• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam

Berikut ini merupakan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di dua lokasi penelitian :

Kampung Ciburial, Desa Mekarsari

1. Huma

Sistem pengelolaan hutan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dengan sistem pertanian. Maka begitu juga sistem pengelolaan sumberdaya hutan di mekarsari tidak dapat juga dilepaskan dari pola ngahuma yang sudah begitu lekat dengan tradisi masyarakat. Berladang (ngahuma) bagi warga kasepuhan merupakan hal yang esensial dalam kehidupannya, sebagai manifestasi dalam menjalankan adat tatali piranti karuhun, kegiatan ngahuma, karenanya dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan diikat oleh jalinan ritual keagamaan yang mencerminkan aspek pemujaan kepada dunia supranatural.

Oleh karena itu, huma yang sering diartikan sebagai penanaman gilir balik merupakan salah satu sistem penanaman padi huma (ladang) yang di tumpang sarikan dengan tanaman sayuran (kacang-kacangan, sayuran, dll), tanaman buah (kopi, cengkeh, teh dan pohon buah) dan tanaman kayu (manii, manglid, jeunjing, dll), merupakan kegiatan wajib bagi warga Desa Mekarsari karena selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, huma juga sebagai wujud eksistensi mereka sebagai satu kesatuan sosial yaitu kesatuan sosial masyarakat adat kasepuhan.

Ngahuma dimulai dengan proses penyiapan lahan huma, sebelum proses pembukaan lahan huma, warga kasepuhan biasanya terlebih dahulu menghadap sesepuh girang / sesepuh kampung untuk meminta restu dan bekal (biasanya berupa kemenyan dan panglay) agar pelaksanaannya mendapatkan berkah dan keselamatan. Setelah ditentukan ahan huma yang akan digarap, kawasan tersebut kemudian dipasang tanda (ditarawas atau disawen) berupa pancang, ikatan alang atau batang pohon yang diikatkan pada semak-semak agar diketahui semua orang.

Sebelum memulai pembukaan lahan tersebut, terlebih dahulu dilakukan upacara sederhana (upacara sasarap) sebagai tanda minta izin kepada nenek

moyang. Dalam melakukan hal itu, ia duduk bersila menghadap areal yang akan dijadikan ladang huma. Ia membayar dan mengunyah Panglay (Zingiber casumua) dan kemudian menyemburkan ke segala arah. Sambil membakar kemenyan ia mengucapkan doa amit untuk meminta izin dan perlindungan para karuhun.

Setelah selesai melakukan ritual tersebut, barulah di mulai kegiatan nyacar, yakni membersihkan lahan dengan cara memotong ranting serta dahan- dahan yang dianggap akan menggangu pertumbuhan padi, juga membersihkan rumput serta tanaman liar yang tidak perlu. Kegiatan nyacar memerlukan waktu seminggu sampai sebulan tergantung luas lahan yang akan dijadikan huma.

Proses berikutnya adalah ngahuru dan ngaduruk, yakni membakar ranting dahan dan rerumputan yang telah dipotong. Sebelumnya dilakukan upacara ngabersihan yang dilakukan dengan cara duduk menghadap lahan lahan yang sudah dibuka, kemudian mengucapkan doa amit seperti halnya dalam upacara nyacar. Dahan, ranting dan rerumputan tersebut dikumpulkan di tengah areal lahan kemudian di bakar (ngahuru). Dalam proses pembakaran ini, di sekeliling tempat pembakaran dibuat suatu batas dengan gundukan tanah agar api tidak menjalar ke tempat lain. Proses berikutnya adalah ngaduruk, yakni membakar habis sisa-sisa pembakaran pada tahap ngahuru.

Setelah proses ngahuru dan ngaduruk selesai, lahan kemudian di buat galangan dan terasering yang dibiarkan selama sekitar 10 hari. Kemudian, lahan dibersihkan kembali sebelum ditanami padi proses ini disebut dikeruk atau diparel. Baru setelah itu dilanjutkan dengan proses penanaman padi (ngaseuk).

Dalam melakukan kegiatan pengolahan lahan huma tersebut, selain dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga, juga dibantu oleh kerabat atau tetangga dengan sistem liliuran, yakni kerja sama tolong menolong dengan cara bergiliran mengerjakan suatu lahan garapan secara bergantian dengan hitungan yang setimpal. Dalam sitem kerja semacam ini. Dalam sistem kerja semacam ini pemilik lahan hanya menyediakan makan dan minum akan tetapi pada saat panen mereka memiliki hak mendapatkan bagian padi dengan sistem pembagian opat pocong sapocong dalam pelaksanaan proses pengelolaan lahan huma terpola pembagian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Kepala keluarga dan anak

laki-laki biasanya mengerjakan pekerjaan yang relatif berat seperti nyacar dan perempuan mengerjakan pekerjaan yang relatif ringan seperti ngored.

Setelah sekitar 2 minggu areal huma dibiarkan, dimulailah aktivitas dilaksanakan ngaseuk yang diawali dengan upacara ngaseuk yang dilakukan sehari sebelumnya. Ngaseuk dilakukan dengan cara menanam benih ke dalam lubang yang dibuat dengan menggunakan tongkat kayu yang diruncingkan (aseukan). Setelah dimasukan benih kemudian lubang ditutup dengan tanah yang disebut dengan mu’uhan dengan tujuan agar tidak diganggu binatang oleh binatang. Jumlah benih berlubang 3-4 biji, dengan jarak antar lubang sekitar 20-25 cm. aseuk dilakukan oleh laki-laki dan mu’uhan oleh perempuan. Seminggu setelah ngaseuk, pada saat padi mulai tumbuh diadakan salamatan di masing- masing keluarga yakni acara sukuran pare sapangjadian.

Dua minggu setelah ngaseuk dilaksanakan pemeliharaan secara fisik yakni ketika rerumputan mulai tumbuh dilahan huma, kegiatan ini disebut ngored atau ngoyos. Beberapa minggu kemudian membersihkan huma dilakukan kembali disebut dengan ngarambas kemudian diikuti dengan pemupukan. Biasanya pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dan dicampur dengan pupuk buatan.

Proses berikutnya dari ngahuma adahal dibuat/negel yaitu panen dengan menggunakan alat etem / ani-ani. Setelah dipanen kemudan dilantay, yaitu padi jemur yang biasanya tidak jauh dari lahan huma di tempat yang agak datar. Setelah di biarkan sampai padi kering (didiekeun) kemudian padi dipocong dan diangkut (diunjal) menuju leuit dan selanjutnya disusun padi di dalam leuit (dielepkeun).

Setelah penen selesai kemudian ada upacara nganyaran yang merupakan upacara mencicipi hasil panen yang baru saja dituai. Setelah itu biasanya warga kasepuhan masuk ke ponggokan, yaitu hari istirahat / libur dan tidak boleh melakukan aktivitas bertani yang lamanya biasanya 15 hari. Setelah itu kemudian dilakukan Upacara Seren Taun yang merupakan tanda rasa syukur atas keberhasilan panen dan sebagai upacara penutup tahun.

Setelah panen selesai lahan dibiarkan sehingga menjadi jami, kemudian setelah 2 tahun berubah menjadi reuma dan selanjutnya menjadi kebon kayu

setelah berumur 5-8 tahun kemudian dipanen kayunya dan akan berubah kembali menjadi huma. Proses-proses seperti itu akan berlangsung terus menerus. Berikut merupakan gambaran rangkaian proses kegiatan ngahuma di Desa Mekarsari dan hampir sama di setiap kasepuhan :

Gambar 2. Rangkaian Proses Kegiatan Ngahuma (Gilir Balik)

Dan berikut merupakan tabel proses kegiatan dan tahapan dalam ngahuma di Kampung Ciburial, Desa Mekarsari mulai dari Pembukaan lahan, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan dan upacara-upacara yang menyertainya

Tabel 6. Tahapan Ngahuma di Kampung Ciburial, Desa Mekarsari

Kegiatan Upacara Pelaku Waktu Keterangan

Narawas, memberi batas pada lahan yang akan dijadikan huma

Laki-laki Nyacar, membuka lahan

untuk dijadikan huma yang kemudian di biarkan kering secara alami (di ganggang)

Sasarap Laki-laki dan

perempuan

Biasanya dilakukan selama 1 bulan dan di gangang selama sekitar 2 minggu bulan 7 atau 8

Pada tahap ini juga da kegiatan

ngadangdang (membuat jarak/sekat bakar) sebelum tahap ngahuru

Ngahuru, membakar lahan yang kan dijadikan huma

Ngabersihan Laki-laki 1 hari bulan 8 s/d 9 Ngaduruk,membakar sisa-sisa

kegiatan ngahuru

Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1 minngu untuk lahan sekitar 1 ha, bulan ke 9 Ngerukan, kegiatan mencabut

rumput yang tumbuh dari sisa pembakaran

Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1 minggu untuk lahan sekitar 1 ha, bulan ke 9 Biasanya di barengi juga dengan menanam pisang, jagung, mentimun,hiris dan labu

Ngaseuk, melakukan kegiatan menanam padi

Ngaseuk Laki-laki dan

perempuan

Biasanya 1 hari, bulan ke 10

Ngored, membersihkan rumput dan gulma

Perempuan Sekitar 2 minggu,

bulan 11

Ngaberak, memberi pupuk Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1 hari, bulan 12 HUMA REUMA (sekitar 2 tahun) JAMI (sekitar 1tahun) Bera selama 1 tahun untuk membusukan kayu PANEN KAYU KEBUN KAYU (5-8 tahun)

Lanjutan Tabel 6

Kegiatan Upacara Pelaku Waktu Keterangan

Ngarambas, membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi

Perempuan Sekitar 2 minngu,

bulan ke 1 Nyacarkeun sisian, proses

pemotongan tanaman di pinggir huma Laki-laki dan perempuan Biasanya 1 hari, bulan ke 3 Negel/panen/mipit, memotong padi

Mipit Laki-laki dan

perempuan

Biasanya

berlangsung 1 sampai 3 hari, bulan ke 4

Dengan alat berupa etem / ani-ani Ngelantay, menjemur padi

yang biasanya diletakan tidak jauh dari huma

Laki-laki dan perempuan Biasanya sekitar 20 hari, bulan ke 4 Menggunakan alat berupa lantaiyan Di pocong, pengikatan

padi menjadi pocongan

Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1 hari, bulan ke 4

Sekaligus dilakukan pemilihn padi yang akan dijadikan benih selanjutnya Ngunjal, mengangkut padi

ke leuit

Laki-laki Sekitar 1 hari, bulan ke 4

Nyami, menyiangi pohon kayu

Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1hari, bulan ke 4

Huma mulai berubah menjadi kebon kayu (reuma)

Di elepkeun, menyusun padi dalam leuit

Laki-laki dan

perempuan

Sekitar 1 hari, bulan ke 4

Nganyaran, mulai memanfaatkan/mencicipi

hasil panen

Nganyaran Perempuan Di tetapkan kasepuhan

Ngazakat, pengeluaran sebagian hasil panen

Seluruh warga

Ngahudang,

membangunkan padi yang sudah dielepkeun di leuit

Ponggokan, yang merupakan masa istirahat / libur, kurang lebih 15 hari kemudian dilanjutkan dengan Seren Taun yang merupakan upacara sebagai tanda rasa syukur atas keberhasilan panen

Seluruh warga Ditentukan oleh kasepuhan dan harus dilakukan setelah kasepuhan induk

2. Leuweng (Tutupan)

Leuweng atau masyarakat sering menyebutnya dengan tutupan merupakan bagian tataguna lahan yang berada pada dataran tertinggi dan memiliki kemiringan yang curam. Tutupan secara ekologis merupakan kawasan hutan alam yang berfungsi sebagai daerah resapan dan penyimpan air. Oleh karena itu, tutupan merupakan merupakan kawasan penyedia air bagi kebutuhan air minum, MCK dan pertanian dengan banyaknya sumber mata air (sirah cai) didalamnya. Tutupan juga merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan dan binatang khas hutan alam yang dapat mendukung dibawahnya.

Apabila kawasan ini terganggu, maka keseimbangan alam akan terganggu dan masyarakat akan sangat dirugikan. Oleh karena itu, masyarakat Desa Mekarsari dengan kearifannya masih menganggap tutupan sebagai kawasan tertutup untuk diakses dan dilarang merubah fungsinya menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain.

3. Kebun Kayu

Kebun kayu adalah sistem pengelolaan lahan dengan tujuan untuk diambil hasil kayunya. Saat memasuki Desa Mekarsari maka akan terlihat rimbunya pohon jeunjing / jengjeng (Paraserientes falcataria), manglid ( Magnolia blumei) dan manii/afrika (Maesopsis emanii) yang merupakan jenis yang mendominasi kebon kayu di Kampung Ciburial. Hampir 80 % warga (responden) memiliki kebon kayu yang areal kebonnya tidak saja di wilayah Kampung Ciburial akan tetapi sampai wilayah desa lain.

Pemeliharaan kebon kayu biasanya tidak dilakukan secara intensif. Pemeliharaan biasaanya dilakukan hanya sampai umur sekitar 2 tahun dengan pemupukan yang dilakukan bersamaan dengan pemupukan padi atau palawija lainnya. Setelah umur 3 – 5 tahun biasanya mulai dilakukan penjarangan yang hasilnya dijual untuk kayu bakar.

Secara ekonomis pemanfaatan hasil dari kebon kayu dapat digolongkan menjadi hasil kayu dan non kayu. Hasil kayu dijual untuk bahan bangunan, kayu bakar dan kerajinan golok. Kemudian hasil non kayu berupa tanaman sela yang berupa tanaman obat, pangan dan makanan ternak.

Hasl kayu dari kebon kayu biasanya dijual ke tengkulak, salah satu permasalahan yang terjadi adalah pemasaran hasil kayu yang tidak diimbangi dengan mekanisme pasar yang adil, hal ini selain disebabkan proses pemasaran yang masih mengandalkan tengkulak juga sarana jalan (aksesibilitas) dan transportasi yang tidak memadai.

4. Kebun talun

Kebun talun berbeda dengan kebun kayu yang fokuskan untuk hasil kayu maka kebun talun lebih ditujukan untuk hasil non kayunya misalnya hasil buah

dan olahanya, sehingga kebun talun tidak dimasukan dalam rangkaikan kegiatan berhuma. Tanaman pada kebun talun diwariskan secara turun-temurun, sehingga tanaman yang dikembangkan merupakan tanaman tahunan. Pohon-pohon buah- buahan seperti manggis, nangka, rambutan, pisang, kelapa, jengkol, petay dan aren banyak dijumpai kebun talun.

Kebun talun selain memenuhi kebutuhan sendiri juga dijual kepada tengkulak. Produk kebun talun dipasarkan baik mentah maupun olahannya. Gula aren merupakan salah satu dari produk olahan dari kebun talun.

5. Sawah

Sawah adalah satu bagian dari serangkaian pengelolaan sumberdaya alam yang memiliki peran dalam menjaga keamanan pangan warga Kampung Ciburial Sebagian besar kebutuhan beras masyarakat dipenuhi dari sawah dan selebihnya dicukupi dari huma. Padi yang ditanam di sawah masih menggunakan padi lokal dan masih menggunakan sistem tradisional dalam pengelolaan sawahnya. Tradisi tidak hanya diterapkan pada saat pengelolaan sawah akan tetapi juga pada saat pasca panen. Kebijakan untuk pantang menggiling beras dengan mesin dan pantang menjual hasil panen masih dipatuhi masyarakat sampai sekarang.

Kegiatan di sawah dimulai dengan mencangkul dan membajak sawah dan membuat persemaian padi. Kemudian ngaseuk atau menanam padi yang dialnjutkan dengan pemupukan (ngaberak) pada umur padi satu minggu. Setelah padi berumur 1 bulan dilakukan pembersihan rmput atau gulma (ngoyos) pertama yang dilanjukan dengan pemupukan kedua pada saat padi berumur 2 bulan dan dilanjutkan ngoyos kedua. Pada saat padi berumur 3 bulan dilakukan babad galeng, yaitu membersihkan pematang sawah dari rumput dan gulma. Padi akan dipanen pada saat berumur 5 bulan kemudian dilantay (dijemur) kurang lebih 20 hari kemudian dipocong dan selanjutnya diangkut dan disimpan ke leuit.

Tiga bulan setelah panen, terdapat satu masa yang disebut dengan ngatiga, yaitu pemanfaatan lahan bekas sawah. Jika dalam keadaan kering dan kekurangan air maka lahan tersebut ditanami palawija seperti jagung, sosin, kacang tanah, kacang panjang, buncis dan lain-lain yang hasilnya juga dijual kepada tengkulak. Apabila tersedia cukup bayak air maka lahan tersebut digunakan sebagai balong /

kolam ikan yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan jika berlimpah dijual.

Tabel 7. Tahapan Pengelolaan Sawah di Kampung Ciburial Desa Mekarsari

no Kegiatan Waktu

pelaksanaan

pelaku keterangan

1 Mencangkul dan membajak sawah Tergantung luas Laki-laki Dengan

menggunakan

kerbau punya sendiri dan sewa

2 Membuat tempat persemaian padi Dilakukan selama

1 hari

Laki-laki 3 Persemaian

a. benih direndam dalam air

b. dikompos / dipeyeum

c. disemaikan dalam petak

yang telah dibuat

2-3 Hari 1 hari 1 malam 50 hari

Laki-laki dan perempuan

4 Tandur, penanaman padi 1 hari Laki-laki dan

perempuan

5 Ngaberak 1, pemupukan 1 Padi berumur 1

minggu

Laki-laki dan perempuan

menggunakan pupuk kimia

6 Nyoyos, membersihkan rumput dan

gulma

Pada saat padi berumur 1 bulan

Laki-laki dan perempuan

7 Ngaberak ke 2, pemupukan ke 2 Sebelum padi

berumur 2 bulan

Laki-laki dan perempuan

Jika kondisi padi kurang bagus

8 Ngoyos 2, membersihkan rumput

dan gulma yang telah tumbuh kembali

Pada saat padi berumur 2 bulan

Laki-laki dan perempuan 9 Babad galeng, membersihkan

galengan / pematang sawah dari rumput dan gulma

Pada saat padi berumur 3 bulan

Laki-laki dan perempuan

10 Mipit, penen Padi berumur 5

bulan Laki-laki dan perempuan Dengan menggunakan alat ani-ani / etem

11 Dilantay 20 hari Laki-laki dan

perempuan

12 Dipocong, mengikat padi 1 hari Laki-laki dan

perempuan

Padi kemudian diangkut dan simpan ke leuit

Sumber : Teh Suhen, Bu Sumi, Bapak Dani, Kang Entay dan RMI

Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan di Mekarsari dan Kasepuhan Cibedug secara umum bisa dikatakan sama walaupun tetap ada perbedaan baik dalam sistem/pengaturannya maupun dalam tahapan waktunya. Bentuk-bentuknya adalah sebagai berikut :

1. Huma

Lahan pertanian dengan kondisi tanpa irigasi atau istilahnya disebut ladang, komoditi yang ditanam selain padi huma juga palawija. Huma memegang

peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya lahan bagi masyarakat kasepuhan pada umumnya dan tentunya bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug juga. Proses- proses dan upacara dalam pengelolaan huma menjadi pedoman dalam pengelolaan sumberdaya lahan yang lain seperti sawah misalnya.

Proses ngahuma dimulai dengan nyacar yaitu menebang pohon, semak dan rumput, kemudian dikeringkan (diganggang) sekitar 1 bulan sebelum kemudian di bakar (ngahuru). Sisa pembakaran yang belum bersih kemudian dibakar kembali (ngaduruk) dan kemudian dibersihkan dan didinginkan / dibiarkan (ditiiskan) selama kurang lebih 1 bulan.

Proses kemudian dilanjutkan dengan ngaseuk atau menanam padi, kemudian dikored, membersihkan lahan dari gulma pada umur padi ½ bulan kemudian ngarambas atau ngored untuk kedua kalinya pada saat umur padi sekitar 3 bulan. Sehabis itu kemudian dipanen pada saat umur padi 6 bulan. Setelah dipanen, padi kemudian dilantaykeun / dijemur sekitar 2 minggu sebelum kemudian dipocong lalu diunjal atau diangkut ke leuit.

Upacara-upacara yang ada dalam proses ngahuma diantaranya adalah Upacara Nyacar / Nibakeun yang merupakan upacara untuk memulai membuka lahan dan meminta izin kepada “yang memiliki” lahan. Selanjutnya adalah Upacara Ngubaran Pare saat padi baru tumbuh, Upacara Mapag Pare Bekah yang bertujuan untuk mengusir hama dan penyakit padi pada saat padi berumur kurang lebih dua bulan.

Upacara selanjutnya adalah Upacara Mipit yang dilaksanakan sebelum memanen padi kemudian Upacara Ngunjal sebelum mengawali mengangkut padi ke leuit (lumbung padi), Upacara Nganyaran sebelum memulai mecicipi padi hasil panen dan upacara-upacara dalam proses kegiatan ngahuma ditutup dengan Upacara Rasul Serah Taun yang merupakan upacara penutup tahun dan membuktikan rasa syukur atas berkah yang diberikan.

Huma merupakan sistem pengelolaan lahan yang menduduki peranan penting dalam struktur budaya masyarakat kasepuhan dan tentunya Kasepuhan Cibedug juga karena sebelum mengenal pertanian bersawah berhuma merupakan aktivitas pertanian yang pertama kali dilakukan dan dikenal oleh warga kasepuhan. Aktivitas di huma menjadi pedoman kegiatan ritual yang banyak

dilakukan oleh masyarakat kasepuhan dan berhuma menjadi kewajiban bagi masyarakat kasepuhan.

Tabel 8. Proses dan Kegiatan Ngahuma di Wewengkon Cibedug

Kegiatan Upacara Pelaku Waktu Keterangan

Narawas, memberi batas pada lahan yang akan dijadikan huma

Laki-laki

Nyacar, membuka lahan untuk dijadikan huma yang kemudian di biarkan kering secara alami (di ganggang)

Nibakeun Laki-laki dan perempuan Biasanya dilakukan selama 1 bulan dan di gangang selama sekitar 2 minggu bulan 7 atau 8

Pada tahap ini juga ada kegiatan ngadangdang (membuat jarak/sekat bakar) sebelum tahap ngahuru Ngahuru, membakar

lahan yang kan dijadikan huma

Laki-laki 1 hari bulan 8 s/d 9 Ngaduruk,membakar sisa-sisa kegiatan ngahuru Laki-laki dan perempuan Sekitar 1 minngu untuk lahan sekitar 1 ha, bulan ke 9 Ngerukan, kegiatan mencabut rumput yang tumbuh dari sisa pembakaran dan ditiis- kan atau dibiarkan

Laki-laki dan perempuan Sekitar 1 minggu untuk lahan sekitar 1 ha, bulan ke 9 Biasanya di barengi juga dengan menanam pisang, jagung, mentimun,hiris dan labu Ngaseuk, melakukan kegiatan menanam padi

Ngaseuk Laki-laki dan perempuan Biasanya 1 hari, bulan ke 10 Ngored, membersihkan rumput dan gulma Ngubaran pare pada saat padi baru tumbuh Perempuan Sekitar 2 minggu, bulan 11 Ngarambas, membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi Mapag pare bekah pada saat pad berumur 2 bulan Perempuan Sekitar 2 minngu, bulan ke 1 Nyacarkeun sisian, proses pemotongan tanaman di pinggir huma Laki-laki dan perempuan Biasanya 1 hari, bulan ke 3

Lanjutan Tabel 8

Kegiatan Upacara Pelaku Waktu Keterangan

Negel/panen/mipit,

memotong atau memanen padi

Mipit Laki-laki dan perempuan Biasanya berlangsung 1 sampai 3 hari, bulan ke 4 Dengan alat berupa etem / ani-ani Ngelantay, menjemur padi yang biasanya diletakan tidak jauh dari huma Laki-laki dan perempuan Biasanya sekitar 20 hari, bulan ke 4 Menggunakan alat berupa lantaiyan Di pocong, pengikatan padi menjadi pocongan

Laki-laki dan perempuan Sekitar 1 hari, bulan ke 4 Sekaligus dilakukan pemilihn padi yang akan dijadikan benih selanjutnya Ngunjal, mengangkut padi ke leuit Laki-laki Sekitar 1 hari, bulan ke 4 Nyami, menyiangi pohon kayu Laki-laki dan perempuan Sekitar 1 hari, bulan ke 4 Huma mulai berubah menjadi kebon kayu (reuma) Di elepkeun, menyusun padi dalam

leuit Laki-laki dan perempuan Sekitar 1 hari, bulan ke 4 Nganyaran, mulai memanfaatkan

/mencicipi hasil panen

Nganyaran Perempuan Di tetapkan kasepuhan

Ngahudang,

membangunkan padi yang sudah dielepkeun di leuit Seren Taun yang merupakan upacara sebagai tanda rasa syukur atas keberhasilan panen

Seluruh warga Ditentukan oleh kasepuhan

2. Hutan / Leuweng

Kawasan hutan atau leuweng yang ada di Wewengkon Kasepuhan Cibedug terbagi atas beberapa penggunaan sebagai berikut :

a. Leuweung Kolot

Kawasan ini membentang dari arah Pasir Manggu, Pasir Ngeyod sampai ke Batu Alam Lebak Hariang. Kawasan ini tidak boleh diganggu sesuai dengan yang diamanatkan para sesepuh pendahulunya, selain alasan

tersebut kawasan ini merupakan sumber beberapa mata air yang mengalir dan dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingan sehari-harinya.

b. Leuweung Titipan

Kawasan ini mengelilingi leuweng kolot yang mencakup Gunung Bapang, Gunung Kendeng, Tugu Parawilu serta sebagian Pasir Heulang sampai berbatasan dengan Pasir Ipis. Leuweng titipan ini juga hampir sama dengan leuweng kolot yang tidak boleh diganggu, termasuk di dalamnya terdapat beberapa sumber mata air. Di dalam leuweng titipan ini terdapat Situs Cibedug yang oleh warga disebut keramat dan sering di sebut juga Candi Cibedug, Situs ini merupakan warisan Kasepuhan Cibedug yang harus menurut mereka dijaga turun temurun. Situs ini juga memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial, budaya dan religi

Dokumen terkait