• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fitosterol dalam Daun Katuk

Dari ekstraksi tepung daun katuk kering (TDK) menggunakan etanol 70% diperoleh ekstrak kasar sebanyak 28.9 g/100 g daun katuk kering. Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak kasar tersebut diuji dengan GCMS dan hampir seluruh senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai asam lemak, vitamin, klorofil, dan fitosterol yang disajikan pada Tabel 6, berdasarkan data hasil GCMS dengan database Wiley 275. L.

Tabel 6 Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70%

No. Golongan Nama Senyawa % peak Komposisi*

area (%)

1 Asam lemak C20H34O2 9,12,15- asam oktadekatrienoat etil ester 32.40 9.36 2 Asam lemak C16H32O2 heksadekanoat/asam palmitat 18.35 5.30

3 Klorofil C20H40O PHYTOL 17.02 4.92

4 Asam lemak C21H36O2 11,14,17- asam eikosatrienoat metil ester 12.81 3.70 5 Vitamin C28H48O2 Tokoferol (Vitamin E) 4.16 1.20 6 Stigmasterol C29H48O Stigmasta-5,22-dien-3β-ol 3.81 1.10

7 Asam lemak C16H26O2 Asam tetradekanoat etil ester 2.40 0.69 8 Sitosterol C29H50O Stigmasta-5-en-3β-ol 2.38 0.69

9 Fukosterol C29H48O Stigmasta-5,24-dien-3β-ol 2.21 0.64

10 Asam lemak C18H36O2 Asam oktadekanoat 1.34 0.39 27.98

* Keterangan: Komposisi senyawa yang larut dalam ekstrak etanol 70% per 100 g daun katuk kering (% peak area x 28.9%)

Kandungan fitosterol dari daun katuk yang didapat dengan mengekstrak tepung katuk dengan etanol 70% adalah 2.43% (2.43 g/100 g) atau 2433.4 mg/100 gram kering. Designed for Health (2006) dalam ulasannya memaparkan kandungan fitosterol dari beberapa bahan pangan terseleksi, yaitu kacang-kacangan, sayuran, minyak sayuran, buah-buahan, dan sebagainya (Lampiran 3), berdasarkan data tersebut ternyata kandungan fitosterol tepung daun katuk lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan tersebut. Hal ini kemungkinan karena

dalam penelitian ini digunakan daun katuk kering, sedangkan pada ulasan Designed for Health (2006) digunakan bahan pangan segar. Kandungan fitosterol tersebut di atas bila dikonversikan dalam daun katuk segar dengan asumsi kadar air 78.2% adalah 466 mg/100 g, ternyata juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lain (Lampiran 3). Dapat disimpulkan bahwa daun katuk dapat menjadi sumber fitosterol. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu tentang kandungan vitamin E dan beta karoten (vitamin larut dalam lemak) dalam daun katuk paling tinggi dibanding sayuran lain di Indonesia (Hulshoff et al. 1997 & Ching dan Mohamed 2001).

Konsumsi dan Konversi Ransum

Tabel 7 menunjukkan konsumsi dan konversi ransum selama penelitian (25 minggu) tidak berbeda nyata. Pemberian tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak memberikan pengaruh yang nyata pada konsumsi ransum, konversi ransum, dan pada total berat telur.

Tabel 7 Konsumsi dan konversi ransum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama penelitian (25 minggu)

Perlakuan Konsumsi Berat Telur Konversi

Ransum (g) (g) Ransum (g) Kontrol 4689.3±329.1 a 815.1±120.6 a 5.87±1.10 a TEK 4714.9±276.2 a 857.5±120.8 a 5.56±0.61 a TDK 4835.3±249.1 a 915.8±105.7 a????????±

??????a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Rataan konsumsi ransum selama penelitian berkisar 4689.3-4835.3 g per ekor atau 26.80-27.63 g/ekor/hari. Konsumsi ransum pada tiap perlakuan tidak berbeda secara signifikan karena masing-masing ransum mengandung kadar protein dan energi yang hampir sama (isonitrogen dan isokalori) dan sesuai dengan kebutuhan puyuh petelur, yaitu energi 2800 kkal/kg dan protein 21% (NRC 1994).

Pada penelitian sebelumnya (Subekti 2003) dilaporkan bahwa penggunaan tepung daun katuk dalam ransum ayam mempengaruhi konsumsi ransum. Perbedaan ini kemungkinan karena adanya perbedaan warna ransum yang mempengaruhi konsumsi ayam, tetapi ternyata tidak demikian halnya pada puyuh. Tidak adanya perbedaan energi dan protein yang signifikan, serta bentuk ransum yang semuanya berupa butiran (lebih disukai burung) adalah hal yang mempengaruhi konsumsi ransum dalam penelitian ini.

Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak mempengaruhi konversi ransum, hal ini karena tidak adanya perbedaan kandungan nutrisi ransum (makronutrien) sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan produksi telur. Namun demikian, konversi ransum pada kelompok puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi ekstrak daun katuk dan kontrol. Dengan kata lain, puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih efisien, hal ini mendukung penelitian terdahulu (Subekti 2003) bahwa penggunaan TDK 9% dapat meningkatkan efisiensi ransum. Rataan konversi ransum penelitian adalah 5.87-5.36 yang artinya untuk membentuk satu gram telur puyuh diperlukan ransum sebanyak 5.87-5.36 gram ransum.

Saluran Reproduksi

Berat badan dan panjang saluran reproduksi puyuh selama masa perkembangan disajikan dalam Gambar 12. Berat badan puyuh yang diberi tepung daun katuk dan tepung ekstrak daun katuk pada umur 4 minggu berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan berat badan puyuh yang diberi TDK pada umur 5 minggu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi TDK dan TEK umur 3 minggu tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi tepung daun katuk pada umur 4 minggu (p<0.05) dan 5 minggu (p<0.01) lebih panjang dibandingkan dengan yang diberi tepung ekstrak katuk dan kontrol.

Panjang saluran reproduksi puyuh pada umur lima minggu menunjukkan bahwa pertumbuhan organ reproduksi puyuh yang diberi ransum TDK meningkat

dengan cepat, dan gagasan ini dikonfirmasikan dengan data umur dewasa kelamin puyuh yang diberi ransum TDK yang lebih awal dan hormon estradiol yang lebih tinggi. Saluran reproduksi (oviduct) juga dibawah kontrol hormon. Sekresi estrogen dari folikel ovarium bertanggung jawab atas pembesaran oviduct sampai dengan ukuran fungsionalnya (Moreng dan Avens 1985). Gambar 15 secara jelas menunjukkan perbedaan umur pada permulaan bertelur dan produksi telur antara kelompok yang diberi TDK dan kontrol serta yang diberi ransum TEK. Secara lebih jelas data tentang panjang saluran reproduksi dan berat badan puyuh umur 2, 3, 4, dan 5 minggu disajikan dalam Tabel 8.

20 40 60 80 100 120 2 3 4 5 Umur (minggu) Bo b o t bada n (g /eko r) Kontrol TEK TDK 0 2 4 6 8 10 12 14 2 3 4 5 Umur (minggu) Pa n ja ng SR ( cm ) Kontrol TEK TDK

Gambar 12 Bobot badan puyuh (A) dan panjang saluran reproduksi (B) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

A

Tabel 8 Bobot badan dan saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu

Bobot badan (g) pada Panjang saluran reproduksi (cm) Perlakuan umur (minggu) pada umur (minggu)

2 3 4 5 2 3 4 5

Kontrol 43.95 72.84±2.82a 80.92±5.56a 102.76±5.38 a 3.48 3.49±0.66 a 4.13±0.12 a 8.16±1.46 a TEK 43.95 78.20±5.63a 88.26±6.38b 105.62±3.76 a 3.48 3.85±0.67 a 4.26±0.42 a 8.25±3.50 a TDK 43.95 77.22±2.83a 91.06±3.54b 114.52±3.47 b 3.48 4.13±0.10 a 4.71±0.17 b 13.04±0.96 b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Hormon Progesteron dan Estradiol dalam Serum

Pada Tabel 6 telah dipaparkan bahwa daun katuk mengandung fitosterol, yaitu senyawa tumbuhan yang mempunyai aktivitas estrogenik dan atau anti-estrogenik. Fitosterol dalam daun katuk baik dalam bentuk ekstrak dan tepung juga telah menurunkan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati pada puyuh (Tabel 13). Namun, terjadi juga percepatan masa dewasa kelamin dan peningkatan perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang mengkonsumsi daun katuk (Tabel 8 dan 11). Efek estrogenik daun katuk pada hormon steroid puyuh disajikan pada Tabel 9, Tabel 10, Gambar 13, dan 14.

Konsentrasi progesteron serum puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 4 sampai dengan 5 minggu penurunannya sangat nyata dibandingkan dengan yang diberi ransum kontrol (p<0.01). Konsentrasi progesteron serum puyuh yang diberi ransum TEK juga menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kontrol pada umur 3 sampai dengan 5 minggu meskipun tidak nyata. Pada saat yang sama konsentrasi estradiol serum puyuh yang diberi ransum TDK pada umur 3 sampai dengan 5 minggu secara nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan serum puyuh kontrol. Estradiol serum puyuh yang diberi ransum TEK pada umur 3 minggu secara nyata (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan serum puyuh kontrol, tetapi pada umur 4 dan 5 minggu tidak terjadi perbedaan yang signifikan walaupun konsentrasinya lebih tinggi.

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 2 3 4 5 Umur (Minggu) Proges te ron (ng/ml ) Kontrol TEK TDK 0 5 10 15 20 25 30 35 40 2 3 4 5 Umur (Minggu) E str ad io l (p g /ml ) Kontrol TEK TDK

Gambar 14 Kandungan estradiol dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan

Gambar 13 Kandungan progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan

0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05

Tabel 9 Kandungan progesteron dalam serum puyuh (ng/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)

Perlakuan Umur (minggu)

2** 3 4 5

Kontrol 0.301 ± 0.05 0.274 ± 0.17 a 0.258 ± 0.05 A 0.156 ± 0.02 A TEK 0.301 ± 0.05 0.216 ± 0.06 a 0.142 ± 0.02 AB 0.138 ± 0.03 A TDK 0.301 ± 0.05 0.197 ± 0.07 a 0.094 ± 0.09 B 0.072 ± 0.01 B * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 1%. ** Base line data

Tabel 10 Kandungan estradiol dalam serum puyuh (pg/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)

Perlakuan Umur (Minggu)

2** 3 4 5

Kontrol 15.888 ± 5.16 18.800 ± 4.39 a 21.758 ± 2.66 a 27.193 ± 5.31 a

TEK 15.888 ± 5.16 27.923 ± 7.02 b 26.830 ± 6.44 ab 32.347 ± 4.02 ab

TDK 15.888 ± 5.16 28.944 ± 5.83 b 31.053 ± 5.63 b 37.153 ± 5.99 b

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

** Base linedata

Hormon steroid dalam serum ternyata dipengaruhi oleh penggunaan daun katuk dalam ransum baik dalam bentuk tepung maupun ekstrak. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya pengaruh dari kandungan fitosterol dalam daun katuk. Sebelum ini Wu et al. (2005) telah meneliti konsumsi Yam (Dioscorea) yang merupakan sumber fitosterol dan hasilnya meningkatkan konsentrasi hormon estradiol (27%), hormon estron (26%) dan sex hormon binding globulin (9.5%) dan juga meningkatkan status antioksidan pada wanita menopouse, meskipun mekanisme secara pasti belum jelas.

Peningkatan status hormon estradiol dan penurunan hormon progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum TDK didukung dengan data hasil pengukuran saluran reproduksi (Tabel 8). Perkembangan saluran reproduksi pada TDK lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan yang lain dan masa dewasa kelamin yang lebih awal (Tabel 11). Perkembangan saluran reproduksi didahului dengan penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan konsentrasi estradiol

dalam serum. Pada saat mulai periode bertelur, konsentrasi progesteron serum meningkat dan konsentrasi estradiol serum konstan (Pageaux et al. 1984). Status estradiol pada perlakuan TEK juga cenderung meningkat walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan TDK. Hal tersebut juga tercermin dalam perkembangan saluran reproduksi dan masa dewasa kelamin yang lebih lambat dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum TDK. Status hormon dan perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang diberi ransum TEK cenderung lebih baik dibandingkan dengan kontrol, yang membuktikan bahwa fitosterol dalam daun katuk berpengaruh pada peningkatan status hormon steroid, atau mempunyai efek estrogenik.

Umur Dewasa Kelamin dan Produksi Telur

Puyuh yang diberi ransum TDK bertelur lebih awal daripada kelompok puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Puyuh yang diberi TDK mulai bertelur pada umur 40 hari dan setengah dari seluruh jumlah puyuh tersebut bertelur pertama kali pada umur 46 hari. Setengah dari seluruh jumlah puyuh kontrol dan yang diberi TEK bertelur pertama kali pada umur 53 dan 52. Jika jumlah puyuh yang bertelur pertama kali dibandingkan, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara TDK dan TEK pada umur 46 hari (p<0.01) dan 52 hari (p<0.01) dan antara puyuh yang diberi TDK dan kontrol pada umur 46 hari (p<0.01) dan 53 hari (p<0.01) hari (Gambar 15).

Tabel 11 Umur dewasa kelamin dan produksi telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Pada Saat Pertama Kali Bobot Telur(g)*

Bertelur Produksi Telur

Perlakuan Umur (hari)** BB (g)* Telur Pertama Total/ekor*** Henday (%) Kontrol 53A 121.8±3.42 a 7.30±0.51 a 815.1±120.6 a 61.03 ± 7.12 a TEK 52A 120.2±1.92 a 7.81±0.45 a 857.5±120.8 a 61.68 ± 5.93 a TDK 46B 121.0±2.55 a 7.92±0.71 a 915.8±105.7 a 63.71 ± 5.25a * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5% dan 1%

** Umur pada saat setengah dari seluruh jumlah puyuh per perlakuan bertelur. *** Bobot telur total per ekor puyuh selama penelitian (sampai umur 27 minggu)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24 25 26 27 Umur (Minggu) Prod uks i te lur he n da y (% ) Kontrol TEK TDK

Gambar 15 Produksi telur puyuh umur 6-27 minggu

Umur dan rataan bobot badan pada saat pertama kali bertelur dan produksi telur selama periode penelitian disajikan dalam Tabel 11. Umur ketika 50% dari semua puyuh yang diberi TDK bertelur adalah 46 hari dibandingkan dengan kontrol, yaitu 53 hari dan yang diberi TEK adalah 52 hari. Bobot badan puyuh pada saat pertama bertelur berkisar 121-120 g pada semua kelompok perlakuan. Hal tersebut memperkuat hasil penelitian Fu et al. (2000) bahwa bobot badan puyuh ketika bertelur pertama kali sekitar 119-125 g. Rataan bobot badan puyuh antarperlakuan pada saat pertama kali bertelur tidak berbeda nyata. Produksi telur secara henday (%) dan massa telur (bobot telur total) selama penelitian dari ketiga kelompok puyuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05).

Kualitas Telur

Kualitas telur yang diukur terdiri atas bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot cangkang telur, Haugh Unit (HU), dan warna kuning telur yang tersaji dalam Tabel 12. Puyuh yang diberi tepung daun katuk dalam ransumnya menghasilkan telur yang lebih berat (9.8 g) dibandingkan dengan kontrol (9.2 g) (p<0.01), namun tidak berbeda dengan yang diberi TEK. Puyuh yang diberi ransum TDK juga menghasilkan putih telur yang lebih berat (p<0.01)

dibandingkan dengan kontrol dan yang diberi TEK. Penggunaan TDK dan TEK dalam ransum tidak mempengaruhi bobot kuning telur.

Tabel 12 Kualitas telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) Bobot Tebal Bobot Bobot putih Bobot kuning Haugh Warna Kuning

telur* cangkang cangkang* telur* telur* Unit* telur

Perlakuan (g) (mm) (g) (g) (g)

Kontrol 9.2±0.94A 0.19±0.01 a 0.97±0.20a 5.28±0.58 A 2.97±0.35a 80.85±2.37 a 2.43 ±0.55A TEK 9.7±0.75B 0.19±0.02 a 0.98±0.20a 5.58±0.60 AB 3.08±0.38a 82.97±4.81 b 3.97 ±0.65B TDK 9.9±0.53B 0.20±0.01 a 1.05±0.15a 5.79±0.67 B 3.05±0.34a 83.34±4.14 b 7.27 ±1.03C

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%.

Pada penelitian Subekti (2003), daun katuk tidak mempengaruhi bobot putih telur, bobot kuning telur, dan bobot cangkang pada ayam lokal. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk pada puyuh ternyata dapat meningkatkan bobot telur dan HU. Selain itu, penggunaan TDK juga meningkatkan bobot putih telur (p<0.01). Bobot kuning telur secara nyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak dan tepung daun katuk. Hal tersebut kemungkinan karena ukuran telur puyuh yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan telur ayam sehingga apabila terdapat sedikit perbedaan saja akan menyebabkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) tentang kualitas telur puyuh, yaitu bobot telur (11.28±0.06); bobot cangkang (0.84±0.01); bobot putih telur (6.75±0.04); bobot kuning telur (3.69±0.02) dan Haugh Unit (85.73±0.15). Bobot cangkang, bobot kuning telur, dan HU pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian tersebut di atas, kecuali pada bobot telur dan putih telur terdapat perbedaan. Perbedaan hasil antara penelitian ini dan penelitian lain mungkin karena perbedaan struktur genetik, kondisi kesehatan, umur, dan perbedaan manajemen perawatan dan kondisi puyuh.

Warna kuning telur diamati dengan menggunakan Roche yolk colour fan. Masing-masing perlakuan memberikan perbedaan yang sangat nyata (p<0.01). Penggunaan TDK membuat warna kuning telur lebih tua (7.27) dibandingkan dengan penggunaan TEK dan kontrol, dan penggunaan TEK juga membuat warna kuning telur lebih tua (3.97) dibandingkan dengan kontrol (2.43). Penggunaan TEK ternyata juga meningkatkan warna kuning telur karena masih adanya phytol

(klorofil) yang terdapat dalam ekstrak. Warna kuning telur unggas ditentukan oleh konsumsi pigmen dalam ransum. Warna kuning telur pada puyuh yang diberi TDK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain kemungkinan karena tingginya karotenoid yang terdapat dalam katuk (Hulshoff et al. 1997). Selain berperan sebagai prekursor vitamin A, karoten bersama dengan santofil dalam TDK juga mempunyai peran sebagai sumber pigmen. Namun, penggunaan TDK dengan persentase yang sama (9%), ternyata warna kuning telur pada puyuh lebih rendah dibandingkan pada ayam lokal, yaitu 10.75 (Subekti 2003). Hal ini kemungkinan karena perbedaan spesies unggas yang digunakan dalam penelitian sehingga selain karena ransum yang mengandung pigmen, warna kuning telur juga dipengaruhi oleh jenis unggas.

Gambar 16 Warna kuning telur puyuh (berdasarkan Roche yolk colour fan)

Kolesterol Ransum, Serum, Telur, Karkas, dan Hati

Hasil analisis kandungan kolesterol dalam ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh perlakuan disajikan pada Tabel 13 dan diilustrasikan pada Gambar 17.

Tabel 13 Kandungan kolesterol kuning telur, serum, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Kandungan Kolesterol (mg/g)

Perlakuan Ransum Serum (mg/dl)* Kuning Telur* Karkas* Hati* Kontrol 2.60 69.12±10.51 a 13.05±2,67 a 3.18±0.05 A 25.95±2.43 A TEK 2.65 67.66±7.86 a 9.97±2.57 b 2.64±0.07 B 22.73±0.71 B TDK 2.61 64.07±16.51 a 9.11±1.36 b 2.63±0.26 B 20.97±1.71 B * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5% dan 1%.

Kandungan kolesterol pada serum cenderung menurun dengan penggunaan TDK dan ekstrak DK tetapi penurunan tersebut tidak nyata. Hal tersebut kemungkinan karena homeostasis dari kolesterol serum, karena adanya mekanisme kompensasi, yaitu meningkatnya kisaran sintesis kolesterol endogen. Penurunan total kolesterol serum puyuh yang diberi TDK dan TEK dibandingkan dengan kontrol, yaitu 7.22% dan 2.11%.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Kontrol TEK TDK Perlakuan K o le stero l (m g/ dl) Pakan Serum Kuning Telur Karkas Hati

Gambar 17 Kandungan kolesterol ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Penurunan kolesterol serum ini kemungkinan karena adanya fitosterol dari katuk. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa fitosterol dapat menurunkan total kolesterol dan kolesterol LDL. Nguyen et al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi fitostanol (salah satu bentuk fitosterol) sebanyak 2-3 g/hari dapat menurunkan total kolesterol (6.4%) dan LDL (10.1%) pada manusia. Konsumsi fitosterol 1.84 g/hari pada manusia juga dapat menurunkan total kolesterol serum (13.4%) dan LDL (12.9%), sedangkan konsentrasi HDL serum tidak berubah secara signifikan (Jones et al. 2000). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Ostlund (2004) bahwa dosis maksimum yang efektif untuk menurunkan LDL-kolesterol sampai 10% adalah 2 g fitosterol ester/hari, dan Moruisi et al. (2006) menegaskan bahwa konsumsi fitosterol/fitostanol 2.3±0.5 g/hari secara signifikan menurunkan kolesterol total sekitar 7-11%. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kandungan fitosterol dari DK adalah 2.14%, atau konsumsi fitosterol pada puyuh yang diberi TEK dan TDK sekitar 0.054 dan 0.055 g/ekor/ hari.

Kandungan kolesterol pada kuning telur (p<0.05), karkas (p<0.01), dan hati (p<0.01) puyuh yang diberi TEK dan TDK lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut membuktikan bahwa kandungan fitosterol daun katuk baik dalam bentuk ekstrak maupun tepung berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh.

Kandungan Vitamin A dalam Ransum, Kuning Telur, dan Serum

Penggunaan TDK 9% dalam ransum ayam lokal mampu meningkatkan intensitas warna kuning telur serta kandungan vitamin A dalam serum dan kuning telur (Subekti 2003). Hasil dari intensitas warna kuning telur pada penelitian ini juga menunjukkan peningkatan dengan penggunaan TDK dan TEK (Tabel 12). Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur, dan serum disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 14 Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Kandungan Vitamin A

Perlakuan Ransum Kuning Telur* Serum(mg/100ml)*

(IU/100g) (IU/100g)

Kontrol 1195 1094 ± 28.5 A 266.7± 6.4 A TEK 1209 1204 ± 14.6 B 740.5± 49.3 B

TDK 2335 2335 ± 53.8 C 1256.8±177.6 C

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.

Kandungan vitamin A kuning telur dan serum menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan (p<0.01). Sementara itu, kandungan vitamin A dalam ransum TDK lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang lain. Kandungan vitamin A dalam ransum mempengaruhi jumlah kandungan vitamin A telur dan serum. Hal ini didukung hasil penelitian Subekti (2003) bahwa penggunaan TDK 9% mampu meningkatkan kandungan vitamin A telur dan serum baik pada ayam lokal dan puyuh. Hal yang menarik di sini adalah adanya peningkatan kandungan vitamin A kuning telur dan vitamin A serum pada puyuh yang diberi TEK dibandingkan dengan kontrol. Walaupun tidak ditemukan beta karoten dalam ekstrak daun katuk dan perbedaan kandungan vitamin A dalam ransum TEK dan Kontrol tersebut relatif kecil, namun kemungkinan karena adanya phytol menyebabkan peningkatan kandungan vitamin A tersebut. Konsumsi phytol

menyebabkan perubahan metabolisme asam lemak pada tikus lewat jalur

dependent dan independent PPARα (peroxisome proliferator-activated receptor -α) (Gloerich et al. 2005). Perubahan metabolisme asam lemak tersebut dapat mempengaruhi absorbsi dan metabolisme vitamin A (vitamin larut dalam lemak) sehingga mampu meningkatkan konsentrasi vitamin A dalam kuning telur dan serum.

Kandungan Vitamin E dalam Ransum dan Serum

Daun katuk selain mengandung karoten dan vitamin C yang sangat tinggi ternyata juga mengandung vitamin E yang sangat tinggi pula. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi daun katuk dalam ransum baik dalam bentuk tepung dan

ekstrak maka dianalisis kandungan vitamin E dalam ransum, serum dan kuning telur (Tabel 15). Akan tetapi, kandungan vitamin E dalam kuning telur sangat rendah sehingga tidak dapat terdeteksi.

Tabel 15 Kandungan vitamin E dalam ransum dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Perlakuan Kandungan Vitamin E

Ransum (mg/100g) Serum (mg/100ml)* Kuning telur (mg/100g)

Kontrol 0.26 2.55±0.54 A < 0.2

TEK 0.90 5.70±0.62 B < 0.2

TDK 2.36 7.90±0.38 C < 0.2

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.

Kandungan vitamin E dalam ransum TEK dan TDK meningkat secara berurutan dibandingkan dengan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa suplementasi daun katuk dalam ransum meningkatkan kandungan vitamin E dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya bahwa Sauropus androgynus (katuk) mengandung α-tokoferol yang sangat tinggi, yaitu 426 mg/kg (Ching dan Mohamed 2001). Ekstrak daun katuk mengandung vitamin E sebanyak 4.16% sehingga kandungan vitamin E dalam ransum TEK lebih tinggi dibanding kontrol.

Vitamin E dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, TEK dan TDK berbeda secara nyata. Pada perlakuan TEK dan TDK kandungan vitamin E serum lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, walaupun terdapat fitosterol dalam daun katuk. Traber (2004) menyatakan bahwa intake fitosterol dan fitosterol ester yang tinggi selain menurunkan kolesterol LDL dan kolesterol total ternyata juga menurunkan absorbsi dari α-tokoferol dan β-karoten, yaitu ≈20% dan ≈50%. Konsumsi fitosterol dalam penelitian ini adalah 0.054 dan 0.055 g/hari, jauh lebih rendah dibandingkan dengan dosis optimum yang direkomendasikan Ostlund (2004), yaitu 2 g fitosterol/hari sehingga kemungkinan tidak mempengaruhi absorbsi vitamin E, bahkan dalam kelompok puyuh yang diberi TDK meningkatkan kandungan vitamin E serum secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Freese et al. (2002) bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi akan meningkatkan antioksidan plasma. Daun katuk merupakan salah satu jenis sayuran dengan

kandungan vitamin E dan karotenoid yang tinggi. Selanjutnya penelitian ini memperkuat pernyataan Upritchard et al. (2003) bahwa intake vitamin E dan karotenoid akan meningkatkan kandungan antioksidan plasma (α-tokoferol plasma).

Kandungan Vitamin C dalam Ransum dan Serum

Daun katuk mengandung kadar vitamin C yang cukup tinggi. Padmavathi dan Rao (1990) menemukan bahwa kandungan vitamin C dalam daun katuk

Dokumen terkait