• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Sindangjaya yang merupakan inti pusat pertumbuhan kawasan Agropolitan di kawasan Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Proponsi Jawa Barat. Menurut Data SIAK propinsi Jawa Barat memiliki luas 35.377.76 Km2 dan didiami penduduk sebanyak 46.497.175 juta jiwa. Menurut Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten terbanyak ke empat setelah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut di Provinsi Jawa Barat. Jumlah kepala keluarga di Kabupaten Cianjur sebanyak 730.104 keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki 1.356.993 juta jiwa (51,56%) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1.274.903 juta jiwa (48,44%) dengan total jumlah penduduk Kabupaten Cianjur sebanyak 2.631.896 juta jiwa (5,58%).

22

Desa Sindangjaya berada di wilayah Cianjur Utara dengan topografi wilayah sebagian besar berbukit atau bergunung-gunung. Desa Sindangjaya dipilih sebagai Daerah Inti Pusat Rintisan Agropolitan karena memiliki keunggulan di sektor pertanian khususnya hortikultura. Jenis tanaman hortikultura yang menjadi komoditas utama di Desa Sindangjaya adalah wortel, bawang daun dan pokcoi. Pola tanaman yang digunakan di desa tersebut umumnya tumpangsari, hal ini dulakukan untuk mengurangi risiko kerugian yang dialami oleh para petani. Desa Sindangjaya secara geografis memiliki batas-batas wilayah , yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cimacan, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sindanglaya, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukabumi, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukatani.

Desa Sindangjaya sebagai desa percontohan memiliki luas wilayah sebesar 512 ha, dengan luas wilayah yang digunakan untuk pertanian sayur-sayuran 321 ha. Desa Sindangjaya terdiri dari lima dusun. Total Rukun Warga (RW) berjumlah 9 RW dan total Rukun Tetangga (RT) berjumlah 45 RT. Desa Sindangjaya dihuni oleh 3.022 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk keseluruhan 11.448 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 5.975 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 5.509 jiwa, dan hanya 35 Keluarga yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Desa Sindangjaya merupakan desa di daerah dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 1.100-1.350 meter diatas permukaan laut. Kisaran suhu pada Desa Sindangjaya antara 21°C-24°C. Banyaknya curah hujan yang diterima adalah 3.000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan per tahun rata-rata 186 hari. Jenis tanah di Desa Sindangjaya adalah andosol dan regosol, dengan kemiringan tanah antara 0°-30° dan pH tanah 5,5-7,5. Berdasarkan letak dan kondisi geografis desa di atas, maka wilayah seperti ini sangat cocok untuk pengembangan dan budidaya tanaman hortikultura, diantaranya wortel, bawang daun, dan pokcoi.

Usia produktif penduduk Desa Sindanjaya memiliki mata pencaharian atau pekerjaan yang beragam, namun pekerjaan yang paling banyak digeluti oleh penduduk berada pada sektor pertanian. Sebagian besar penduduk Sindangjaya 91.943 orang) bekerja pada sektor pertanian atau petani. Jenis pekerjaan penduduk lainnya di seluruh sektor yaitu bekerja sebagai karyawan (149 orang), wiraswasta (1.297 orang), pertukangan (48 orang), buruh tani (598 orang), dan pensiunan (52 orang). Jumlah penduduk menurut kelompok tenaga kerja yaitu 20-26 tahun sebanyak 1.655 orang dan usia 27-40 tahun sebanyak 2.727 orang.

Desa Sindangjaya merupakan daerah sayuran yang cukup potensial dan cukup pesat perkembangannya, disamping sebagai daerah tujuan wisata, desa ini juga cukup strategis dalam pemasaran prosuk sayuran ke Daerah Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Adanya potensi yang besar dari daerah ini dalam bidang pertanian khususnya produk sayuran dan hortikultura, maka terbentuklah Kelompok Tani Padajaya. Kelompok tani ini bermula dari kerjasama antara pemerintah desa, petani, dan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur serta Kelompok Tani Padajaya. Kelompok Tani Padajaya terdiri pada tanggal 15 juli 2002, didirikan oleh sembilan orang perwakilan para petani di daerah Padajaya.

Hasil

Karakteristik Anak

Jenis kelamin anak, usia anak, dan urutan kelahiran anak

Karakteristik anak pada penelitian ini adalah siswa Kelas 4 dan 5 SDN Sindanglaya dan SDN Suryakancana di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas. Karakteristik anak pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia anak, dan urutan kelahiran anak. Sebanyak 51,4 persen jenis kelamin anak pada penelitian ini adalah perempuan dan sisanya (48,6%) berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan kelompok usia anak, proporsi terbesar berada pada usia 11 tahun. Kemudian, sebanyak 25,7 persen anak merupakan urutan kelahiran ke dua. Sebaran karakteristik anak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran karakteristik anak

Kategori n %

Jenis kelamin anak

Laki-laki 17 48,6

Perempuan 18 51,4

Total 35 100,0

Usia Anak (tahun)

10 11 31,4 11 16 45,7 12 6 17,1 13 2 5,7 Total 35 100,0 Rata-Rata±SD (tahun) 11±0,857

Urutan Kelahiran Anak

Anak ke-1 7 20,0 Anak ke-2 9 25,7 Anak ke-3 9 25,7 Anak ke-4 7 20,0 Anak ke-5 3 8,6 Total 35 100,0

Rata-Rata±SD (urutan ke- ) 3±1,250

Karakteristik Keluarga Usia, lama pendidikan, dan pekerjaan ayah dan ibu

Rataan usia ayah adalah 46 tahun dengan rentang usia 33 sampai 60 tahun. Sementara itu, rataan usia ibu adalah 39 tahun dengan rentang usia 28 sampai 56 tahun. Usia ayah termasuk pada kelompok usia madya dan usia ibu termasuk pada kelompok usia dewasa awal. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani yang dilakukan oleh keluarga dilakukan oleh petani yang berusia produktuf. Tingkat pendidikan ayah dan ibu akan berpengaruh terhadap cara dan pola pikir untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak menentu (Simanjuntak 2010). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa rataan lama pendidikan ayah adalah 6 tahun, dengan rentang lama pendidikan adalah 0

24

sampai 12 tahun. Selain itu, rataan lama pendidikan ibu adalah 5 tahun dengan rentang lama pendidikan ibu adalah 0 sampai 6 tahun. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan. Tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat merupakan sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih berkualitas dan memudahkan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan memberikan penghasilan yang mencukupi keluarga (Simanjuntak 2010b). Seluruh pekerjaan ayah 100% bermata pencaharian utama atau memiliki pekerjaan sebagai petani. Tiga dari tujuh ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Sebaran usia, lama pendidikan, dan pekerjaan ayah dan ibu dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran usia, lama pendidikan, dan pekerjaan ayah dan ibu

Variabel Ayah Ibu

n % n %

Usia Ayah dan Ibu (tahun)*

Dewasa Awal (18-40) 14 40,0 22 62,9 Dewasa Madya (41-60) 21 60,0 13 37,1 Dewasa Akhir (>60) 0 0,0 0 0,0 Total 35 100 35 100 Min-Max (tahun) 33-60 28-56 Rata-rata±SD (tahun) 46±8 39±8

Lama Pendidikan Ayah dan Ibu (tahun)

1-6 (tahun) 33 94,3 35 100 6,1-9(tahun) 1 2,9 0 0 9,1-12 (tahun) 1 2,9 0 0 >12 (tahun) 0 0 0 0 Total 35 100 35 100 Min-Max (tahun) 0-12 0-6 Rata-rata±SD (tahun) 6±2,026 5,3±1,840

Pekerjaan Ayah dan Ibu

Petani 35 100,0 12 34,3

Bukan petani 0 0,0 2 5,7

Tidak bekerja (Ibu rumah tangga)

0 0,0 21 60,0

Total 35 100,0 35 100,0

Keterangan: * digolongkan berdasarkan Hurlock (1980) Tipe petani dan besar keluarga

Status petani dalam usaha tani menurut Soeharjo dan Patong dalam Gustiana (2012) ada empat tipe, yaitu: 1) Petani pemilik merupakan petani yang memiliki lahan sendiri, lahan tersebut bisa dikerjakan sendiri atau mempekerjakan orang lain; 2) Petani penyewa yaitu petani yang menyewa lahan orang lain untuk dijadikan sebagai usaha pertanian; 3) Petani penggarap yaitu petani yang mengelola tanah milik orang lain dengan pendapatan hasil pertanian menggunakan sistem bagi hasil; 4) Buruh tani merupakan petani yang mengerjakan tanah milik orang lain dengan sistem upah. yaitu petani pemilik, petani penyewa, petani penggaran, dan buruh petani.

Sesuai kriteria sampel, maka empat dari tujuh keluarga petani memiliki lahan perkebunan sendiri atau sebagai pemilik kebun yaitu petani yang memiliki lahan sendiri untuk diusahakan sebagai usaha tani, dan sisanya (20,0%) sebagai

buruh tani. Berdasarkan pada Tabel 4 kurang dari separuh keluarga contoh (48,6%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-6 orang) dengan rata-rata besar keluarga 6 orang. Jumlah keluarga paling sedikit pada penelitian ini adalah 3 orang sedangkan jumlah keluarga paling banyak adalah 9 orang. Sebaran tipe petani dan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu, tipe petani, dan besar keluarga

Varibel n % Tipe Petani Petani pemilik 28 80,0 Petani penyewa 0 0,0 Petani penggarap 0 0,0 Buruh Tani 7 20,0 Total 35 100,0

Besar keluarga (orang)*

≤ 4 orang 7 20,0 5-6 orang 17 48,6 >6 orang 11 31,4 Total 35 100,0 Min-Max (orang) 3-9 Rata-rata±SD (orang) 6±1,43

Keterangan: * digolongkan berdasarkan BKKBN 1996 Pendapatan dan pengeluaran keluarga

Menurut Sumarwan (2002) pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya dalam mencari nafkah. Pendapatan keluarga merupakan jumlah dari seluruh pendapatan yang diperolah dari setiap anggota keluarga. Pendapatan ini berasal dari ayah, ibu, dan anggota keluarga lain baik dari pekerjaan utama (petani) maupun dari pekerjaan lainnya. Hasil analisis menunjukkan hampir seluruh keluarga (91,4%) memiliki pendapatan per kapita sebesar kurang dari Rp500.000 dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp231.000.

Pengeluaran dapat digunakan sebagai indikator pendapatan keluarga yang dapat menggambarkan kondisi keuangan keluarga (Sumarwan 2002). Kondisi pengeluaran keluarga lebih besar daripada pendapatan adalah suatu hal yang wajar karena pendapatan merupakan salah satu sumberdaya keluarga yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, misalnya dengan cara meminjam atau berhutang. Hasil analisis menunjukkan sebagian besar keluar\ga mengeluarkan biaya untuk kebutuhan sehari-hari berkisar kurang dari Rp500.000 dengan rata-rata pengeluaran per kapita keluarga per bulan sebesar Rp248.554.

Salah satu penyebab keluarga tidak sejahtera adalah rendahnya pendapatan keluarga yang diterima. Pendapatan buruh tani pada Juli 2014 sebesar Rp44.569 per hari (BPS 2014). Dengan demikian pendapatan buruh tani selama satu bulan sekitar Rp1.337.070. Sehingga pendapatan perkapita buruh tani dengan kondisi sebagai keluarga besar (6 orang) sebesar Rp222.845. Apabila dibandingkan dengan Garis Kemiskinan (GK) BPS untuk daerah perdesaan di Indonesia pada September 2013, yaitu sebesar Rp275.779 per kapita per bulan. Maka dapat dikatakan bahwa keluarga berada dalam kondisi kemiskinan. Hasil analisis

26

menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga per kapita petani per bulan lebih kecil dari pada pengeluaran per kapita keluarga. Hal ini sejalan dengan Simanjuntak (2010b) yang menyatakan bahwa keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menutupi kekurangan kebutuhan maka keluarga maka keluarga melakukan peminjaman dan bantuan dari kerabat atau pemerintah. Sebaran rata-rata pendapatan dan pengeluaran per kapita keluarga dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran rata-rata pendapatan dan pengeluaran per kapita keluarga

Kategori n %

Pendapatan (Rp kapita per bulan)*

<500.000 34 97,1 500.000,1-1.000.000 1 2,9 1.000.000,1-1.500.000 0 0,0 >1.500.000,1 0 0,0 Total 35 100,0 Min-Max (Rp) 11.166-1.000.000 Rata-rata ± SD (Rp) 231.000± 192.300

Pengeluaran (Rp kapita per bulan)*

<500.000 32 91,4 500.000,1-1.000.000 3 8,6 1.000.000,1-1.500.000 0 0 >1.500.000,1 0 0 Total 35 100,0 Min-Max (Rp) 80.500-552.250 Rata-rata ± SD (Rp) 248.554±115.515

Keterangan: * Penggolongan pendapatan dan pengeluaran mempertimbangkan UMR Kabupaten Cianjur sebesar Rp1.500.000

Kepemilikan aset keluarga

Aset adalah salah satu sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga yang dapat berupa uang maupun nonuang (Hartoyo dan Aniri 2010). Pada penelitian ini aset dibagi menjadi lima kelompok yaitu rumah, lahan kebun atau sawah, ternak kecil, ternak besar dan motor. akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas (Iskandar et al. 2010). Rumah merupakan kebutuhan penting bagi setiap keluarga (Simanjuntak 2010b). Sebuah rumah yang permanen atau milik sendiri dapat menjadi tempat penyatuan kembali bagi seorang anak yang telah berpisah dengan keluarganya (Torrico 2009). Berdasarkan kepemilikan aset pada Tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar keluarga (85,7%) memiliki rumah dengan status kepemilikan milik keluarga dan sebanyak 14,3% keluarga tinggal di tempat keluarga besarnya atau mengontrak. Lebih dari separuh responden (62,9%) memiliki lahan kebun atau sawah. Lahan tersebut biasanya ditanami sayuran pokcoi, daun bawang, wortel, lobak, dan tanaman hias potong yang kemudian hasilnya dijual kepada tengkulak (pedagang perantara petani). Sekitar tiga perempat dari jumlah responden (74,3%) dan sebagian besar responden (97,1%) tidak memiliki ternak kecil seperti ayam, bebek, atau kambing dan ternak besar seperti sapi. Sebanyak (60,0%) responden memiliki kendaraan pribadi seperti motor karena harga kendaraan motor sudah dapat terjangkau oleh responden.

Kendaraan motor digunakan responden untuk mengakses kebutuhan pertanian dan keperluan lainnya. Berikut sebaran kepemilikian aset keluarga dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran kepemilikan aset keluarga (n=35)

Variabel Memiliki Tidak memiliki

n % n % Rumah 30 85,7 5 14,3 Lahan kebun/sawah 22 62,9 13 37,1 Ternak kecil 9 25,7 26 74,3 Ternak besar 1 2,9 34 97.1 Motor 22 62,9 13 37,1 Kerentanan Anak Kerentanan internal anak

Kerentanan internal yang terdapat pada anak petani berupa permasalahan-permasalahan yang diduga muncul dalam kehidupan sehari-hari anak seperti permalasahan emosional dan sosial. Indikator kerentanan anak pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kerentanan internal anak petani rata-rata skor tertinggi yaitu anak merasa tidak semangat atau bosan (2,46). Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak petani masih kurang untuk dapat memotivasi dirinya untuk dapat semangat. Sebagian anak mengaku bahwa mereka tidak terlalu semangat dalam melakukan kegiatan belajar. Menurut Woolfolk (2004) siswa yang termotivasi untuk belajar merupakan sisiwa yang cenderung untuk menemukan aktifitas belajar yang berarti dan bermanfaat, serta berusaha untuk mendapatkan manfaat dari pembelajaran tersebut. Pendapat lain menambahkan, bahwa motivasi belajar mempunyai peranan dalammeningkatkan gairah, merasa senang, semangat untuk belajar, dan berfungsi sebagai pendorong usaha dalam mencapai prestasi (Sprinthall & Sprinthall, 1990). Namun demikian dalam masyarakat makna belajar tereduksi menjadi hanya berupa aktifitas di dalam kelas, harus ada buku, guru, dan siswa serta target-target yang harus dikuasai. Dengan pemahaman ini, maka kata belajar menjadi sangat membosankan yang dimunculkan bukan motivasi dalam diri anak, tetapi hanya motivasi untuk memenuhi standar yang ditetapkan. Kemudian terdapat 25,7 persen anak yang berpikir untuk bunuh diri. Persentasi ini cukup tinggi untuk anak usia sekolah. Anak-anak yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri mengaku bahwa anak merasa dirinya tertekan dengan keadaan keluarganya, sering merasa putus asa, tidak banyak yang dibanggakan dan tidak bisa apa -apa atau tidak berguna. Pemikiran bunuh diri dapat muncul ketika seseorang sudah mengalami depresi yang cukup tinggi dan tidak mampu untuk mengelola dengan baik pemikiran tersebut (Marliana 2012). Selain itu pada indikator kerentanan internal sosial anak yang bolos sekolah memiliki rata-rata yang cukup tinggi (1,60). Menurut Mealli et al. (2006) anak yang tidak menghadiri sekolah akan memiliki potensi yang merugikan seperti drop out dari sekolah dan pekerja anak atau keduanya secara bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa anak -anak yang putus sekolah di lingkungan anak cenderung sebagai pekerja anak seperti sebagai kuli panggul, bekerja di kebun.

28

Tabel 7 Persentasi item nilai kerentanan internal anak

No Indikator Jawaban Rata-rata skor (1-4) Modus Tidak pernah (1) Kadang-kadang (2) Cukup sering (3) Sering sekali (4) n % n % n % n % Emosional

1 Saya merasa putus

asa dalam

menghadapi masalah hidup

25 71,4 2 5,7 5 14,3 3 8,6 1,60 1 2 Saya seperti orang

yang gagal 30 85,7 3 8,6 0 0,0 2 5,7 1,26 1 3 Saya merasa tidak

banyak yang dibanggakan

16 45,7 8 22,9 5 14,3 6 17,1 2,03 1 4 Saya merasa tidak

bisa apa-apa/tidak berguna

24 68,6 8 22,9 2 5,7 1 2,9 1,43 1 5 Saya merasa gugup

atau jantung berdebar-debar

14 40,0 5 14,3 9 25,7 7 20,0 2,26 1 6 Saya mudah

tersinggung 14 40,0 3 8,6 8 22,9 10 28,6 2,40 1 7 Saya berpikir untuk

bunuh diri 26 74,3 0 0,0 0 0,0 9 25,7 1,77 1 8 Berguncang hebat

tubuh saya 18 51,4 2 5,7 3 8,6 12 34,4 2,26 1 9 Saya mudah menagis 18 51,4 6 17,1 1 2,9 10 28,6 2,09 1 10 Berperasaan tertekan 18 51,4 7 20,0 3 20,0 7 20,0 1,97 1 11 Saya merasa kesepian

dan sendiri 11 31,4 6 17,1 10 28,6 8 22,9 2,43 1 12 Saya merasa sedih

dan kelabu 13 37,1 6 17,1 8 22,9 8 22,9 2,31 1 13 Tidak semangat dan

bosan 11 31,4 7 20,0 7 20,0 10 28,6 2,46 1 14 Merasa ingin cepat

marah 23 65,7 2 5,7 2 5,7 8 22,9 1,86 1 15 Pergi dari rumah 30 85,7 1 2,9 0 0,0 4 11,4 1,37 1 Sosial 16 Berkelahi dengan teman 21 60,0 2 5,7 0 0,0 12 34,3 2,09 1 17 Bolos sekolah 24 68,6 5 14,3 2 5,7 4 11,4 1,60 1 18 Memukul/menyerang orang 28 80,0 3 8,6 0 0,0 4 11,4 1,43 1 19 Duduk-duduk di pinggir jalan menggangu orang 32 91,4 0 0,0 0 0,0 3 8,6 1,26 1

Kerentanan internal anak dilihat berdasarkan dua dimensi, yaitu emosional dan sosial. Emosi merupakan salah satu faktor kerentanan yang dapat memunculkan perasaan tidak baik apabila kurang dapat dikelola (Ehring et al. 2010). Hasil analisis menunjukkan bahwa kerentanan internal yang tertinggi pada anak petani adalah rata-rata dimensi yang terkait dengan emosional anak (31,71).

Artinya, anak sudah dapat untuk mengatur perilaku emosional anak. Hal ini dapat dilihat cukup rendahnya indikator emosional yang dipenuhi oleh anak. Menurut Cutter et al. (2003) kerentanan internal sosial merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerentanan karena timbulnya ketidaksetaraan antar individu sehingga menimbulkan respon saling menyakiti atau menjatuhkan satu sama lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kerentanan sosial anak berada dalam kategori rendah (91,4), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain seperti berkelahi dengan teman, memukul atau menyerang orang lain, dan duduk di pinggir jalan untuk mengganggu orang lain.

Tabel 8 Sebaran dimensi kerentanan anak internal secara umum (n=35)

Dimensi** Kategori Min-Maks (0-100) Rata-rata*±SD Rendah (≤ 75) Tinggi (> 75) n % n % Emosional 34 97,1 1 2,9 0-75 31,71±21,49 Sosial 32 91,4 3 8,6 0-100 19,63±28,72 Total 35 100,0 0 0,0

Keterangan: *) Nilai indeks (Skor 0-100)

**) Secara detail item pernyataan disediakan pada Tabel 7 Kerentanan eksternal anak

Kerentanan eksternal yang terdapat pada anak petani berupa permasalahan-permasalahan yang diduga muncul dalam kehidupan sehari-hari anak yang berasal dari keluarga dan lingkungan. Hasil analisis item kerentanan eksternal anak menunjukkan bahwa indikator tertinggi yang dapat menimbulkan kerentanan eksternal bagi anak dari lingkungan adalah rata-rata banyak remaja yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (0,97) dan pernikahan usia dini (0,89). Kemudian dari keluarga rata-rata tertinggi adalah keluarga yang memiliki anak remaja mewajibkan anaknya untuk mencari penghasilan tambahan keluarga (0,71). Hal ini di karenakan kondisi perekonomian keluarga petani yang rendah, sehingga keluarga lebih memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dan memilih untuk memperbolehkan anak mereka untuk mencari penghasilan sendiri. Namun tetapi keluarga tidak mengizinkan anak remajanya untuk mencari pengahasilan di luar negeri. Keluarga mengaku bahwa keluarga tidak ingin untuk jauh atau terpisah lebih jauh dengan anaknya. Bagi keluarga yang memiliki anak perempuan lebih memilih untuk menikahkan anaknya dalam usia yang relatif muda. Selain itu terdapat 77,1 persen anak di lingkungan sekitar anak yang putus sekolah karena drop out. Menurut Yuda (2012) berdasarkan pengamatan anak yang putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ekonomi, minat anak yang kurang, perhatian orang tua yang rendah, budaya, fasilitas belajar kurang, ketiadaan sekolah atau sarana, dan cacat atau kelainan jiwa. Berdasarkan faktor tersebut, faktor yang lebih dominan anak menjadi putus sekolah adalah faktor ekonomi. Berdasarkan penelitian Yuda (2012) menyatakan bahwa sebanyak 36% anak menjadi putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

30

tinggi karena ketidak mampuan keluarga anak untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau sekolah.

Tabel 9 Persentasi item nilai kerentanan eksternal anak

No Indikator Jawaban Rata-rata Skor (0-1) Modus Tidak (0) Ya (1) n % n % Keluarga

1 Keluarga mengizinkan setiap anggota keluarga untuk bekerja jika tidak sekolah

20 57,1 15 42,9 0,43 0 2 Keluarga selalu mendorong

setiap anggota keluarganya untuk bekerja ke luar negeri

29 82,9 6 17,1 0,17 0

3 Keluarga mewajjibkan setiap anggota keluarga yang telah berusia remaja untuk mencari penghasilan tambahan

10 28,6 25 71,4 0,71 1 Lingkungan

4 Apakah terdapat lingkungan penjualan manusia (perempuan) di sekitar rumah

34 97,1 1 2,9 0,03 0

5 Apakah terdapat anak-anak yang putus sekolah karena dropout atau dikeluarkan dari sekolahnya di sekitar rumah

8 22,9 27 77,1 0,77 1

6 Apakah banyak remaja yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi

1 2,9 34 97,1 0,97 1

7 Pernikahan di usia dini sudah terbiasa dilakukan oleh penduduk sekitar

4 11,4 31 88,6 0,89 1

8 Terdapat anak-anak yang di tinggalkan orang tuanya bekerja keluar kota atau negeri

18 51,4 17 48,6 0,49 0 9 Banyak penduduk sekitar yang

bekerja manjadi buruh migran ke luar kota atau luar negeri

23 65,7 12 34,3 0,34 0 10 Tidak terdapat lapangan

pekerjaan di sekitar lingkungan rumah

10 28,6 25 71,4 0,71 1 11 Gaya hidup para remaja di

sekitar lingkungan rumah yang cenderung konsumtif/boros

8 22,9 27 77,1 0,77 1

12 Lingkungan sekitar dapat membawa pengaruh negatif kepada anggota keluarga dalam menjalankan aktivitas sehari-hari

32 91,4 3 8,6 0,09 0

13 Terdapat banyak anak yang putus sekolah dan pengangguran yang banyak di lingkungan masyarakat

Keluarga dalam penelitian ini juga pada dasarnya mempunyai harapan yang besar terhadap anak-anaknya untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Namun, untuk mencapai harapan-harapan tersebut memerlukan usaha dan biaya yang tidak sedikit untuk dapat membiayai pendidikan anak.

Kerentanan eksternal anak dilihat berdasarkan dua dimensi, yaitu keluarga dan lingkungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kerentanan eksternal yang tertinggi pada anak petani adalah rata-rata dimensi yang terkait dengan lingkungan anak (56,57). Hal ini menunjukkan terdapat lingkungan sekitar anak petani dapat membahayakan bagi kondisi anak remaja yang tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Pernikahan usia dini, remaja yang bersifat boros, dan tidak adanya lapangan pekerjaan sehingga banyaknya pengangguran di sekitar lingkungan anak. Lingkungan tempat tinggal anak yang mempengaruhi kerentanan anak menurut Skinner et al. (2004) yaitu lingkungan yang tidak aman seperti pemukiman yang kurang layak, banyaknya kejahatan, dan kurangnya fasilitas yang memadai sebagai seorang anak, misalnya fasilitas pendidikan dan bermain anak. Kemudian hasil analisis terkait dengan keluarga menunjukkan bahwa kerentanan eksternal anak termasuk dalam kategori rendah (91,4%). Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan anak yang berasal dari keluarga tidak membuat kondisi anak berada dalam keadaan berbahaya. Kualitas hubungan antara orang tua dan anak merupakan faktor yang penting untuk perkembangan anak dan remaja. Menurut Wong et al. (2009) hubungan dekat antara orang tua dan anak akan meningkatkan perasaan anak dari dukungan dan rasa aman, dan konflik antar generasi akan berkurang.

Tabel 10 Sebaran dimensi kerentanan anak eksternal secara umum (n=35)

Dimensi** Kategori Min-Maks (0-100) Rata-rata*±SD Rendah (≤ 75) Tinggi (> 75) n % n % Keluarga 32 91,4 3 8,6 0-100 43,46±29,87 Lingkungan 31 88,6 4 11,4 30-90 56,57±15,71 Total 31 88,6 4 11,4

Keterangan: *) Nilai indeks (Skor 0-100)

**) Secara detail item pernyataan disediakan pada Tabel 9 Kesejahteraan Anak

Kesejahteraan anak adalah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial (Undang-undang nomor 4 tahun 1979). Kesejahteraan anak dapat dilihat dari perasaan bahagia atau puas yang dirasakan oleh anak terhadap kehidupan anak, baik terkait dengan psikologis, ekonomi, dan sosial. Dalam penelitian ini anak-anak yang dapat dikatakan sejahtera adalah anak-anak yang cenderung memiliki kepercayaan diri yang baik, menikmati kehidupannya, merasa berguna bagi keluarga dan sesama, memiliki banyak teman, mandiri, penuh semangat, memiliki kesempatan yang baik, merasa puas dan

Dokumen terkait