• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Lahan di Lokasi Penelitian

Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau attribute yang kompleks dari suatu lahan. Masing-masing kualitas lahan yang mempunyai keragaan tertentu akan berpengaruh terhadap produktivitas lahannya. Kualitas lahan ada yang dapat diperkirakan atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahannya. Beberapa kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang digunakan oleh CSR/FAO (1983), Sys et al. (1993), LREP II (1994), dan Djaenudin et al. (2003) untuk tujuan klasifikasi kesesuaian lahan bagi tanaman pisang serta nilai karakteristik lahan pada setiap satuan lahan pengamatan (SLP) di lokasi penelitian tersaji pada Lampiran 14.

Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun dalam penelitian ini merupakan kriteria untuk tipe penggunaan lahan (LUT) tanaman pisang Cavendish yang dikelola secara intensif dengan sistem irigasi drip atau sprinkler di Way Kambas Lampung Timur. Kriteria kesesuaian lahan tersebut disusun berdasarkan karakteristik lahan yang relevan dan sangat berpengaruh terhadap produksi.

Berdasarkan kisaran nilai karakteristik lahan di lokasi penelitian dihubungkan dengan persyaratan tumbuh atau nilai kisaran optimum bagi tanaman pisang, serta LUT yang diterapkan menunjukkan bahwa sebagian besar karakteristik lahan yang menentukan kualitas lahan suhu udara, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, potensi mekanisasi dan bahaya banjir tidak lagi menjadi faktor pembatas bagi tanaman pisang yang dikelola secara intensif untuk berproduksi secara optimal. Namun demikian beberapa karakteristik lahan yang menentukan kualitas lahan media perakaran, retensi hara, toksisitas, dan bahaya erosi cukup bervariasi dan menentukan keragaman produksi pisang di lokasi penelitian.

Suhu udara

Tanaman pisang dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan suhu udara 22-32oC dengan ketinggian tempat 100-700 m dari permukaan laut. Pertumbuhan menurun pada suhu udara < 22 oC dan perubahan ketinggian tempat yang kecil menyebabkan pengaruh nyata terhadap periode shooting

47

(Departemen Pertanian 1997). Suhu udara rata-rata tahunan yang optimum bagi tanaman pisang berkisar 25-27oC (Djaenudin et al. 2003; LREP II 1994), sedangkan menurut CSR/FAO (1983) berkisar 25-28oC, dan menurut Sys et al.

(1993) > 18oC dengan rata-rata suhu udara minimum bulan terdingin >15oC, suhu udara absolut bulan terdingin > 8oC. Berdasarkan hal tersebut suhu udara pada seluruh SLP di lokasi penelitian sangat sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pisang dengan suhu udara rata-rata tahunan 27,0oC dan kisaran suhu harian 21,9-32,7oC.

Kalau dilihat dari suhu tanah (Lampiran 19), pada pagi hari suhu permukaan tanah rata-rata berkisar antara 26-27oC dan meningkat pada siang hari sampai suhu 34,0oC, sedangkan suhu pada kedalaman 100 cm dari permukaan relatif konstan rata-rata berkisar 29-30oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu tanah di lokasi penelitian meskipun tidak berada pada kondisi optimum untuk pertumbuhan organisme tanah dan tanaman, namun masih cukup sesuai terutama untuk daerah tropis. Menurut Shuster dan Edward (2003) suhu tanah optimum bagi kehidupan cacing tanah adalah 20oC. Cacing tanah

Lumbricus terrestris L. akan mati pada suhu tanah 30oC setelah 40 hari (Berry

dan Jordan 2001; Curry dan Byrne 1992). Namun demikian menurut Reddy dan Pasha (1993), umumnya spesies cacing tanah di daerah tropis memiliki daya adaptasi yang baik pada suhu tanah yang ekstrim.

Suhu udara juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat suatu daerah. Ketinggian tempat yang optimum bagi tanaman pisang yaitu <1200 m dari permukaan laut (Djaenudin et al. 2003). Menurut Satuhu dan Supriyadi (2004), untuk budidaya tanaman pisang ketinggian tempat optimum harus berada < 1000 m dpl, jika lebih tinggi akan menurunkan produksi, waktu berbuah lebih lama, dan kulit buah lebih tebal. Ketinggian tempat pada seluruh SLP di lokasi penelitian sangat sesuai untuk budidaya tanaman pisang, sebab variasi ketinggian tempatnya hanya berkisar 24-37 m dpl.

Berdasarkan data suhu udara, suhu tanah, dan ketinggian tempat seluruh SLP di lokasi penelitian sesuai bagi tanaman pisang, sehingga tidak menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan dan produksi tanaman pisang secara optimal.

Ketersediaan oksigen

Karakteristik lahan drainase tanah sangat menentukan kualitas lahan ketersediaan oksigen bagi tanaman. Tanaman pisang membutuhkan tanah dengan drainase dan aerasi yang baik (Espino et al. 1999). Pada seluruh SLP di lokasi penelitian, drainase tanah sampai kedalaman 100 m dari permukaan tergolong baik (Lampiran 14), yang dicirikan oleh warna tanah yang homogen tanpa bercak atau karatan besi dan mangan, dan bukan warna gley. Drainase tanah yang baik (well drained) adalah tanah yang mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan air sedang, lembab, tetapi tidak cukup basah dekat permukaan.

Pada tanah berdrainase baik, air akan lebih cepat keluar dari tanah tetapi tidak terlalu cepat. Keadaan drainase buruk yang disebabkan oleh air lebih memenuhi pori-pori tanah, dapat menyebabkan kematian bagi tanaman oleh karena terhambatnya pengambilan oksigen. Drainase yang baik di lokasi penelitian juga didukung oleh ruang pori total yang tinggi, yaitu berkisar 36,25-58,93% pada kedalaman 0-50 cm dan permeabilitas tanah rata-rata sedang (7,56 cm/jam).

Kombinasi faktor-faktor subgroup tanah, kemiringan lereng, tingkat produksi, dan LUT yang menyusun SLP di lokasi penelitian tidak menggambarkan adanya variasi drainase tanah. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keragaman tingkat produksi pisang di lokasi penelitian tidak dipengaruhi kualitas lahan ketersediaan oksigen.

Bahaya banjir

Bahaya banjir akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, pada tanah yang mengalami reduksi lama akibat tergenang air akan menyebabkan banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh. Pada seluruh SLP di lokasi penelitian tidak terdapat ancaman bahaya banjir. Suatu lokasi dikatakan tidak pernah banjir, apabila dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam.

Meskipun di sekitar lokasi penelitian terdapat cekungan yang digenangi air, tetapi lokasi penelitian tidak pernah banjir. Hal tersebut disebabkan lahan penelitian meskipun bertopografi datar, namun pada LUT yang diterapkan telah dibuat saluran drainase dengan lebar 150 cm dan dalam berkisar 100-200 cm, pada setiap jarak 100 cm di perbatasan antar blok. Oleh karena itu kualitas

49

lahan bahaya banjir tidak menjadi pembatas dalam penggunaan lahan di lokasi penelitian.

Ketersediaan air

Tanaman pisang memerlukan cukup air terutama pada awal penanaman dan pada saat pembentukan buah. Suplai air yang kurang dapat menyebabkan buah mengalami sunburn (Nakasone dan Paull 1999). Kualitas ketersediaan air bagi tanaman ditentukan oleh karakteristik lahan curah hujan, kelembaban, lama bulan kering, LGP, dan pori air tersedia tanah.

Curah hujan rata-rata tahunan yang paling sesuai untuk tanaman pisang sebesar 2000-4000 mm (CSR/FAO 1983; LREP II 1994), sedangkan menurut Djaenudin et al. (2003) berkisar 1500-2500 mm, dan menurut Sys et al. (1993), > 1500 mm. Berdasarkan hal tersebut curah hujan tahunan pada seluruh SLP di lokasi penelitian sangat sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pisang dengan curah hujan rata-rata tahunan 2.372 mm/tahun dengan kisaran 1.460-3.289 mm/tahun.

Kriteria kesesuaian lahan menurut Djaenudin et al. (2003) mensyaratkan kelembaban udara sebagai karakteristik lahan penentu kualitas lahan untuk ketersediaan air, yaitu sangat sesuai apabila >60%. Berdasarkan hal tersebut, kelembaban udara di lokasi penelitian sangat sesuai untuk tanaman pisang yang berkisar antara 61,2-95,7% dengan rata-rata 84,2%.

Curah hujan rata-rata tahunan yang sangat sesuai belum cukup untuk menentukan kualitas lahan ketersediaan air bagi tanaman, sebab perlu juga dilihat sebarannya menurut waktu. Menurut Purseglove (1978), tanaman pisang memerlukan air minimal 25 mm per minggu. Oleh sebab itu karakteristik lahan lama bulan kering dan LGP dijadikan juga salah satu kriteria kesesuaian tanaman pisang.

Tanaman pisang akan tumbuh optimal apabila lama bulan kering tidak lebih dari 1 bulan, kecuali menurut kriteria Djaenudin et al. (2003), yaitu 0-3 bulan. Berarti lokasi penelitian dengan lama bulan kering 2-3 bulan, belum mencapai kondisi optimal untuk budidaya tanaman pisang. Begitu juga kalau dilihat dari nilai LGP yang hanya 212 hari, masih menjadi faktor pembatas ketersediaan air tanaman pisang yang menghendaki 300-330 hari.

Selain faktor curah hujan, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air tanaman juga sangat ditentukan oleh volume pori air tersedia tanah. Volume

pori air tersedia tanah sangat penting karena menggambarkan jumlah air yang tersedia atau terpegang oleh tanah yang dapat diserap oleh tanaman, sedangkan air higroskopis, air aliran permukaan, dan air perkolasi tidak dimanfaatkan oleh tanaman. Tanah di lokasi penelitian memiliki pori air tersedia yang cukup bervariasi, sangat rendah sampai sedang (1,02-16,77% vol) pada lapisan 0-25 cm dari permukaan tanah dan semakin menurun pada lapisan 25-50 cm, yaitu berkisar 2,69-10,73% vol (Lampiran 18). Oleh karena itu volume pori air tersedia tanah dan faktor yang lainnya seperti permeabilitas tanah, kemiringan lereng, dan efisiensi air irigasi sangat menentukan ketersediaan air bagi tanaman.

Oleh karena LUT yang diterapkan pada seluruh SLP di lokasi penelitian menggunakan irigasi maka kekurangan air bagi tanaman pada saat musim kemarau dapat terpenuhi. Pemberian air irigasi dengan ketentuan jumlah total air curah hujan harian dan air irigasi sebanyak 5 mm per hari diasumsikan sudah cukup untuk mengatasi kekurangan air bagi tanaman pisang. Menurut Bagian Riset PT. NTF (2006), kebutuhan tanaman pisang Cavendish terhadap air, dibedakan menurut umur tanaman, yaitu: (a) Umur 1-3 bulan, membutuhkan air sebanyak 3 mm/hari dari air hujan atau setara dengan 30 m3 air dari sumur bor dalam luasan 1 hektar; (b) Umur 4-7 bulan, membutuhkan air sebanyak 4 mm/hari dari air hujan atau setara dengan 40 m3 air dari sumur bor dalam luasan 1 hektar; dan (c) Umur lebih dari 8 bulan, membutuhkan air sebanyak 5 mm/hari dari air hujan atau setara dengan 50 m3 air dari sumur bor dalam luasan 1 hektar. Menurut Robinson (1995) kebutuhan air konsumtif untuk tanaman pisang adalah 3-6,3 mm per hari tergantung suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, dan angin.

Hasil perhitungan neraca air di lokasi penelitian yang dihitung tanpa memperhitungkan curah hujan efektif, efisiensi air irigasi, dan simpanan air tanah disajikan pada Gambar 5 dan 6. Berdasarkan neraca air tersebut, untuk tanaman pisang yang ditanam pada bulan Mei-September, air irigasi cukup untuk memenuhi defisit air hujan yang umumnya terjadi pada bulan Mei sampai Nopember. Namun demikian, untuk tanaman pisang yang justru ditanam pada musim hujan (Nopember-April) air irigasi di lokasi penelitian sedikit kurang mencukupi untuk memenuhi evapotranspirasi tanaman secara optimal.

51

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 5 Hubungan jumlah air hujan, air irigasi, dan evapotranspirasi untuk tanaman pisang yang ditanam bulan (a) Januari; (b) Februari; (c) Maret; (d) April; (e) Mei; dan (f) Juni

Neraca Air Tanam Bulan Januari

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Februari

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Maret

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan April

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Mei

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Juni

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

(h) (i)

(j) (k)

(l) (m)

Gambar 6 Hubungan jumlah air hujan, air irigasi, dan evapotranspirasi untuk tanaman pisang yang ditanam bulan (h) Juli; (i) Agustus; (j) September; (k) Oktober; (l) Nopember; dan (m) Desember

Neraca Air Tanam Bulan Juli

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Agustus

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan September

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Oktober

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Nopember

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

CH CH + Irigasi ET Pisang

Neraca Air Tanam Bulan Desember

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

(mm)

53

Berdasarkan hasil perhitungan neraca air di lokasi penelitian, berarti pada saat penelitian berlangsung, yang ditanam bulan Agustus adalah waktu yang tepat untuk menanam dari segi kebutuhan air. Oleh karena itu pengaturan waktu tanam akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pisang di lokasi penelitian.

Kondisi media perakaran

Tanah selain tempat unsur hara dan air tersimpan dan ditambahkan, tetapi juga sebagai matrik tempat akar berjangkar untuk menopang batang tanaman. Kondisi media perakaran yang sesuai bagi tanaman antara lain ditentukan oleh karakteristik tekstur tanah, kepadatan tanah, kedalaman efektif tanah, dan fragmen bahan kasar di dalam tanah. Dalam kriteria kesesuaian lahan LREP II (1994) dan Djaenudin et al. (2003) keberadaan lapisan gambut juga menentukan kualitas lahan media perakaran, namun karakteristik tersebut tidak relevan untuk lokasi penelitian ini.

Karakteristik lahan yang menentukan kualitas media perakaran tanaman di lokasi penelitian cukup bervariasi dilihat dari kelas tekstur tanah, kepadatan tanah, dan kedalaman efektif tanahnya. Meskipun demikian masih sesuai bagi tanaman pisang. Tekstur tanah di lokasi penelitian pada lapisan permukaan (0-25 cm) cukup bervariasi dengan kelas tekstur liat sampai lempung berpasir, yang didominasi oleh fraksi pasir kasar (32,07-66,78%) dan liat (16,10-51,08%). Tanah yang didominasi oleh pasir akan mudah ditembus oleh akar tanaman, tetapi tanah yang didominasi oleh liat akan lebih sulit ditembus oleh perakaran tanaman. Begitu juga kalau dilihat dari kepadatan tanahnya, tanah di lokasi penelitian cukup bervariasi bagi perkembangan dan penetrasi akar, sebab memiliki bobot isi tanah berkisar 1,02-1,81 g/cm3 pada lapisan 0-25 cm dan 1,01-1,58 g/cm3 pada lapisan 25-50 cm.

Tanah di lokasi penelitian memiliki kedalaman efektif tanah berkisar 85-145 cm, yang berarti masih sesuai untuk tanaman pisang yang sebagian besar perakarannya terkonsentrasi pada kedalaman 30-40 cm, meskipun menurut kriteria klasifikasi kesesuaian lahan CSR/FAO (1983) kedalaman efektif optimum bagi tanaman pisang >150 cm dan LREP II (1994) mensyaratkan >100 cm. Begitu juga kalau dilihat dari jumlah fragmen bahan kasar yang tidak lebih dari 3% dan ruang pori total yang berkisar 36,25-60,43%, sesuai bagi tanaman pisang.

Meskipun pada LUT yang diterapkan di lokasi penelitian dilakukan pengolahan tanah pada setiap dua tahun sekali sebelum tanam pertama, tetapi adanya variasi kepadatan tanah dan tekstur tanah diperkirakan masih akan mempengaruhi tingkat produktivitas lahan. Selain itu pengamatan komponen produksi pada penelitian ini dilakukan saat tanah tidak diolah, yaitu pada waktu tanam kedua dengan tidak melakukan pengolahan tanah. Dugaan tersebut di atas, juga diperkuat oleh data yang menunjukkan keragaman tingkat produksi juga diikuti oleh keragaman tekstur dan tingkat kepadatan tanah (Tabel 13).

Tabel 13 Karakteristik lahan penentu kualitas media perakaran pada SLP yang terbentuk dari LUT di lokasi penelitian

Kode SLP Kelas Tekstur Kedalaman Efektif (cm) Fragmen Kasar (% vol) Bobot Isi (g/cm3) Ruang Pori Total (%) V1P2 SCL,SC 110-130 1-2 1,36-1,50 39,24-48,37 V1P3 SCL,SC 105-135 1-3 1,25-1,39 46,87-50,41 V1P4 SL,SCL 90-145 0-3 1,14-1,24 51,70-57,58 V2P1 SCL 100-125 0-1 1,37-1,57 36,25-43,81 V2P2 SCL 85-135 1-3 1,29-1,47 39,40-49,32 V2P3 SL,SCL 95-130 1-3 1,18-1,45 49,32-56,00 V3P1 SCL, C 105-125 0-3 1,34-1,51 37,50-45,43 V3P2 SC,C 115-130 0-2 1,16-1,32 47,19-53,69 V3P3 SCL,SC 95-125 1-3 1,05-1,21 52,56-58,93 Keterangan:

P1 = Tingkat produksi sebelum penelitian 10-20 ton/ha V1 = Lahan klon DM2, irigasi drip (LUT1) P2 = Tingkat produksi sebelum penelitian 20-30 ton/ha V2 = Lahan klon DM2, irigasi sprinkler (LUT2) P3 = Tingkat produksi sebelum penelitian 30-40 ton/ha V3 = Lahan klon Cj20, irigasi sprinkler (LUT3) P4 = Tingkat produksi sebelum penelitian 40-50 ton/ha

SCL= lempung liat berpasir; SC= liat berpasir; SL= lempung berpasir; C= liat

Kualitas lahan ketersediaan hara

Ketersediaan hara dalam tanah dapat ditetapkan dari kandungan N-total, P-tersedia, K dapat ditukarkan (K-dd), dan kandungan hara makro sekunder seperti Ca-dd, Mg-dd, serta beberapa hara mikro seperti Fe, Cu, Zn, dan Mn. Kombinasi faktor-faktor subgroup tanah, kemiringan lereng, tingkat produksi dan tipe penggunaan lahan yang menyusun SLP di lokasi penelitian cukup menggambarkan adanya variasi kualitas lahan ketersediaan hara (Tabel 14).

Hasil analisis laboratorium menunjukkan, kandungan hara tanah di lokasi penelitian cukup bervariasi terutama kandungan P-tersedia berkisar 5,02-89,90

55

ppm (sangat rendah-sangat tinggi), K-dd berkisar 0,14-0,29 me/100g (rendah-sedang), dan Mg-dd berkisar 0,38-1,85 me/100g (rendah-sedang).

Unsur hara yang diperkirakan menjadi pembatas di lokasi penelitian adalah kandungan N-total dan Ca-dd dengan kisaran 0,05-0,18% N-total (sangat rendah-rendah) dan 0,82-4,60 me/100g Ca-dd (sangat rendah-rendah). Sebaliknya kandungan unsur hara mikro sangat tinggi jika dibandingkan untuk kebutuhan optimum tanaman. Tanah di lokasi penelitian pada kedalaman 0-25 cm mengandung Fe berkisar 13,8-45,8 ppm (optimum 24,1-36,0 ppm), Cu berkisar 0,2-15,4 ppm (optimum 1,8-2,4 ppm), Zn berkisar 13,80-50,20 ppm (optimum 4,01-6,00 ppm), dan Mn berkisar 20,3-811,1 ppm (optimum 18,01-24,00 ppm).

Tabel 14 Karakteristik lahan penentu ketersediaan hara pada SLP yang terbentuk dari LUT di lokasi penelitian

Kode SLP N-total (%) P2O5 tersedia (ppm) K-dd (me/100g) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) V1P2 0,09-0,12 5,02-63,6 0,15-0,20 30,02-40,70 6,05-8,53 22,30-30,83 V1P3 0,05-0,12 16,8-29,2 0,15-0,20 14,75-45,45 5,95-10,58 28,00-32,32 V1P4 0,12-0,13 16,6-89,9 0,15-0,20 36,85-41,75 7,40-13,30 29,25-35,70 V2P1 0,07-0,10 7,87-20,12 0,14-0,24 34,10-37,87 3,45-7,05 15,13-28,01 V2P2 0,07-0,13 14,36-26,0 0,20-0,26 34,48-38,90 6,60-11,50 25,0-39,30 V2P3 0,07-0,12 25,6-36,79 0,25-0,29 35,32-38,38 8,52-10,95 39,05-44,97 V3P1 0,10-0,15 8,6-36,53 0,17-0,26 37,21-39,90 7,36-10,38 26,00-37,40 V3P2 0,09-0,18 16,53-31,50 0,20-0,24 36,65-42,80 7,60-10,08 26,70-35,95 V3P3 0,10-0,14 32,6-37,5 0,14-0,26 37,45-40,90 5,35-11,25 28,90-34,95 Keterangan:

P1 = Tingkat produksi sebelum penelitian 10-20 ton/ha V1 = Lahan klon DM2, irigasi drip (LUT1) P2 = Tingkat produksi sebelum penelitian 20-30 ton/ha V2 = Lahan klon DM2, irigasi sprinkler (LUT2) P3 = Tingkat produksi sebelum penelitian 30-40 ton/ha V3 = Lahan klon Cj20, irigasi sprinkler (LUT3) P4 = Tingkat produksi sebelum penelitian 40-50 ton/ha

Meskipun beberapa kandungan unsur hara menjadi faktor pembatas bagi kesesuaian lahan di lokasi penelitian, namun pada LUT yang diterapkan dilakukan pemupukan secara intensif. Total pupuk yang diberikan per tanaman pisang ialah 220 g pupuk Urea (46% N), 478 g pupuk ZA (12% N, 23% S), 139 g pupuk SP 36 (36% P2O5), 888 g KCl (60% K2O), 280 g Kieserite (27% MgO, 23% S), 50 g ZnSO4 (22% Zn, 12% S), 1100 g Dolomite (22% CaO, 23% MgO), dan 2 g Borax (11% B). Selain itu pada saat tanam diberi pupuk organik berupa

kompos kulit ubi kayu sebanyak 5 kg per tanaman dengan kandungan 9,66% C-organik; 0,23% N; 0,57% P; 0,15% K; 0,16% Ca; 0,06 % Mg; 1,61% Fe; dan 37 ppm Zn, serta pH 6,3.

Berdasarkan kandungan hara tanah dan hara pupuk yang diberikan dapat dihitung rata-rata jumlah hara yang tersedia pada SLP di lokasi penelitian, sebagaimana disajikan dalam Tabel 15. Selanjutnya menurut Lahav (1995), untuk memproduksi 50 ton/ha pisang segar tanaman menyerap hara N sebesar 388 kg/ha, P 52 kg/ha, K 1438 kg/ha, Ca 227 kg/ha, dan Mg 125 kg/ha (tidak termasuk yang disimpan di akar). Dengan asumsi tersebut, sisa hara di dalam tanah dapat dihitung sebagaimana tersaji pada Tabel 16.

Tabel 15 Rata-rata jumlah hara tersedia pada SLP di lokasi penelitian

Unsur Hara Tanaman

Sumber Unsur Hara

Total Hara Tersedia di Tanah Pupuk Anorganik Pupuk Organik (... kg/ha...) Nitrogen 5985,00 503,95 28,75 6517,70 Fosfor 101,35 54,62 71,25 227,22 Kalium 492,77 1095,32 18,75 1606,83 Kalsium 2620,10 432,14 20,00 3072,24 Magnesium 678,30 495,35 7,50 1181,15

Tabel 16 Rata-rata sisa hara tanah pada SLP di lokasi penelitian

Unsur Hara Tanaman

Total Hara Tersedia

Hara Diserap Tanaman *) Sisa Hara di Tanah Batang+Daun Buah (... kg/ha...) Nitrogen 6517,70 189 199 6129,70 Fosfor 227,22 29 23 175,22 Kalium 1606,83 778 660 168,83 Kalsium 3072,24 101 126 2845,24 Magnesium 1181,15 49 76 1056,15

57

Namun sisa hara yang cukup besar di dalam tanah tersebut diperkirakan belum dapat mengimbangi besarnya hara yang hilang melalui proses pencucian dan erosi. Menurut Godefroy et al. (1975) in Lahav (1995) pada tanah dengan KTK 5-10 me/100g dan curah hujan 1400-2000 mm/tahun, unsur hara yang hilang melalui proses pencucian dan tererosi selama setahun di lahan perkebunan pisang, sebesar N 210 kg/ha, P 2,1 kg/ha, K 344 kg/ha, Ca 271 kg/ha, dan Mg 104 kg/ha. Berdasarkan kenyataan tersebut, berarti jumlah pupuk Kalium yang diberikan pada LUT di lokasi penelitian belum mencukupi untuk menutupi kehilangan hara akibat pencucian dan erosi, mengalami defisit sebesar 175,17 kg/ha K. Namun demikian unsur hara K pada lahan di lokasi penelitian juga disuplai dari air curah hujan, air irigasi, dan hasil dekomposisi serasah tanaman pisang, serta cadangan mineral tanah. Menurut Godefroy et al. (1975)

in Lahav (1995) di Ivory Coast, curah hujan selama setahun dapat menyumbangkan hara N sebesar 42 kg/ha, sedikit P, K 2 kg/ha, Ca 50 kg/ha, dan Mg 40 kg/ha. Selain hal itu LUT yang diterapkan di lokasi penelitian, melakukan pembenaman kembali seluruh bagian tanaman pisang, kecuali buah pisang yang dipanen. Menurut Lahav (1995), hara yang diserap batang dan daun tanaman pisang, N sebesar 189 kg/ha, P 29 kg/ha, K 778 kg/ha, Ca 101 kg/ha, dan Mg 49 kg/ha.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kualitas lahan ketersediaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor pembatas bagi tanaman pisang untuk berproduksi secara optimal, karena dapat diatasi dengan LUT yang diterapkan di lokasi penelitian. Hal tersebut didukung pula oleh kenyataan, dengan tidak ditemukannya gejala kekurangan hara pada tanaman pisang di lapangan. Meskipun demikian, ketersediaan hara akan sangat juga dipengaruhi oleh daya retensi hara, serta tindakan pengendalian erosi dan pencucian hara di lokasi penelitian.

Retensi hara

Kualitas lahan retensi hara dapat dicerminkan oleh karakteristik lahan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, KTK liat, kejenuhan basa, jumlah kation basa, pH tanah, dan C-organik tanah. Tanah yang memiliki daya retensi hara tinggi berarti mempunyai kemampuan memegang hara dengan kuat dan hara tidak mudah hilang karena pencucian, yang dapat ditunjukkan oleh tingginya nilai KTK liat, KTK tanah, kejenuhan basa, jumlah kation basa, dan C-organik tanah.

Tanaman pisang membutuhkan tanah dengan pH antara 5,8-6,6 (Espino

et al. 1999). Menurut Purseglove (1978), pada pH tanah yang lebih rendah

pertumbuhan agak terhambat karena serangan penyakit akan meningkat. Reaksi tanah (pH) yang optimum untuk tanaman pisang menurut LREP II (1994), yaitu

Dokumen terkait