Kajian Karakteristik Tanaman Katuk
Katuk (Sauropus androgynus) merupakan salah satu jenis tanaman semak yang tergolong dalam suku jarak-jarakan (Euphorbiaceae), dengan ketinggian mencapai 2-3 m. Katuk dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1500 m di atas permukaan laut. Taksonomi tanaman katuk menurut Backer dan Brink (1963) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Geraniales
Suku : Euphorbiaceae
Anak suku : Phyllathoideae
Puak : Phyllanth
Marga : Sauropus
Jenis : Sauropus androgynus
Gambar 2 Bagian tanaman katuk
Nama daerah S. androgynus, yaitu Myanmar: Yaung-mapywet, yo-ma-hin-yo; Laos: Pahk wan; Thailand: Cha phak wan, kan tong, ma yom pa, phak kan thong, phak wan, phak wan ban; Vietnam: Bu lot, cây bu ngot, cây chum ngot, cây cu de, cây dau ngot, cu ve, dom nghob, ran n’got; Semenanjung Malaysia: Assin-assin, chekop, chekop manis, chekor manis, kasim, kencur manis; Tamil: thavasi murunggai, Sumatera: bait memata utan, daun katu, lakioi, nasi-nasi, simanie, si topu manuk, katu; Jawa: Katuk; babing, katukan, katu; Sunda: katuk, katuk utan, cekop manis; Sabah: Chang kok manis; Philipina: Tawitawi; Maluku: Katuk (Nationaal Herbarium Nederland 2003).
Deskripsi morfologi tanaman katuk yang lebih jelas diberikan oleh Sukendar (1997) sebagai berikut: Daun tunggal walaupun seperti majemuk, duduk daun susun berseling, dengan jumlah daun per cabang umumnya berkisar 11 - 21 helai, bentuk dan ukuran daun bervariasi, daun yang di pangkal cabang berbentuk bulat telur berukuran lebar 1.5 – 2.5 cm, panjang 2.5 – 4.5 cm, sedangkan yang di tengah dan di ujung berbentuk jorong berukuran lebar 2.3 – 3.1 cm, panjang 4.3 – 8.5 cm. Warna daun permukaan atas hijau dengan bercak putih, permukaan bawah daun berwarna hijau muda dengan tampak pertulangan daun yang jelas, tepi daun rata, pangkal daun tumpul, ujung daun lancip. Tangkai daun pendek 0.2 cm dan tiap daun memiliki sepasang daun penumpu kecil dengan panjang sekitar 1 cm.
Bunga jantan berbentuk seperti giwang, kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah tiga, saling berlekatan, tebal dan berdaging, berwarna hijau kemerahan, benang sari enam buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Benang sari tersusun dalam satu lingkaran atau dua lingkaran dengan benang sari dalam lingkaran yang luar berhadapan dengan daun mahkota.
Pada bunga betina, kelopak dan mahkota serupa, berwarna merah kecokelatan, masing-masing berjumlah tiga, tipis berlepasan, tidak mudah luruh, dan tetap menempel pada buah. Bakal buah tiga menumpang, kepala putik berbentuk cuping, tetap menempel pada buah. Buah termasuk buah berbelah (Schizocarpium).
Katuk merupakan tanaman habitus perdu (2 – 3 meter), batang tegak, bulat, dan berwarna hijau. Tangkai bunga silindris dengan panjang 1 – 1.5 cm.
Secara mikroskopis daun katuk dipelajari oleh Prajonggo dan Santa (1997), yaitu pada daun, epidermis atas dan kutikula tipis, epidermis bawah dan stomata tipe anisositik, rambut penutup tidak ada, mesofil terdiri atas palisade (1 – 2 lapis sel-sel), jaringan bunga karang (sponsa) beberapa lapis, mesofil (parenkim) disertai dengan kristal kalsium oksalat berbentuk roset, tipe daun dorsi ventral, berkas pembuluh kolateral (di bagian tulang daun). Bagian batang dengan irisan melintang dijumpai epidermis satu lapis, parenkim korteks (sel-selnya disertai kristal kalsium oksalat bentuk roset). Sklerenkim (serabut perisikel), floem, xilem, dan empulur terdiri atas jaringan parenkim.
Kandungan Nutrisi Daun katuk
Komposisi proksimat daun katuk yang diteliti Padmavathi dan Rao (1990) menunjukkan kandungan nutrisi daun katuk yang tinggi dibanding sayur-sayuran lain yang dikonsumsi di India. Selanjutnya dilaporkan bahwa daun ini mengandung nutrien (protein, lemak, mineral, dan vitamin) dalam jumlah yang cukup tinggi dan sayuran ini dapat diterima dan cukup disukai masyarakat dalam uji palatabilitas. Yuliani dan Marwati (1997) melaporkan bahwa daun katuk dapat digunakan sebagai food additive untuk ibu-ibu yang menyusui karena tingginya kandungan protein dan vitamin A.
Daun katuk mengandung karoten yang sangat tinggi. Hulshoff et al. (1997) melaporkan bahwa di antara sayuran dan buah-buahan yang diteliti di Indonesia, daun katuk mengandung karoten tertinggi. Di samping itu daun katuk juga mengandung alpha-tocopherol yang sangat tinggi, bahkan tertinggi dibanding tanaman tropis lain yang dapat dimakan. Ching dan Mohamed (2001) melaporkan kandungan alpha tocopherol dari Sauropus androgynus sebesar 426 mg/kg. Daun katuk mengandung asam askorbat yang cukup tinggi, yaitu 244 mg/100 g kering (Padmavathi dan Rao 1990). Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk
Vitamin dan Provitamin Jumlah
all-trans-α-carotene (µg/100g) 13351 all-trans-β-carotene (µg/100g) 100101 cis-β-carotene (µg/100g) 13121 Thiamin (mg/100g) 0.502 Riboflavin (mg/100g) 0.212 Vitamin C ((mg/100g) 2442 α-tokoferol (mg/kg) 4263
Keterangan: 1 Hulshoff et al. (1997) 2 Padmavathi dan Rao (1990) 3 Ching dan Mohamed (2001)
Berbagai hasil penelitian tentang komposisi nutrien daun katuk yang dilakukan beberapa peneliti, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi nutrien daun katuk
Nutrien Yasni et al. Subekti Lab. INTP (1999)* (2003) Fapet IPB** Kadar air (%) 5.84 5.84 5.84 Protein (%) 32.09 39.88 27.74 Lemak (%) 7.46 5.84 3.13 Serat kasar (%) 19.19 16.71 18.19 Kalsium (%) 2.29 1.01 Fosfor (%) 0.40 0.35 Abu (%) 18.77 14.79 - Energi bruto (kal/g) 4939.64 3818
Keterangan : * Hasil Analisis proksimat pada daun katuk muda Yasni et al.
(1999)
** Analisis proksimat tepung daun katuk kering (Laboratorium INTP, Fapet IPB)
Senyawa Aktif dalam Daun Katuk
Salah satu senyawa aktif yang terdapat dalam katuk adalah alkaloid papaverin (Bender dan Ismail 1975) dengan jumlah 5.8 g papaverin/kg daun segar. Akan tetapi, laporan Padmavathi dan Rao (1990), Agusta et al. (1997), dan Suprayogi (2000) tidak menemukan senyawa papaverin dalam daun katuk.
Penelitian yang dilakukan Agusta et al. (1997) dengan menggunakan GCMS (gas chromatography and mass spectrometers) menemukan beberapa senyawa kimia, yaitu [monometil suksinat dan cis-2-metil siklopentanol asetat
(ester), asam benzoat dan asam fenilmalonat (asam karboksilat), serta 2-pirolidinon dan metal piroglutamat (alkaloid)]. Senyawa monometil suksinat
yang merupakan salah satu senyawa utama pada fraksi eter daun katuk, bila dihidrolisis akan menghasilkan asam suksinat yang merupakan bahan dasar untuk mensintesis asam-asam organik, seperti asam fumarat, asam malat, asam oksaloasetat, dan asam piruvat, sedangkan suksinat yang aktif (suksinil-KoA) sangat berperan dalam proses pembentukan energi (Agusta et al. 1997). Selain itu Kanchanapoom et al. (2003) menemukan lignan diglikosida dan megastigman
glikosida (sauroposide) dari daun katuk (Sauropus androgynus) yang diisolasi dari bagian aerial katuk.
Suprayogi (2000) menemukan senyawa aktif dalam daun katuk yang mempunyai peran penting dalam metabolisme jaringan. Lima senyawa kelompok dari asam lemak tak jenuh seperti octadecanoic acids; 9-eicosyne; 5,8,11-heptadecatrienoic acid methyl ester; 9,12,15-octadecatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester. Satu senyawa steroid, yaitu
androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha. Senyawa lain, yaitu 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid.
Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha merepresentasikan 17-ketosteroid (kelompok keto pada C 17), secara langsung merupakan precursor
atau senyawa intermediate dalam biosintesis hormon steroid (Suprayogi 2000).
Senyawa Steroid
Senyawa steroid berstruktur inti siklopentanoperhidro-penantren, yang terdiri atas cincin A, B, C, dan D (Gambar 3). Cincin A, B, dan C berfusi secara nonlinear seperti susunan fenantren. Cincin Siklopentana (Cincin D) berfusi pada cincin C. (Bahti et al. 1983)
C D
A B
Gambar 3 Kerangka inti steroid (Sumber: Bahti et al., 1983)
Khusus untuk senyawa steroid sebagai hormon alam atau hasil sintesis yang beraktivitas fisiologis yang mirip, semuanya mempunyai karakteristik tertentu sebagai berikut: substitusi oksigen pada atom C-3 suatu sifat khas dari steroid alam; substitusi gugus metal angular pada atom C-10 dan C-13 yang dikenal dengan atom C-18 dan C-19 berturut-turut kecuali pada senyawa steroid dengan
cincin A berbentuk benzenoid, seperti pada kelompok estrogen; kemungkinan substitusi gugus alifatik (R) pada atom C-17, substitusi ini memberikan dasar pembagian senyawa steroid.
Di alam, senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman tingkat tinggi, bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah, seperti pada ragi dan jamur (Harborne, 1973). Biosintesis dan metabolisme sterol telah diteliti pada jamur oomycetous (ordo Saprogleniales, Leptomitales, Lagenidiales, dan Peronosporales) serta peranan fisiologis sterol dan isopentanoid terhadap pertumbuhan dan reproduksi (Ness dan Stafford 1983). Sterol-auxotropic fungi dari Pythiaceae membutuhkan sumber eksogen dari senyawa sterol untuk reproduksi seksual (Kerwin dan Duddles 1989).
Senyawa steroid pada hewan dapat dijumpai antara lain sebagai hormon kelamin (contohnya androgen dan estrogen, hormon adrenal korteks (contohnya kortikosteron), dan asam empedu (contohnya asam kolat).
Steroid pada tanaman tingkat tinggi yang dikenal dengan fitosterol, antara lain terdiri atas sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Pada tanaman tingkat rendah, misalnya ergosterol (terdapat pada ragi dan jamur). Fukosterol adalah senyawa steroid yang terdapat pada tanaman tingkat rendah (alga cokelat), tetapi berhasil juga dideteksi dalam buah kelapa (Harborne 1973). Tarigan (1980) telah mengisolasi dan mengidentifikasi solasodin, suatu steroid alkaloid dari buah
Solanum chasianum. Kanchanapoom et al. (2003) juga telah mengisolasi komponen steroid sauroposide dari Sauropus androgynus.
Senyawa-senyawa steroid telah banyak dimanfaatkan sebagai obat. Berdasarkan efek farmakologisnya senyawa steroid antara lain terdiri atas: antiradang dan antirheumatoid, yaitu kortison, kortikosteron, hidrokortison, prednison dan triamsinolon; diuretika, antidiuretika dan anestetika lokal, yaitu aldosteron, natrium hidroksidion, dan spironolakton; kontraseptik, yaitu turunan progesteron dan turunan estron.
Fitosterol
Fitosterol mencakup sterol tanaman dan stanol tanaman adalah lemak tanaman yang terdapat pada pangan yang berasal dari tanaman. Sterol tanaman secara alami merupakan substansi yang ada dalam pangan, secara prinsip merupakan komponen minor dari minyak tanaman. Stanol tanaman terdapat di alam pada kadar yang lebih rendah yang merupakan senyawa hidrogenasi dari sterol tanaman (Sahelian 2006).
Sterol tanaman berperan sama dengan kolesterol pada mamalia, yaitu membentuk struktur membran sel. The Institute of Food Science and Technology (IFST) (2005) menyatakan bahwa sterol tanaman terdiri atas tiga ketegori, yaitu 4-desmetilsterol (bukan kelompok metil), 4-monometil sterol (kelompok satu metil), dan 4,4-dimetilsterol (kelompok 2 metil). Sterol tanaman yang umum adalah β -sitosterol, kampesterol, dan stigmasterol. Stanol tanaman termasuk dalam kelompok 4-desmetilsterol. Stanol tanaman adalah produk hidrogenasi dari sterol tanaman, misalnya kampestanol dari kampesterol dan sitostanol dari sitosterol .
Sebagai satu kelompok, sterol, stanol, dan sterolin merupakan lemak tanaman di dalam semua bahan pangan berbasis tanaman. Stanol merupakan bentuk esterifikasi sterol dan sterolin merupakan sterol yang secara kimiawi berikatan dengan glikosida (molekul gula rantai pendek). Glukosida adalah glukosa tanaman yang merupakan salah satu dari beberapa tipe glikosida. Selain dengan glukosida, sterol tanaman dapat berikatan dengan gula glikonutrien yang lain. Sterol tanaman termasuk klasifikasi famili dari steroid, tetapi tidak mempunyai efek negatif seperti yang sering diasosiasikan dengan steroid.
Sintesis sterol, terutama metilasi atom C pada C-24 dari rantai samping sterol, merupakan perbedaan biokimiawi yang penting antara sterol hewan dan tumbuhan. Jika sterol utama hewan adalah ∆5
-sterol kolesterol, tumbuhan dan jamur menghasilkan ∆5
-sterol yang mempunyai kerangka sama dengan kolesterol, dan telah dimodifikasi dengan penambahan satu atau dua atom karbon pada C-24 dengan α atau β chirality yang disebut fitosterol (Zhou et al. 2004). Jalur isopentenoid pada squalen oksida dapat terbagi dalam dua cabang, yang merupakan tahap awal dari pembentukan sterol tanaman. Pembentukan sterol pada fungi dimulai dengan pembentukan lanosterol dan pada tanaman dimulai
dengan pembentukan sikloartenol. Jalur pembentukan fitosterol disajikan dalam skema Gambar 4.
Gambar 4 Jalur biosintesis fitosterol (Zhou et al. 2004)
Burton dan Wells (2002) menyatakan bahwa fitoestrogen, salah satu dari fitosterol, merupakan fitokimia yang ditemukan dalam tanaman dan produk tanaman yang secara struktural dan fungsional sama dengan 17β-estradiol, yaitu isoflavon, atau estrogen sintetik misalnya dietilstilbestrol, yaitu lignan. Fitoestrogen hadir sebagai glikosida dalam pangan dari legum, biji-bijian, kacang-kacangan, dan pangan kaya serat, dan juga ada dalam plasma dan urin hewan dan manusia yang mengkonsumsi pangan kaya fitoestrogen.
Selanjutnya dinyatakan bahwa metabolisme fitoestrogen yang berkenaan dengan aktivitas biologinya adalah sebagai berikut: menyerupai aksi estrogen endogen, beraksi sebagai estrogen antagonis, mengubah pola sintesis dan metabolisme hormon endogen, dan memodifikasi kadar reseptor hormon.
Squalena oksida
fungi tanaman
sikolartenol
SMTI Alga SMT1 Tanaman vaskular lanosterol SMT1 24(28)-Methylene lanosterol Zymosterol Cyclola-denol 24(28)-Methylenecycloartenol Isofucosterol Fecosterol Protothecasterol 24(28)-Methylene phenol citrostadienol Clianosterol Ergosterol Campesterol sitosterol start End
Beberapa manfaat fitosterol yang telah diteliti adalah sebagai berikut. Fitosterol mempunyai efek estrogenik pada wanita menopouse (Wu et al. 2005), menurunkan kolesterol dan lemak LDL (Low Density Lipoprotein) (Tilvis & Miettinen 1986; Ling & Jones 1995; Nguyen, 1999; Miettinen & Gyllings 1999; Jones, 1999; Jones et al. 2000; Lichtenstein & Deckelbaum 2001; Yang et al. 2004); meningkatkan aktivitas modulasi sistem imun, antiinflamasi dan antipiretik (Gupta et al. 1980; Bouic et al. 1996; Yamada et al. 1997; Bouic et al. 1999; Bouic & Lamprecht 1999; Bouic 2001); sebagai antioksidan (Araghinikham et al. 1996; Maskarinec et al. 1999 dan Wu et al. 2005); digunakan dalam terapi antidiabetes (Undie & Akubue 1986 dan Iwu et al. 1990); sebagai agen preventif kanker (Kenedy 1995), mencegah kanker kolon (Rao & Janezie 1992), menyebabkan apoptosis pada sel kanker (von Holtz et al. 1998 & Moalic et al. 2001). Beberapa teori tentang mekanisme aksi fitosterol sebagai faktor pelindung (protective factor) yang dihimpun IFST (2005) adalah menghambat pembelahan sel, menstimulasi kematian sel tumor, dan memodifikasi beberapa hormon yang esensial bagi pertumbuhan tumor.
Biosintesis Kolesterol
Kolesterol merupakan sumber untuk sintesis steroid lain, misalnya hormon seks dan asam empedu. Kolesterol yang disintesis dalam tubuh berasal dari dua unit karbon asetil koenzim A yang terbentuk dari asam lemak atau metabolisme karbohidrat melalui piruvat (Bell et al. 1972).
Biosintesis kolesterol terdiri atas tiga tahapan (Mathews et al. 2000).
1 Pembentukan mevalonat
Tahap ini dimulai dengan kondensasi dua molekul asetil-KoA menjadi asetoKoA. AsetoKoA bereaksi dengan ketiga molekul asetil-KoA menjadi 3-hidroksi-3-metilglutaril-asetil-KoA (HMG-CoA). Kemudian HMG-KoA reduktase mengkatalisis empat elektron, NADPH-dependent reduction dari HMG-CoA menjadi mevalonat
Asetoasetil-CoA
3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA
Mevalonat
Gambar 5 Biosintesis mevalonat
2 Sintesis squalen dari mevalonat
Mevalonat 5-fosfomevalonat 5-pirofosfomevalonat 3-fosfo-5-pirofosfomevalonat CO2 + Pi Isopentenil pirofosfat
Dimetilalil pirofosfat + Isopentenil pirofoafat PPi
Geranil pirofosfat
Farnesil pirofosfat + Farnesil pirofosfat
Presqualen pirofosfat
squalen
2NADPH + 2H+
CoA-SH+ 2 NADP+ HMG-CoA
reduktase HMG-CoA sintetase ATP ADP ATP ADP ATP ADP Isopentenil pirofosfat PPi FPPS
Gambar 6 Konversi mevalonat menjadi squalen
Mevalonat teraktivasi oleh tiga fosforilasi menjadi isopentenil pirofosfat. Salah satu molekul isopentenil pirofosfat terisomerasi menjadi C5 dimetilalil pirofosfat. Senyawa dimetilalil pirofosfat bereaksi dengan isopentenil pirofosfat membentuk C10 geranil pirofosfat, dan molekul isopentenil pirofosfat yang lain bereaksi dengan C10 geranil pirofosfat membentuk C15
farnesil pirofosfat. Enzim NADPH bergabung dengan dua molekul farnesil pirofosfat membentuk presqualen pirofosfat, kemudian dengan pelepasan pirofosfat dan pengaturan kembali melalui cyclopropyl cation intermediate
menghasilkan squalen
3 Siklisasi squalen menjadi lanosterol dan konversi lanosterol menjadi kolesterol Squalen Squalen 2,3-epoksida H+ Lanosterol Banyak reaksi Kolesterol
Gambar 7 Konversi squalen menjadi kolesterol
Hormon Steroid
Steroid menyusun sekelompok senyawa organik yang aktif secara biologis, meliputi zat-zat seperti kolesterol, androgen, estrogen, dan progesteron (Turner dan Bagnara, 1976). Hormon steroid disekresikan oleh korteks adrenal, ovarium, dan testis dan disimpan dalam jumlah kecil di tempat produksinya. Semua hormon steroid disintesis dari kolesterol. Kolesterol tersedia melalui tiga tapak
Squalen monooksigenase
O2 + NADPH+ + H+ H2O + NADP+
jalan, yaitu 1) sintesis asetat secara de novo, 2) mobilisasi tetesan lemak intraseluler, dan 3) pembebasan low-density lipoprotein (LDL).
Gambar 8 Biosintesis hormon steroid (Sumber: Berne dan Levy 1988)
Kolesterol
Pregnenolon Progesteron
17OH-Pregnenolon 17OH-Progesteron
Dehidroepiandrosteron Androstendion Estron
Androstendiol Testosteron Estradiol
Selanjutnya, kolesterol bebas ini diubah ke pregnenolon. Pregnenolon merupakan prekursor untuk semua hormon steroid. Sekali terbentuk, pregnenolon secara cepat diubah menjadi progesteron oleh kerja enzim yang spesifik yang terdapat di luar membran mitokondria dan retikulum endoplasma dari sel-sel yang mensekresikan hormon setroid. Melalui serangkaian reaksi akhirnya terbentuklah estradiol serta hormon steroid lainnya (Berne dan Levy 1988). Proses pembentukan hormon steroid utama terdiri atas tiga bagian, yaitu sintesis kolesterol dari asetat, konversi kolesterol menjadi progesteron, dan pembentukan androgen, estrogen, dan kortikoid dari progesteron (Hansel dan McEntee 1977).
Perkembangan Penelitian Katuk pada Ternak
No. Jenis Ternak Jenis Perlakuan Hasil Penelitian Peneliti 1 Kucing, anjing,
kelinci, marmut, ayam
Ekstrak daun katuk menggunakan aquadest, dan diencerkan 10% diberikan secara intravena, diteteskan, intraperitonial dan secara oral
Daun katuk mengandung senyawa yang dapat mempengaruhi otot polos dan beraksi seperti oksitosin
Djojosoebagio (1965) dalam Suprayogi (2000)
2 Mencit Pemberian ekstrak air daun katuk 10 dan 20% masing-masing sebanyak 0,5 ml
Peningkatan jumlah asini kelenjar susu mencit dewasa yang baru melahirkan pada mencit yang diberi ekstrak katuk dibandingkan dengan kontrol.
Prajonggo et al. (1983)
3 Tikus Ekstrak daun katuk dengan aquadest dan diencerkan 10 dan 20% dan diberikan secara oral
Daun katuk meningkat- kan produksi susu, dan berasumsi daun katuk mengandung senyawa yang mempengaruhi sintesis susu yang mirip dengan hormon steroid, hormon prolaktin, oksitosin dan prolactin releasing hormone
Agil (1991)
4 Kambing Ekstrak daun katuk dengan air (20%) yang diberikan secara langsung melalui abomasum pada dosis 500 mg/kg BB
Peningkatan produksi susu 21.03% dan metabolisme glukosa kelenjar mamae 52,66% dibandingkan dengan kontrol.
Suprayogi (1993)
5 Domba Pemberian papaverin (0.5% sebanyak 185mg/hari, ekstrak daun katuk dengan alkohol 70% (Sax) sebanyak 1.89 mg/hari, tepung daun katuk (SAp) (diencerkan 18%) sebanyak 7.44 g/hari)
Peningkatan produksi susu pada perlakuan SAp sebanyak 7.75% dan SAx sebanyak 0.89% dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 35, Peningkatan performans pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada perlakuan SAp dibandingkan dengan SAx.
Suprayogi (2000)
6 Ayam lokal Pemberian tepung daun katuk dalam ransum sebanyak 3, 6, dan 9%
Peningkatan produksi telur, kualitas telur, penurunan kolesterol produk unggas dengan pemberian tepung DK dibandingkan dengan kontrol dengan hasil tebaik dicapai perlakuan pemberian tepung daun katuk 9% dalam ransum
Subekti (2003)
7 Ayam broiler Pemberian tepung daun katuk dalam ransum: 0%, 5%, 10%, dan 15 %
Pada pemberian tepung daun katuk 15%, kolesterol daging dan hati menurun secara nyata, dan lemak
Nasution (2005) Tabel 3 Perkembangan penelitian pengaruh daun katuk pada hewan
daging menurun sampai 28.30% 8 Ayam petelur Pemberian tepung daun katuk
dalam ransum 0%, 5%, 10%, dan 15%
Penambahan tepung DK sebesar 15% dapat meningkatkan kualitas telur, konsentrasi beta karoten dan vitamin A pada telur, karkas dan hati serta meningkatkan estradiol serum, dan mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas
Saragih (2005)
Daun katuk telah menarik minat peneliti untuk mengeksplorasi manfaat dan pengaruhnya pada ternak. Selain untuk meningkatkan produksi susu pada mamalia, ternyata daun katuk dapat meningkatkan kualitas karkas dan telur pada unggas. Rangkuman penelitian-penelitian penggunaan daun katuk dan pengaruhnya pada hewan/ternak disajikan pada Tabel 3.