas burung pemakan biji sedikit lebih panjang daripada bagian bawah (Gambar 1), namun ada sebagian kecil burung pemakan biji dengan paruh yang sama panjang. Paruh burung pemakan biji berbentuk kerucut yang digunakan untuk mematuk, mengupas kulit biji, dan menghancurkan biji-bijian.

Sumber : Soemadi & Abdul 2003

Burung pemakan biji mengupas kulit biji dengan cara meremuk, memotong, atau mengiris kulit biji dengan bantuan sisi paruh yang tajam. Selain itu, terdapat beberapa burung yang langsung menelan biji tanpa mengupasnya terlebih dahulu (Soemadi dan Abdul 2003).

Bondol Peking (Lonchura punctulata)

Bondol peking (L. punctulata) disebut juga bondol dada sisik, pipit pinang, emprit, piit bondol atau Scaly-breasted munia termasuk dalam Famili Estrildidae (Balen & Burung Indonesia 2010). Bondol peking merupakan burung dengan tubuh berukuran kecil (11 cm). Bondol peking memiliki ciri-ciri tubuh berwarna coklat pada dahi bagian atas sampai penutup ekor bagian atas. Pada bagian ekor berwarna coklat kehitaman. Bulu penutup sayap dan bulu sayap berwarna coklat. Selain itu, pada bagian dagu dan leher berwarna coklat tua. Dada sampai penutup ekor bagian bawah berwarna putih dengan sisik-sisik hitam (Gambar 2). Bagian iris berwarna coklat, dengan paruh berwarna abu-abu gelap pada bagian atas dan coklat pada bagian bawah, sedangkan kaki berwarna hitam abu-abu (MacKinnon 1990, Sumaryati et al 2007, Davidson & Chew 2007, Novarino et al 2008, Priyambodo 2009). Menurut MacKinnon (1990), bondol peking yang belum dewasa memiliki ciri tubuh bagian bawah berwarna kuning tua tanpa sisik.

Gambar 2 Bondol peking

Habitat bondol peking adalah lahan budidaya terbuka, lahan semi budidaya, dan padang rumput (Coates & Bishop 2000). Kebiasaan burung ini hidup berpasangan atau berkelompok dan mudah bercampur dengan bondol jenis lain. Makanan utama burung ini adalah padi dan biji rumput. Suara bondol peking

ketika bersiul yaitu ”ki-dii, ki-dii” dan jika dalam bahaya ”tret-tret”. Bondol peking umum dijumpai di Jawa dan Bali dan tersebar luas sampai pada ketinggian 1.800 m dpl (MacKinnon, Phillips, & Ballen 2010).

Seekor burung bondol peking dapat menghasilkan empat sampai enam butir telur setiap peneluran dan telur berwarna putih. Telur diletakkan pada sarang berbentuk botol yang khas terbuat dari rumput. Sarang diletakkan di atas semak, pohon kecil atau palem dan tersembunyi pada tempat gelap (MacKinnon 1990, Ichinose et al 2006, Sumaryati et al 2007, Priyambodo 2009, MacKinnon et al

2010).

Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)

Bondol Jawa (L. leucogastroides) dikenal sebagai burung pipit jawa atau

javan munia dari Famili Estrildidae (Balen & Burung Indonesia 2010). Menurut MacKinnon (1990), bondol jawa dikenal merupakan burung yang bertubuh padat dan mempunyai ukuran kecil (11 cm). Bondol jawa memiliki ciri tubuh berwarna coklat, hitam, dan putih . Ciri lain bondol jawa adalah tubuh bagian atas berwarna coklat, tidak berburik, serta muka dan bagian dada atas berwarna hitam (Gambar 3). Pada bagian samping perut dan bagian rusuk bondol jawa berwarna putih, sedangkan bagian ekor berwarna coklat gelap. Selain itu, bondol jawa memiliki iris dan paruh berwarna coklat, serta kaki berwarna abu-abu. Bondol jawa yang belum dewasa memiliki ciri tubuh bagian dada dan leher berwarna coklat, serta tubuh bagian bawah berwarna kekuningan (Davidson & Chew 2007).

Gambar 3 Bondol jawa

Habitat bondol jawa adalah lahan pertanian dan padang rumput alami (Sulistyadi 2010). Menurut Mackinnon (1990), Makanan utama bondol jawa adalah padi dan biji rumput. Bondol jawa membentuk kelompok pada masa pemanenan padi dan biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Kebiasaan bondol jawa yaitu makan di atas permukaan tanah atau mengambil biji dari bulir rumput, menghabiskan banyak waktu dengan bersiul ribut dan membersihkan bulunya di pohon-pohon besar. Bondol jawa memiliki suara

dengan bersiul halus ”cii-ii-ii” (MacKinnon, Philips, dan Ballen 2010).

Perkembangbiakan bondol jawa dengan membentuk sarang bola berongga longgar yang terbuat dari potongan rumput dan bahan lain, diletakkan cukup tinggi di atas pohon diantara benalu, ketiak tangkai palem atau tempat tertutup lainnya (MacKinnon, Philips, dan Ballen 2010). Bondol jawa dapat berkembang biak sepanjang tahun dan bertelur empat atau lima butir setiap kali peneluran dengan telur berwarna putih (MacKinnon 1990, Priyambodo 2009). Bondol jawa merupakan jenis burung endemik dataran rendah Jawa dan sangat umum ditemui di Jawa, Sumatera, NTT, NTB dan Bali (Coates & Bishop 2000, Sulistyadi 2010). Bondol jawa tersebar luas sampai ketinggian 1.500 meter (MacKinnon 1990, Ichinose et al 2006).

Pakan Milet

Milet (Pennisetum millet) termasuk dalam Famili Graminae (rumput- rumputan) dan Ordo Poales. Milet merupakan salah satu jenis tanaman serealia selain padi, gandum, sorghum dan jagung. Di Indonesia milet hanya dijadikan sebagai pakan burung pemakan biji-bijan seperti bondol, pipit, gelatik, dan perkutut. Biji millet berbentuk bulat telur dan meruncing pada salah satu ujungnya. Biji milet mengandung karbohidrat, protein, lemak dan lainnya. Kandungan gizi milet dapat dilihat pada Tabel 1.

Secara umum milet dibagi dalam tiga jenis yaitu, milet putih, milet merah, dan milet hitam. Dari ketiga jenis milet tersebut, milet putih yang lebih baik dari segi ekonomis karena permintaan pasar yang tinggi dengan harga stabil. Milet putih merupakan milet yang paling dikenal pecinta burung Indonesia. Biji milet

putih berwarna putih mengilat. Biji-biji ini, digemari burung gelatik, parkit, perkutut dan kenari. Jenis burung yang sering menyerang pertanaman milet antara lain, bondol, emprit, dan gelatik (Andoko 2001).

Tabel 1 Kandungan gizi dan mineral pada milet

Uraian Jumlah Karbohidrat (%) 63 Protein (%) 10,6 Lemak (%) 1,9 Serat (%) 2,9 Lain-lain (%) 21,6 Kalsium (mg/100 g) 440 Besi (mg/100 g) 7 Fosfor (mg/100 g) 156 Natrium (mg/100 g) 53 Kalium (mg/100 g) 398 Sumber: Andoko 2001 Gabah

Secara umum butir-butir padi yang masih ditutupi dan dilindungi oleh sekam disebut sebagai gabah. Gabah sering dijadikan sebagai pakan burung pipit, gelatik, kenari, merpati, puter, dan perkutut (Soemadi dan Abdul, 2003). Di kalangan penggemar burung dikenal gabah lain yaitu gabah lampung. Gabah lampung memiliki bentuk yang kecil dan agak bulat dengan kulit berwarna kuning agak halus. Gabah yang baik dari segi kualitas adalah gabah yang berisi, terasa padat ketika ditekan dengan jari tangan, dan tidak keropos.

Beras

Gabah yang digiling dan ditumbuk sehingga kulitnya terkelupas disebut sebagai beras. Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang dapat menentukan warna dari butir beras. Selaput ini mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Berdasarkan warna selaputnya, beras dibagi menjadi tiga macam yaitu beras putih, beras merah, dan beras ketan hitam. Ketiga

jenis beras tersebut memiliki warna bagian luar yang berlainan, tetapi ketiga jenis beras tersebut memiliki warna bagian dalam yang sama yaitu putih bersih. Beras secara umum berbentuk lonjong, agak mengilap dan sukar dipatahkan dalam keadaan kering. Kandungan gizi dan mineral beras tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan gizi dan mineral pada beras

Uraian Jumlah Karbohidrat (%) 77 Protein (%) 8,9 Lemak (%) 2,0 Serat (%) 1,5 Lain-lain (%) 11,1 Kalsium (mg/100 g) 7 Besi (mg/100 g) 9 Fosfor (mg/100 g) 147 Natrium (mg/100 g) 10 Kalium (mg/100 g) 87 Sumber: Andoko 2001

Beras putih jarang digunakan sebagai pakan burung karena merupakan makanan utama manusia. Penggunaan beras sebagai pakan burung hanya sebagai pelengkap dalam bentuk campuran dengan biji lain. Pemberian beras putih yang terlalu banyak akan menyebabkan burung mengalami diare. Beras merah dan beras ketan hitam lebih banyak digunakan sebagai pakan burung. Beras merah sangat baik diberikan kepada anak burung yang masih dalam pertumbuhan (Soemadi dan Abdul, 2003).

Jagung pipil

Tongkol jagung muda sangat disukai oleh burung berparuh bengkok seperti kakatua, nuri, parkit, dan bayan. Burung berparuh bengkok tersebut hanya memakan sebagian kecil dari biji (lembaga) dan sisa bagian yang tidak dikonsumsi akan dibuang. Sebaliknya, burung dengan paruh kerucut (pemakan biji) lebih menyukai jagung berbentuk pipilan. Jagung pipilan yaitu biji jagung yang sudah dipecah atau ditumbuk kasar.

Karbohidrat dalam biji jagung mengandung gula pereduksi (glukosa dan fruktosa), sukrosa, polisakarida, dan pati (Penulis PS 2002). Kadar gula pada endosperma jagung sebesar 2-3% (Koswara 1986). Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan zat gizi jagung tiap 100 gram berat yang dapat dimakan Zat gizi Jumlah Satuan

Energi 129 kal Protein 4,1 g Lemak 1,3 g Karbohidrat 30,3 g Kalsium 5,0 mg Fosfor 108,0 mg Besi 1,1 mg Vitamin A 117 SI Vitamin B 0,18 mg Vitamin C 9 mg Air 63,5 g

Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan, 1979

Berdasarkan warna bijinya, jagung dibedakan menjadi jagung putih, jagung kuning, dan jagung mosaik. Jagung yang sering digunakan sebagai pakan burung adalah jagung kuning. Jagung disebut kuning apabila 90% biji berwarna kuning dan sisanya berwarna lain. Jagung kuning atau jagung dengan endosperma kuning mempunyai kandungan karoten tinggi yang dapat digunakan sebagai sember pro- vitamin A. Semakin kuning warna biji menunjukkan banyaknya kandungan pro- vitamin A, sehingga jagung dengan warna kuning tua mengandung pro-vitamin A lebih banyak dibandingkan jagung dengan warna kuning muda akan tetapi dalam keadaan tertentu tidak berlaku mutlak.

Pelet

Pelet merupakan pakan buatan berbentuk butiran. Pakan buatan dibuat dan diramu untuk melengkapi kebutuhan pakan burung. Pelet dibuat dari campuran berbagai bahan makanan dengan komposisi yang lengkap yang telah dihaluskan

dan terpilih yang dibentuk dan dipadatkan secara mekanis (Soemadi dan Abdul 2003). Selain itu, pelet lebih banyak digunakan sebagai pakanikan dalam bentuk butiran. Pelet memiliki bahan pembentuk berupa tepung kering dan gumpalan (pasta). Menurut Mujiman (1994), bahan dalam bentuk tepung kering terdiri dari golongan berjumlah banyak (dedak, tepung ikan, tepung kedelai, gelatin, dan lainnya) dan golongan dengan jumlah sedikit (vitamin dan mineral). Pelet yang baik memiliki kekerasan yang tinggi karena bahan pembuat pelet berasal dari bahan baku yang cukup halus.

Jewawut

Pakan jewawut (Panicum italia) sering diberikan pada burung dalam bentuk malai atau pipilan. Biji jewawut memiliki bermacam-macam warna yaitu putih, kuning, hijau, ungu tua, merah, atau warna campuran. Jewawut memiliki kandungan gizi yang hampir sama seperti jagung dan padi. Pemberian jewawut sebagai pakan terhadap burung dalam jumlah banyak dapat menyebabkan burung menjadi gemuk sehingga malas bergerak dan jarang berkicau (Soemadi dan Abdul 2003).

Racun Seng Fosfida (Zn3P2)

Seng fosfida tergolong dalam jenis racun akut. Racun akut adalah racun yang menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Menurut Priyambodo (2003), racun akut bekerja cepat dengan cara merusak sistem syaraf.

Seng fosfida berbentuk tepung dan berwarna hitam keabu-abuan, tahan lama disimpan pada kondisi normal (Prakash 1988). Seng fosfida efektif dalam mengendalikan tikus karena memiliki bau seperti bawang yang dapat menarik tikus (Buckle & Smith 1996). Selain digunakan terhadap tikus, seng fosfida juga efektif dalam mengendalikan mamalia dan burung (Ware 1978).

Racun dengan bahan aktif seng fosfida banyak digunakan untuk pengendalian tikus sejak Perang Dunia I. Cara kerja seng fosfida yaitu dengan menghasilkan gas fosfin (PH3) yang bekerja di dalam perut sehingga

menyebabkan kerusakan pada jantung, hati, atau ginjal. Gejala keracunan dapat terlihat dalam waktu kurang dari 25 menit setelah mengkonsumsi racun dalam dosis yang tinggi, dan umumnya kematian terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam (Prakash 1988, Ware 1978).

Toksisitas seng fosfida pada LD50 untuk tikus riul (Rattus norvegicus)

sebesar 40 mg/kg dan untuk bajing (Citellus spp.) sebesar 36 mg/kg. Beberapa mamalia terutama burung sangat rentan terhadap seng fosfida (LD50 pada burung

sebesar 9 mg/kg) (Prakash 1988).

Bromadiolon (C30H23BrO4)

Bromadiolon merupakan jenis racun kronis (Priyambodo 2003). Racun kronis yaitu racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K serta mengganggu proses pembekuan darah. Gejala keracunan dapat terlihat dalam waktu 24 jam atau lebih dan kematian dapat mencapai beberapa hari setelah aplikasi (Buckle & Smith 1996).

Bromadiolon ditemukan di Perancis pada pertengahan tahun 1970-an, dan mulai dikomersilkan ke berbagai negara. Bromadiolon diproduksi dalam bentuk tepung atau bubuk. Bromadiolon digunakan dalam bentuk umpan siap pakai dengan konsentrasi rendah, yaitu sekitar 0,005% (Corrigan 1997).

Konsentrasi yang digunakan dalam umpan umumnya 50 ppm. Kematian pada tikus riul (R. norvegicus) biasanya dapat dilihat setelah 24 jam aplikasi, sedangkan pada tikus rumah (R. rattus) membutuhkan lima hari dan pada mencit rumah (Mus musculus) membutuhkan waktu yang lebih lama. LD50 untuk tikus

adalah 0,99 mg/kg sedangkan untuk unggas sebesar 5 mg/kg (Prakash 1988).

Kumatetralil (C19H16O3)

Kumatetralil merupakan jenis racun kronis. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003).

Kumatetralil ditemukan di Jerman dan telah digunakan selama bertahun- tahun di banyak tempat untuk pengendalian hewan pengerat. Kumatetralil

berbentuk bubuk kristal berwarna biru. Kumatetralil tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol.

Formulasi yang digunakan pada umpan kering sebesar 0,0375% yang telah dicampur dengan umpan dan 0,75% pada aplikasi tepung. LD 50 akut oral pada tikus riul (R. norvegicus) adalah 16,5 mg/kg dan tikus betina lebih tidak rentan dari pada tikus jantan. Toksisitas kronis dapat mencapai 5 x 0,3 mg/kg pada tikus riul sedangkan pada unggas mencapai 8 x 50 mg/kg. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa kumatetralil sangat berbahaya terhadap unggas. Kumatetralil digunakan dengan kandungan bahan aktif yang rendah. Resiko keracunan terhadap organisme bukan sasaran termasuk manusia sangat kecil (Prakash 1988).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan September sampai Desember 2010.

Bahan dan Alat Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) yang diperoleh dari penjual burung di Pasar Bogor, di simpangan Bogor Trade Mall, dan di Ciampea. Burung yang digunakan sebanyak 195 ekor, dengan berat antara 8-14 gram.

Kandang Percobaan

Kandang yang digunakan dalam pengujian terdiri dari kandang individu dan kandang populasi (Gambar 4). Kandang individu terbuat dari aluminium berukuran 50 cm x 34,5 cm x 33 cm (p x l x t). Setiap kandang dilengkapi peralatan tambahan yaitu tempat minum, tempat makan, kayu untuk bertengger, dan penampung kotoran.

A B C Gambar 4 Kandang individu (A dan B) dan kandang populasi (C)

Kandang populasi berbentuk balok dan dibuat dari kayu dengan lapisan seng pada bagian dalam, dan ditutup dengan ram kawat. Kandang berukuran 400

cm x 100 cm x 50 cm (p x l x t). Setiap kandang memiliki tiga pintu yaitu pada bagian kanan, tengah, dan kiri.

Pakan

Pakan yang digunakan pada pengujian kemampuan makan adalah gabah dan beras merah pada perlakuan individu, sedangkan pada perlakuan populasi hanya menggunakan gabah. Untuk pengujian preferensi pakan baik perlakuan individu maupun populasi, pakan yang digunakan adalah gabah, milet, jewawut, pelet, jagung pipil, dan beras merah (Gambar 5). Pada pengujian racun digunakan gabah sebagai bahan dasar pakan.

A B C D E F Gambar 5 Jenis pakan pada preferensi pakan, A. Milet, B. Jagung pipil,

C. Jewawut, D. Pelet, E. Beras merah, dan F. Gabah.

Timbangan

Alat yang digunakan untuk menghitung bobot bahan dalam pengujian adalah timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6). Timbangan digunakan untuk mendapatkan bobot burung sebelum dan sesudah perlakuan serta mendapatkan besar pakan sebelum dan sesudah konsumsi pakan hewan uji.

Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)

Racun

Racun yang digunakan dalam pengujian bersifat racun akut dan racun kronis. Racun akut yang digunakan berbahan aktif seng fosfida, racun kronis yang

digunakan berbahan aktif bromadiolon dan kumatetralil (Gambar 7). Ketiga jenis racun yang digunakan berbentuk serbuk yang akan dicampur dengan bahan dasar gabah pada pengujian (Gambar 8).

A B C

Gambar 7 Jenis racun yang digunakan dalam pengujian, kumatetralil 0,75% (A), seng fosfida 80% (B), dan bromadiolon 0,25% (C).

A B C D

Gambar 8 Umpan pengujian racun, gabah tanpa racun (A), gabah dengan racun b.a seng fosfida (B), gabah dengan racun b.a kumatetralil (C), gabah dengan racun b.a bromadiolon (D).

Metode Penelitian Persiapan Kandang

Sebelum digunakan seluruh bagian kandang diperiksa dan dibersihkan terlebih dahulu. Setelah kandang pengujian layak digunakan, kemudian diletakkan mangkuk tempat minum dan makan burung.

Persiapan Hewan Uji

Burung yang diperoleh dari pedagang diadaptasikan terlebih dahulu dalam kurungan pemeliharaan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman selama 2-3 hari dengan diberi pakan gabah dan air setiap hari.

Penentuan bobot burung dilakukan dengan cara memasukkan seekor burung ke dalam kantong plastik kecil kemudian plastik diikat dan ditimbang. Bobot burung yang telah ditimbang kemudian dicatat dan dikurangi dengan berat plastik sebelum menimbang burung dengan jenis timbangan yang sama.

Pengujian Konsumsi Makan

Pengujian konsumsi makan dilakukan untuk mengetahui besar konsumsi burung bondol. Pengujian dilakukan terhadap individu dan populasi. Pada perlakuan individu, pakan yang digunakan adalah gabah dan beras merah. Pengamatan terhadap gabah dilakukan selama enam hari berturut-turut. Burung ditimbang sebelum dimasukkan dalam kandang individu. Setiap hari konsumsi burung terhadap gabah dihitung dan gabah diganti dengan yang baru. Pemberian gabah setiap hari sekitar 15 gram. Pada akhir pengamatan, burung ditimbang kembali dan dikembalikan ke kandang pemeliharaan. Pada perlakuan individu dengan menggunakan beras merah pengamatan dilakukan selama lima hari berturut-turut. Pada pengamatan ini masing-masing kandang individu disediakan pakan sekitar 200 gram. Penimbangan sisa umpan dilakukan pada akhir pengamatan.

Pengujian populasi dilakukan selama lima hari berturut-turut menggunakan pakan gabah. Sepuluh ekor burung bondol dimasukkan dalam kandang populasi. Rasio perbandingan antara jantan dan betina yaitu 5:5 atau 4:6. Sebelum dimasukkan ke dalam kandang pengujian burung terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobot awal. Konsumsi makan burung terhadap gabah diketahui dari penimbangan gabah pada akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan konsumsi makan, burung yang berada dalam kandang populasi dilanjutkan untuk pengujian preferensi makan dan selanjutnya pengujian racun.

Pengujian Preferensi Pakan

Pengujian dilakukan dengan metode pilihan (choice test) selama enam hari berturut-turut untuk setiap hewan uji. Penempatan pakan dipisahkan dalam tempat umpan (mangkuk) yang berbeda untuk masing-masing pakan. Pakan yang diberikan ditimbang setiap hari dan diganti dengan yang baru. Perhitungan konsumsi pakan burung dengan cara menghitung selisih pakan sebelum dan

sesudah perlakuan. Konsumsi pakan yang diperoleh kemudian dikonversi ke 10 gram bobot tubuh.

Pengujian populasi dilakukan selama lima hari pengamatan menggunakan enam jenis pakan yang sama seperti perlakuan individu yaitu gabah, beras merah, milet, jewawut, pelet, dan jagung pipil. Besar konsumsi makan burung terhadap berbagai jenis pakan ditimbang pada akhir pengamatan.

Pengujian Racun

Pengujian racun dilakukan untuk mengetahui jenis racun yang lebih disukai dan menarik bagi burung. Dalam aplikasi, racun yang digunakan dicampur dengan bahan dasar gabah. Metode yang digunakan adalah metode pilihan (choice test) dengan menggunakan gabah tanpa racun, gabah dengan racun b.a bromadiolon, gabah dengan racun b.a kumatetralil, dan gabah dengan racun b.a seng fosfida. Pencampuran racun dengan bahan dasar gabah dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

b.a bromadiolon = jumlah umpan x

b.a kumatetralil = jumlah umpan x

b.a seng fosfida = jumlah umpan x

Pengamatan dilakukan terhadap konsumsi setiap jenis umpan perlakuan (gabah tanpa racun dan gabah dengan racun) dengan cara perhitungan selisih jumlah awal dan akhir racun yang diberikan.

Perlakuan populasi dilakukan selama lima hari pengamatan menggunakan empat jenis umpan yang sama seperti perlakuan individu. Besar konsumsi makan burung terhadap gabah diketahui dari penimbangan pada akhir pengamatan.

Konversi Umpan

Semua data yang diperoleh dari pengujian bondol peking dan bondol jawa, dikonversi terlebih dahilu terhadap 10 g bobot burung, dengan rumus sebagai berikut: 1 40 1 20 1 100

Konversi umpan/racun (g = x 10%

Rerata bobot tubuh burung (g) =

Analisis Data

Penelitian ini digunakan dua pengujian yaitu individu dan populasi. Pada masing-masing pengujian dilakukan dengan tiga perlakuan. Pada pengujian individu perlakuan pertama menggunakan pakan gabah, sebanyak 16 ulangan untuk bondol peking dan 15 ulangan untuk bondol jawa, sedangkan perlakuan menggunakan beras merah masing-masing dilakukan sebanyak 12 ulangan. Perlakuan kedua sebanyak 10 ulangan untuk bondol peking dan 12 ulangan untuk bondol jawa. Pada perlakuan ketiga sebanyak 13 ulangan pada masing-masing perlakuan. Pada pengujian populasi bondol peking dilakukan sebanyak 4 ulangan dan bondol jawa sebanyak 5 ulangan. Data hasil penelitian diolah dengan program Statistical Analysis System (SAS) for Windows ver.9.1. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α= 5%.

Bobot umpan/racun yang dikonsumsi (g) Rerata bobot burung (g)

Bobot awal (g) + bobot akhir (g) 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah

Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada Tabel 4, analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 1-2. Kemampuan makan bondol peking (L. punctulata) dan bondol jawa (L. leucogastroides) pada pengujian individu menggunakan pakan gabah menunjukkan bahwa konsumsi bondol jawa terhadap gabah lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol peking.

Tabel 4 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu

Jenis burung Bobot tubuh (g)

Konsumsi (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,812a 2,099b

Bondol jawa 10,395b 2,561a

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan

Dokumen terkait